SELAMAT DATANG DI BLOG DUNIA DAN KEHIDUPAN

SELAMAT DATANG....., DUNIA DAN KEHIDUPAN,....... DUNIA DAN KEHIDUPAN

Senin, 15 Agustus 2011

Filsafat Humanisme Islam

Filsafat Humanisme Islam (Postingan Terpanjang di Kompasiana: 270 Hlm, 1 Spasi)
REP | 03 August 2011 | 02:33 178 11 3 dari 7 Kompasianer menilai inspiratif

Terjemahan buku Alfalsafah Alinsaniah Fil Islam, karya DR. Suhaer Fadhlillah Abu Wafiah ini, yang saya Indonesiakan menjadi Filsafat Humanisme Islam, telah selesai saya terjemahakan. Panjang dalam microsoft word 270 halaman, dengan 1 spasi. Di sini saya memostingnya untuk berbagi dengan teman-teman sekaligus jika berkenan saya diberi masukan dan kritikannya. Hasil terjemahan ini, mungkin tidak atau belum ditemukan di penerbit….

Berkarya atau bekerja, tidaklah melulu untuk mencari materi, ‘kan?

Selamat menikmati sahur….

ترجمة

كتاب الفلسفة الإنسانية في الإسلام

FILSAFAT HUMANISME ISLAM

Karya DR. Suhaer Fadlillah Abu Wafiah

(Penerjemah: Wahyu Nur Hidayat. Aly)

Daftar Isi

I. Manusia dalam Perpekstif Islam

II. An-Nafs

1. Definisi Nafs

2. Bukti adanya Nafs

3. Substansi Nafs

4. Interkoneksitas antara Nafs, Ruh dan Badan

5. Nafs itu dulu atau baru

6. Esensi Nafs dan Kekuatan Nafs

7. Kekekalan (abadi) Nafs

8. Reinkarnasi

III. Etika Islam

1. Menjaga Etika Islam

2. Menjaga Falsafah Moralitas

3. Akhlak Ahli Kalam

4. Akhlak Ahli Filsafat

5. Akhlak Ahli Tasawuf

6. Cinta

IHDA….

Bagi manusia dimanapun dan kapanpun….

Bagi manusia yang mengharapkan kebaikan dan cinta….

Bagi manusia yang memiliki cita-cita….

بسم الله الرحمان الرحيم

(وبه نستعين)

Mukadimah

Apa yang kita butuhkan sekarang adalah perhatian kita terhadap manusia; perhatian kepada zatnya, kemampuan-kemampuannya, dan mengetahui jiwanya; serta tabiat fisiknya, pendidikan akhlaknya, peningkatannya, dan kesungguhannya; dan perasaannya; dan menjernihkan hati dan akalnya. Artinya, kita memerlukan filsafat-filsafat humanisme yang memperhatikan terhadap jiwa manusia, akhlaknya, keadaan-keadaannya, dan yang memberikan informasi, penyakit-penyakitnya, serta yang memberikan perhatian dengan memperbaikinya dan pengobatannya.

Sungguh, kita sangat butuh semua hal tersebut apabila kita berkehendak untuk memperbaiki kehidupan kita, menggantikan apa yang kita lewatkan, dan kita mengejar orang yang telah mendahului bersama orang selain kita, karena manusia itu telah dan masih menjadi poros terhadap dunia ini, sekaligus pusat dari semesta ini. Maka dengan jerih payahnya dunia bisa progresif, dan dengan akhlaknya alam bisa berkembang, serta sejarah bisa tumbuh.

Sehingga, orang yang mencermati terhadap peradaban-peradaban dunia sejak terbitnya sejarah, maka ia akan mengetahui sesungguhnya perhatian terhadap manusia serta filsafat-filsafat humanisme itu selalu menjadi sumber yang hakiki terhadap seluruh keilmuan, kemajuan dan peradaban.

Socrates pernah berkata: “Kenalilah dirimu, dengan dirimu sendiri.” Statemen Socrates ini merupakan permulaan, dimana setelah itu mengalirlah dengan deras filsafat Plato yang memperhatikan terhadap jiwa yang didedikasikan untuk perkembangan dari alam indrawi menuju alam yang dipenuhi nilai-nilai dan kebaikan. Aristoteles juga berpendapat bahwasanya pengetahuan terhadap jiwa itu akan membantu untuk mengetahui hakekat yang sempurna. Beliau juga berpandangan, bahwasanya semua pengetahuaan adalah sesuatu yang baik lagi mulia, akan tetapi kita lebih mengutamakan pengetahuan daripada yang lain mungkin dikarenakan spesifikasinya, dan mungkin karena pengetahuan itu mencari sesuatu yang paling mulia. Maka dari itu, pengetahuan tentang jiwa serta studi terhadapnya itu sangatlah penting, agar ia dapat naik menuju tingkatan yang lebih utama .

Kita juga menemukan pemikiran Islam ‘Islamic thouhgt’ itu memberikan perhatian atas jiwa dan studi yang intens terhadapnya. Dalam pemikiran Islam ‘Islamic thouhgt’, muncul studi-studi kejiwaan kemanusiaan, dengan banyaknya para pemikir dan filosof Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Hazm, Ibn Mulka, al-Ghazali, Ibn Bajah, Ibn Rusd, dan Ibn al-Qayim. Serta dari kalangan para medis; Kisto bin Luqa dan Abu Bakr ar-Razi. Mereka semua memahami pentingnya studi terhadap jiwa manusia. Karena penelitian terhadap jiwa, menurut mereka tergolong problematika-problematika yang fundamental, dan keilmuan terhadap jiwa manusia merupakan ilmu-ilmu filsafat yang paling mulia. Pun tidak mungkin objek-objek filsafat bisa dipelajari, melainkan apabila seorang peneliti itu memulai untuk mempelajari tabiat jiwa, hal itu disebutkan oleh Abu Hayyan dalam dua bukunya dan al-Mu’annasah wa al-Muqabasat. Beliau juga menegaskan, bahwasanya wujud jiwa itu termasuk tema-tema paling pokok yang diketengahkan oleh ahli filsafat pada seminar-seminar mereka kala itu.

Kita juga menjumpai, Imam Ibn Hazm memastikan akan perhatian filsafat Islam terhadap jiwa dalam statemennya: “Sesungguhnya filsafat; maknanya, fungsinya, serta tujuan yang dimaksud dari mempelajarinya, hakekatnya hanyalah untuk memperbaiki jiwa agar ia bisa mengaplikasikan kebaikan-kebaikan di dunianya dan berperilaku baik yang bisa mengantarkan menuju keselamatannya di hari akhir, serta strategi yang baik terhadap rumah serta masyarakat. Ini jiwanya bukan yang lain, yang merupakan tujuan dari syariat. Ini merupakan sesuatu yang telah disepakati oleh semua kalangan ulama, baik terkait filsafat begitu juga syariah.” Seorang filosof, Ibn Bajah, juga menghimbau supaya mempelajari jiwa serta mengetahuinya. Beliau berkata: “Sesungguhnya, barangsiapa yang tidak percaya diri bisa mengetahui perihal dirinya, berarti ia diciptakan agar dirinya juga tidak yakin untuk mengetahui yang lainnya. Maka, bagaimana mungkin dia akan mengetahui yang lain serta prinsip-prinsip keilmuan, selagi dia masih belum percaya diri mampu mengetahui dirinya sendiri serta bagaimana mengetahui jiwanya.”

Sehingga filsafat dan semua agama, itu hanya ingin menumbuhkan pikiran-pikiran terhadap keagungan manusia berikut pentingnya mengetahui jiwanya, karakter fisiknya, ciri-ciri akhlaknya, serta potensi-potensi akal dan keilmuannya. Karena manusia dengan semua hal apa yang diberikan oleh Allah seperti kekuatan-kekuatan dan potensi-potensi yang sama, dalam sebaik keadaan, maka ia telah menjinakkan dirinya menjadi lebih bernilai daripada tabiat(alam) yang ia tundukkan, yang ia arahkan menurut kehendaknya(manusia) dan menurut keinginannya. Maka dari itu, manusia telah ditakdirkan menjadi tuan dari tabiat(alam) sepanjang masa, dan manusia itu berperan dalam penemuan-penemuan paling penting di setiap tempat, dan merealisasikan kemenangan-kemenangan yang paling besar dan ia mampu mengontrol jiwanya serta mengendalikan alam sekitarnya.

Secara realita, sesungguhnya hal tersebut tidaklah sulit bagi manusia, karena manusia merupakan makhluk yang paling mulia dalam wujud. Allah mengaruniakan khilafah di bumi kepada manusia. Allah menugaskan kepada manusia agar membawa amanah, yang mana langit-langit, bumi, serta gunung merasa berat untuk menanggungnya… Mungkin hal tersebut bisa menjelaskan kepada kita akan kemulian manusia, sekaligus menampakkan kriteria dan posisinya.

Oleh karena itu, kita berkewajiban mencurahkan perhatian kepada mansuia, serta meneliti guna mengetahuinya, memahaminya, memperhatikan kemampuan-kemampuannya, potensi-potensinya, serta mengarahkan kemampuannya, mendidik akhlaknya, meningkatkan indranya, dan menjernihkan hatinya. Sebenarnya hal tersebut bukanlah hal remeh dan mudah, karena pengetahuan tentang manusia dan karakternya, itu tergolong topik-topik yang cukup susah, yang membuat semua filosof dan pemikir merasa kebingungan tentangnya. Meskipun demikian, masing-masing dari mereka itu berupaya untuk membuat definisi serta menjelaskan pengertiannya. Ibn Hazm menegaskan hal tersebut dalam perkataannya: “Bukankah semua para filosof itu telah berkata: ‘Pada dasarnya (komposisi) alam itu dengan dua hal; salah satunya batin dan yang lain lahir. Batin yaitu mempergunakan jiwa terhadap aturan-aturan yang melarang tindakan saling mendzolimi antar manusia dan keburukan-keburukan. Adapun Dzohir adalah membuat benteng dengan tembok, membuat senjata untuk mengusir musuh yang ingin mendzolimi manusia dan membuat kerusakan.”

Ibn hazm berpendapat, bahwasanya kehidupan tidak akan lurus, kecuali apabila jiwa itu lurus serta bersih dari penyakit-penyakitnya. Maka dari itu, Ibn Hazm mempunyai perhatian terhadap jiwa, serta etika dan cintanya. Sehingga beliau melakukan kajian terhadap jiwa, akhlak, dan cinta dengan perhatian dan sunguh-sungguh. Beliau berpandangan, bahwasanya cinta merupakan insting etik serta obat yang manjur untuk mengobati jiwa-jiwa manusia. Dengan obat(cinta) itu, jiwa menjadi tenang, meningkat, harmonis, ridho, dan merealisasikan kebahagiaan bagi dirinya dan orang sekitarnya.

Jelas, tujuan yang tinggi ini sudah tentu cita-cita yang tinggi dan harapan-harapan yang besar yang dicari. Akan tetapi, hal tersebut bagaimanapun adalah sebuah usaha dari dua sisi yang memberi sumbangan dalam melayani manusia dengan sesuatu yang mengiringinya seperti perhatian dengan studi-studi kemanusiaan secara umum. Karena manusia merasa perlu untuk mengetahui dirinya, dan sesungguhnya orang yang mengetahui dirinya maka ia mengenal Tuhannya serta memahami alam sekitarnya.

Sudah tentu, bahwasanya gambaran tentang manusia yang disuguhkan oleh para filosof kepada kita, secara realita hanyalah sebagai ungkapan(ekspresi) tentang ruh, waktu, kebutuhan-kebutuhannya, problematika-problematikanya, dan tuntutan-tuntutannya. Meskipun demikian, manusia di setiap saat dan di semua tempat mempunyai pandangan yang jelas, kekuatan prediksi, serta cinta hakiki.

Wallahu al-muwafiq al-mu’in li al-shiratha al-mustaqim

Suhair Fadlullah Abu Wafiah

Bab. I

MANUSIA DALAM PERPEKSTIF ISLAM

Dalam pandangan Islam, manusia mempunyai derajat yang tinggi, karena Islam telah memuliakannya. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang takdir manusia, sehingga ayat-ayat itu mengukuhkan kehormatannya dan mengangkat kedudukannya. Kemudian Allah mengutamakannya melebihi semua makhluk lainnya dan memilihnya dari alam semesta ini, memuliakannya, mendidiknya serta mentakdirkannya, sehingga kedudukannya melebihi malaikat, dan memiliki ilmu serta tangung jawab yang besarnya melebihi gunung, bumi dan langit. Allah berfirman dalam al-Qur’an,

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat, lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Al-Baqarah: 30-34)

Inilah bukti, yang setelahnya tidak ada lagi, tentang posisi manusia dalam perspektif Islam. Manusia dipilih, dimuliakan, diutus dan mempunyai kegigihan, sehingga dia menjadi khalifatullah di bumi supaya ditanami dengan benih-benih kebajikan dan membangunnya dengan keadilan, kasih sayang serta perdamaian untuk kebaikan alam dan sekitarnya.

Begitulah yang kami pelajari melalui ayat-ayat diatas yang menjelaskan bagaimana malaikat memandang derajat manusia ini dan keingintahuannya tentang kekhalifahan manusia itu ketika Allah Swt. memberitahukan kepada mereka bahwa Allah ingin memilih wakilNya (khalifah) di muka bumi, dan pilihanNya jatuh kepada Nabi Adam as untuk menjadi khalifah. Karena Allah telah mengistimewakannya dengan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh malaikat, maka ia dimintai tanggung jawab dan diharuskan memikul amanah dimana langit yang luas dan gunung-gunung yang besar pun enggan mengembannya. Allah swt. telah berfirman,

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” ( Al-Ahzab: 72).

Karena beratnya tangung jawab yang dibebankan kepada manusia, sehingga Allah memuliakan dan mengistimewakannya melebihi dari makhluk yang lainya. Allah berfirman,

“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (Al-Isra’: 70).

Dari uraian diatas sangatlah jelas bahwa Islam mengangkat derajat Adam dan keturunannya di tempat yang paling tinggi, dan Allah mengistimewakannya dengan mengemban amanah dan tangung jawab besar yaitu, menjadi khalifatullah di muka bumi. Sehingga Allah memuliakan dan menganugerahkan kenikmatan serta kebaikan kepadanya. Di antara nikmat yang paling besar itu adalah akal, ilmu dan intelektualitas. Akal manusia mampu berfikir-fikir tentang alam semesta, semua ciptaan Allah dan berfikir tentang dirinya sendiri agar bisa mengetahui posisinya di dunia ini, tangung jawab yang telah dibebankan, peran yang diharuskannya, amanah yang dipercayakannya, kepemimpinan yang berikannya, dan sebab-sebab yang menjadikanya dipilih dan diistimewakan oleh Allah mengalahkan makhluk yang lainya. Hanya Allah saja yang mengetahui hikmah dibalik itu, yang membuat malaikat heran atas pilihan tersebut diwaktu Allah menyampaikan sebuah cerita yang besar,

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“ (Al-Baqarah: 30).

Firman di atas adalah pelajaran dari Tuhan kepada malaikat yang heran atas pilihan Allah dan keistimewaan yang hanya diberikan Adam bukan yang lain. Meskipun akhirnya membuat kerusakan dan saling bunuh membunuh. Akan tetapi, setelah itu, malaikat tahu bahwa Adam yang dipilih menjadi khalifahNya dan mengutamakannya atas makhluk lainnya karena Allah mengkhususkannya dengan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh malaikat. Dalam firmaNya,

“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar! Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Al-Baqarah: 31-32).

Saat itulah malaikat mengerti bahwa melalui pemberian pengetahuan yang sangat komplek makna-maknanya, sangat dalam bentuk-bentuk yang didapat merupakan keistimewaan kepemimpinan yang humanis secara umum. Ilmu merupakan anugerah bawaan yang ada dalam jiwa manusia yang semua manusia kembali kepadanya walaupun mereka berbeda bentuk, jenis, bahasa, daerah, masa, fikiran, kebudayaan dan ideologinya.

Al-Qur’an telah menjelaskan secara detail perihal kepemimpinan dan awal mula manusia dalam kisah penciptaan Nabi Adam as. Banyak para peneliti dan akademisi yang memfokuskan diri dalam menelusuri masalah ini dengan menggunakan metode dan teori yang berbeda-beda seperti halnya Tsa’labi dan Al-Alusi yang menafsirkan ayat ini

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“ (Al-Baqarah: 30).

Al-Alusi berpendapat bahwa keberadaan Adam as. sebagai khalifah di muka bumi adalah bahwa Allah telah menyerahkan kepemimpinan kepada Adam dan para Nabi untuk membangun bumi, mengatur makhluk, menyempurnakan serta memperbaiki diri mereka, serta mengimplementasikan semua perintah dan hukum-hukum-Nya kepada manusia. Dengan demikian, tugas kepemimpinan manusia adalah merealisasikan risalah para Rasul dan Nabi. Jejak dan peninggalan mereka tidak akan putus selama manusia masih ada di muka bumi ini. Karena dengan watak, keilmuan dan kemampuanya manusia bertugas untuk menjalankan risalah itu.

Muhammad Abduh, salah seorang pemerhati studi ini dan fokus menjelaskan tentang cerita khilafah fil ardli. Dia berpendapat bahwa sebab dipilihnya manusia sebagai khalifatullah di bumi kembali pada pengetahuan yang telah disiapkan Allah dalam watak kepemimpinan manusia, pengetahuan yang tidak dipunyai oleh para malaikat. Hal ini berdasarkan pada firman Allah,

“Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,“.

Pengatahuan yang istimewa inilah yang menjadikan turunnya Adam ke bumi, meskipun pada kenyataannya terdapat kerusakan dan pertumpahan darah.

Dr. Aisyah Abdurrahman menuturkan bahwa dua sebab yang menjadikan manusia lebih mulia dari malaikat. Hal ini setelah mengurutkan cerita al-Qur’an tentang penciptaan manusia. Pertama, sebagai penghormatan terhadap manusia yang pertama yaitu Adam as. saat Allah swt. memerintahkan malaikat untuk sujud kepadanya karena Adam berbeda dengan mereka. Perbedaan itu disebabkan karena Adam memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh malaikat. Sedangkan malaikat tidak mempunyai jalan untuk mencarinya. Hal ini berdasarkan pada perkataan mereka “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami;. Kedua, sebagai pemimpin di muka bumi mengharuskan anak cucu Adam guna mengemban tangung jawab kemanusiaannya, amanah atas tindakannya serta perilakunya, dan mengingat adanya cobaan yang bertubi-tubi sehingga tidak mungkin diemban oleh malaikat dengan seluruh kemampuanya.

Rashid Ridho, dalam kitab tafsirnya, Al-Manar, membahas masalah khalifah, secara literar. Yang dimaksud khalifah adalah Adam dan semua keturunannya. Kemudian dia mempertanyakan tentang apa arti khilafah? Apa yang dimaksud dengan penyerahan kepemimpinan? Apakah sebagian manusia memimpin sebagian lainnya ataukah jenis manusia memimpin jenis yang lainya?.

Dia berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan itu, kemudian mengatakan, “Sudah menjadi keputusan Allah swt. atas makhlukNya untuk mengajarkan hukum-hukum-Nya kepada mereka, dan merealisasikanya di atas tanggung jawab sebagian manusia yang akan dipilihNya agar menjadi khalifatullah dalam melaksanakan segala perintah dan hukumNya. Mereka telah terhormat lantaran kemulyaan manusia atas makhluk lainya.” Dengan demikian, makna khilafah mencakup atas seluruh manusia. Hal ini dikarenakan Allah telah memberikan kekuatan nonfisik, kemampuan akal, perasaan dan panca indra kemanusiaan. Sehingga dia memiliki kemampuan untuk mengendalikan mahkluk yang lain.

Melalui keistimewaan dan perbedaan ini, manusia akan dimintai tanggung jawab akan jati dirinya, watak kebebasannya dan perbuatannya, sebagaimana Allah menegaskan dalam firmanNya,

“Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri. meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya” (Al-Qiyamah: 14-15).

Manusia juga akan ditanya tentang pengetahuannya mengenai alam dan lingkungannya serta hubungan keduanya dengan dirinya. Allah berfirman,

“Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya” (Al-Rum: 8).

Ayat tersebut mengingatkan kepada manusia jika mereka mau berfikir tentang dirinya, sehingga mengenalnya, maka dia akan tahu hakikat segala yang ada baik yang rusak dan yang terlindungi, dan mengetahui hakikat langit dan bumi, kekuasaan sang Pencipta, kebesaran ilmuNya, hikmah penciptaan makhlukNya dan anugerah yang telah diberikan-Nya kepada manusia.

Dengan demikian, manusia wajib berfikir dan berusaha memahami dirinya, alam sekitarnya, dan berusaha mengenali dirinya. Karena barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, maka dia akan tahu bagaimana cara mengontrol dirinya, dan barang siapa mampu mengontrol dirinya dengan baik, maka dia akan bisa mengatur alam secara baik, sehingga dia akan menjadi khalifah-khalifah Allah yang disebut dalam firman-Nya “Allah akan menyerahkan kepemimpinan di muka bumi kepada mereka”.

Kepemimpinan ini menuntut manusia agar menjadikan dirinya mampu membangun dan meramaikan bumi, membersihkan jiwa dan memperbaikinya dengan ilmu, pengetahuan, penglihatan dan intelektualitas yang telah diberikan oleh Allah. Dikarenakan, hal ini bisa menjadikannya seorang peneliti dan pengamat suatu perkara sehingga mendapatkan petunjuk yang sesuai dengan risalahnya, mengetahui subtansi khilafah dan kedudukannya yang telah dijelaskan Allah diberbagai tempat. Allah befirman,

“Maka sesungguhnya Aku bersumpah dengan cahaya merah di waktu senja. dan dengan malam dan apa yang diselubunginya, dan dengan bulan apabila jadi purnama, sesungguhnya kamu melalui tingkat demi tingkat (dalam kehidupan),” (al-Insiqaq: 16-19).

Berdasarkan penjelasan ini, maka manusia merupakan kekuatan yang kreatif, jiwa yang selalu berkembang dan elemen yang tetap dalam tahapan wujud. Oleh sebab itulah manusia membutuhkan proses untuk sampai padanya, dan harus mengungkap rahasia-rahasia yang ada dan membahas sifat-sifat dasarnya, mangembangkan segala kemungkinannya dan mengambil manfaat di setiap dimensinya.

Dengan begitu, maka jelaslah arti kepemimpinan manusia, yang menjelaskan tentang bentuk tangung jawab yang berada di tempat yang telah diciptakan dan disiapkan baginya. Dalam komentarnya, di kitab Muwafaqat karya Syatibi, Muhammad Husain Makhluf mengatakan, “Pertanyaan malaikat itu hanya bertujuan untuk membuka hikmah dan menghilangkan keraguan yang ada pada jiwa mereka. Mereka tidak paham makna khilafah, apa yang menyebabkan adanya perbedaan watak dan susunan campuran manusia. Allah berfirman “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui“

Melalui ayat ini, Allah telah menunjukan kepada malaikat atas sedikitnya pengetahuan yang mereka miliki dan memperlihatkan keilmuan Adam, sehingga mereka bertambah yakin dan tahu akan kelayakan Adam sebagai pemimpin, bukan mereka. Sebagai khalifah di muka bumi, membangunnya serta mengatur makhluk, membersihkan jiwa dan memperbaikinya, manusia harus bersikap objektif dan subjektif, menjaga keterpaduan keduanya. Hal ini supaya khalifah bukan malaikat, melainkan manusia. Adam merupakan manusia pilihan Allah sebagai khalifah, karena mempunyai dua sifat; keagungan dan kebesarannya. Dalam hal ini Nabi saw. bersabda: “Adam diciptakan atas bentuknya.” Pada diri Adam mengandung hal-hal yang saling bertentangan, perkembangan yang sempurna dan kebenaran.

Penciptaan Adam hanya bisa sempurna secara baik yang akan dia lakukan yaitu, khalifah di muka bumi. Karena itulah Allah memberikan keutamaan, kedudukan tinggi dan keistimewaan yang sesuai dengan derajat kepemimpinan, serta memberikan perkara yang sesuai dalam mengemban tanggung jawab yang berupa ilmu.

Ar-Razi dalam tafsirnya, Al-Kabir, berpendapat bahwa firman Allah, “Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,” yang dimaksud adalah Allah memberikan pengetahuan tentang sifat dan bentuk-bentuk benda, yakni pengetahuan tentang hakikat benda-benda dan memberinya akal supaya dapat memperoleh pengetahuan tentang benda-benda tersebut.

Rasyid Ridha dalam tafsirnya, Al-Manar, menerangkan tentang karakteristik pengetahuan Adam. Dia mengutip pendapat Muhammad Abduh yang mengatakan, “Pengetahuan Adam tentang segala sesuatu tidaklah dibatasi oleh ruang dan waktu. Allah maha kuasa atas segala sesuatu. Keistimewaan ini dimiliki oleh semua keturunan Adam. Mereka bekerja keras dengan seluruh kemampuanya untuk mengetahui segala benda dengan menganalisa dan menilitinya.”

Sedangkan Imam Qurtubi berpendapat bahwa, kepemimpinan manusia maksudnya adalah Allah memberi kekuatan imateri, keistimewaan maknawi dan penemuan-penemuan akal yang bisa menjadikan kebenaran mengalahkan keburukan. Begitu juga di antara orang-orang yang sempurna dan terpilih, terdapat individu-individu yang memperlihatkan kuatnya kebaikan serta mengatur makhluk dengan hikmah Allah dan merealisasikan syari’atNya. Sehingga mereka mengetahui hal yang hak dan baik diatas perkara yang jelek dan batil, mensucikanNya dengan sungguh-sungguh dengan memujiNya atas kenikmatan yang telah diberikan yang berupa cita-cita, mampu bekerja keras dan melawan hawa nafsu serta mengalahkannya. Mereka juga mensucikanNya, yang tumbuh melalui proses belajar mereka tentang tanda-tanda kebesaraNya, dan bukti kekuasaanNya dari keindahan alam melalui ilmu atau pengetahuan yang tidak diberikan kepada yang lainnya.

Dia juga berpendapat bahwa Adam adalah jenis manusia yang secara individu nampak sempurna dengan hakekat kemanusiaannya agar menjadi contoh bagi generasi berikutnya. Sedangkan yang dimaksud dengan nama-nama benda yang telah diberitahukan kepada Adam adalah hakikat benda-benda serta arti dan sebutannya atas pengetahuan yang integral dan penamaan benda yang ada sesuai dengan penamaannya. Karena nama yang membedakan suatu benda yang disebutkan tidak mungkin diketahui secara pasti, kecuali setelah mengetahui karakteristik masing-masing benda.

Adapun arti mengajarkan di sini adalah, Allah menitipkan arti nama-nama itu dalam watak manusia dan kesiapan nalurinya melalui daya pikirnya, pengetahuan akal dan spiritualitas yang telah diciptakan Allah serta mampu mengetahui semua hakikat benda yang ada di bawah kemampuan manusia yang akan nampak pada waktunya melalui suatu proses usaha dan belajar secara bertahap di setiap waktu.

Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan terpilihnya Adam sebagai khalifah, berdasarkan pada pemahaman saya dan mayoritas para pemikir dan peneliti, kembali pada pemberian keistimewaan yang berupa ilmu dan kesiapan watak untuk mencari ilmu dan pengetahuan yang dapat membantunya untuk menjadi terdepan dan sampai pada bentuk yang telah dicita-citakan, misalnya, kesempurnaan diri, tingkah laku dan perbuatan yang menjadikan kebahagian di dunia dan akhirat.

Begitu juga, manusia berhak menjadi khalifatullah di muka bumi karena manusia telah diberi ilmu dan pengetahuan tentang subtansi segala sesuatu serta kesiapannya menyampaikan hukum dan syari’at Allah dalam mengatur makhluk, yang itu tidak diberikan kepada makhluk lainnya. Bahkan, kekholifahan itu juga tidak diamanahkan pada malaikat yang begitu mulia, lebih unggul dan istimewa dari mereka, padahal mereka senantiasa bertasbih, mensucikan Allah swt.

Sebagai makhluk yang terpilih menjadi khalifah, tidak menafikan adanya sebagian manusia yang menyimpang dari ketentuan Allah dan jalanNya yang lurus. Akan tetapi, pengetahuan manusia yang tidak terbatas itu merupakan keistimewaan yang membedakannya dengan makhluk lainnya, sehingga mempunyai derajat yang tinggi di atas semua kedudukan makhluk lainnya. Hal inilah yang menjadikan manusia layak menempati posisi khalifah.

Allah telah memperlihatkan kepada malaikat tentang pengetahuan yang dimiliki Adam tentang subtansi alam, ketentuan-ketentuan Tuhan dan keilmuan yang pantas bagi makhluk yang terpilih menjadi khalifah. Hal itu bertujuan untuk menampakan keutamaan dan kemuliaanya.

Ketika Allah memberitahukan sesuatu yang tidak diketahui oleh malaikat, dan menjelaskan tentang keistimewaan serta kemuliaan manusia sehingga pantas sebagai pemimpin, mereka mensucikan Allah dan mengembalikan pengetahuan itu kepada Allah yang mengetahui segala sesuatu.

Dari sini, maka jawaban atas pertanyaan malaikat tentang sifat pemimpin -Apakah hal itu demi kebaikan semata, seperti adanya malaikat bertasbih dan mensucikan Allah? Ataukah berdasarkan pada keburukan yang sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan Allah? Karena sifat pemimpin adalah mengatur mahluk dengan menegakan keadilan, merealisasikan syari’at Allah dan mengarahkan mereka untuk memuliakan segala yang ada melalui potensi karakternya­- adalah, hal itu dilakukan sebagai realisasi kenikmatan Tuhan yang hanya diberikan kepada manusia. Allah berfirman,

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu” (al-Baqarah: 29)

Dengan demikian, Allah tidak membiarkan manusia tanpa mengajarinya, membersihkan, mengarahkan dan menguatkan mereka dengan ilmu, pengetahuan, perasaan dan intelektualitas dalam dunia ini, Allah berfirman,

“Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan” (al-Qiyamah: 36)

“Mengajarnya pandai berbicara”. “Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan”. (Al-Rahman: 3-4).

“Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (Al-Balad: 8-10)

“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir” (Al-Insan: 3).

Tentu manusia sebagai pemimpin makhluk benar-benar mendapatkan perhatian yang begitu besar serta pertolongan yang luarbiasa dari Allah, sehingga Allah tidak melepaskannya dengan sia-sia, akan tetapi Allah mengistimewakannya dengan ilmu, akal serta menunjukan dan mengarahkan manusia agar mampu berfikir dan menganalisa agar memperoleh petunjuk. Dalam al-Quran, manusia disebut secara jelas di 65 tempat lebih, dan pada falsafahnya yang mendalam. Keistimewaannya sebagai pembedaan, yang sekiranya dia sebagai individu dari jenis manusia atau dalam arti keseluruhan insan.

Dengan kecerdasanya, Ibnu Hazm menemukan makna insan dengan mengatakan bahwa kata insan menunjuk pada semua jenis manusia. Seperti Firman Allah “Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian” (Al-”Asr: 2). Maksudnya adalah, semua anak cucu Adam as. Juga, menunjuk pada individu-individu seperti lafadz, “Adakah manusia yang datang kepadamu dan kamu mengenalnya, sedangkan kamu bertambah anak dan istri, ataukah ada seseorang yang menolongmu.”[1] Sehingga menurut Ibnu Hazm, kata insan terkadang bermakna semua jenis manusia atau individu. Inilah yang nampak dalam kebahasaan dan penjelasan teks. Di tema yang lain, Ibnu Hazm memperjelas tentang arti insan. Menurutnya, kata “semua manusia” menunjuk pada individu-individu. Makna inilah yang dimaksud dalam firman Allah “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah” (Al-Ma’arij: 19-20). Dalam ayat ini, Allah tidak bermaksud hanya pada satu orang, akan tetapi semua jenis manusia. Terkadang juga dikatakan ‘insan mutlak’ yaitu, mahluk yang memiliki sifat-sifat sepert, bisa berbicara, hidup, mempunyai warna, tinggi, lebar dan lain sebagainya. Sifat yang ada pada Zaid, Khalid, Hindun, Zainab dan setiap individu itu disebut dengan al-insan al-juziy’ (bagian dari manusia). Zaid disebut manusia, sama halnya dengan Amr dan yang lainya.

Sedangkan al-insan al-kulli, sifat yang dimiliki semua yang telah disebutkan yaitu, setiap manusia. Bagian ini tidak tercakup sama sekali. Dengan arti, bagian ini bukan menjadi sifat karena sifat adalah hal yang dicakup bukan mencakup. Sedangkan materi adalah pembawa bukan dibawa.[2]

Secara etimologi maupun terminologi, kata insan mempunyai arti seluruh manusia yang mencakup semua keturunan Nabi Adam, dan semua jenis manusia masuk dalam jenis manusia. Dengan menganalisa kata insan serta mengamati kondisi para peniliti dan pembahas terdahulu serta orang-orang yang ditemuinya, Ibnu Hazm berkata, “Dalam memahami kata ini (insan), para pakar berbeda pendapat. Kelompok pertama mengatakan bahwa kata insan tertera pada jiwa bukan badan, sedangkan kelompok kedua mengatakan pada badan bukan jiwa, dan kelompok ketiga berpendapat kata insan menunjuk pada badan dan jiwa.” Adapun yang menjadi pokok perdebatan dalam hakikat insan adalah, apakah insan itu jasad atau jiwa ataukah kedua-duanya? Dalam hal ini para filosof Yunani maupun muslim mempunyai perbedaan yang amat mendalam, sehingga banyak sekali pendapat dan pemikiran. Hal ini dikarenakan hanya Allah yang mengetahui rahasia ciptaan-Nya. Dengan demikian, tidak ada satu orang pun yang mengetahui rahasia keserasian dalam perwujudan manusia, sehingga sangat sulit menyakini dan memahaminya. Dalam Al-Quran, Allah menjelaskan tentang esensi dan watak manusia dengan firmaNya,

“Yang demikian itu ialah Tuhan Yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”. (Al-Sajdah: 6-9).

Ayat ini mengandung semua esensi dan hakikat proses penciptaan manusia. Untuk lebih memperjelas dan detail, saya memaparkan firman Allah “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.” (al-Mu’minun: 12), ayat ini menjelaskan segi materi dalam diri manusia yang berupa jasad (badan). Adapun firman Allah “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (al-Hijr: 29), ini menjelaskan sisi jiwa, ruh yang bersemayam di badan manusia. Sedangkan firman Allah “Jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)” (al-Syams: 7), ini menerangkan segi subtansi manusia, jiwa kemanusiaan.

Semua ayat di atas menjelaskan tentang kondisi dan tabiat pembentukan manusia yang tersusun dari materi yang berupa badan, serta ruh dan jiwa. Inilah hakikat manusia. Dengan demikian, insan adalah badan yang serupa dengan segi materi yang berbentuk. Sedangkan jiwa dan ruh merupakan dua hal yang menyerupai sisi ghoib yang metafisik.

Kemudian ada beberapa ayat yang secara berurutan menjelaskan tentang segi materi. Ayat-ayat ini membicarakan tabiat dan jenis materi itu. Allah berfirman,

“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.” (al-Rahman: 14)

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk.” (al-Hijr: 28)

Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya - sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?” (al-Kahfi: 37) dan

“Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan? Dia diciptakan dari air yang dipancarkan yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (al-Thariq: 5-7).

Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Allah menciptakan manusia dari mater; lumpur dan tanah kering, yakni tanah dan air. Inilah materi yang membentuk badan manusia. Pada kenyataannya, pendapat inilah yang disepakati. Ditinjau dari pandangan para ulama dan filosof yang mendalami hal ini, mereka mengatakan bahwa badan manusia tercipta dari beberapa unsur-unsur bumi yaitu, air dan tanah yang bisa menciptakan oksigen, hydrogen, karbon, zat besi, potasium, kalsium dan unsur-unsur lain tanah yang berpindah ke dalam tubuh manusia dengan jalan mengonsumsi makanan nabati dan hewani yang berasal dari bumi.

Sebenarnya, manusia bukan hanya berupa badan, seperti yang telah dipaparkan, Akan tetapi juga terdiri dari ruh dan jiwa. Hal ini sangat jelas dalam firman Allah swt, pendapat para filosof dan para intelektual. Artinya, ketika berbicara tentang manusia tidak akan lepas dari badan, ruh dan jiwa. Seperti pendapat Jalal al-Duwani dalam bukunya Haqiqah al-Insan, dia mengatakan,[3] “Manusia itu terdiri dari tiga unsure; jasad kasar, jasad lembut, dan ruh. Pertama, jasad kasar adalah jasad yang berbaring di atas ranjang di waktu tidur, yaitu jasad yang rusak setelah mati. Kedua, jasad imateri adalah tubuh yang terpisah dari jasad kasar pada saat tidur yang menjelajahi cakrawala langit dan bumi yang dalam terminologi syari’at biasa disebut ruh. Ketiga, ruh yang menghubungkan antara jism kasar dan lembut yang tidak berbentuk.” Inilah maksud firman Allah,

“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”. (Al-sra’: 85).

Sebenarnya, al-Qur’an telah membedakan antara ruh, jiwa dan badan, serta masing-masingnya mempunyai makna tertentu.

Dalam al-Qur’an, kata “ruh” disebut sebanyak dua puluh kali. Di antaranya adalah firman Allah swt,

“Sesungguhnya Al Qur‘an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan“ (Al-Syu’ara’: 192-194).

Ada juga yang dimaksudkan dengan ruh manusia yang merupakan rahasia ilahi, yakni yang menjadikan manusia tetap hidup sebagaimana firman Allah,

“Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.” (Al-Sajadah: 8-9).

Ruh adalah rahasia ilahi yang tampak pada Maryam, sehingga dia melahirkan janin yang hidup. Dengan dasar ini, maka ruh merupakan urusan Allah yang tidak diketahui keberadaanya kecuali Dia. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’” (al-Isra’: 85).

Sedangkan jiwa disebut dalam al-Qur’an sebanyak 126 ayat dengan kata jamak “nufus” dua kali dan kata “anfusin” sebanyak 153 kali[4].

Adapun yang dimaksud dengan arti nafs di semua ayat ini adalah jiwa beserta unsur-unsur materi dan ruh yang fisik maupun metafisik. Sehingga nafs itu dapat binasa.

“Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. Dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Al-Imran: 145) dan

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Al-Imran: 185).

Oleh sebab itulah Allah berfirman,

“Katakanlah: “Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar”. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).” (Al-An’am: 151).

Dengan adanya ayat ini, nafs tidak sama dengan ruh yang merupakan rahasia kehidupan, dan juga tidak sama dengan badan. Ruh lebih dekat sebagai ungkapan akan dzat manusia ketika ruh masuk dalam badan sehingga menjadi jiwa manusia.

Kebenaran pendapat ini berdasarkan pada ucapan “nafs binasa, ruh keluar”. Dengan arti, ruh akan keluar dari badan manusia yang meninggal karena ruh tidak mati. Kata jasad disebutkan dalam al-Quran sebanyak empat kali dengan arti bentuk atau gambar. Dalam hal ini, manusia terdiri dari tiga istilah yaitu, badan, nafs dan ruh. Hal inilah yang menyebabkan para filosof berbeda pendapat dalam mengartikan kata “insan“?[5]

Al-Asy’ari menjelaskan tentang perdebatan besar ini dalam bukunya Maqalah al-Islamiyah. Dia mengeluarkan 19 pendapat tentang esensi manusia menurut para pemikir. Dia berkata, orang-orang berbeda pendapat mengenai kata insan, apa insan itu? Menurut Abu al-Huzail al-’Alaf, manusia adalah suatu bentuk yang tampak mempunyai kedua tangan dan kaki. Ada sebagian berpendapat bahwa badan adalah manusia, sedangkan sifat-sifatnya tidak termasuk badan. Badan harus mempunyai sifat dari beberapa sifat. Manurut Basr bin Mu’tamar, insan adalah jasad dan ruh. Keduanya merupakan insan. Adapun yang banyak aktifitas itu adalah manusia yang berupa jasad dan ruh. Abu Huzail tidak mengatakan bahwa bagian tubuh tidak mempengaruhi bagian yang lain dan tubuh tidak bekerja dengan yang lain. Akan tetapi, dia mengatakan bahwa yang bekerja adalah bagian-bagian tubuh ini.

Menurut Dharar bin Amr, manusia terdiri dari banyak hal, yaitu bentuk, warna, rasa, kekuatan dan yang menyerupainya. Ketika hal-hal ini menjadi satu, maka disebut manusia. Dalam diri manusia tidak mempunyai bentuk selain itu. Husain al-Najjar dan pemikir lainya menyangkal bahwa kekuatan itu hanya sebagian manusia.

Iyadh bin Sulaiman berkata, “Kalau dianalogikan, arti insan adalah basr (manusia), begitu juga sebaliknya.” Dia menganggap bahwa manusia itu berupa benda dan sifat-sifat. Dhirfan menceritakan bahwa Hisyam bin Hakam pernah mengatakan bagaimana intelektual muslim disibukkan dengan cinta dan faktor-faktornya, serta rindu dan tanda-tandanya. Bagaimana mereka mengarang beberapa risalah dan buku-buku mengenai hal itu. Cinta yang kami teliti dan bahas dalam kesempatan ini tak lain hanyalah cinta manusia. Karena sasaran atau fokus kami adalah membahas filsafat kemanusiaan dalam Islam. Oleh karena itu kami tidak menyingung cinta Allah, karena tempatnya bukan di sini akan tetapi berada di para penikmat tasawuf. Mudah-mudahan studi kami mengenai filsafat manusia dalam Islam bisa menyuguhkan beberapa point, dan pembahasan kami mengenai beberapa tema yang memperhatikan manusia di setiap waktu dan tempat, bahkan filsafat itu sendiri adalah manusia itu. Sebagaimana yang telah kami jelaskan di sela-sela pembahasan kita tentang jiwa, akhlak dan cinta. Insan adalah sebuah nama bagi dua arti, badan dan ruh. Badan akan binasa, sedangkan ruh adalah penggerak imateri yang mengikuti fisik. Ia adalah cahaya. Menurut Abu Bakr, manusia adalah sesuatu yang terlihat. Ia adalah sesuatu yang tidak mempunyai ruh. Insan merupakan benda yang tersendiri. Sehingga Abu Bakr menafikan insan selain bisa di rasa dan dilihat.

Nidzam mengatakan, insan adalah ruh yang merasuki badan serta mengikat seluruh tubuh. Sedangkan badan sebagai penutup, penahan dan penekan ruh. Asy’ari memberikan komentar lain yang disampaikan oleh Dzirfan. Dia mengatakan ruh adalah suatu imateri yang dapat dirasakan. Ruh merupakan satu bagian dan tidak berupa cahaya atau kegelapan.

Ada beberapa orang, di antaranya adalah Ma’mar, yang berpendapat bahwa manusia adalah bagian yang tidak dapat dibagi. Ia adalah pengatur dalam dunia. Sedangkan badan merupakan sarana bagi ruh. Pada hakikatnya, insan tidak bertempat, tersentuh atau bersentuhan dengan benda lain. Sehingga dia tidak bergerak, diam, mempunyai warna dan rasa. Akan tetapi, dia mampu mengetahui ilmu, mempunyai kekuatan, kehidupan, berkehendak dan rasa benci. Dia adalah pengerak tubuh sesuai dengan kehendaknya, akan tetapi tidak bersentuhan dengan tubuh.

Ada sebagian orang yang mengatakan, insan adalah bagian yang tidak dapat dibagi, dan boleh baginya bersentuhan, nampak, bergerak dan diam. Ia adalah bagian tubuh yang bersemayam dalam hati dan mempunyai beberapa sifat. Ini adalah pendapat para ulama shalih.

Menurut Ibnu Rawandi, insan adalah hati, berbeda dengan ruh. Ruh bersemayam di dalam badan. Ada juga yang berpendapat, al-insan adalah ruh dan panca indra termasuk bagiannya. Insan adalah satu jenis yang tidak berbeda dengan ruh. Hanya saja berbeda penemuannya. Insan dapat diketahui dari sisi lain. Sehingga pengetahuan tentang ruh akan berbeda karena perbedaan campuran. Mereka adalah Dishaniyyah.

Diceritakan dari para pengikut Markuni bahwa mereka mengangap bahwa di dalam badan terdapat panca indra dan ruh. Ruh itulah yang disebut sebagai insan. Adapun panca indra tidak termasuk ruh, hanya saja, kehendak panca indra sampai pada ruh. Sehingga mereka menjadikan ruh sebagai jenis ketiga yang tidak berupa cahaya atau kegelapan.

Menurut ahli fisika, manusia terdiri dari campuran panas, dingin, kering dan basah. Begitu juga panca indra, daging dan darahnya. Semua itu adalah manusia. Ashab al-Hayuli mengatakan ada berbagai pendapat yang berbeda-beda. Sebagian menganggap bahwa manusia adalah benda hidup yang bisa berbicara dan mati. ia disebut manusia ketika hidup, berbicara dan bisa mati. Dan sebelum itu tidak disebut manusia. Ada juga yang berpendapat bahwa manusia adalah yang hidup dan bisa berbicara. Inilah bentuk dan sifat-sifatnya.

Sebagaian yang lain mengatakan bahwa insan adalah sesuatu yang ada dalam benda, tidak bersentuhan, tidak nampak dan tidak bercampur dengan lainya. Ia ada dalam benda dan sebagai pengaturnya.[6]

Dr. Ahmad Subhi berpendapat bahwa definisi al-insan menurut berbagai pendapat memiliki urgensi yang khusus karena adanya dasar di setiap madzhab itu. Begitu juga membatasi peran-peran yang umum di dalamnya. Sedangkan Aristoteles mendefinisikan manusia sebagai hewan yang berfikir. Hal ini dikarenakan semua filsafatnya membahas seputar esensi manusia. Pada zaman modern ini, Marxis mendefinisikan insan sebagai hewan yang membuat alat yang sesuai dengan pekerjaanya. Karena sisi ekonomilah yang menjadi acuan pendapatnya.

Umat Islam mendefinisikan manusia sebagai sesuatu yang wujud, memikul beban dan akan ditanya tentang segala tindakan[7] dan budi pekertinya. Hal ini dikarenakan Islam adalah perbuatan dan budi pekerti yang keduanya merupakan muara bagi pemikiran Islam. Manusia sebagai pengemban amanah diberikan tanggung jawab akal, akhlak dan syari’at. Sehingga Allah menciptakan baik dan buruk “fahadainahun najthain“, dan saya menunjukan dua penemuan. Dengan demikian, manusia akan diminta pertangungjawaban atas segala tindakan yang telah dilakukannya tergantung kebebasan yang berkaitan dengan perbuatan dan tingkah laku. Sehingga intelektualitas dan perbuatan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Kesimpulan inilah yang dapat saya ambil dalam membahas tentang filsafat manusia. Hal ini juga disebabkan karena perbedaan definisi di kalangan umat Islam. Akan tetapi, mereka tidak berbeda pendapat dalam sifat dasar manusia yang berupa tanggung jawab. Tidak ada dalam definisi mereka yang bertentangan dengan sifat taklif.

Ibnu Hazm lebih memperjelas pendapat-pendapat umat Islam tentang esensi manusia dan mendeskripsikannya. Dia mengatakan, “Sebagian orang berpendapat bahwa insan terletak di badan, bukan pada jiwa. Inilah pendapat Abu Huzail al-’Ilaf. Ada juga yang mengatakan bahwa al-insan adalah jiwa, bukan jasad, pendapat ini adalah pendapat Ibrahim al-Nidzam. Sebagian lain mengatakan, manusia terletak pada tubuh dan jiwa seperti belang-belang yang pasti mempunyai warna hitam dan putih.[8]

Pendapat pertama, menurut al-’Ilaf dan orang yang mengikutinya, mengatakan bahwa al-insan adalah jasad, maksudnya adalah bahwa manusia merupakan jasad atau materi saja. Hal ini berdasarkan ayat-ayat yang menyatakan tentang penciptaan manusia yang berasal dari materi seperti debu, tanah liat dan air. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa manusia adalah bentuk lahir seseorang yang mempunyai dua tangan dan dua kaki. Sebuah perbuatan tidak bisa dikaitkan hanya pada satu anggota badan karena yang melakukan adalah seluruh tubuh manusia. Definisi al-’Ilaf di atas, hanya menunjukan pada watak manusia yang menjadi pelaku, yang dibebani dan bertangung jawab. Orang yang akan diberi pahala berupa kenikmatan dan disiksa yang berupa kepedihan, itu atas apa yang dilakukannya. Sehingga anggota badan yang tidak merasakan kenikmatan atau kesengsaraan tidak bisa disebut sebagai bagian dari apa yang dinamakan manusia. Asy’ari menceritakan, bahwa Al-Huzail menjadikan rambut manusia dan kukunya termasuk bagian dari manusia. Menurut ‘Alaf, ketika seseorang tidur, dia tidak diminta pertanggungjawaban atas apa yang dia lakukan saat tertidur, karena jiwa dan ruhnya hilang, tapi masih hidup.

Pendapat kedua yaitu, pendapatnya al-Nidlom dan orang yang sepakat dengannya, mengatakan bahwa manusia adalah jiwa, bukan jasad. Hal ini berdasarkan pada ayat-ayat yang menjelaskan tentang jiwa yang bermakna insan. Sedangkan badan adalah sarana dan menjadi pijakan jiwa. Badan manusia mengikat dan menahan jiwa. Adapun ruh adalah jism yang tidak telihat yang masuk kedalam tubuh, menyusup di semua bagian tubuh, berjalan di setiap bagian-bagiannya bagaikan mengalirnya air yang kekal dari awal kehidupan sampai akhir.

Sehingga hubungan ruh dan badan, menurut Nidzam, adalah hubungan yang saling mempengaruhi. Dengan arti, ruh mengikat seluruh badan dan bersemayam di dalamnya sebagai operator yang mengerakan badan, bukan sebagai perasa atau penemu. Sedangkan panca indra hanyalah urat-urat yang memasukan sesuatu kedalam ruh. Kemampuan mengetahui bukanlah tugas ruh. Hal itu merupakan kehendak Allah dengan menciptakan panca indra kepada manusia.[9]

Ibnu Hazm menguatkan kebenaran kedua pendapat itu, karena bertendensikan ayat-ayat al-Quran. Dia berkata, “Dua pendapat ini benar, tidak ada yang lebih utama dan tidak diperbolehkan memperdebatkannya. Hal ini dikarenakan kedua pendapat tersebut bersumber dari Allah SWT. Sedangkan apa yang bersumber dari Allah, tidak ada perbedaan.”[10] Allah berfirman,

“Kalau kiranya Al Qur‘an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Al-Nisa’: 82).

Dengan adanya beberapa ayat, jelaslah bahwa manusia adalah jiwa, bukan jasad atau berupa jasad, bukan jiwa dan juga kedua-duanya. Dalam hal ini Ibnu Hazm berpendapat, “Yang disebut sebagai manusia adalah jiwa, bukan tubuh. Bisa juga sebagai sebutan bagi tubuh, bukan jiwa atau kedua-duanya.” Dalam pendapatnya, Ibnu Hazm mengutip teks-teks al-Qur’an dan mengaitkannya dengan jiwa dan jasad dengan benar dan tidak mentakawilkan dengan penakwilan yang keluar dari maknanya.

Ibnu Hazm berusaha mengambil setiap teks-teks al-Qur’an secara global dan berusaha tidak asal-asalan dalam mencocokkannya, yang bisa keluar dari arti yang dimaksudkan. Dia membuktikan kebenaran pendapat tersebut dengan kaidah bahasa. Dia mengatakan, bahwa kita mengatakan yang hidup adalah manusia yang mempunyai jasad dan jiwa. Seperti halnya orang mati yang hanya mempunyai tubuh. Sebelum hari kiamat, tubuh manusia akan disiksa dan jiwa akan merasakan kenikmatan, bukan jasad.[11]

Ibnu Hazm menentang pendapat yang mengatakan, yang dinamakan manusia adalah ruh dan tubuh. Penentangan ini disebabkan karena manusia dipahami dengan pemahaman yang tidak sesuai teks-teks yang ada dan juga pendapat yang terbatas dan sempit. Dengan arti, menurut Ibnu Hazm, manusia sangat luas dan kompleks dari definisi yang telah dilontarkan oleh para filosof dan kaum intelektual. Pendapat tersebut semata-mata berdasarkan pada konsep yang ada dalam teks keagamaan, realitas bahasa dan pengunaanya secara benar yang bersandarkan pada logika.

Menurut Ibnu Hazm, pemahaman sempurna tentang manusia telah banyak di paparkan oleh para filosof dan psikolog seperti Lasibleh yang dalam konsepsi dan analisisnya tentang manusia, memaparkan adanya tiga dimensi dalam diri manusia.

Pertama dimensi luar (le dehors), yaitu dimensi yang tampak pada manusia yang berupa tubuh. Sehingga insan menerima segi materi yang terlihat secara natural. Inilah pendapat Ibnu Hazm dan al-Juba’i. Dia beranggapan bahwa manusia adalah suatu bentuk yang tersusun. Dengan arti, bentuk yang nampak pada manusia seperti apa yang ditunjukan oleh sebuah bangunan atas susunan tubuh manusia. Ketika muncul pertentangan adanya kemungkinan kemiripan bentuk dan tingkah manusia, Abu Hasyim, putra al-Juba’I, mensyaratkan adanya daging. Ketika dia disanggah bahwa hal itu tidak bisa membedakan manusia dengan hewan, dia tidak mau kembali lagi pada pendapat Aristoteles dalam mendefinisikan manusia dan kemampuan berfikir yang membedakannya dengan hewan. Jika kita memahami semua itu hanya dari segi perkataan yang diucapkan orang yang bisu kita tidak akan memahaminya. Maka pendapat Juba’I dan putranya dalam membatasi dan mempersempit definisi manusia dari salah satu segi dan dimensi-dimensinya merupakan hal yang salah. Adapun yang dapat disimpulkan adalah penjelasan tentang pemikiran para filosof dalam menjelaskan hakikat manusia.

Kedua dimensi batin (le dedons), yaitu dimensi yang ada dalam tubuh manusia yang serupa ruh. Ia merupakan segi imateril pada manusia.

Ketiga dimensi jiwa (le dessus), yaitu dimensi di atas jasad dan ruh. Yakni, badan dan ruh dalam kesatuan, kesempurnaan dan keselarasanya.

Dengan demikian, saya menyimpulkan bahwa pendapat Ibnu Hazm mendahului Lasibleh[12] dalam memahami manusia dan pemikirannya yang sempurna tentang manusia. Sehingga yang dinamakan manusia adalah jasad, ruh dan jiwa. Inilah akhir pendapat Ghazali yang akan diterangkan.

Akan tetapi, ketika jasad telah mati dan kaku, ia tidak akan bergerak kecuali digerakan oleh jiwa, maka kita akan membahas tentang jiwa dan mempelajarinya secara khusus untuk mengetahui dan memahaminya. Jiwa adalah dzat manusia ketika ruh masuk dalam badan, jasad yang mati. Kemudian jasad menjadi jiwa yang hidup, jiwa manusia.

***

Bab II. AN-NAFS (JIWA)

Ketika manusia merupakan jiwa, maka perhatian terhadap manusia itu berarti perhatian terhadap jiwa, dan usaha untuk mengetahuinya dengan cara mempelajarinya, menjelaskan karakternya, akhlaknya, dan keadaan-keadaannya. Khususnya, banyak para pemikir dan filosof mengatakan bahwasanya jiwa adalah manusia, sebagaimana hal itu dijelaskan oleh al-Kindi seorang filosof Arab dalam statemennya: “Apabila seseorang itu mengambil jiwanya dengan filsafat yang mencari tentang kebenaran hakekat, niscaya dia akan tahu substansinya yang hak, yaitu jiwa bukan badan.”

Ibn Sina juga berpendapat, “Bahwasanya jiwa merupakan jati diri manusia. Jiwa adalah jauhar manusia, dan jiwa bukanlah jisim maupun badan.” Pun pendapat ini diikuti oleh an-Nadzam, salah satu tokoh muktazilah dan pengikutnya, bahwasanya manusia adalah jiwa bukan jasad. Muamar bin Amru al-Athor juga mengatakan bahwasanya jiwa merupakan jauhar, dan jiwa adalah manusia.[13]

Begitu pula pendapat Ibn Hazm:”Sesungguhnya jasad merupakan benda mati, dan yang dinamis adalah jiwa, dan jiwa adalah keistimewaan yang membawa akhlak ini.”[14]

Imam Ghozali menegaskan pendapat ini melalui perkataannya: “Sesungguhnya jiwa adalah manusia secara hakekat, sehingga manusia itu di jiwanya bukan di badannya.

Kemudian, al-Ghazali mulai mendefinisikan manusia, bahwasanya: “Ia (manusia) adalah sesuatu yang mempunyai aktifitas, mengingat, menghafal, berfikir, memilih, melihat, dan menerima semua informasi. Jiwa ini mempunyai nama yang khusus menurut semua kaum? Menurut orang sufi dinamakan dengan hati, menurut orang bijak disebut dengan ‘an-nafs an-natiqoh’ (jiwa yang berakal), dan menurut aliran Asy’ari dan para ahli kalam dinamakan ruh atau ‘an-nafs al-mutmainnah’ (jiwa yang tentram). Maka ruh, kalbu, dan jiwa, semuanya adalah nama-nama untuk sesuatu yang sama, yaitu jiwa manusia, yang mana ia adalah tempatnya logika.[15]

Adapun Imam Ibn al-Qayim berpandangan, bahwasanya jiwa adalah dzat dengan totalitasnya, dan jiwa adalah jisim yang berotasi yang berbeda dengan jisim indrawi ini, ia ringan dan mengalir menembus dalam substansi anggota badan. Di dalamnya, jiwa bersirkulasi seperti aliran air dalam “pohon yang hijau”; mengalirnya minyak dalam zaitun; dan api di dalam bara. Maka selagi anggota badan ini masih bisa menerima pengaruh-pengaruh yang mengalir kepadanya, yang timbul dari jisim yang halus ini, ia membaur pada anggota-anggota ini, dan ia memberikan daya melalui pengaruh-pengaruh ini seperti indra dan gerakan yang dikehendaki. Adapun ketika anggota-anggota ini rusak yang dikarenakan campuran-campuran yang tebal itu mendominasi anggota-anggota ini, maka ruh meninggalkan jasad, dan terlepas darinya menuju alam arwah, dan ini seperti yang dinamakan dengan kematian.[16]

Pendapat ini diikuti oleh sebagian kelompok para ahli kalam, dan al-Fahru ar-Razi juga mengambil pendapat ini serta menjadikannya sebagai madzhabnya, dan beliau berkata: “Sesungguhnya pendapat ini merupakan madzhab kuat yang patut direnungkan, karena pendapat ini sangat sesuai dengan apa yang termaktub dalam buku-buku ilahiah seperti perihal kehidupan dan kematian.”

Pemilik buku al-Maqasid berkata dalam hal ini: “Mayoritas mereka sepakat bahwa jiwa merupakan jisim yang berbeda dengan identitas dari jisim yang melahirkan anggota-anggota yang berkilau yang berada di atas, yang ringan yang hidup dengan dzatnya, yang meresap dalam substansi anggota-anggota. Ia berjalan di dalamnya bak mengalirnya air pada alirannya, dan api dalam arang, yang tidak tergantikan lagi tidak terebut. Bersemayamnya jiwa dalam anggota badan merupakan kehidupan, dan beranjaknya jiwa dari anggota badan menuju alam arwah disebut kematian.[17]” Melalui semua ini, kita melihat pentingnya kepedulian pemikir Islam terhadap jiwa serta peran mereka terhadap pengetahuannya, hingga mereka bisa mengetahui manusia dan memahaminya, juga memahami sejatinya manusia dan penciptaannya. Ibn Hazm telah mengungkapkan tentang hal itu: “Lama kupikirkan dalam diriku. Setelah kuyakini, bahwasanya jiwa itu berputar dalam badan dan perasaan yang dinamis yang istimewa yang mengetahui. Sesungguhnya jasad adalah benda mati dan tiada kehidupan, benda keras (jamad) yang tidak mempunyai gerakan kecuali dimotori oleh jiwa.[18]

Ibn Rusd dalam kritikannya terhadap al-Ghazali, beliau mengakui bahwasanya ilmu jiwa (psikologi) merupakan ilmu yang sangat dalam, dan pada waktu yang sama ilmu jiwa adalah ilmu yang mulia, yang tidak bisa dipahami hanya dengan aktifitas perdebatan[19]. Bahkan, sesungguhnya dalam perihal jiwa itu sangat dalam sekali, dan Allah hanya mengkhususkan ilmu jiwa itu kepada ulama yang kuat keilmuannya. Allah Swt berfirman guna menjawab pertanyaan khalayak terkait masalah ini ketika mereka bertanya kepada-Nya mengenai jiwa, bahwasanya pertanyaan ini tidaklah dalam kapasitas mereka. Firman-Nya: Qs Al-Isra: 85:

“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Ibn Rusd di dalam pendapatnya ini tidak menyimpang dengan apa yang dipaparkan oleh Ibn Sina, bahwasanya kebanyakan manusia, bahkan para ulama itu telah mengabaikan tentang pengetahuan jiwa, dengan (meskipun) berargumentasi pada ayat yang sama.[20]

Begitu juga Ibn Taimiah meriwayatkan dalam kumpulan-kumpulan tafsir (majmuah at-tafsir) perihal yang telah dijelaskan di beberapa buku sebelumnya, “Wahai manusia, kenalilah dirimu maka kamu akan mengenal Tuhanmu.”

Jadi mengetahui jiwa dan mempelajarinya termasuk problematika-problematika yang fundamental bagi orang Islam. Realitanya, bahwa penelitian-penelitian orang Islam terhadap jiwa manusia serta perhatian terhadapnya adalah produk natural bagi akidah Islam dari satu sisi, dan filsafat Yunani dari sisi lain, karena akidah Islam dan filsafat Yunani merupakan sumber yang mengilhami orang Islam dalam pandangan mereka, dan yang menyirami pikiran mereka, karena tidak logis apabila pemikiran Islam itu tidak terpengaruh dengan sumber ini atau sumber yang itu. Khususnya, bahwasanya Al-Quran itu banyak memperhatikan tentang jiwa manusia, dan mengingatkan agar merenungkan esensi jiwa secara intens, dimana Allah Swt berfirman:

“Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?” (Qs. Ar-Rum[30]: 8)

“(juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (Qs. Adz-Dzariat[51]: 21)

Allah telah menuntun manusia supaya membuka semua rahasia dirinya serta mendorongnya guna mengetahui perihal dirinya serta memberinya sesuatu yang membuatnya gembira dengan mengetahui sifat-sifat dan karakter jiwanya. Al-Quran juga berbicara mengenai unsur-unsurnya agar kita bisa memahami bagaimana kondisi jiwa dalam keadaan sehat, penyakit-penyakitnya, lurusnya, bengkoknya, dan pada akhirnya agar manusia mempunyai konsep yang komprehensif tentang jiwa bagi dirinya. Maka dari itu, banyak ayat-ayat Al-Quran yang berturut-turut membahas tentang jiwa serta memaparkan karakternya, mengukuhkan eksistensinya, menyebutkan komponen-komponennya, menegaskan kekekalannya, dan Al-Quran juga telah mengkhususkannya dengan amal dan perbuatan, yang mana Allah Ta’ala berfirman:

Qs-Al-Imran[3]: 30:

Artinya: Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang Telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.

Kemudian Allah berbicara tentang karakternya, maka Allah berfirman: Qs. As-Syams[91]:10:

” Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Lalu Allah menyebutkan dorongan-dorongannya, dan kecenderungan-keenderungannya, maka Allah berfirman: Qs. Yusuf[12]: 53:

“Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), Karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha penyanyang.”

Allah juga berfirman: Qs Ar-Rum[30]: 21:

“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.

Dan Allah azza wa jalla berfirman: Qs al-Fajr[89]: 27:

“Hai jiwa yang tenang.”

Inilah garis-garis yang ditampilkan untuk teori yang komprehensif terhadap jiwa manusia sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur’an Al-Karim dan sebagaimana teori yang komprehensif itu dicerminkan dalam pengertian dan kearifan, nurani dan etika, dan kemaksiatan dan takwa, cinta kasih dan rahmat, serta ketenteraman dan ketenangan. Jadi teori ini akan menjadi perbandingan dengan pendapat yang akan diambil oleh filosof Islam, agar kita bisa melihat sejauhmana kedua sisi ini bertemu, dan kita jelaskan sejauhmana perhatian ahli kalam dan filosof Islam terhadap jiwa manusia secara umum.

Sejak dulu kala, para filosof telah memikirkan tentang perihal jiwa, dan di antara mereka ada yang berkata: “Sesungguhnya jiwa adalah intisari rohani yang terus abadi setelah kematian. Di antara mereka juga ada yang berkata bahwasanya jiwa adalah bentuk materi dalam badan; jiwa itu baru dengan badan yang baru, dan rusak dengan kerusakan badan. Adapula di antara para filosof yang bersikap moderat di sela kedua pendapat ini.

Ibn Sina mungkin termasuk di antara para filosof Islam yang banyak memberikan perhatian terhadap perihal jiwa. Beliau juga telah mengarang banyak tulisan dalam hal pengetahuan tentang jiwa; keadaan-keadaannya, kekuatan-kekuatannya, hubungan jiwa dengan badan, esensi jiwa, dan kekekalannya. Misalnya buku as-Syifa, buku an-Najah, buku al-Isyarat, yang mana beliau memprioritaskan terhadap jiwa di dalam tulisan-tulisan tersebut, yang melalui penelitian-penelitian panjang. Banyak informasi-informasi mengenai tabiat jiwa dan keadaan-keadaannya yang ditambahkan dalam tulisan-tulisan tentang jiwa, hingga tulisan tersebut menggabungkan antara sisi medis, fisiologi, psikologi, dan filsafat. Beliau berkata: “Sesungguhnya manusia itu tersusun dari materi dan bentuk, seperti makhluk lainnya. Materi manusia adalah badan, dan bentuknya(suroh) adalah jiwa. Artinya, sesungguhnya jiwa adalah bentuk(suroh) bagi badan, dan jiwa adalah kesempurnaan untuk bentuk natural mekanis yang penting.

Argumentasi-argumentasi Ibn Sina akan penetapan wujud jiwa dimaksudkan untuk menetapkan hakekat yang berbeda dengan tubuh dan memiliki segala perbedaan dengan tubuh.[21] Jadi, pendapat bahwasanya jiwa adalah bentuk bagi tubuh itu tidak benar, karena pendapat ini akan membuat tempat kembali jiwa itu mengikuti tempat kembali badan. Untuk hal itu Ibn Sina berkata: “Wujud jiwa dalam tubuh tidaklah seperti pemaparan (wujud/bentuk) dalam topik pembahasan.”[22]

Mungkin, hal pertama yang menafikan tentang teori tersebut adalah mengenai sifat jiwa yang independen dari tubuh, yang mempunyai kemampuan untuk kekal tanpa jasad; raga membutuhkan jiwa, sedangkan jiwa tidak membutuhkan jasmani. Maka tidaklah mungkin ada tubuh tanpa jiwa, namun boleh jadi ada jiwa tanpa tubuh. Saya tidak akan menunjukkan (menentang) hal ini, bahwasanya jiwa tatkala berpisah dari badan, maka badan akan berubah dan terpasung, sedangkan jiwa yang berpisah akan naik menuju alam yang di atas, jadi jiwa adalah esensi yang tegak dengan dirinya sendiri. Prof. DR. Ibrahim Madzkur berkata: “Kenyataannya, sesungguhnya Ibn Sina tidak orisinal dalam pendapat tentang esensial jiwa, akan tetapi Ibn Sina mengadopsinya dari Plato dan Aflotin dalam pemikiran Yunani.”

Ibn Hazm juga termasuk ahli kalam yang banyak perhatiannya terhadap jiwa manusia, dan ahli kalam yang mengupas secara mendalam akan keutamaan mengetahui jiwa serta memahami karakternya. Ibn Hazm pun merasa puas begitu beliau melewati beberapa peristiwa serta mengetahuinya. Setelah beliau bersemangat baik bagi dirinya maupun dalam meluruskan jiwa, sehingga setiap harapan di arahkan pada jiwa, akhirnya Ibn Hazm pun lega. Bahwasanya jiwa-jiwa yang sakit adalah jiwa yang berlalu tanpa diiringi kebenaran. Karena nafsu-nafsu yang rusak ialah yang menyebarkan kabut terhadap akal-akal, dan yang menghalangi manusia dari pemikiran yang selamat. Ibn Hazm berpandangan, bahwasanya wajib hukumnya memper-hak-an terhadap jiwa-jiwa manusia serta mengoreksinya, karena tugas dari filsafat dan tujuan yang dimaksud dari mempelajarinya itu hanyalah memperbaiki jiwa. Jiwa ini, bukan yang lain, merupakan tujuan dari syariah. Ini adalah kesepakatan dari seluruh ulama dalam filsafat dan juga antar seluruh ulama dalam syariat.[23]

Maka dari itu, Ibn Hazm mempunyai studi-studi dan karangan-karangan dalam bab humanisme, dan pembahasannya tentang jiwa itu dalam buku al-Fashl,[24] dan risalah al-Fusul wa al-Furuq, kemudian tulisannya fi Makrifat an-Nafs bi Ghoiriha wa Jahliha bi Dzatiha, kemudian datang bukunya dalam Mudawat an-Nufus yang merupakan karya matang darinya, dan pengalamannya, pemikirannya, perenungannya, yang disuguhkan oleh Ibn Hazm sebagai hadiah bagi manusia, agar Allah memberikan manfaat dengan buku tersebut terhadap hamba-Nya yang Ia kehendaki, dan menjadi lebih utama dari harta benda yang banyak apabila merenunginya, dan semoga Allah memberi kemudahan dalam memahami serta mengamalkan sesuai buku tersebut.[25]

Ibn Hazm sangat memperhatikan terhadap pentingnya mengetahui jiwa sekaligus mengarahkannya, dan mengoreksinya guna merealisasikan kebaikan dan kebahagiaan dibaliknya. Karena pengetahuan tentang jiwa, itu akan membantu mengetahui hakekat yang sempurna bagi manusia, dan membantu untuk membentuk aturan-aturan (rule’s), pemikiran-pemikiran, perilaku-perilaku, dan perasaan-perasaan yang sesuai dengan hakekat ini, dan yang tidak kontradiksi terhadapnya, tidak saling bertentangan, serta untuk membantu tarbiah terhadap generasi manusia sesuai dengan fitrah yang benar sebagaimana yang diciptakan oleh Allah.

Oleh karena itu, ‘jiwa’ membuat Ibn Hazm gelisah. Beliau masih saja meneliti, mempelajari, merenungkan, dan memikirkan mengenai esensi jiwa dan karakternya. Dalam hal ini beliau berkata: “Wahai jiwa yang mencapai batas yang jauh ini, dan yang mendaki hingga tujuan yang tinggi, dan yang berjalan di jalur-jalur jauh yang menuju ke tempat tinggal yang mulia itu, dan yang begitu susah payah naik menuju pusat orbit yang tinggi itu, pikirkanlah apabila engkau sampai pada tingkatan-tingkatan ini, kemudian menembus tirai-tirai itu, serta diangkat tabir-tabir yang lebat untukmu, sampai dibukakan pintu-pintu yang tertutup dan terkunci bagimu, sehingga engkau dimudahkan memasuki kesempitan-kesempitan yang banyak itu dan diluruhkan keinginan-keinginan yang jauh itu, apakah engkau tahu akan esensi dirimu, dan apakah engkau mengerti dengan sifatmu, dan apakah engkau sudah memahami dirimu itu apa, dan apa esensimu? Apakah engkau terbit dengan membawa sifat-sifatmu, bagaimana engkau membawanya….? Jiwa itu berkata, “Tidak! Aku tidak mengetahui apapun perihal itu.”[26]

Ibn Hazm terkagum-kagum bagaimana bisa jiwa manusia mengetahui segala hal tersebut dengan pengetahuan yang detail, sedangkan jiwa tidak bisa mengetahui esensinya dan tidak mengerti tentang keadaannya. Lalu bagaimana ia membawa sifat-sifatnya; darimana ia datang, darimana ia berbicara, bagaimana ia menggerakkan anggota badan ini. Bagaimana pula jiwa berhubungan dengan jasad yang mati lagi bodoh ini, bagaimana ia mengaliri kehidupan, bagaimana ia menempatinya, dan bagaimana ia meninggalkannya.

Seluruh problematika-problematika ini serta yang lain dipelajari oleh para pemikir Islam, dan mereka juga mencoba menyuguhkan solusi-solusi untuknya. Kini kami akan menampilkan semua hal tersebut secara detail:

1. Definisi an-Nafs (Jiwa)

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, nampak dengan jelas para filosof dan ahli kalam terhadap studi untuk mempelajari jiwa (nafs), dan mereka disibukkan dengan mendefinisikannya setelah mereka mengetahui arti pentingnya, nilainya, dan keilmuannya, dan walaupun demikian jiwa tersebut belum diketahui apapun tentang dzatnya, dan tidak mengenal perihal karakternya, maka mereka mulai mempelajari dan mendefinisikannya. Al-Kindi berkata: “Sesungguhnya jiwa itu sederhana. Ia mempunyai kemuliaan dan kesempurnaan yang agung, esensinya itu berasal dari esensi Allah SWT, seperti analogi pantulan cahaya matahari itu berasal dari matahari.

Begitu juga, menurut al-Kindi, jiwa itu independen dari tubuh, dengan melihat esensi darinya, dan jiwa itu dilindungi dari efek bintang-bintang/planet, dimana planet-planet itu hanya mempengaruhi terhadap hal-hal yang alamiah. Jiwa manusia menurut al-Kindi adalah esensi yang luas lagi kekal, esensi tersebut turun dari alam logika ke alam materi.[27]

Al-Kindi terpengaruh terhadap definisinya dengan pendapat-pendapat plato dan aflotin, dan sajiannya pada tulisan kecilnya yang bernama al-Qaul fi an-Nafs min Kitab Aristo wa Aflaton wa Sair al-Falasifah.

Pengaruh filsafat nampak begitu jelas terhadap al-Farabi, dan khususnya dalam definisinya terhadap jiwa (an-nafs) bahwasanya ia adalah bentuk kesempurnaan dari inti bentuk yang mekanis, yang mempunyai kehidupan melalui sebuah kekuatan. Jiwa menurut al-Farabi merupakan bentuk bagi badan seperti yang dikatakan oleh Aristoteles. Akan tetapi al-Farabi tidak hanya berhenti pada merasakan pentingnya pendapat ini. Kemudian setelah dipastikan al-Farabi merujuk atas pendapat bahwasanya jiwa yang berakal itu adalah esensi manusia, karena esensi manusia itu terdiri dari dua unsur; salah satunya dari ‘alamul amr’ (alam universal) yaitu alam ilahi dan unsur yang lain dari alam indrawi. Beliau menjelaskan hal tersebut dalam kitabnya Ats-tsamrah al-Mardhiah, beliau berkata: ” Engkau tersusun dari dua esensi; salah satunya terbentuk, tergambar, terukur, bergerak, diam, mempunyai jasad, dan terbagi-bagi, sedangkan yang kedua itu berbeda dengan yang pertama dalam sifat-sifat ini, serta tidak sama dalam dzat sebenarnya yang dinalar oleh akal dan yang ditolak oleh akal. Engkau telah dikumpulkan dari alam indrawi dan alam universal karena ruhmu berasal dari Tuhanmu, dan dengan demikian engkau adalah ciptaan Tuhanmu.” Artinya, sesungguhnya jiwa menurut al-Farabi merupakan yang bersifat ruhiah madiah yang terkumpul dari dua unsur, yaitu unsur ruh dan unsur materi. Al-Farabi dalam pendapat ini mendekati gambaran Al-Qur’an jiwa manusia secara umum.

Adapun Ibn Sina sepakat dengan al-Farabi dan al-Kindi dalam perhatian terhadap jiwa, mempelajarinya dan mendefinisikannya. Beliau berkata mengenai hal itu, bahwasanya jiwa merupakan bentuk kesempurnaan inti dari jisim natural yang mekanis dari sisi ia melakukan tindakan-tindakan yang bersumber dari pilihan-pilihan (pen: melalui proses) pikiran dan penggalian pendapat, dan dari sisi memahami persoalan universal.

Ibn Sina mencoba membuktikan wujud jiwa sebelum ia berbicara mengenai sifat-sifatnya, karakternya, dan definisinya. Karena beliau berpendapat, bahwasanya metode yang bagus itu mengharuskan seseorang agar mengawali terlebih dahulu untuk menetapkan sesuatu yang ingin dibicarakan, kemudian baru ia berbicara hal berikutnya.

Oleh karena itu, Ibn Sina mendahulukan argumen-argumen dalam menetapkan wujud jiwa daripada berbicara tentang karakternya. DR. Mahmud Qasim berkata bahwasanya Ibn Sina melalui pembuktian wujud jiwa, beliau ingin menjadikannya sebagai lintasan guna menjelaskan karakter dan perbedaannya dari badan, agar hal tersebut bisa menjadi dalil bahwasanya jiwa itu bukanlah bagian dari badan, yang eksis ketika badan itu ada dan binasa ketika badan itu rusak.[28]

Dalam buku as-Syifa, Ibn Sina menegaskan bahwasanya jiwa adalah esensi yang bersifat ruh natural yang bersemayam di badan guna memonitoring dan mengendalikannya, sebagaimana seorang nahkoda yang berada di sebuah kapal (yang berperan) untuk mengatur masalah kapal dan memperhatikannya.[29] Artinya, sesungguhnya Ibn Sina menemukan definisinya terhadap jiwa, bahwasanya jiwa merupakan bentuk sempurna inti bagi jisim mekanis alami, yang pada kenyataanya tidak bisa memberikan pengetahuan tentang karakternya, karena seseorang akan bertanya-tanya setelahnya, apakah jiwa itu abstrak ataukah konkrit? Oleh karena itu, Ibn Sina menjelaskan pengertian dan definisinya bahwa jiwa adalah esensi abstrak yang independen, yang berhubungan dengan badan agar ia mengatur, memperhatikan, dan merealisasikan bentuk kesempurnaan baginya(badan), yang merupakan bagian dari visi jiwa. Kesempurnaan itu makna sebenarnya berkomitmen terhadap kebaikan-kebaikan serta mempraktekan fadilah yang bagus.

Adapun Ibn Hazm, beliau telah mencoba untuk mendefinisikan jiwa. Beliau mengakui akan jiwa itu, kemudian beliau menyuguhkan empat definisi terhadap jiwa. Dari situ beliau mencoba untuk menjelaskan hakekatny, dan menjelaskan tabiatnya. Definisi-definisi ini terpisah di sejumlah tempat yang berbeda dari buku-bukunya. Ibn Hazm menyebutkan dalam bukunya, al-Fasl, bahwasanya jiwa merupakan jisim yang panjang, lebar dan dalam, yang mempunyai tempat, berakal, dan bisa membedakan yang mengatur badan.[30] Ibn Hazm juga mendefinisikan jiwa dalam kitabnya, at-Taqrib, “Jiwa adalah perasaan yang memahami melalui perantara panca indra.” Beliau juga menegaskan dalam definisinya yang lain, “Jiwa merupakan operator yang membedakan, yang hidup, dan pembawa akhlak.”[31] Kemudian menampilkan definisi keempat yang mana beliau mencoba menggabungkan didalamnya, semua ciri yang beliau sebutkan dalam definisi-definisi sebelumnya guna menjelaskan karakter jiwa dan mendefinisikannya hamper secara komprehensif. Beliau berkata, “Sesungguhnya jiwa adalah yang mengatur tubuh, dan perasaan yang dinamis berakal, dan sedangkan jasad merupakan benda mati yang tidak memiliki kehidupan, dan benda mati yang tidak bergerak melainkan digerakkan oleh jiwa.[32]

Definisi ini terdapat diakhir buku-bukunya yang menunjukkan atas pengertian komprehensif dan hakekat yang jelas menurut Ibn Hazm. Karena definisi yang pertama itu berbicara mengenai jiwa yang dianggap sebagai jisim materialis, yang memiliki panjang, lebar, tinggi, dan mempunyai tempat. Karena jiwa menurut Ibn Hazm itu sesuatu yang diyakini ada, karena tidak sesuatu yang berwujud kecuali mempunyai jisim-jisim dan bentuk-bentuk (al-’arad: al-munawir: 918), dan ketika jiwa itu bukanlah bentuk (al-’arad: al-munawir: 918). Maka jiwa adalah jisim, dan begitu juga jiwa itu berakal sekaligus operator. Inilah visi jiwa, karena logika berfikir dan aturan merupakan hal-hal yang bukan bersifat materi, yang mana tampak di dalamnya sisi logis dengan sisi materi yang natural. Definisi ini juga senada dengan definisi Ibn Hazm tentang manusia, bahwasanya ia adalah tubuh, dan manusia adalah jiwa. Manusia adalah keduanya secara bersamaan sebagaimana yang kita tampilkan sebelumnya.

Definisi yang kedua, itu sesuai dengan pemikiran bahwasanya manusia adalah jiwa perasa yang mempunyai kemampuan untuk memahami. Adapun definisi yang ketiga, dalam definisi ini nampak kekuatan-kekuatan jiwa yang aktif dan logis, yang membawa akhlak. Artinya, dalam definisi ini terlihat ada hubungan antara jiwa dengan akhlak dan perilaku etis. Dari semua definisi-definisi tentang jiwa yang disuguhkan oleh Ibn Hazm ini, kita bisa mengatakan bahwasanya jiwa menurut Ibn Hazm adalah jisim yang mempunyai panjang, lebar dan tinggi. Ini selaras dengan pemikiran, bahwasanya objek ilmu alami adalah jisim (ilmu ath-thobi’i). Jiwa juga logis, berakal, dan mengoperasionalkan tubuh. Jiwa itu sensitif terhadap indra, dan sesungguhnya tubuh merupakan benda mati yang tidak mempunyai gerakan kecuali ia digerakkan oleh jiwa. Jiwa juga yang mengatur dan yang mengoperasionalkan tubuh ini. Semua ini menyilahkan kita bahwasanya jiwa menurut Ibn Hazm itu tergolong dalam cakupan pembahasan-pembahasan ilmu natural (ilmu thobii), materialis, dan realistis. Ini merupakan aliran yang paling dominan bagi para pemikir Islam.

Ibn Hazm mulai menjelaskan definisi-definisi ini, dan berargumentasi dengan argumen-argumen aqli dan naqli untuk menunjukkan kebenarannya.[33] Beliau menuju kepada teks-teks dan sunah nabi, yang mana beliau membentangkan definisi-definisinyanya itu dari teks-teks Al-Qur’an dan sunah tersebut. Beliau ingin membuktikan keabsahan definisi-definisi yang beliau suguhkan melalui argumentasi teks-teks Quran dan sunah nabawi. Maka beliau menyebutkan firman Allah Ta’ala: Qs. Yunus: 30, dan firman Allah ‘azza wajalla: Qs.Ghafir, dan firman Allah Ta’ala: Qs. An-Naml: 111, dan firman Allah Ta’al: Qs. Al-Qiyamah: 2.

Ayat-ayat yang menjelaskan ini, itu menetapkan sifat jiwa yang materialis, dan bahwasanya jiwa itulah yang beraksi, yang bekerja, yang benar dan yang salah, sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat-ayat al-Qur’an. Sesungguhnya jiwa juga bukan jasad, karena jiwa adalah yang menentang, yang berbuat angkara, dan jiwa itu berakal, yang dijadikan objek, dan yang diberi beban (taklif:tuntutan ketaatan). Jiwa juga yang memerintahkan keburukan, dan ia diadzab menurut amal dan perbuatannya. Allah firman: Qs. Al-Imron 169-170.

Ibn Hazm berargumen() melalui firman Allah Ta’ala, guna menunjukkan bahwasanya diantara jiwa-jiwa itu ada yang dilempar ke dalam neraka sebelum hari kiamat, kemudian ia di adzab. Di antara jiwa-jiwa itu ada yang diberi rizki dan menikmati kesenangan(farhan), dan jiwa itu merasakan kebahagiaan sebelum hari kiamat. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Sudah pasti, bahwasanya jasad keluarga fir’aun dan jasa-jasad orang yang terbunuh itu sudah terpotong-terpotong dan musnah. Sebenarnya yang diadzab adalah jiwa yang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan ini merupakan sifat dari jisim, dan bukan sifat dari jauhar.[34]

Kemudian Ibn Hazm membubuhkan hadits dari sunah nabi yang menyepakati pendapatnya. Beliau menyebutkan perkataan Rasulullah Saw tentang “as-syuhada“(mati syahid) bahwasanya Rasulullah melihat arwah para syuhada itu dalam sekumpulan burung yang banyak di surga. Rasulullah saw juga bersabda, bahwasanya beliau melihat jiwa-jiwa(nasam) bani adam(manusia) itu terletak di langit bumi, di sisi kiri dan kanan adam. Maka betul bahwasanya jiwa-jiwa itu terlihat pada tempat-tempatnya. Dengan demikian, jiwa merupakan jisim. Rasulullah mengatakan, bahwasanya jiwa orang mukmin apabila dicabut itu akan diangkat ke langit, dan jiwa itu dibuat seperti itu. Jiwa orang kafir apabila dicabut dibikin seperti ini. Maka benar apabila jiwa-jiwa itu tersiksa, memperoleh kenikmatan, dan berpindah-pindah dari beberapa tempat, dan ini adalah sifat dari jisim.

Artinya, sebenarnya Ibn Hazm mencoba untuk membuat definisinya terhadap jiwa, bahwasanya jiwa adalah jisim yang sesuai dengan teks-teks yang ada dalam al-Quran dan sunah. Untuk itu Ibn Hazm menolak sembilan belas argumen,[35] yang dijadikan sebagai dalil oleh orang yang menentangnya dalam hal bahwasanya jiwa itu bukan jisim. Ibn Hazm akhirnya meyakinkan bahwasanya jiwa itu jisim, untuk menetapkan wujudnya, dan jiwa itu bukan “ard” dan bukan yang bersifat “jauhar” sebagaimana yang dianggap oleh sebagian orang. Akan tetapi jiwa menurut Ibn Hazm adalah jisim yang memiliki panjang, lebar dan tinggi, mempunyai atap, mempunyai garis, bentuk, lebar, dan aturan-aturan yang mengelilinginya, yang mempunyai ruang dan waktu, karena ini adalah ciri khas dari jisim.[36]

Kenyataannya, bahwasanya Ibn Hazm dengan perkataannya ini, beliau telah mengambil madzhab materialis dalam definisinya terhadap jiwa. Andaikata ia berkata bahwasanya jiwa adalah jauhar, niscaya perkatannya tersebut lebih sesuai untuknya. Terlebih lagi ia berpendapat bahwasanya semua jauhar adalah jisim dan semua jisim adalah jauhar, dan keduanya adalah makna yang mempunyai satu arti. Maka dari itu, perkataan Ibn Hazm bahwa jisim adalah jauhar, dan jiwa adalah jisim, maka itu mempunyai arti bahwasanya jiwa adalah jauhar.[37] Sebenarnya hal tersebut lebih mendekati pada karakter jiwa dan definisinya. Hal itu dikarenakan Ibn Hazm berpendapat bahwasanya jiwa adalah ruh, dan sebenarnya jiwa adalah jisim yang mempunyai panjang, lebar, dan tinggi. Maka ruh juga menjadi seperti demikian, dan ini adalah yang kita tidak setujui, karena ruh bukanlah jiwa yang mempunyai dimensi. Pada dasarnya kita tidak mengetahui sedikitpun tentang ruh, maka tidak mungkin kita menginformasikan perihal ruh melalui informasi yang belum kita ketahui. Allah berfirman: Qs. Al-Isra: 85:

“Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.”

Maka Ibn Hazm telah melewati batas teks di sini ketika beliau menjelaskan bahwasanya jiwa merupakan ruh, dan kita berbicara tentang ruh dengan pembicaraan layaknya orang yang berpengetahuan dan amanah.

Ibn Hazm juga berkomitmen dalam berbicara tentang menetapkan wujud jiwa, seperti pembicaraan tentang karakternya sebagaimana Ibn Sina juga berkomitmen seperti itu sebelumnya. Begitu juga kita mengetahui, Ibn Ghozali telah mengambil poin penting dari Ibn Sina dalam usahanya untuk mendefinisikan jiwa hingga beliau membuat kesimpulan bahwasanya jiwa -meskipun ia merupakan bentuk sempurna atau berupa jisim natural yang mempunyai kehidupan dengan sebuah kekuatan- sebenarnya tidak tercetak dalam jisim atau jiwa itu ditopang oleh jisim. Beliau berkata: “Nampak dari sebagian prinsip-prinsip kita yang telah kita tetapkan, bahwasanya jiwa tidak tercetak dalam badan dan tidak berdiri tegak dengan topangan badan.”[38]

Maka, hubungan jiwa dengan badan harus dalam bentuk mengatur dan mengoperasionalkan. Adapun Imam Ibn Qayim beliau mengikuti Ibn Hazm dalam perkataanya tentang jiwa yang berupa jisim. Beliau menegaskan sendiri akan hal tersebut dalam perkataanya: “Muhammad Ibn Hazm serta seluruh tokoh agama yang mengakui hari akhir, itu berpendapat bahwasanya jiwa adalah jisim, dan dengan inilah kami berpendapat.”[39] Ibn Qayim mendefinisikan bahwasanya jiwa adalah jisim lembut, yang bersifat materi dan berkilauan…, yang menembus jauhar anggota badan dan mengalir seumpama aliran air dalam badan pada pohon hijau.[40]

Artinya, sesungguhnya Ibn Qayim itu mengikuti aliran Ibn Hazm yang berpendapat bahwasanya jiwa adalah jisim, dan akan tetapi ibn qayim berkata: “Sesungguhnya jisimnya jiwa itu berbeda dengan jisimnya badan, dan jiwa menurut linguistik bukanlah jisim akan tetapi maksud jisimnya jiwa bahwa jiwa itu mempunyai sifat dan perbuatan yang ditunjukkan oleh syariat, akal, dan indra…. Seperti bergerak, pindah, naik, turun, merasakan siksa dan kesenangan, dan derita…. Karena jiwa itu terpenjara dalam badan, pergi, tercabut, masuk, dan keluar.” Ibn Qayim membubuhkan dalil atas kebenaran pendapatnya, maka beliau menampilkan 116 dalil dalam kitab ar-Ruh terhadap jisimnya jiwa, berargumentasi dengan teks yang ada dalam Quran, sunah nabi dan riwayat-riwayat dari sahabat, dan kira-kira itu ayat yang sama yang dipakai Ibn Hazm dalam argumentasinya yang menunjukkan bahwasanya jiwa adalah jisim. Adapun Ibn Bajah, beliau telah mencoba untuk menggabungkan antara sisi jauhar dan sisi materi dalam definisinya terhadap jiwa, atau antara pendapat plato dan aristoteles. Lalu beliau melihat tentang jiwa, bahwasanya jiwa adalah jauhar sebagaimana yang dikatakan oleh Plato, dan bahwasanya jiwa juga sebuah bentuk sebagaimana pendapat Aristoteles. Kemudian beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa adalah bentuk seperti badan ini.[41] Jiwa adalah jauhar, yang berbeda apabila dilihat esensinya. Jiwa adalah bentuk apabila kita mengategorikan dalam hubungannya dengan badan. Tatkala Ibn Bajah menggeneralisir kata “jauhar” terhadap semua bentuk dan materi, dan sesuatu yang tersusun dari keduanya. Jadi mudah baginya untuk menggabungkan antara jauhar dan bentuk dalam penjelasannya terhadap karakter jiwa. Maka jiwa menurut Ibn Bajah itu berupa jauhar yang berbeda, karena dalam diri manusia terdapat makna yang abadi, yaitu bentuk general manusia yang terealisir dari wujud jiwanya yang berakal, dan apabila jiwa berupa bentuk untuk badan, maka itu disebabkan karena jiwa adalah sumber gerak, indra, dan kehidupan yang dinikmati oleh badan. Badan adalah tempat atau kontruksi dasar yang mungkin bisa menerima seluruh perbuatan-perbuatan ini.[42]

Maka dari seluruh definisi-definisi ini, kita melihat bahwa sebagian para filosof dan ahli kalam berpendapat bahwasanya jiwa itu berupa jauhar, dan sebagian lain menganggap jiwa berupa jisim dan materi, sedangkan golongan yang ketiga menggabungkan kedua pendapat ini.

2. Bukti Eksistensi Nafs (Jiwa)

Problematika ini begitu ramai dalam pemikiran filsafat secara umum, hingga kita melihat sebagian filosof dan ahli kalam menolak existensi jiwa secara total. Sebagian lain berkata: “Saya tidak tahu kecuali apa yang kulihat dengan indra,” dan mereka adalah orang-orang beraliran materialisme yang menolak segala wujud selain jisim. Sebagian lainnya lagi berkata: “Sesungguhnya jiwa berupa bentuk seperti bentuk-bentuk yang lain,” dan mereka semua menyerupai aliran yang meragukan dan menolak terhadap existensi jiwa. Ibn Sina menyebutkan dalam buku Risalah Ma’rifah an-Nafs an-Nathiqoh wa Ahwaliha. Aliran materialis ini yang hanya mempercayai jisim, mereka berkata: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan jiwa adalah sesuatu yang dimaksud oleh setiap orang dengan perkataan “aku”. Ahlul ilmi itu berbeda pendapat mengenai yang dimaksud dari kata ini (”aku”), yaitu badan yang bisa dilihat dan diraba ini, atau yang lain. Kebanyakan orang dan kebanyakan dari ahli kalam mengira bahwa manusia adalah badan ini. Setiap orang yang mengisyaratkan dengan perkataannya: “aku”, ini merupakan persangkaan yang salah.[43]

Maka Ibn Sina menyalahkan perkataan orang yang menolak atau mengingkari existensi jiwa. Beliau berpendapat dalam bukunya al-Isyarat: “Bahawasanya pemahaman manusia sendiri itu tidak memerlukan perantara atau bukti. Pemahaman manusia itu selamanya bukan dengan cara filling dari indra-indra kita atau penalaran-penalaran logis kita, akan tetapi pemahaman manusia itu berupa kesadaran secara langsung melalui intuisi. Kita juga mendapati Ibn Sina menegaskan dalam risalah tentang kekuatan-kekuatan jiwa (al-qawa an-nafsaniah), bahwasanya, “Barang siapa menandai sesuatu sebelum terbukti kematangannya, maka menurut orang-orang bijak ia digololongkan sebagai orang-orang yang menyimpang dari argumentasi yang jelas. Jadi, wajib bagi kita untuk menjadi orang yang bersih dalam menetapkan existensi kekuatan jiwa sebelum memulai memetakan dan menjelaskan bagian-bagian dari kekuatan jiwa tersebut.[44]

Dengan demikian, Ibn Sina merupakan salah satu dari para filosof yang berpendapat bahwasanya existensi jiwa itu sangat jelas dimana tidak membutuhkan sebuah penetapan atau dalil. Akan tetapi yang membuat Ibn Sina menampilkan argumen-argumen yang menunjukkan terhadap existensi jiwa adalah, bahwasanya metode Ibn Sina menuntut agar seorang peneliti mengawali dengan menetapkan existensi jiwa sebelum berbicara tentang potensi serta karakternya, dan juga untuk menolak anggapan orang yang mengingkari existensi jiwa.

Ibn Hazm sebagai orang yang terakhir, berkomitmen dengan metode yang sama, maka beliau pada awalnya menampilkan pendapat orang yang mengingkari existensi jiwa, dalam bukunya al-Fasl, semisal Abu Bakar bin Kisan al-Ashom atau orang yang menganggap bahwasanya jiwa merupakan bentuk (ard). Seperti al-’Alaf atau pendapat al-Baqilani bahwasanya jiwa adalah nafas, yang berarti hembusan nafas yang keluar masuk melalui pernapasan. Ibn Hazm menjelaskan pendapat-pendapat mereka yang salah, dan menerangkan bahwasanya perkataan al-’Ashom itu kontra dengan dalil ‘aql dan naql.

Adapun naql itu dari firman Allah swt: Qs. Al-An’am :93. Maka benar, bahwa jiwa itu ada, dan jiwa bukanlah jasad. Jiwa keluar dari badan tatkala mati.

Ibn Hazm meyakinkan akan existensi jiwa melalui nash syariat, kemudian beliau menambahkan dengan argumentasi logis (dalil ‘aqli). Beliau berkata: “Adapun dalil ‘aqli, sesungguhnya kami melihat apabila seseorang ingin membersihkan akal dan membenarkan pendapatnya, atau memecahkan masalah yang rumit yang dibalik pikirannya dan mengkhususkan dirinya, serta memisahkan dirinya dari indra-indra jasadnya, dan secara total tidak menggunakan badannya dan terlepas dari badannya hingga ia tidak melihat orang yang mendatanginya, dan tidak mendengar apa yang dikatakan didepannya, maka ketika itu pendapat dan pikirannya itu menjadi lebih bersih yang sebelumnya kotor. Adapun pikiran dan ingatan itu bukanlah untuk jasad yang menjauhinya tatkala menghendaki pikiran dan ingatan.

Kemudian Ibn Hazm memberikan argumentasi lain, bahwasanya yang dilihat oleh orang tatkala sedang tidur, itu benar-benar diluar kehendaknya. Itu hanya ketika jiwa meninggalkan jasad, dan tinggalah jasad seperti tubuh orang mati dan kebekuannya. Ketika itu, ia melihat dalam mimpi-mimpinya, mendengar, berbicara dan mengingat, dan menjadi tidak berfungsi aktifitas penglihatannya, aktifitas pendengaran jasmaninya, aktifitas penciuman badannya, dan aktifitas pengucapan fisiknya, maka pasti bahwasanya yang menggerakkan, yang melihat, yang mendengar, yang berbicara, yang merasa, itu adalah sesuatu selain jasad, maka tepatlah kalau ia dinamakan jiwa.[45]

Kita juga menjumpai al-Ghazali mengambil dari dalil naqli sebagai hujjah untuk menunjukkan existensi jiwa. Beliau berkata, bahwasanya syariat itu selalu mengajak jiwa-jiwa dan memberitahukannya tentang siksa terhadap jiwa yang bersalah dan ganjaran bagi yang taat. Jelas sekali, bahwasanya badan itu bukanlah yang dimaksud dengan hukuman ini, namun ganjaran itu hanya ditujukan kepada jiwa. Ini saya tambahkan, bahwasanya ada bermacam-macam siksa yang khusus bagi jiwa, bukan yang lain. Oleh karena itu, apabila syariat itu berbicara tentang jiwa dan mengingatkannya dari kehinaan atau keburukan, dan menakut-nakutinya dengan siksa, itu merupakan sebuah bukti bahwasanya jiwa adalah jauhar yang ada tentunya. Al-Ghazali menyebutkan, yaitu dalam hal argumen ini: “Maka semua ajaran-ajaran syariat itu menunjukkan bahwasanya jiwa adalah jauhar, dan sesungguhnya rasa sakit itu meskipun berada dalam badan, maka itu hanya untuk jiwa, kemudian jiwa itu mempunyai azab lain yang khusus atau hal itu seperti kehinaan, kesedihan, dan sakitnya perpisahan.[46]

Dalil naqli ini sesuai dengan al-Ghazali, Ibn hazm, dan Ibn Qayim, yang berkata: “Sesungguhnya, dalil yang datang dari Al-Quran al-Karim, sunah, perkataan sahabat, dan mayoritas orang-orang berakal menunjukkan bahwasanya jiwa adalah dzat dengan totalitasnya,[47] firman Allah ta’ala: Qs. An-Nur: 61, dan firman Allah ta’ala: Qs. An-Nahl: 111. Maka Ibn Qayim meyakinkan sebagai yang terakhir tentang wujud jiwa, dan sesungguhnya jiwa adalah zat manusia seperti yang dikabarkan oleh nash. Ibn Hazm tidak mengeritik tentang existensi jiwa, namun beliau menerima existensi jiwa sebagaimana yang dikabarkan oleh nash.

Sebagaimana yang engkau lihat, Ibn Mulka Abu al-Barakat al-Baghdadi berkata dalam hal ini: “Sesungguhnya manusia meskipun tidak perlu dalam menetapkan existensi jiwanya sendiri, namun dengan kemampuannya itu akan terealisir dari wujud ini apabila ia mengira-ngira atau menghayal bahwa indra dan akalnya itu disfungsi secara total. Maka sesungguhnya ia tidak akan meragukan bahwa wujudnya benar-benar ada melalui proses ini. Tidak ada satupun dari manusia merasa membutuhkan dalil dalam menetapkan wujud jiwanya. Siapa orang yang meragukan bahwa ia ada hingga merasa jelas dengan sebuah hujjah, maka ia merasa yakin dengan hal tersebut. Tidak ada bagi siapapun dari manusia yang lebih jelas dari pada itu, yang saya maksud adalah yang lebih jelas dari existensi zatnya. Manusia juga tidak perlu menjelaskan bagi dirinya sendiri, bahwa orang lain itu mempunyai jiwa atau zat atau jati diri.[48]

Pengetahuan ini menurut Ibn al-Mulka dinamakan sebagai pengetahuan tanpa pembeda. Namun Ibn Mulka member komentar, bahwasanya hal paling penting yang membedakan pengetahuan ini adalah bahwasanya pengetahuan ini tersebut merambah pada semua pengetahuan-pengetahuannya.

Para filosof dan ahli kalam (mutakalim) itu mereka mulai menerima akan existensi jiwa, dan mereka tidak mengadu dalam existensi ini seperti yang dilakukan oleh yang lain. Maka dari itu, jiwa bagi mereka adalah yang exis, realistis, dan yang dapat diterima. Ini sejalan dengan aliran madzhab mereka secara umum. Mereka tidak meragukan pada awalnya, pada existensi jiwa seperti yang dilakukan oleh Dekart dan lainnya, akan tetapi mereka memulai dengan pemikiran dan keyakinan, yang itu merupakan aktifitas jiwa. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Lama kuberfikir dalam jiwa setelah keyakinanku, bahwasanya jiwa adalah pemilik pikiran ini.”[49]

Dekart berkata: “Sekarang akan kubutakan mataku, kutulikan pendengaranku, dan akan aku non aktifkan semua indraku, bahkan kuhapus semua gambaran-gambaran jasmani dari khayalanku. Namun aku tidak bisa melepaskan diri dari pikiranku atau terlepas dari memikirkan diriku.”

Ibn Hazm memulai dengan pikiran dan keyakinan yang itu merupakan karakter perbuatan jiwa, maka nyatalah existensi jiwa secara yakin… Dalam konteks ini, lebih dahulu menjadi seorang filosof yang besar pada era modren ini. Ibn Hazm berkata: “Apabila ia ingin membersihkan akalnya atau membenarkan pendapatnya atau memecahkan masalah yang sukar yang terlintas dalam pikirannya, dan membebaskan dirinya dari indra-indra jasadnya serta tidak memfungsikan jasadnya secara total, dan ia terbebas dari jasadnya hingga ia tidak melihat orang yang mendatanginya dan tidak mendengar apa yang dikatakan dihadapannya, maka sebagaimana yang dijelaskan bahwasanya pikiran dan pendapat bukanlah perbuatan tubuh yang tidak ada jiwanya ketika menghendaki kedua perbuatan tersebut, yaitu pikiran dan dzikir.[50] Akan tetapi ia adalah perbuatan jiwa yang ada, dimana indra dan tubuh tidak memiliki pengaruh pada sesuatu yang kita sebutkan.”[51]

Pendapat ini, pun dikatakan oleh Ibn Mulkan setelah ini: “Sesungguhnya engkau apabila menjauhi seorang manusia yang sedang menyendiri dengan jiwa(diri)nya dari semua yang dilihat, didengar, dan yang dipikirkan dari pikiran-pikiran, maka perasaannya sendiri dengan jiwanya itu sudah ada dan yang mengelilinginya serta tidak pernah pergi darinya… Maka perasaan manusia dengan dirinya itu lebih dulu ada daripada perasaanya terhadap orang lain, dan pengetahuannya yang sempurna tentang jiwanya itu datang lebih akhir daripada pengetahuannya terhadap banyak hal. Maka Ibn Mulkan berpandangan, bahwa wujud manusia itu tidak memerlukan dalil aqli, karena wujudnya itu berupa perasaan yang jelas dan pasti serta tidak memerlukan argumentasi.”[52]

Kita juga menemukan Ibn al-’Airi, dalam hal ini ia berkata: “Ada beberapa hal yang bisa diterima tentang hakekat wujud jiwa, dan wujud jiwa adalah sesuatu yang fitrah, yang tidak membutuhkan dalil. Akan tetapi dalil wujud jiwa tersebut jelas dari nama an-nafs. Sesungguhnya nama itu menunjukkan kepada yang dinamai, sebagaimana yang dikatakan Aristoteles: “Apabila seorang manusia itu berakal, mengetahui, berfikir, memahami, dan manusia melakukan yang tidak bisa dilakukan oleh hewan, dimana ia (manusia) apabila ditinggalkann oleh jiwa, maka semua perbuatan tersebut tidak akan ada. Dari situ terlihat bahwasanya perbuatan-perbuatan itu disebabkan oleh jiwanya tadi.”[53]

Artinya, sesungguhnya Ibn al-’Airi juga berpendapat, bahwasanya existensi jiwa itu jelas, pasti, dan fitrah, tidak membutuhkan kepada dalil. Ibn Bajah yang terakhir mengikuti pendapat ini, dan beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa tergolong dari hal-hal yang dzohir, yang ada, dan mencari klarifikasi wujud jiwa itu seperti wujud karakter, dan orang yang melakukan hal itu tidak akan tahu perbedaan antara yang dikenal dengan jiwanya (ma’lum binafsihi) dan yang dikenal oleh selain jiwanya (ma’lum bighoirihi).[54] Hanya saja, kami mendapatinya menyuguhkan argumentasi terhadap wujud jiwa sebagai jauhar, yang berbeda dengan jauharnya badan dengan argumentasi-argumentasi yang ia tentukan, yang disebutkan oleh Ibn Sina, walaupun Ibn Bajah tidak menyebutkannya secara transparan. Ibn Sina menyuguhkan banyak argumentasi2 untuk menetapkan wujud jiw, dan argumentasi tersebut itu menjelaskan perbedaan jiwa dengan badan. Prof. Ibrahim Madzkur berkata: “Sesungguhnya usaha(eksperimen) Ibn Sina itu bukanlah yang pertama dalam sejarah filsafat, hanya saja eksperimen Ibn Sina tersebut mempunyai kelebihan dari sebelumnya dengan lebih mencakup, detail, dan lebih mendalam.” Dalam hal itu Ibn al-Airi berkata: “Kita telah melihat percobaan-percobaan (usaha-usaha) dalam menetapkan wujud jiwa, baik yang klasik maupun yang moderat, dan tidak kita sangka di antara usaha-usaha itu ada satu eksperimen yang mirip dengan argumentasi Ibn Sina dalam memahami jiwa dan macam-macamnya.”[55]

Ibn Sina telah menyebutkan banyak argumen dalam menetapkan wujud jiwa, yaitu:

1. Argumentasi natural psikologi

2. Integrasi keakuan(ego) dan integrasi fenomena kejiwaan

3. Argumentasi kontinuitas dan argumentasi seorang laki-laki yang terbang dan tergantung di langit

Ibn Bajah mengambil argumen-argumen ini sebagai pendapatnya untuk menetapkan wujud jiwa manusia, dan meskipun ia tidak menyebutkan bahwasanya yang tersebut adalah argumen Ibn Sina. Ibn Bajah berbicara tentang argumentasi alami(thobi’i), dan begitu juga argumentasi psikologi yang berbicara tentang keadaan-keadaan jiwa dan emosional-emosiaonalnya. Ibn bajah juga menyebutkan argumentasi kontinuitas yang menegaskan bahwasanya tubuh(jisim) adalah yang berganti-ganti, berubah-ubah, dan mengalami kerusakan dan musnah. Adapun jiwa itu kekal dan tidak mengalami kerusakan. Begitu juga argumentasi tentang seorang laki-laki yang terbang itu ditampilkan oleh Ibn Bajah dalam gaya baru.

Beginilah kita bisa melihat bahwasanya menetapkan wujud jiwa itu termasuk permasalahan yang sangat penting yang di stimulasi(atsaar) oleh pemikiran filsafat. Meskipun banyak dari para filosof Islam menerima akan eksistensi jiwa secara wujud intuisi yang pasti dan jelas tanpa memerlukan argumen-argumen logis, hanya saja kita melihat sebagian orang menyebutkan dalil-dalil naqli dan aqli untuk menetapkan eksistensi jiwa terhadap orang yang dihinggapi keraguan dalam eksistensi jiwa.

Dalam hal ini Ibn Bajah berkata: “Sesungguhnya kita melihat, orang yang rusak jasadnya dan kontruksinya, dan meskipun demikian ia mempunyai pikiran, logika yang kuat, tamyiz(kemampuan berfikir), berakal, dan bijaksana. Maka, ini merupakan bukti bahwasanya yang memahami sesuatu adalah yang bersifat efektif, bisa membedakan, dan hidup. Ia sesuatu selain tubuh, dan sesuatu itu adalah jiwa yang terus eksis.

Ibn Hazm di sini menjadikan pemahaman akal dan proses logika sebagai dalil terhadap eksistensi jiwa sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Sina sebelumnya, dan meskipun Ibn Sina telah memfokuskan dalam membedakan antara perbuatan-perbuatan manusia dan yang lainnya seperti macam-macam hewan. Sesungguhnya manusia adalah yang memahami makna-makna global yang bersih dari semua karakter indrawi.

Imam Ghazali juga mengambil argumentasi ini untuk menetapkan eksistensi jiwa.[56] Sebagaimana beliau mengambil argumentasi kontinuitas, yaitu kontinuitas eksistensi jiwa meskipun keadaan-keadaan badan berubah-ubah. Al-Ghazali dalam hal ini berkata: “Sesungguhnya engkau mengetahui, bahwasanya jiwamu semenjak engkau dulu belum berubah-ubah, dan sudah diketahui bahwasanya badan dan semua sifat-sifatnya itu berubah-ubah. Karena apabila sifat-sifat badan itu tidak berubah-ubah, niscaya ia tidak akan mengonsumsi makanan, karena mengonsumsi makanan itu agar bisa menggantikan apa yang berubah dari badan. Jadi, jiwamu tidak ada kaitannya dengan badan dan sifat-sifatnya.”[57] Argumen yang sama ini, itu telah dikatakan oleh Ibn Sina sebelum al-Ghazali.

Begitu juga Ibn Hazm menggunakan pendapat ini untuk berargumen terhadap eksistensi jiwa, dan beliau berkata: “Kita juga melihat, bahwasanya anggota badan itu akan hilang satu persatu dengan terpotong dan rusak, dan potensi-potensi itu akan tetap kekal, serta pikiran, tindakan(tadbiyr), dan logika itu lebih menjadi terisi. Maka sudah pasti benar, bahwasanya yang mempunyai efektifitas, yang mengetahui, yang mengingat, yang memenej, yang berkehendak adalah jiwa. Jiwa bukanlah jasad, karena jasad adalah benda mati.[58] Ibn Hazm berpendapat, bahwa jasad bisa berubah-ubah dan rusak. Akan tetapi jiwa itu tetap kontinu, tidak berganti-ganti dengan perubahan-perubahan tubuh. Akan tetapi jiwa itu melakukan perbuatan-perbuatannya, dan tugas-tugasnya, jauh dari jasad, maka benar bahwasanya jiwa itu eksis karena eksistensi perbuatan-perbuatan yang menunjukkan kewujudannya ini.

Argumen ini, itu menetapkan eksistensi jiwa dan memberikan bukti bahwasanya karakter jiwa itu berbeda dengan karakter badan.

Ibn Hazm menambahkan sebuah argumen lain dari argumen-argumen yang tadi. Ia menunjukkan atas eksistensi jiwa, yaitu etika jiwa (akhlak nafs), dan itu mirip dengan sesuatu yang diistilahkan oleh Ibn Sina sebelumnya dengan nama argumentasi al-af’al al-wahdaniah (perbuatan-perbuatan yang bersifat tunggal).[59] Ibn Hazm berkata: “Di antara al-af’al al-wahdaniah(perbuatan-perbuatan yang bersifat tunggal) adalah etika jiwa, kebijaksanaan, kesabaran, kedengkian, logika, kecerobohan, ketakutan, berwawasan, juga kebodohan, dan semua ini tidak ada kaitannya dengan anggota badan. Apabila tidak ada keraguan dalam hal tersebut, maka semua hal itu hanyalah untuk jiwa yang mengatur jasad.”[60]

Maka Ibn Hazm menetapkan eksistensi jiwa dengan eksistensi akhlak yang menunjukkannya. Beliau pun berkata: “Sesungguhnya akhlak itu dibawa dalam jiwa.” Sesuatu yang dibawa itu tidak akan pernah ada kecuali yang membawanya, maka jiwa harus eksis karena adanya akhlak ini.

Dari sini tampak secara jelas keterkaitan akhlak dengan jiwa menurut Ibn Hazm, dan itu seperti yang kita perhatikan, serta yang ditegaskan dalam tulisan dan karangan-karangan Ibn Hazm, dan sesuatu yang akan kita coba mengungkapnya dalam buku ini melalui izin Allah dalam koridor filsafat humanisme. Maka dari itu, penting bagi kita sekarang untuk menampilkan karakter jiwa seta menjelaskan ciri-cirinya yang penting dan keistimewan-keistimewaannya.

3. Karakter Nafs (Jiwa)

Dari semua yang ditampilkan dan dijelaskan tadi, dari definisi-definisi yang disuguhkan oleh para filosof dan ahli kalam terhadap jiwa, dan juga semua argumen-argumen yang mereka pakai dalam berhujjah terhadap wujud jiwa, melewati semua hal tersebut Anda bisa untuk menyelami karakter jiwa serta ciri-ciri jiwa yang penting.

Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan al-Ghozali berpendapat bahwasanya jiwa adalah jauhar, atau jiwa adalah dzat yang bersifat ruh yang tercurah dari alam yang paling tinggi(alamal a’la) atas badan, dan jiwa itu menghasilkan kehidupan, gerak, keilmuan dan pengetahuan-pengetahuan hingga menjadi sempurna.

Definisi-defisnis dan argumen-argumen mereka menegaskan bahwasanya jauhar jiwa itu berbeda dengan badan, dan pendapat mereka ini disepakati oleh filosof etik Ibn Maskawaih, ketika beliau berkata: “Sesunggahnya jiwa adalah jauhar yang luas, ia tidak teraba dengan indra-indra, yang bisa dirasakan eksistensi dzatnya, dan bisa diketahui bahwa jiwa itu beraktifitas.

Adapun Ibn Hazm, beliau berkata bahwa jiwa adalah jisim yang pasti mempunyai karakter, dan sesungguhnya jiwa itu yang mengetahui, yang berbuat, dan bersifat perasa yang tidak tersentuh (dengan indra), yang mengingat, yang mengatur, yang berfikir, yang hidup, yang lembut dan sangat lembut, dan sesungguhnya jiwa itu membawa sifat-sifatnya (lamma mulah: bukan sifat-sifat itu yang membawanya).

Ini merupakan ciri khas jiwa dan batasan-batasan yang membedakannya dengan seluruh jisim yang tersusun dengan segala bentuk-bentuknya seperti kemulian-kemuliaan dan kehinaan-kehinaan yang dibawanya(bentuk itu).[61]

Ibn Hazm berbicara tentang karakter jiwa dan menjelaskan cirri-ciri dan tanda-tandanya yang penting yang membedakannya dengan seluruh jisim, karena jiwa adalah jisim dan bukan jauhar.

Adapun Ibn Bajah berkata: “Sesungguhnya jiwa adalah jauhar dan bentuk dalam waktu yang sama, dan jiwa adalah jauhar yang berbeda dengan bentuk/jisim (ard), apabila kita melihat pada tataran esensinya, dan jiwa adalah bentuk (surah) apabila kita beranggapan akan hubungan jiwa dengan jisism.[62]

Begitu juga Ibn Rusd, ia berpandangan bahwa jiwa manusia adalah jauhar yang independen. Dalam waktu yang sama jiwa adalah bentuk bagi badan yang menempatinya karena hikmah Ilahi, dan meskipun demikian jiwa itu mempunyai ruh yang tidak bersifat jisim. Artinya, sesungguhnya Ibn Rusd melihat jiwa itu sebagai dzat yang independen yang mengatur jisim(badan), dan dalam waktu yang sama jiwa merupakan bentuk badan, karena badan itu tidak akan ada kecuali dengan jiwa, maka penyatuan jiwa dengan badan itu tidak bersifat penyatuan bentuk, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Sina dan penyatuan tersebut tidak bersifat jauhar sebagaimana yang dikatakan oleh aristoteles, akan tetapi ia adalah penyatuan dari jenis lain sesuai kehendak(pertolongan) Tuhan.[63]

Adapun al-Ghazali, meskipun beliau mengeritik para filosof dan menjelaskan rusaknya pendapat-pendapat mereka, namun beliau memakai teori mereka dalam memaparkan atau mengeluarkan interpretasi tentang khuduts(kejadian) jiwa, dan penjelasan tentang karakternya. Jiwa menurut al-Ghazali di tengah-tengah antara dua alam: yaitu alam hak(kebenaran) dan alam al-amr, alam indra atau badan. Apabila ini merupakan karakternya, maka jiwa harus mencakup dua kekuatan. Adapun kekuatan pertama, yaitu kekuatan yang digunakan jiwa untuk menuju alam malakut agar jiwa bisa mendapatkan curahan hakekat-hakekat dan pengetahuan-pengetahuan darinya(alam malakut), dan kekuatan yang kedua, menuju kepada badan agar jiwa itu bisa memenejnya(badan), dan mengoperasionalkannya, dan dengan jiwalah manusia bisa memahami kebaikan dan keburukan, dan al-Ghazali menamakan kekuatan ini dengan nama logika praksis(al-’aqli al-’amali), seperti yang kita sebut pada kekuatan yang pertama dengan nama logika teoritis.

Adapun al-Fahru ar-Razi berpendapat, bahwasanya jiwa adalah jauhar yang independen, berbeda dengan jisim, dan jiwa itu bersih, maka jiwa itu bukanlah jisim, dan jiwa itu tidak terbentuk dalam jisim.[64]

Meskipun para filosof sepakat bahwasanya jiwa adalah jauhar, hanya saja kami mendapati para ahli kalam itu lebih condong pada pendapat bahwa jiwa adalah jisim. Namun demikian, kita mendapati bahwa semuanya (para filosof dan ahli kalam) itu tidak banyak berbeda pendapat sekitar perbedaan jiwa dan perbuatan-perbuatannya…. Ibn Hazm menegaskan, bahwa diantara karakter jiwa adalah perbuatan, dan perbuatan merupakan aktifitas jiwa, karena apabila perbuatan itu dari jasad niscaya perbuatan tersebut bersifat kontinuitas, dan kehidupannya itu berkelanjutan dalam keadaan tidurnya, dan kami melihat badan itu selamat yang tidak terkurangi apapun dari anggota badannya, dan semua perbuatan-perbuatan badan itu nganggur secara total. Jadi benar, bahwa perbuatan dan pikiran itu bersumber dari selain jasad, akan tetapi perbuatan tersebut dari jiwa yang berbeda dengan jasad. Artinya, sesungguhnya Ibn Hazm juga berpendapat bahwa jiwa itu berbeda dengan badan dan ia tidak tercetak di dalam badan. Maka Ibn Hazm menegaskan, bahwa jiwa adalah yang efektif, yang mengingat, dan yang mengetahui, dan bahwasanya anggota badan itu mungkin bisa terpotong dan menjadi rusak, sedangkan kekuatan-kekuatan itu tetap menurut ukurannya, maka benar yang efektif, yang mengetahui, yang mengingat, yang berkehendak adalah selain jasad, akan tetapi ia adalah jiwa yang di antara ciri-cirinya yang paling penting adalah logika dan pikiran.

Ibn Hazm juga berpendapat, bahwasanya jiwa adalah perasa bukan yang dirasa, dan jiwa adalah yang mengetahui jiwanya sendiri dan yang lainnya, dan jiwa itu menerima kepada bentuk-bentuknya yang beriringan dengannya seperti keutamaan-keutamaan dan kehinaan-kehinaan yang diketahui oleh logika.

Ibn Hazm menjelaskan bahwa diantara karakter jiwa adalah efektif, ilmu, perasaan, pikiran, dan begitu juga akhlak yang merupakan tabiatnya, dan ia juga yang dinamis dengan ikhtiarnya yang menggerakkan seluruh badan, dan jiwa itu yang mempengaruhi badan, dan jiwalah yang merasakan sakit, bahagia, sedih, marah, ridho, mengetahui, bodoh, mencintai, membenci, mengingat dan melupakan.[65]

Artinya, sesungguhnya seluruh perbuatan psikologis dan logika, itu termasuk karakter jiwa dan termasuk tugas jiwa.

Sebelumnya para filosof juga berpendapat seperti itu, dan mereka mendasarkan seluruh perbuatan psikologis dan logis itu kepada jiwa manusia, dan mereka menjadikan hal tersebut sebagai bukti yang menunjukkan eksistensi jiwa. Ibn Sina menetapkan eksistensi jiwa melalui pemahaman logis, dan menggunakan argumen kontinuitas dalam menjelaskan karekter jiwa, dan perbedaanya terhadap karakter badan. Pendapat itu diikuti oleh masing-masing dari imam Ghazali[66] dan imam ar-Razi. Kita juga melihat, Ibn Hazm menegaskan bahwasanya karakter jiwa itu kesederhanaan, yaitu sederhana yang tidak terkonstruktif. Karena, semua yang sederhana itu tidak terkonstruktif dari banyak karakter, maka ia hanya mempunyai satu karakter saja. Sesuatu yang mempunyai satu karakter, maka kekuatan-kekuatannya itu terletak di seluruh bagian-bagiannya, dan kekuatannya sama di setiap bagiannya.

Maka dari itu, tatkala jiwa itu sederhana menurut Ibn Hazm, maka beliau menolak bahwa jiwa itu merupakan leburan, gabungan, yang muncul dari campuran-campuran jisim. Oleh karena itu, beliau menyalahkan pendapat bahwasanya jiwa itu tersusun dari empat unsur yang merupakan konstruksi jasad, yaitu: tanah, air, udara, dan api. Semua unsur itu benda mati menurut karakternya, dan merupakan kesalahan yang harus dicegah, yaitu sesuatu yang mati berkumpul dengan benda mati. Dari benda mati itu muncullah kehidupan, maka salahlah kalau jiwa itu campuran dari benda tersebut. Ibn Hazm juga berpendapat, bahwasanya jiwa itu terkadang menjadi longgar untuk seluruh bagian badan dari sisi luar seumpama pakaian, dan bisa juga jiwa itu yang menengahi seluruh badan dari sisi dalam, ibarat air dalam timba. Bisa juga jiwa itu berada dalam satu tempat dari badan, dan itu adalah hati atau akal, dan kekuatan-kekuatan jiwa itu tersebar di seluruh badan.

Untuk itu, maka badan yang digerakkan oleh jiwa sesuai yang diinginkan jiwa, itu disertai keinginan jiwa untuk melakukannya tanpa aral (bila zaman), seperti jangkauan penglihatan yang tertuju pada kejauhan tanpa ada halangan, dan apabila saraf terputus bagian dari jisim jiwa itu tidak terputus, yang tersebar di anggota badan tersebut. Jika jiwa itu di tengah-tengah di seluruh tubuh dari sisi dalamnya atau melonggari badan dari sisi luarnya, akan tetapi pada saat itu ia meninggalkan anggota badan yang tidak berfungsi indranya, dan jiwa terpisah dari badan tanpa aral. Jiwa yang meninggalkan anggota badan tersebut, itu seperti udara yang hilang pada sebuah bejana ketika dipenuhi dengan air.[67] Ibn Hazm menegaskan, bahwasanya jiwa itu berbeda dengan badan dan jiwa tidak tercetak dalam badan, sehingga jiwa berbeda dengan badan. Sebenarnya jiwa sejak ia menempati badan, seakan-akan jiwa terlempar ke lumpur yang dalam (fi thin mukhamir), sehingga jiwa menjadi lalai karena ia sibuk dengan lumpur yang menempel pada jiwa (kullu ma salafa; semua yang telah lalu). Sebenarnya, tubuh itu menyakiti jiwa dan tubuh adalah sesuatu yang mati lagi bodoh, dan jiwa itu sesuatu yang hidup lagi mengetahui. Dalam pendapat ini, kita melihat dengan jelas terpengaruhnya Ibn Hazm pada plato, dan Ibn Hazm mengutip dari plato tentang pendapat bahwasanya tubuh itu menyakiti jiwa.[68] Sesungguhnya jiwa itu bersemayam dalam badan disertai penegasan Ibn Hazm bahwasanya jiwa adalah jisim dan bukan jauhar, karena tidak ada apapun di alam ini kecuali badan-badan dan bentuk, dan jiwa itu bukan bentuk, jadi jiwa adalah jisim.

Begitu juga kita menemukan bahwa perkataan Ibn Hazm di sini itu mendekati pendapat Ibn Sina bahwasanya jiwa-jiwa itu berada di alam suci yang tinggi(‘alawi), dan sesungguhnya jiwa itu turun dari alam itu dengan perasaan tidak suka, dan sesungguhnya di antara karakter jiwa itu mencoba untuk naik dan menjauhi dari alam indrawi. Semua ini merupakan pengaruh plato, dan ini telah nampak jelas khususnya dalam qasidah Ibn Hazm yang terkenal tentang jiwa(nafs), yang qasidah tersebut diungkapkan oleh Ibn Sina dalam pendapatnya mengenai karakter jiwa. Sesungguhnya hubungan jiwa dengan badan itu membuat jiwa melupakan segala sesuatu yang ia ketahui, dan sesungguhnya hubungan dengan badan itu menyakiti jiwa.

Dalam aliran ini, kami menemukan Ibn Hazm menjelaskan yang terakhir kalinya, bahwasanya jiwa adalah jisim yang tinggi(‘alawi), agar ia menjadi lebih lembut dari pada udara dan lebih mencari ketinggian. Jiwa itu melembutkan badan apabila jiwa menempati badan, karena jiwa adalah lembut dan sangat lembut, yang mengingat, yang berakal, berfikir, dan hidup. Ini merupakan ciri khas jiwa dan batasan-batasan jiwa yang membedakannya dengan seluruh jisim-jisim yang terkonstruksi beserta bentuk-bentuk jisim yang terbawa dari kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan.

Artinya, sesungguhnya jiwa menurut Ibn Hazm adalah jisim yang sederhana, lembut, mengingat, mengetahui, yang mengatur jasad, yang menggerakkan jasad, yang meminta naik atau ingin bebas dari jasad, dan jiwa adalah yang membawa akhlak. Maka itulah karakter-karakter jiwa, dan ciri-ciri yang membedakannya dengan selainnya, seperti jisim-jisim lain yang tersusun. Ibn Hazm senantiasa menegaskan sisi etik bagi jiwa, dan sisi etik adalah penting (syaghlahu shaaghil; yang sedang disibukan oleh orang sibuk). Disini nampak keterkaitan antara pembahasan-pembahasan jiwa dengan pembahasan-pembahasan akhlak, dan itu adalah sesuatu yang kita kompetenkan untuk menjelaskan dan menampakkannya dalam buku ini. Karena jiwa adalah ilmu, amal, dan etika yang mampu untuk memberikan, mencurahkan, dan berkorban.

Maka wajib untuk mengembangkan kemampuan jiwa, dan meningkatkan potensi-potensinya guna merealisasikan kebaikan bagi jiwa dan selainnya, agar manusia itu bisa bahagia dan maju. Semua ini adalah keniscayaan, selagi kita mengetahui karakter jiwa, sifat-sifatnya, ciri-cirinya, dan keistimewaan-keistimewaannya. Jiwa adalah yang mengatur jasad, yang mengarahkan pada sebuah perilaku, yang mengetahui, yang merasa, yang menggerakkan badan. Oleh karena itu, kami akan mencoba untuk menyelami hubungan jiwa dengan badan, dan apakah jiwa itu badan ataukah ruh.

4. Interkoneksitas Antara Jiwa, Ruh, dan Badan.

Sesungguhnya definisi jiwa, penetapan eksistensinya, dan penjelasan tentang karakternya, pada akhirnya akan menjelaskan hubungan antara jiwa, ruh, dan badan. Apakah ketiga hal tersebut sebagai sesuatu yang sama, ataukah masing-masing dari ketiga hal tersebut mempunyai perbedaan esensi dengan yang lain, dan jati diri yang berbeda dengan lainnya. Korelasi ini telah menyibukkan kebanyakan dari para filosof dan para ahli kalam, dan banyak perbedaan sudut pandang tentang korelasi ini, hingga kita temukan al-Asy’ari menyebutkan lima belas aliran dalam pendapat mereka mengenai ruh, jiwa, dan kehidupan, beliau berkata: “Orang-orang berbeda pendapat tentang ruh, jiwa, dan kehidupan. Apakah ruh itu kehidupan atau yang lain, dan apakah ruh itu jisim atau bukan?”[69]

Kami memperhatikan hal tersebut di tengah kita menyebutkan definisi-definisi. Dimana para filosof dan para ahli kalam mencoba untuk mengenali tentang jiwa, serta mendefinisikannya, atau argumen-argumen itu yang diketengahkan oleh para filosof untuk menetapkan eksistensi jiwa, dan bahwasanya jiwa adalah ssuatu selain badan.

Hal tersebut telah menyebabkan munculnya aliran-aliran yang banyak dan berbeda-beda pada mereka(filosof), dan kita bisa memilah tiga aliran yang nyata dalam gambaran mereka tentang jiwa; apakah jiwa itu ruh, dan apa korelasi jiwa dengan badan:

Aliran pertama, yaitu menyerupai golongan yang mengingkari jiwa secara total. Artinya, (aliran ini) mengingkari eksistensi jauhar selain kontruksi ini yang berarti jasad. Ini merupakan pendapat sebuah golongan dari kaum muktazilah yang disebutkan oleh al-Asy-ari dan Ibn Hazm dalam buku-buku mereka. Ttokoh orang-orang yang mengingkari eksistensi jiwa adalah Abu Bakr Abdurrahman bin Qisan al-Ashom yang berkata: “Aku tidak mengenal kecuali sesuatu yang aku saksikan dengan panca indraku,” dan ketika ia belum melihat jiwa melalui indra matanya, maka ia mengingkari eksisteni jiwa. Al-Asyari juga menceritakan bahwasanya al-Ashom itu tidak menetapkan kehidupan dan ruh sebagai sesuatu selain jasad, dan ia berkata: “Aku tidak berfikir kecuali hanya tubuh yang mempunyai panjang, lebar, dan tinggi, yang kulihat dan kusaksikannya.

Al-Ashom pernah berkata: “Jiwa adalah badan ini, bukan yang lain.” Hal ini berlaku bagi jiwa hanya pada sisi penjelasan dan penegasan atas hakekat sesuatu, bukan menunjukkan bahwa jiwa itu adalah sebuah makna selain badan.[70]

Artinya bahwa al-Ashom itu mengingkari eksistensi sesuatu yang bernama jiwa, dan ia berpendapat bahwa ruh adalah jasad.

Begitu juga Abu al-Huzail al-Alaf al-Muktazili mengambil pendapat bahwasanya jiwa adalah bentuk seperti seluruh bentuk bagi jisim.[71]

Al-Asyari menyebutkan tentang Abu al-Huzail, bahwasanya ia pernah berkata: “Jiwa adalah sebuah makna selain ruh, dan ruh bukanlah kehidupan. Kehidupan menurut Abu al-Huzail itu adalah sebuah bentuk, dan sesungguhnya manusia tatkala keadaan tidur yang hilang itu hanyalah jiwa dan ruhnya, bukan kehidupan. Ia berargumentasi guna menegaskan hal tersebut dengan firman Allah azza wajala: Qs. Az-Zumar: 42.

Al-Asyari juga menunjukkan bahwa Ja’far bin Harb itu termasuk orang yang mengatakan bahwasanya jiwa merupakan salah satu bentuk yang ada dalam jisim ini, dan ia adalah salah satu piranti yang dipakai dalam perbuatan seperti kesehatan, keselamatan, dan selainnya. Akan tetapi ia tidak dicirikan dengan suatu sifat dari jauhar-jauhar dan jisim-jisim.

Adapun aliran yang kedua adalah aliran materialis. Ia (aliran ini) adalah aliran materi dalam jiwa manusia. Aliran ini menyerupai pada orang yang mengatakan bahwasanya jiwa adalah jisim, dan ini adalah pendapat kebanyakan dari para ahli kalam seperti an-Nadzom yang mengatakan bahwa jiwa adalah tubuh yang lembut yang berkaitan dengan badan yang memasuki badan.[72] Bahwa ruh adalah jisim sekaligus jiwa, dan an-Nadzom menyangka bahwa ruh itu hidup dengan dirinya sendiri, dan an-Nadzom mengingkari bahwa kehidupan dan kekuatan itu mempunyai arti selain kehidupan yang kuat. Bahwa adanya ruh dalam badan ini, itu pada sisi bahwa badan adalah bencana bagi ruh, dan motifasi untuknya dalam berikhtiar. Apabila badan terlepas dari ruh, niscaya perbuatan-perbuatan itu akan menjadi tereproduksi dan keterpaksaan.[73] Asy-Syahratani menggolongkan aliran an-Nadzom tentang jiwa kepada aliran orang-orang yang mengikuti para filosof klasik Yunani.[74] Umumnya, para ahli kalam Islam mengambil madzhab an-Nadzom dalam jiwa. Al-Amidi berkata, bahwasanya Abu Bakr al-Baqilani itu condong kepada pendapat ini, yang mana ia berkata: “Jiwa adalah ungkapan dari jisim yang lembut, yang mempunyai pertalian dengan jisim yang kasar. Allah telah menggulirkan kebiasaan-kebiasaan melalui kehidupan dalam kekekalannya.”

Al-Jubai juga berpendapat bahwa ruh adalah jisim, dan sesungguhnya jiwa itu selain kehidupan, sedangkan kehidupan adalah bentuk. Artinya, sebenarnya al-Jubai itu menyatukan antara ruh dan jiwa sebagaimana pandangan para ahli kalam, bahwasanya jiwa adalah jisim(tubuh). Imam al-Haramain juga menerima pendapat ini, dan beliau berkata: “Yang paling jelas menurut kami, bahwa ruh yang dimaksud dengan jiwa adalah jisim yang lembut yang mempunyai jalinan dengan jisim indrawi, yang Allah menggulirkan kebiasaan dengan kontinuitas kehidupan tubuh, sebagaimana jalinan badan dengan jiwa iu berkelanjutan. Dengan demikian apabila jiwa itu meninggalkan badan, maka maut akan mengiringi kehidupan dalam kontinuitas kebiasan.”[75] Ibn Hazm sebagai yang terakhir mengambil teori an-Nadzom tentang jiwa:”Bahwa jiwa adalah ruh, dan keduanya merupakan dua nama dengan satu kesamaan. Kedua maknanya adalah sama.[76] Pada dasarnya, jiwa menurut Ibn Hazm adalah jisim yang mempunyai panjang, lebar, ketinggian, yang mempunyi tempat, berakal, berfikir, dan yang mengoperasionalkan badan. Jiwa berbeda dengan badan, yang berarti jasad. Ibn Hazm menegaskan, bahwasanya ini merupakan madzhab ahlul Islam, dan agama-agama yang mengakui adanya hari kiamat.”[77]

Ibn al-Qayim juga berpendapat bahwasanya pandangan mayoritas orang Islam adalah, “Sesungguhnya jiwa dan ruh adalah dua nama dalam satu arti, dan sesungguhnya ini adalah madzhab para sahabat.”[78]

Para para ahli kalam Islam kemungkinan mereka sepakat bahwa sesungguhnya jiwa adalah ruh, dan sesungguhnya jiwa bukanlah badan. Kecuali al-Baqilani dan sebagian pengikut Asyari yang mengatakan bahwa jiwa tidak lain adalah ruh.

Imam Ibn al-Qayim menegaskan bahwa jiwa merupakan jisim, bukan dari persepsi bahasa, akan tetapi maksud dengan kejisimannya jiwa, yakni bahwasanya jiwa itu menerima sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan yang ditunjukkan oleh syariat, akal dan indra seperti pergerakan, perpindahan, naik, turun, merasakan siksa, dan karena jiwa itu terpenjara dalam tubuh.

Adapun aliran yang ketiga, itu menyerupai madzhab ar-Ruhi yang mengatakan bahwasanya jiwa bukanlah jisim, dan bukan pula yang mempunyai panjang, lebar, ketinggian, serta tidak memiliki tempat. Akan tetapi jiwa adalah jauhar yang rohani. Orang Islam yang mengambil pendapat ini (padahal mereka sepakat dengan pemikiran Yunani) adalah Ma’mar salah seorang tokoh muktazilah, dan kebanyakan dari aliran imamiah, serta sebagian kalangan Asyari. Al-Asyari telah menyebutkan cerita tentang al-Hariri dari Ja’far bin Basir, bahwasanya ia pernah berkata, sesungguhnya jiwa adalah jauhar dan bukan jisim ini, dan ia tidak berbentuk jisim.

Di antara para filosof; al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Bajah, dan Ibn Maskawaih berpendapat bahwasanya jiwa adalah jauhar.

Imam al-Ghozali mengikuti mereka dalam pendapat ini. Ia mengatakan, sesungguhnya jiwa adalah jauhar yang independen yang berbeda dengan badan yang ditempatinya, lalu jiwa tersebut menjadi sempurna dan membina badan itu. Artinya jiwa menurut al-Ghazli adalah jauhar rohani yang independen yang tidak berada di bawah indra, dan meskipun wujud indra itu lebih jelas adanya bagi akal. Begitu juga kita menemukan Ibn Rusd mengatakan bahwa jiwa itu mempunyai kedinamisan, yang mengetahui, yang berkemampuan, yang berkehendak, yang mendengar, yang berbicara, dan jiwa adalah jauhar yang berbeda, maksudnya jiwa itu independen dari badan.[79]

Fakhru ar-Razi berakhir pada pendapat ini. Beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa adalah esensi rohani yang tidak bersifat jasmani.[80]

Beginilah kita melihat bahwa sebagian besar mutakalimin (para ahli kalam) itu condong pada pendapat bahwasanya jiwa adalah jisim. Adapun sebagian besar para filosof itu condong pada pendapat mengenai jiwa adalah jauhar.

Ibn Hazm telah menolak pendapat bahwsanya jiwa merupakan jauhar, dan beliau berpendapat bahwa hal tersebut adalah tuduhan tanpa bukti. Untuk itu beliau berargumentasi bahwa jiwa adalah jisim dengan sembilan belas argumen guna mematahkan orang yang beranggapan bahwa jiwa bukan jisim, meskipun pemilik pendapat ini adalah aristoteles sendiri. Ibn Hazm mengatakan: “Sesungguhnya Aristotels tidak menafikan jiwa adalah jisim, namun Aristoteles berpendapat bahwa jiwa itu bukanlah jisim yang kotor, dan dia tidak melarang jiwa itu berupa jisim secara total(alal itlaq).[81]

Kemudian Ibn Hazm memberikan argumen, bahwa jiwa adalah jisim dengan sebuah ilmu yang merupakan bagian dari karakter jiwa, yang mana tidak ada perbedaan bahwa yang diketahui adalah sebagian sifat-sifat jiwa dan ciri khasnya, yang tidak ada kaitannya dengan jasad sama sekali, dan jasad tidak memiliki peran apapun didalamnya.

Maka Ibn Hazm menjelaskan bahwasanya ilmu jiwa(psikologi) itu menetapkan secara pasti bahwa jiwa adalah jisim dan bukan jauhar, karena apabila jiwa itu berupa jauhar niscaya semua orang itu akan sama dalam ilmu, dan ini tidak tampak seperti itu, dimana jiwa-jiwa berbeda-beda dalam kapasitas keilmuannya, dan ilmunya Zaid itu tidak sama dengan ilmu Umar.

Ibn Hazm membubuhkan argumen lain yang menunjukkan bahwa jiwa qdalah jisim, yaitu keterbagian jiwa kepada personaliti yang tidak sama, maka jiwa Zaid berbeda dengan jiwa Umar. Apabila jiwa itu sama tak terbagi, dan jiwa itu berupa jauhar bukan jisim, niscaya jiwanya orang yang mencintai itu menjadi jiwa orang yang membenci sekaligus menjadi jiwa orang yang mencintai, dan jiwa orang yang mencintai itu menjadi jiwa orang yang mulia, bijaksana, pandai, dan jiwa orang yang takut itu menjadi jiwa orang yang ditakuti, dan jiwa orang yang membunuh juga jiwa orang yang dibunuh. Jelas, ini merupakan suatu pendapat yang bodoh. Maka, benar bahwa ia adalah jiwa-jiwa yang berbeda-beda, plural yang mempunyai sifat berbeda yang membawa bentuknya. Jadi jiwa adalah jisim, dan tidak mungkin jiwa menjadi jauhar.[82]

Seorang orientalis Spayol, Gomz Nogalez berkata: “Sesungguhnya Ibn Hazm tidak meninggalkan satu argumen pun dari argumen-argumen tentang menjadikan ruh sebagai jasad, kecuali beliau memaparkan dan menetapkannya bahwa jiwa adalah jisim.[83]

Begitu juga menurut Ibn Hazm jiwa itu bukanlah bentuk, karena jiwa itu yang mengetahui dan yang merasakan, sedangkan bentuk itu tidak mengetahui dan tidak merasakan. Sesungguhnya jiwa itu membawa sifat-sifatnya sendiri dan independen, jadi jiwa mesti berupa jisim, dan Ibn Hazm menolak perkataan bahwa jiwa adalah bentuk. Sebagaimana beliau menolak perkataan bahwasanya jiwa adalah jauhar, pada akhirnya beliau menetapkan bahwa jiwa adalah jisim, dan akan tetapi bukan jasad yang materialis, artinya badan yang berupa benda mati, dan jiwa adalah jisim. Karena, apabila jiwa tidak demikian, niscaya antara orang yang menggerakan kakinya dan antara kemauannya untuk menggerakkan kakinya itu ada jeda (penghalang)pada kemampuan penggerak tubuh dan menyusahkannya, karena jiwa adalah motor bagi jasad, yang berkehendak untuk gerakannya.[84]

Realitanya, bahwa pembicaraan tentang jiwa, ruh, jasad, dan korelasi di antara ketiga tersebut, telah memaparkan beragam pemikiran-pemikiran dan menampakkan problematika-problematika yang tidak sedikit. Maka apakah kalangan filosof dan para ahli kalam itu mampu menyuguhkan kepada kita solusi atas maslah-masalah ini.

Maka orang-orang yang mengingkari eksistensi jiwa, mereka tidak memberikan solusi pada permasalahan ini, karena mereka mengingkari eksistensi jiwa-jiwa mereka sendiri. Oleh karena itu, bagaimana mungkin kita mempercayai pada anggapan-anggapan mereka.

Adapun yang mengatakan bahwa jiwa adalah bentuk, maka jiwa itu sebuah sifat dari beberapa sifat yang dibawa. Bagi jiwa, tentu tidak demikian karena jiwa itu yang membawa bukan yang dibawa, dan jiwa itu yang mengetahui dan yang merasa, dan tidak mungkin bentuk itu tahu dan merasa.

Begitu pula orang yang berpendapat bahwasanya ruh adalah jiwa, dan jiwa adalah jisim. Pendapat ini terkesan banyak kerumitan, yang mana bagaimana mungkin ruh itu berupa jisim. Bagaimana mungkin kita bisa membicarakan ruh, sedang ruh itu tidak diketahui oleh siapapun mengenai sirr-nya, karena ruh termasuk urusan allah.

Sebagaimana orang yang berpendapat bahwasanya jiwa adalah jauhar. Maka arti dari perkataannya itu, bahwasanya jiwa adalah satu bagi seluruh manusia, dan ini tidak sesuai. Setiap manusia memiliki jiwa yang berbeda dengan yang lain, dan jiwa-jiwa itu banyak.

Atas dasar ini, mungkin kita bisa mengatakan bahwasanya jiwa itu bukan ruh dan bukan badan, dan sesungguhnya tiap-tiap jiwa mempunyai esensi (jatidiri) yang berbeda dari yang lain. Jiwa mempunyai tugas yang berbeda-beda, dan sesungguhnya jiwa adalah komponen dari manusia. Imam al-Ghazali lebih condong pada pendapat ini ketika mendefinisikan manusia, bahwasanya ia adalah hewan yang berakal, dan sesungguhnya hewan yang berakal itu dibagi 3 macam: jiwa, ruh, dan jisim. Adapun jisim, ia dirangkai dari bahan-bahan atau unsur-unsur yang membawa ruhnya. Jisim merupakan bentuk yang berdiri tegak yang mempunyai wajah, dua tangan, dan dua kaki. Jisim itu yang tertawa. Sedangkan ruh adalah yang berjalan dalam tubuh dan kedua urat nadi. Artinya, yang panas, yang hasyrat, yang menyemburat dalam otot-otot dan urat syaraf, ini ada di hewan, dan dengan itulah kehidupannya. Kemudian munculah perihal tentang jiwa, dan itulah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Di sini, Imam al-Ghazali menukil Quranul Karim ketika Allah berkata: Qs. Al-Mu’minun: 12, dan Qs. Al-Hajar: 29. Jadi di sini menjelaskan tentang tiga hal: jisim, ruh, dan jiwa.

Maka jiwa merupakan seseuatu yang ditambahkan oleh Allah bagi manusia agar mengekspresikan perbuatan-perbuatannya saat makan, hubungan sex, dan operasional. Maksudnya, menurut Ghazali, bahwasanya ruh adalah sisi hasyrat yang berupa syahwat, yang tersebar di saraf-saraf dan otot, dan jiwa adalah sisi logis dalam manusia yang membedakannya dengan hewan-hewan. Maka hewan-hewan itu tidak berakal dan tidak diberi tuntutan. Dengan demikian, bahwasanya hewan hanya jisim dan ruh saja, yang berarti bahwa manusia adalah jiwa, ruh, dan badan.

Pendapat ini adalah yang kita konklusikan dalam diskusi kita tentang manusia, jati diri dan komponen-komponennya. Sekarang yang kira rasa penting yaitu bagaimana mengetahui tentang sesuatu apakah jiwa itu qodimah (tanpa permualaan) ataukan haditsah(baru) dengan proses terjadinya (hadits) badan atau kelahiran (hadits) ruh, yang mana sesuatu yang diterima bahwasanya Allah menciptakan ruh itu ketika menciptakan badan. Jadi bagaimana tentang jiwa? Ini yang akan kita coba mengetahuinya sekarang.

5. Jiwa; Qadim atau Hadits

Pada kenyataanya, sesungguhnya pembicaraan mengenai jiwa, apakah jiwa itu jauhar atau jisim, serta penjelasan tentang korelasi antara jiwa, jasad dan ruh, itu sudah pasti membawa kita untuk membicarakan perihal keadaan jiwa apakah qadim ataukah hadis.

Para filosof dan ahli kalam silang pendapat dalam masalah ini secara besar. Perbedaan pendapat tersebut di satu sisi didasarkan pada filsafat Yunani, dan pada sisi lain terhadap akidah Islam…. Aliran mayoritas para filosof Yunani berpendapat bahwa jiwa itu berada di tempat yang suci sebelum ia singgah dalam tubuh, dan jiwa menikmati kebahagiaan yang sempurna di tempat ini, lalu jiwa tersebut melakukan sebuah perbuatan dosa hingga ia di hukum karena perbuatannya, dan diturunkan dari kenikmatannya ke bumi.

Pemikiran-pemikiran ini telah berpindah pada dunia Islam. Namun dalam pemikiran tersebut ada yang berseberangan dalam ideologi Islam yang menegaskan bahwa segala sesuatu adalah makhluk dengan kekuasaan Allah, sesuatu yang baru sebelum ia ada. Untuk itu, jiwa adalah sesuatu yang baru. Meskipun demikian kita mungkin bisa melihat dua aliran dalam problematika ini menurut para pemikir Islam, dengan mengikuti definisi-definisi mereka terhadap jiwa.

Pendapat pertama, yaitu pendapat sebagian para filosof yang mengatakan bahwa jiwa adalah jauhar yang bersih dari materi, bersifat qadim. Jiwa ada sebelum jasad, dan turun dari alam yang tinggi (al-alam al-alawi) atau yang mengalir dalam jasad. Di antara yang mengatakan ini adalah al-Farabi, dan Ibn Sina yang mengatakan: “Sesungguhnya jiwa adalah jauhar yang sederhana yang turun ke setiap tubuh manusia dari alam azali, dan Allah (al-Bari) telah menetapkannya untuk tinggal di dalam tubuh-tubuh tersebut dengan rentan waktu tertentu? Di dalam tubuh, jiwa merasakan bahwasanya ia merasa asing dengan tubuh. Jiwa merasa tersakiti dengan apapun di sekitarnya, dan terkadang jiwa itu mengalami kekurangan tatkala bertempat dalam jasad. Maka jiwa menjadi butuh untuk kebersihan dan penyucian, dengan cara tersebut jiwa membersihkan diri melalui keutamaan-keutamaan yang baik dan akhlak yang tinggi serta sempurna melalui ilmu.

Tampak jelas dari perkataan Ibn Sina ini, begitu terpengaruhnya dengan teori-teori Yunani yang ditransformasi ke dalam dunia Islam, dan mempengaruhi kebanyakan para pemikir Islam. Kemudian, kita menemukan seorang tokoh dari ahli sunah, yaitu Ibn Hazm yang akhirnya menjelaskan bahwasanya jasad itu menyakiti jiwa, dan sesungguhnya jiwa semenjak menempati jasad tersebut, seakan-akan jiwa tercebur di lumpur yang dalam. Jiwa sibuk dengan lumpur itu sehingga melupakannya dari semua apa yang telah terlalui.

Pendapat kedua: Begitu juga kita menemukan gambaran lain bagi orang Islam yang juga terpengaruh pemikiran Yunani, khususnya teori “mengalir “(al-fayd) milik Plato. Demikian pula dengan imam al-Ghazali yang berpihak dengan teori ini, hingga untuk menakwilkan sebagian teks-teks syariat agar sesuai dengan teori “genggaman”(al-qabd) yang mengatakan bahwa jiwa manusia itu menggenggam badan(jisim) ketika badan itu telah siap menerima jiwa. Pandangan “mengalir” ini, itu tidak secara langsung akan tetapi membutuhkan terhadap banyak hal. Maka persiapan tubuh untuk menerima jiwa yang khusus untuknya, merupakan sebuah pinjaman(hutang) dengan gerakan astronomi langit.

Akan tetapi al-Ghazali tidak berhenti dalam membedakan antara “menggenggam”(al-qabd) dan (al-hudus). Lalu beliau berpendapat, bahwasanya harus ada keterkaitan kuat antara jiwa yang hadits itu dengan badan yang ditempatinya. Hubungan ini nampak dalam bentuk kecenderungan natural(nuzu’ thabi’i) dalam mengoperasionalkan badan, khususnya dalam mengoperasionalkan badan tersebut memperhatikan keadaan-keadaannya, dan tertarik oleh badan bukan yang lain. Jadi ada dua sisi untuk kehaditsan(kebaruan) jiwa; salah satunya dari sisi sumber jiwa. Jiwa adalah wujud tuhan yang terhitung sebagai sumber bagi setiap wujud dan menakdirkannya terhadap seluruh makhluk yang mempunyai sifat wujud. Artinya, sesungguhnya al-Ghazali berpendapat bahwa “mengalir”(al-fayd) merupakan sumber wujud bagi esensi manusia hingga jiwa memegang badan yang telah siap menerimanya, dan tatkala sesuatu yang menerima lurus maka akan timbul sebuah bentuk. Begitu pula apabila ada penguasaan dan persiapan (al-istiwa wal isti’dal) dalam sperma maka terjadilah jiwa dari pemberi dan penciptanya tanpa ada perubahan pada diri yang memberi.

Adapun Ibn Rusd yang telah mencoba menggabungkan dua filasafat, antara Yunani dan Islam, serta mensinkronkan dua ideologi, maka beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa meskipun sebuah bentuk bagi badan, maka sesungguhnya jiwa itu jauhar, rohani yang independen yang tak terbagi dengan bagian-bagian badan.” Akan tetapi Ibn Rusd berpandangan dari sisi lain, bahwasanya jiwa itu tidak tercurah dari logika yang efektif atau pemberi bentuk, sebagaimana dikatakan oleh orang sebelumnya dari para filosof Islam. Itu, karena hanya Allah-lah yang menciptakan seluruh makhluk, baik yang bersifat ruh maupun bersifat materi, dengan menciptakan secara langsung, yaitu tanpa perlu perantara logika yang menghubungkan-Nya dan makhluk-makhluk-Nya.

Begitu juga Ibn Hazm mencoba menggabungkan antara filsafat Yunani dengan ideologi Islam sebeleum Ibn Rusd. Beliau berpendapat bahwasanya jiwa telah diciptakan oleh Allah sebelum Allah menciptakan jasad sejak berabad-abad lamanya. Guna menegaskan kebenatran pendapatnya, Ibn Hazm berargumentasi dengan firman Allah Swt: al-A’raf: 172. Maka Allah Ta’ala yang menciptakan jiwa sejak Ia menciptakan Adam as. Sesungguhnya kehidupan adalah penggabungan tubuh pada jiwa, yaitu meniupkan ruh kepada jasad. Pada dasarnya, perkembangan adalah kembalinya jiwa kepada ingatannya, dengan demikian jiwa tidak tumbuh secara materialis seperti jasad, jiwa tidak makan sebagaimana makanan jasad. Begitupula, sesungguhnya tubuh itu menyiksa jiwa apabila jiwa tersibukan dengan badan, dan sibuk dengan tuntutan-tuntutan badan. Serta jiwa itu rindu untuk terlepas dari badan ini yang menyakitinya. Inilah keinginan jiwa, dan disini nampaklah pengaruh pemikiran Yunani, khususnya Socrates dan Plato, dengan perkataan mereka berdua bahwasanya sebab kerusakan jiwa adalah hubungan jiwa dengan tubuh ini yang berupa benda mati.

Jiwa menurut Ibn Hazm adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah sejak berabad-abad lamanya, dan sesungguhnya kehidupan adalah tergabungnya jiwa dengan badan, yaitu ditiupkannya ruh ke dalam badan.[85] Artinya, bahwa wujud jiwa itu lebih dulu daripada wujud badan. Itu tampak jelas dalam perkatan Ibn Hazm: “Wahai jiwa yang terbit di atas segalanya, bukankah engkau yang tidak membuatku lega dengan kapasitas(miqdar) ini dari ilmu tentang besar dan panjangnya, dan kekayaanmu tidak dipenuhi dengan rencana untuk mengawasi terhadap perihalnya yang besar hingga engkau kembali pada asal mula sebelum engkau menempati badan ini, dan keterkaitan engkau dengannya, melalui cerita-cerita masa lampau dan kerajaan-kerajaan yang mengelilingi, dan bangsa-bangsa terdahulu, dan kenyataan-kenyataan yang buruk. Bukankah engkau yang tidak merasa cukup dengan semua hal ini, hingga engkau melampui alam seisinya, dan engkau memperolehnya dari seluruh sisi-sisi alam maka engkau saksikan Yang Maha Esa dan Maha Awal. Engkau berhenti kepada Yang Maha Benar, Yang Maha Pertama, yang menciptakan alam beserta isinya, maka engkau melihat bahwasanya Ia adalah Dia. Engkau membayangkan peristiwa-peristiwanya atas semua hal selainnya, karena khayalanmu terhadap apa yang engkau saksikan melalui indra-indramu, maka engkau mengelilingi semua hal itu dengan ilmu, dan engkau merengkuh seluruhnya dengan pemahaman.[86]

Melalui pendapat Ibn Hazm ini, engkau bisa mengatakan bahwa Ibn Hazm telah berupaya menggabungkan antara ideologi Islam dalam sebuah pernyataannya bahwa Allah adalah sang pencipta atas segala sesuatu, dan antara filsafat Yunani yang mengatakan bahwa jiwa-jiwa itu pernah hidup di alam yang paling rendah sebelum ia bersemayam dalam tubuh-tubuh manusia, dan itulah yang menjadikan Ibn Hazm lebih awal berpendapat “al-kholqi al-qadim“. Ibn Hazm menggunakan metodologinya secara literalis dalam memahami ayat Al-Qur’an: Qs. Al-A’raf: 72. Maka beliau berkata, sesungguhnya Allah menciptakan jiwa semenjak berabad-abad lamanya.

Ibn al-Qayim telah mendiskusikan masalah ini, dan beliau menyebutkan bahwa ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Maka kelirulah orang yang keliru, dan tersesatlah orang yang tersesat. Namun Allah Swt menunjukkan para pengikut Rasulullah Saw kepada yang hak, dan kebenaran yang nyata. Para rasul (sholawatullah alaih) sepakat bahwa jiwa merupakan makhluk, sesuatu yang baru, yang diciptakan, yang diatur. Pernyataan ini menurut mereka adalah bagian dari agama yang sangat fundamen (ma’lum min ad-din bi dhoruroh). [57] Pendapat ini diikuti oleh para sahabat, tabi’in, serta tabi’ tabi’in, hingga sampai pada sebuah kaum yang mempunyai pemahaman yang dangkal tentang Al-Quran dan sunah, maka mereka mengira bahwasanya jiwa adalah qadim yang tidak diciptakan oleh Allah ta’ala, dan mereka berargumen untuk pendapat itu, bahwasanya jiwa termasuk urusan Allah ta’ala sebagaimana Allah berfirman: Qs. Al-Isra: 85. Urusan Allah ta’ala itu bukanlah makhluk, maka jelaslah bahwasanya jiwa adalah qadim dan bukan makhluk.

Begitu juga firman Allah: Qs. Shad: 72. Allah telah menyandarkan ruh kepada diri-Nya sebagaimana Allah menyandarkan pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, dan kekuatan-Nya, dan semua hal ini adalah qadim, maka jiwa itu bersifat qadim juga. Di antara mereka ada yang berhenti membicarakan tentang pendapat bahwa jiwa itu hadis atau qadim, dan mereka berkata: “Kami tidak mengatakan bahwa jiwa adalah makhluk atau bukan makhluk.”

Ibn al-Qayim menegaskan, bahwa jiwa merupakan makhluk yang hadis.[87] Beliau berargumen mengenai hal itu dengan banyak dalil, di antaranya firman Allah: Qs. Ar-Ra’d: 16, dan atas junjungan kita Nabi Zakariya: Qs. Maryam: 9. Melalui ayat ini menunjukan bahwa jiwa merupakan makhluk, dan jiwa adalah hadis(baru) yang sebelumnya tidak ada.

Beliau juga berargumen guna menunjukkan bahwa jiwa adalah baru (hadis), melalui perkataannya: “Jikalau jiwa itu qadim, bukan makhluk, niscaya jiwa merasa cukup dengan dirinya dalam eksistensinya, sifat-sifatnya, serta kesempurnaannya, dan ini salah. Sesungguhnya kebutuhan kepada Allah dalam eksistensi dan sifat-sifatnya itu termasuk keperluan-keperluan dzatnya, tidak ada sebab yang melatarinya. Maka sesungguhnya hal itu adalah hal yang esensial bagi jiwa, sebagaimana keindependenan Tuhan, Pencipta, dan Pembuatnya, itu termasuk keperluan dzat Allah Ta’ala yang tidak ada sebab yang melatarinya. Dengan demikian, Allah Swt merupakan Dzat yang tidak memerlukan hamba-Nya secara esensi, dan hamba-Nya lah yang membutuhkan Allah Ta’ala.[88]

Artinya, Ibn al-Qayim, Ibn Rusd, serta Ibn Hazm mengambil pendapat bahwasanya jiwa merupakan ciptaan dari Allah Ta’ala, dan semua makhluk adalah baru. Itu berbeda dengan aliran al-Farabi dan Ibn Sina yang mengatakan bahwasanya jiwa itu mengalir dari akal-akal falakiy (al-’uqul al-falakiah), dan ia apa yang mereka namakan pemberi bentuk(gambaran), atau akal yang efektif. Kita sudah mengetahui al-Ghazali terpengaruh dengan perkataan mereka ini, meskipun al-Ghazali lebih condong untuk mencocok-cocokan jiwa dengan teks-teks keagamaan.

Di dunia Islam terdapat konsep lain tentang mengalirnya (fayd) jiwa manusia, yaitu teori iluminasi as-Suhrawardi, milik Sihabudin as-Suhrawardi yang terbunuh, yang memiliki pendapat bahwasanya setiap jenis dari seluruh makhluk yang ada itu mempunyai perumpamaan, yaitu modelnya, asalnya, yang mengatur, yang menjaga, ia adalah tuhan jenis tersebut atau tabiat-tabiatnya yang sempurna, dan tabiat-tabiat sempurna yang khusus bagi jenis manusia adalah akal yang efektif(al-aql al-fa’al).[89]

Seorang filosof Ibn Mulka Abu al-Barakat al-Baghdadi lebih cenderung dengan pendapat ini, beliau berkata: “Sesungguhnya setiap orang itu mempunyai ruh yang bersifat planet(kauwkab), yang menjadi sebab wujudnya, yang mendorong, menjaga, dan mengilhaminya. Ruh ini dinamakan tabiat-tabiat yang sempurna, dan bahwasanya ruh-ruh yang tinggi ini berbeda di antara ruh-ruh tersebut dari segi karakter, dan yang digelutinya itu adalah jiwa manusia[90], itu juga berbeda di karakter-karakternya sehingga ia mempunyai kemiripan dan saling mendekati, keberbedaan, saling menerangkan, saling berperang, serta saling membenci menyesuaikan keadaan-keadaan dan faktor-faktornya.

Al-Fahru ar-Razi mengikuti pendapat Abu al-Barakat ini, beliau berkata dalam bukunya al-Matholib al-’Aliah: “Sesungguhnya sebagian kelompok dari para filosof beranggapan bahwa arwah falakiah itu berbeda-beda. Juga, sesungguhnya masing-masing ruh merupakan penyebab atas adanya kumpulan jiwa-jiwa manusia.[91]

Ar-Razi juga mencoba untuk mengembalikan perkataan-perkataan ini pada hadits Rasulullah Saw: “Arwah ibarat sekumpulan pasukan yang dikerahkan, maka yang saling mengenal di antara mereka menyatu, sedangkan yang pura-pura tidak mengenal di antaranya maka berbeda-beda.” Melalui ukuran ini, Anda bisa mengatakan bahwa orang Islam itu berbeda dalam pendapat-pendapat mereka tentang jiwa manusia. Apakah jiwa manusia itu qadim ataukah hadis, para ahli kalam (mutakalim) berpandangan bahwa jiwa adalah hadis, makhluk yang diciptakan oleh Allah sebagaimana ciptaan-Nya atas seluruh makhluk-makhluknya, karena Allah Ta’ala pencipta segala sesuatu.

Adapun para filosof Islam, mereka mengambil madzhab yang berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh pemikiran Yunani. Sebagian dari mereka berpendapat dengan teori “mengalir” (al-fayd), sedangkan yang lain berpandangan melalui teori “muncul” (as-sudur). Dari situ bisa dipahami bahwa jiwa menurut mereka adalah qadim dan bukan hadis.

Ibn Hazm mengambil pendapat bahwasanya jiwa itu dari golongan jisim-jisim yang memerlukan terhadap sesuatu yang memegang, mengikat, serta meluruskannya. Kebutuhan jisim akan hal tersebut seperti keperluan seluruh jisim di dalam dunia ini, dan yang melakukan semua hal tersebut adalah sang pencipta azzawajalla. Sebagian jisim memegang jiwa dengan karakter-karakternya yang diciptakan oleh Allah kepadanya, serta mengoperasionalkannya untuk keperluan jisim, dan sebagian jisim memegang jiwa melalui pengikat-pengikat yang nyata seperti urat saraf dan kulit-kulit yang tidak ada pelaku untuk semua hal tersebut melainkan Allah Ta’ala.[92]

Kemudian Ibn Hazm melanjutkan pembicaraannya: “Sesungguhnya jiwa itu sudah ada semenjak berabad-abad yang silam sebelum badan terangkai, dan jiwa itu akan terus kekal setelah berpisah dengan badan.[93] Artinya, sesungguhnya Ibn Hazm termasuk orang-orang yang beranggapan tentang kekalnya jiwa. Kekal berarti bahwa jiwa itu tidak akan mati sebagaimana jiwa itu telah diciptakan sejak dulu, sehingga jiwa itu kekal, tidak mati. Akan tetapi, apakah para filosof dan para ahli kalam (mutakalim) juga berasumsi demikian? Inilah yang akan kita coba telusuri, setelah kita membicarakan tentang persatuan jiwa dan potensi-potensinya.

6. Kesatuan dan Kekuatan Nafs (Jiwa)

Apabila kita telah membahas tentang karakter jiwa dan esensinya, dan kita sudah membicarakan mengenai hubungan antara jiwa dan badan, kemudian kita tetapkan hadisnya jiwa yang sebelumnya tidak ada, maka yang wajib sekarang diketahui adalah potensi-potensinya, dan tugas dari setiap potensi-potensinya di dalam jiwa.

Pada mulanya Anda bisa mengatakan bahwasanya orang Islam, dalam masalah ini mempunyai tiga aliran: “Di antara mereka ada yang mengikuti pendapat Plato, dan di antara mereka ada yang lebih condong dengan pendapat Aristoteles, serta yang lain mengikuti teks agama yang sering mereka sentuh untuk mengetahui jiwa dan tugasnya.

Al-Farabi merupakan orang yang pertama kali membicarakan tentang masalah ini, sekaligus orang yang pertama menguraikan pembahasan mengenai jiwa serta potensi-potensinya. Beliau berkata: “Apabila terwujud manusia, maka sesungguhnya sesuatu yang pertama kali terjadi pada dirinya adalah kekuatan yang digunakan manusia guna mengonsumsi makanan, dan itu adalah kekuatan gas. Kemudian setelah itu, kekuatan yang dipakai manusia untuk merasakan sesuatu yang disentuh seperti panas dan dingin… Melalui indra tersebut seseorang akan cenderung merasakan apa yang dirasakan, sehingga ia akan menyukainya atau membencinya. Kemudian setelah itu, ada kekuatan lain yang menjaga (yahfidzu) sesuatu yang terlukis dalam dirinya dari hal-hal yang dapat disentuh oleh indra setelah sesuatu tersebut tak tampak dari pandangan indra. Ia adalah kekuatan khayalan, dan potensi tersebut menyusun hal-hal yang tersentuh oleh indra tadi antara satu dengan yang lain, serta memecahnya antara satu dengan yang lain… Dengan potensi tersebut, mengikuti kecenderungan sesuatu yang dikhayalkannya, kemudian terjadilah kekuatan logika dalam diri manusia yang memungkinkannya untuk melogikakan hal-hal yang rasional, dan melalui kekuatan logika tersebut manusia bisa membedakan antara yang indah dan yang buruk. Melalui potensi tersebut manusia bisa membubuhkan karya-karya dan keilmuan-keilmuan. Dengan kekuatan itu juga, manusia bisa mengikuti kecenderungan atas suatu hal yang dilogikakan.”[94] Itu adalah kekuatan moral yang membimbing perilaku manusia dan yang membedakan keutamaan dari kehinaan bagi manusia.

Maka al-Farabi berbicara tentang tiga kekuatan bagi jiwa manusia, yaitu kekuatan gas (ghaziah), kekuatan indra, dan kekuatan logika. Kemudian beliau memaparkan pendapat mengenai potensi dari setiap kekuatan-kekuatan ini. Itu tidak keluar dalam perkataan-perkataannya dari apa yang diletakkan oleh aristoteles sebelumnya yang menolak perkataan atau pendapat Plato bahwasanya manusia mempunyai jiwa yang independen, dan tiap-jiwa jiwa tersebut memiliki tempat khusus di dalam badan. Jiwa yang berakal terletak di kepala, amarah di hati, dan syahwat di dalam perut. Aristoteles mengambil pendapat bahwa jiwa itu satu yang mempunyai potensi-potensi yang bermacam-macam, dan setiap potensi-potensi dari kekuatan-kekuatan tersebut memiliki keistimewaan dengan perbuatan yang khusus, seperti mengonsumsi makanan, atau berkembang atau regenerasi atau perasaan atau gerakan atau syahwat atau percontohan maupun pemahaman. Kebanyakan, para filosof Islam mengikuti Aristoteles dan menyetujui pendapatnya sebagaimana yang tampak dalam perkataan al-Farabi.

Sebagaimana yang dikatakan Ibn Sina yang memperhatikan terhadap analisa kekuatan jiwa dan menjelaskan tugas-tugas jiwa melalui analisis yang intensif, dan mensistematiskan potensi-potensi tersebut dengan menyusun ke atas(mutaso’idan) dari tingkatan yang paling bawah hingga tingkatan kekuatan-kekuatan yang paling atas.

Beliau menyebutkan, bahwa kekuatan-kekuatan jiwa manusia itu terbagi kepada yang berbuat dan yang mengetahui. Setiap potensi dari dua kekuatan ini dinamakan logika dengan persamaan nama. Kekuatan yang bekerja atau logika praksis merupakan asas penggerak dari badan manusia. Dari logika praksis inilah timbul perbuatan-perbuatan parsial yang khusus dengan pertimbangan. Kekuatan yang bekerja tersebut dianggap sebagai kekuatan hewani yang berkeinginan(nuzu’iyah), dan secara analogi dianggap sebagai kekuatan khayalan, dan secara analogi dianggap sebagai jiwanya. Jadi kekuatan tersebut secara logika dianggap sebagai kekuatan kecenderungan. Dalam kekuatan tersebut terjadi bentuk-bentuk yang mengkhususkan manusia, yang membuatnya siap sedia dengan cepat berbuat dan sikap emosional seperti kebosanan(al-khojal), malu, tertawa, menangis, dsb. Apabila kekuatan tersebut di analogikan sebagai kekuatan khayalan , maka akan terjadi penggalian manajemen pada sesuatu yang ada lagi rusak, dan penggalian karya-karya manusia. Apabila secara analogi ia dianggap sebagai jiwanya maka akan terlahir kekuatan itu pendapat-pendapat yang tersiar dan mashur, semisal bahwa menipu adalah buruk dan sesungguhnya jujur adalah bagus. Kekuatan inilah yang harus dominan daripada seluruh potensi-potensi badan, dan kekuatan inilah yang dinamakan dengan akhlak.[95]

Adapun kekuatan yang berakal, ia adalah sebuah teori(konsep) yang biasanya akan memunculkan gambaran-gambaran universal yang terbebas dari materi. Maka apabila kekuatan ini bersih dengan esensinya, maka itulah kekuatan logika. Apabila kekuatan tersebut belum bersih dari materi, maka sesungguhnya ia akan menjadi bersih dengan bersihnya gambaran-gambaran yang universal terhadapnya hingga tidak akan tersiksa apapun dari hubungan-hubungan materi di dalamnya.[96]

Kekuatan-kekuatan ini menurut Ibn Sina saling terkait, karena kekuatan tersebut bersumber dari satu asal yaitu jiwa. Kemunculan jiwa itu berbeda-beda tergantung persiapan jisim terhadapnya, pertumbuhan, mengonsumsi bahan makanan, dan gerakan, itu nampak secara dini daripada khayalan dan penalaran misalnya. Dari semua ini, akan jelas kedekatan pendapat antara al-Farabi, Ibn Sina dan aristoteles dalam pembicaraan mereka tentang kekuatan-kekuatan jiwa. Begitu juga Ibn Bajah mengikuti Aristoteles dalam suatu pendapat bahwasanya jiwa itu tidak terbagi pada bagian-bagian. Bukti pada hal tersebut adalah bahwasanya manusia terkadang bisa berubah, maka pada awalnya manusia itu berupa janin kemudian meningkat menjadi bocah, lalu tumbuh ramaja, beranjak dewasa, kemudian menjadi orang tua, dan mungkin ia akan menjadi orang yang pandai setelah sebelumnya ia menjadi orang yang bodoh. Meskipun demikian manusia tetaplah sama dalam setiap kondisi.

Begitu juga apabila tangan atau kaki manusia itu terpotong, atau matanya tercabut, maka ia tetap satu. Anak kecil bisa saja giginya akan rontok, dan gigi yang lain akan tumbuh, dan bocah tersebut tetap sama yaitu satu.[97]

Ibn Bajah tidak mengatakan terpisahnya kekuatan-kekuatan jiwa dan tugas-tugasnya. Akan tetapi beliau menegaskan dengan argument-argumen yang gamblang perihal persatuan kehidupan jiwa.

Jiwa merupakan sebuah asas yang merealisasikan persatuan jisim, dan begitu juga persatuan makhluk yang hidup yang tersusun dari jiwa dan jisim secara bersamaan.

Filsafat Ibn Bajah mempunyai perhatian terhadap pembicaraan mengenai jiwa, sehingga beliau mengetengahkan sebuah buku yang khusus membicarakan perihal jiwa, dengan pembicaraan seorang yang berwawasan tentang jiwa dan sesuatu di sekitar jiwa, serta memaparkan pembicaraan dalam potensi-potensi jiwa berikut tugas-tugasnya. Munculah tujuan semua hal tersebut dari bukunya “Tadbir al-Mutawahid” (manajemen penyatuan), karena maksud perenungan (tadabur) adalah mengatur segala perbuatan manusia serta mengarahkan tujuan yang dimaksud. Itu merupakan penggabungan dengan akal yang efektif. Maksud penyatuan(mutawahid), adalah manusia yang sempurna mengikuti akalnya, menguasai hasyrat dan sahwatnya, maka dia adalah seorang filosof yang melewati kehidupan logika melalui dasar pemikiran dan pertimbangan yang merupakan proyek(rencana; shomim) perbutan jiwa manusia. Begitu juga al-Ghazali menyepakati Ibn Sina dalam gambarannya terhadap kekuatan-kekuatan jiwa, dan beliau berkata: “Perumpamaan jiwa manusia dalam badannya, itu seperti perumpamaan seorang walikota dalam kotanya dan kerajaannya. Maka sesungguhnya badan merupakan kerajaan jiwa, alamnya sekaligus kekuatan-kekuatannya. Adapun tingkah lakunya seumpama posisi seorang pengrajin dan uang. Kekuatan logika yang berfikir baginya(badan), itu ibarat seorang direktur yang memberikan nasehat dan seorang menteri yang berakal. Sedangkan syahwat bagi badan itu ibarat hamba yang buruk, suka mengambil makanan dan bekal ke kota. Amarah serta antusiasme bagi badan itu ibarat seorang polisi, dan seorang hamba yang mencari bekal dengan berbohong dan makar, menipu dan tercela, yang berpura-pura dengan wajah pemberi nasehat, dan di bawah nasehat-nasehatnya itu ada keburukan yang banyak dan racun yang mematikan, serta kebiasaannya itu menolak setiap aturan yang dikeluarkan oleh seorang menteri yang sukses, hingga tidak pernah terlewatkan olehnya walaupun satu jam untuk menyangkal dan menolak pendapat-pendapat menteri tersebut. Begitu juga dengan jiwa, ketika ia meminta pertolongan melalui perbuatan, mendidik kekuatan amarah, dan menguasainya terhadap syahwat, serta menggunakan salah satunya guna menguasai yang lain, maka kadang-kadang ia bisa meminimalisir kadar amarah dan ledakan-ledakannya, serta memberikan solusi bagi syahwat dan menurunkannya. Terkadang jiwa menghancurkan syahwat dan menguasainya, dengan dominasi kekuatan amarah terhadap syahwat hingga kekuatan-kekuatan itu menjadi seimbang dan akhlaknya menjadi bagus.

Al-Ghazali memperhatikan terhadap penjelasan kekuatan-kekuatan jiwa, dan bagaimana ia mungkin menguasai kekuatan-kekuatan syahwat dalam tubuh dan mengontrolnya hingga akhlak menjadi baik dan jiwa menjadi lembut. Al-Ghazali membicarakan tentang kekuatan-kekuatan yang bermacam-macam terhadap tugas-tugas dalam jiwa manusia, dan begitu juga al-Ghazali berpandangan bahwa perbuatan-perbuatan ini berasal dari manusia, itu sebenarnya berhubungan dengan seluruh jiwa. Artinya, sesungguhnya al-Ghazali termasuk orang yang mengatakan tentang penyatuan jiwa seperti al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn bajah. Itu bukan berarti jiwa berbilang(ta’adud), akan tetapi kekuatan itulah yang beraneka macam. Pada dasarnya kekuatan-kekuatan ini berpangkat-pangkat dalam tugas-tugasnya. Sebenarnya jiwa memiliki dua kekuatan, salah satunya adalah kekuatan mengetahui(‘alimah) dan yang lain kekuatan bekerja. Kekuatan mengetahui itu terbagi kepada kekuatan teoritis(nadzoriah), seperti mengetahui bahwa Allah itu Esa, dan alam adalah baru, serta terbagi pada kekuatan praksis yaitu yang memberikan pengetahuan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan kita, seperti mengetahui bahwasanya kedzoliman adalah buruk dan tidak seyogyanya dilakukan, dan bahwasanya tujuan jiwa adalah kebaikan atau pahala.

Dengan ini terlihat ada kemiripan dalam perkataan-perkataan al-Ghazali dengan Ibn Sina, al-Farabi, dan Ibn Bajah terhadap masalah ini, perhatian mereka dalam menetapkan penyatuan jiwa. Bahwasanya jiwa itu mempunyai kekuatan-kekuatan dan tugas-tugas yang banyak yang berjenjang seperti mengonsumsi makanan, pertumbuhan, perasaan, gerakan, pemahaman logis, dan perbuatan-perbuatan keesaan(wahdaniah), dan ini adalah yang di ambil pendapat Aristoteles. Begitu juga Anda melihat Ibn Hazm meskipun beliau terpengaruh Plato dalam pembicaraan tentang kekuatan-kekuatan jiwa, hanya saja beliau menegaskan penyatuan jiwa, dan sesungguhnya jiwa memiliki tugas-tugas yang beraneka ragam dan kekuatan-kekuatan yang berbeda-beda. Beliau berbicara tentang tiga kekuatan jiwa tanpa menyebutkan klasifikasinya, seakan-akan perihal kekuatan-kekuatan ini sudah diterima, maka beliau berkata: “Orang-orang yang berakal berbeda-beda dalam membenarkan akhlak ini. Maka orang yang mempunyai kekuatan amarah yang dominan dalam jiwanya, ia tidak melihat seperti apa yang dilihat orang yang mempunyai kekuatan tumbuhan(nabatiah) yang sublim dalam dirinya, dan mereka berdua berbeda pandangan dengan orang yang mempunyai kekuatan insting, yang berakal, dalam dirinya.[98]

Artinya, bahwasanya Ibn Hazm berbicara mengenai tiga kekuatan bagi jiwa manusia, itu adalah kekuatan amarah, kekuatan nabati (nabatiah), dan kekuatan logika. Dalam hal ini Ibn Hazm mengambil pendapat Plato tentang tiga kekuatan jiwa. Hanya saja Ibn Hazm memberi perhatian dalam menjelaskan bahwasanya ketiga kekuatan tersebuat tidaklah tergolong kekuatan jiwa yang independen, agar beliau memantapkan penyatuan jiwa dan jiwa itu tidak parsial, maka beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa dimungkinkan untuk terbagi dengan kekuatan, dan meskipun ia terbagi dengan bagian-bagiannya, itu benar-benar tidak ada”[99] dan aliran keagamaan Ibn Hazm, serta dominasinya terhadap beliau membuat Ibn Hazm membicarakan tentang kekuatan-kekuatan jiwa dengan hikmah keagamaan, maka beliau berkata: “Seorang yang mencari akherat itu seperti malaikat, dan seorang yang mencari keburukan itu mirip dengan setan, dan yang mencari kekuasaan itu mirip dengan hewan pemangsa. Orang yang mencari kelezatan, itu menyerupai dengan hewan-hewan ternak. Kemudian beliau menambahkan bahwasanya orang yang berakal itu tidak bergembira dengan sifat yang lebih tinggi dari hewan pemangsa atau hewan ternak, dan akan tetapi ia bergembira dengan perbuatannya dalam kebaikan dimana Allah membedakannya dalam hal keutamaan tersebut dari hewan buas, hewan ternak, dan keutamaan itu adalah berfikir, dan Ibn Hazm berargumen dengan firman Allah azzawajala: Qs. An-Naziat: 40-41.[100]

Meskipun Ibn Hazm mempunyai sentuhan teks keagamaan, hanya saja beliau menginterpretasikan dalam memerangi hawa nafsu melalui penafsiran filsafat. Beliau berkata bahwa pencegahan jiwa dari hawa nafsu itu mencakup pada setiap keutamaan, karena pencegahan jiwa dari hawa nafsu adalah pencegahannya dari watak saraf (al-ashobi) dan watak syahwat, kemudian aplikasi jiwa terhadap logika karena dengan logika jiwa itu berbeda dengan hewan ternak dan hewan buas. Kemudian beliau berargumentasi sabda Rasulullah Saw: “Jangan marah.”

Rasulullah menyuruh agar seseorang itu mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya. Maka Ibn Hazm tidakkahnya berhenti untuk menafsirkan hadits as-syarif seperti beliau menafsirkan ayat al-Quran, maka beliau berkata: “Sesungguhnya mencegah marah adalah pencegahan jiwa yang mempunyai kekuatan amarah dari nafsunya. Dalam perihal ini, agar seseorang itu mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri, itu merupakan pencegahan dari jiwa atas kekuatan syahwat, dan terkumpulnya keharusan berkeadilan yang menjadi pimpinannya adalah logika yang diletakkan dalam jiwa yang berakal. Ibn Hazm menjelaskan tiga kekuatan jiwa dan diantara tugasnya, dan beliau mengambil prinsip-prinsip dari Plato dengan menyelaraskan secara Islam, yang menghubungkannya dengan kekuatan-kekuatan jiwa, karakter-karakternya, dan akhlaknya. Hal itu akan jelas ketika kita menampilkan keutamaan-keutamaan dalam madzhab etika Ibn Hazm.

Adapun Ibn Rusd, meskipun beliau menegaskan akan penyatuan jiwa manusia, dan bahwasanya jiwa adalah jauhar yang bersifat ruh, independen dengan dzatnya, dan bahwasanya tugas-tugas jiwa itu bermacam-macam, semua hal tersebut tidak muncul kecuali dikarenakan hubungan jiwa dengan jasad, terkecuali logika yang efektif yang tidak membutuhkan badan. Ibn Rusd berbicara tentang tugas-tugas jiwa dan menyusun tugas-tugas tersebut, maka beliau berkata bahwasanya tugas-tugas yang tertata ini tidak lain adalah gambaran-gambaran dan kesempurnaan bagi tubuh, yang dimulai dari mengonsumsi makanan, pertumbuhan, indra, gerakan, dan berakhir dengan persiapannya untuk menerima makna-makna setelah jiwa itu terbebas dari seluruh watak indra. Ibn Rusd menamakan dua tugas terakhir tadi dengan akal yang besar (al-huyulani) dan akal yang efektif. Yang pertama adalah yang menerima jiwa tersebut, yang kedua adalah yang membebaskannya. Ibn Rusd telah memperhatikan penjelasan secara bertahap dalam tugas-tugas yang berbeda-beda ini.

Namun kita menemukan seorang filosof muslim membantah Aristoteles dan pengikutnya mengenai pendapat akan eksistensi kekuatan-kekuatan ini, dan menegaskan tentang penyatuan jiwa. Dia adalah seorang filosof Ibn Mulka yang mengatakan: “Sesungguhnya jiwa banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang insting atau non insting dengan esensinya. Jiwa sajalah yang melakukan perbuatan mengonsumsi makanan(taghadi) dan perkembangan, seperti ia melakukan penglihatan dan pendengaran. Begitu juga hanya jiwalah yang berfikir dan berkhayal. Perbedaan perbuatan-perbuatan jiwa, itu tidak berdasar pada perbedaan kekuatan-kekuatan yang menjadi cabangnya, melainkan perbedaan piranti-piranti yang dipakai jiwa dalam menjalankan aktifitas-aktifitas.” Ar-Razi banyak terpengaruh dalam pembahasan-pembahasan iluminasi(syarkiah) dengan Ibn Mulka. Akan tetapi ar-Razi tidak mengenyampingkan Aristoteles secara total. Jiwa menurut ar-Razi adalah satu yang melakukan perbuatan-perbuatan hewani dan manusia melalui bantuan instrumen, dan memahami dengan segala pemahaman-pemahaman tanpa ada perantara apapun dari kekuatan-kekuatan, dimana masing-masing kekuatan tersebut mempunyai kekhususan dengan perbuatan terpisah. Apabila sebuah pemahaman tertentu itu rusak(eror) seperti pendengaran contohnya. Maka tidak demikian, karena sebuah kekuatan dulunya ada pada anggota badan tersebut kemudian hilang, bahkan karena seluruh anggota badan merupakan piranti-piranti bagi jiwa, maka apabila alat tersebut rusak, tentu perbuatan juga ikut rusak.[101]

Ar-Razi di sini mengikuti pendapat Ibn Mulka. Akan tetapi, ar-Razi juga berpandangan bahwa kekuatan-kekuatan nabati seperti mengonsumsi makanan, tumbuh, regenerasi, itu tidak berasal dari jiwa, akan tetapi berasal dari kekuatan-kekuatan yang ada dalam jiwa pada anggota badan tersebut. Ar-Razi sebenarnya, di sini mengambil pendapat Ibn Sina yang mengikuti Aristoteles dalam sebuah pendapat bahawasanya jiwa itu mempunyai kekuatan-kekuatan yang bercabang dari jiwa. Hanya saja, al-Fahrur Razi ketika berbicara tentang kekuatan-kekuatan ini, ia menggunakan gaya bahasa Plato, dan ia berkata: “Kemudian Allah telah menyerahkan urusan kerajaan ini pada jasad manusia kepada tiga hal pokok, yang pertama adalah syahwat yang bertempat di hati, yang kedua kekuatan amarah yang bertempat di jantung. Ketiga hal pokok tersebut bukanlah sesuatu yang berbeda, yang independen, akan tetapi ketiganya itu merupakan cabang-cabang dari satu pokok.[102]

Adapun aliran ketiga, dalam pendapat tentang kekuatan-kekuatan manusia serta tingkatan-tingkatannya merupakan aliran orang sufi yang mengatakan tentang tiga jiwa: “Nafsu amarah, nafsu yang buruk, dan nafsu yang mutmainah (tentram). Di antara kaum sufi/manusia itu ada yang dikalahkan jiwa amarahnya, jiwa buruknya…dan kaum sufi berhujjah dengan firman Allah: Qs. Yusuf: 53, dan firman Allah azzawajala: Qs.Al-Qiyamah: 2, dan begitu juga firman Allah Qs. Al-Fajr: 27. Ibn al-Qayim memastikan serta menegaskan pendapat dalam aliran ini, dan beliau berkata: “Dapat dipastikan bahwasanya jiwa adalah jiwa yang satu, dan akan tetapi jiwa itu mempunyai beberapa sifat, maka jiwa dinamakan menurut setiap sifatnya.” Maka apabila jiwa dikuasai oleh syahwat dan hawa nafsu, serta cinta terhadap kenikmatan-kenikmatan, maka ia menjadi jiwa yang memerintahkan keburukan, dan jiwa tersebut akan menuai kepedihan, siksa, dan jauh dari Allah Swt. Apabila jiwa itu menjadi jiwa yang memerangi syahwat di sebagian waktu dan bersabar, maka jiwa itu menjadi jiwa yang menyesaki diri sendiri (nafs al-lawamah).

Adapun jiwa yang tentram kepada tuhannya, maka ia adalah jiwa yang paling mulia lagi paling bersih, dan itulah jiwa yang tentram (nafs mutmainah).

Ibn Qayim berpandangan bahwasanya Allah mencoba manusia dengan membekalinya dua jiwa ini; yaitu nafs amarah dan nafs al-lawamah, sebagaimana Allah memuliakan manusia melalui nafs muthmainah, maka manusia mempunyai satu jiwa, dan jiwa tersebutlah yang membantunya untuk melewati cobaan. Terkadang ia menjadi amarah (nafs al-amarah), dan apabila jiwa itu bisa mengalahkan keburukan dan membencinya, maka ia menjadi nafs al-lawamah. Apabila jiwa itu naik hingga mengetahui tuhannya serta menyukainya, maka jiwa itu menjadi nafs al-muthmainah, dan inilah puncak dari kesempurnaan, keimanan dan ketauhidan.

Ibn al-Qayim menegaskan bahwa jiwa itu satu menurut esensinya, dan ia banyak menurut sifat-sifatnya, dengan perkataannya: “Kukira mereka mengatakan bahwa setiap manusia mempunyai tiga jiwa, dan masing-masing jiwa itu independen, sama(egaliter) dengan yang lain dalam batasan dan hakekat, dan sesungguhnya apabila seorang hamba itu dicabut nyawanya maka ketiga jiwanya dicabut, dimana tiap-tiap jiwa tersebut independen.[103]

Mengenai hal itu al-Ghazali menyepakatinya, yang menjelaskan bahwasanya jiwa yang mati dan satu jiwa itu mengalir, dan bukan tiga jiwa. Maka tingkatan-tingkatan jiwa itu ada tiga.[104]

Ibn al-Qayim berpandangan bahwasanya Allah menciptakan jiwa dalam beberapa tingkatan; satu tingkatan murid yang hanya berkehendak kepada kebaikan dan itu adalah jiwa malaikat…, dan satu tingkatan yang hanya berkehendak pada keburukan dan itu adalah jiwa setan. Adapun tingkatan yang ketiga mempunyai kehendak dua macam, artinya menggabungkan kebaikan dan keburukan, dan inilah jiwa manusia yang merupakan tempatnya percobaan. Melalui jiwa tersebut membantu keluar dari keburukan agar sukses memperoleh kehidupan akherat yang bahagia, tentram lagi kekal.

7. Kekekalan Nafs (Jiwa)

Tidak diragukan lagi bahwa penelitian tentang karakter jiwa, penetapan eksistensinya, dan penjelasan tentang hubungannya dengan badan atau ruh, itu mempunyai tujuan, yaitu mengetahui apakah jiwa itu kekal ataukah fana, serta mengetahui nilai perbuatan jiwa berikut dedikasinya terhadap akhlak yang mulia untuk persiapan menyambut kehidupan akherat yang kekal supaya bahagia dalam kehidupan akherat tersebut dengan kebahagiaan yang abadi

Artinya, sesunggunnya iman terhadap kekekalan jiwa itu menyerupai sebuah rukun yang fundamen dari rukun-rukun problematika moral. Dari sini terlihat secara jelas keterkaitan antara jiwa dan pembahasan-pembahasannya, akhlak dan teori-teorinyanya, serta konklusi yang kita capai yaitu, bahwa jiwa itu berbeda dengan badan.

Sesungguhnya kebanyakan para ahli kalam (mutakalim) mengambil pendapat bahwa jiwa adalah ruh, dan kehidupan adalah tergabungnya jiwa dengan badan dan itu adalah ditiupkannya ruh pada badan. Maka kematian itu berarti terpisahnya antara tubuh dengan jiwa saja, sehingga bukan kematian jiwa sebagaimana yang disangka oleh orang bodoh dan orang sesat bahwasanya jiwa itu akan musnah secara total, akan tetapi jiwa itu tetap ada dan eksis sebagaimana jiwa itu ada sebelum kematian dan sebelum kehidupan yang pertama.[105]

Jadi jiwa itu kekal yang tidak akan mati dan musnah dengan musnahnya tubuh atau badan, karena jiwa adalah ruh, dan ruh itu dari Allah, “Ruh adalah yang ditiupkan dalam badan, yang ditiupkan oleh Allah dari ruh-Nya.

Allah merupakan Dzat yang hidup, yang berdiri sendiri, yang tidak mempunyai perubahan atau pergantian. Allah adalah Dzat yang hidup selama-lamanya, dan jiwa merupakan petikan dari Allah dan ruh dari-Nya, sehingga jiwa itu tidak bersifat musnah(fana). Al-Kindi itu telah mengambil pendapat yang mirip dengan pandangan ini, dan beliau berkata: “Sesungguhnya jiwa itu tidak mati, karena esensi jiwa berasal dari esensi Allah, dan esensi tersebut adalah cahaya dari cahaya-cahaya-Nya. Apabila jiwa tersebut meninggalkan badan, maka dibukakanlah untuknya segala sesuatu, dan jiwa itu menjadi mirip dengan Allah. Maka jiwa merasakan kenikmatan yang besar manakala ia meninggalkan badan, dimana ia berpindah menuju alam ketuhanan(rububiah).

Adapun al-Farabi, tatkala ia mengikuti pendapat Aristoteles dalam definisinya perihal jiwa dan dalam penegasan hubungan antara jiwa dengan badan, dan bahwasanya jiwa adalah bentuk dari badan. Begitu juga tatkala ia berpandangan bahwa materi adalah sebab musabab pada perbedaan masing-masing atas sesuatu di antara mereka. Sebenarnya, pendapat al-Farabi tersebut menunjukkan kepada kefanaan jiwa dengan fananya jasad. Manakala ia merasakan akan pentingnya pendapat ini dan kontradiksinya terhadap akidah Islam, al-Farabi mengatakan bahwa kefanaan ini tidak bersifat mutlak, bahkan ada jenis lain yang kekal, akan tetapi jenis tersebut bukanlah bagi seluruh jiwa, namun untuk jiwa-jiwa yang menemui kebahagiaan dan mengambil sebab-sebab kebahagiaan tersebut.

Al-Farabi berkata: “Jiwa setelah kematian, itu mempunyai kebahagiaan-kebahagiaan dan kesusahan-kesedihan, dan hal itu berbeda-beda bagi jiwa-jiwa. Kebahagiaan dan kesusahan tersebut adalah hal-hal yang akan diterima oleh jiwa.”

Kemudian Ibn Sina datang dan menemukan bahwa dengan mengambil definisi Aristoteles terhadap jiwa, bahwa jiwa adalah kesempurnaan awal bagi jisim natural, itu akan menyebabkan adanya pendapat tentang kefanaan jiwa sebagaimana yang dilakukan oleh al-Farabi, hingga menyebabkann al-Farabi mengambil pendapat tersebut. Maka Ibn Sina lebih condong pada pendapat Plato dan lainnya seperti para filosof Islam yang mengatakan bahwa jiwa merupakan esensi rohani yang mengalir dalam tubuh dan membuat tubuh tersebut hidup. Dengan demikian, hubungan jiwa dengan jasad adalah hubungan bentuk, dan sesungguhnya eksistensi jiwa itu didasarkan kepada sang pemberi bentuk.[106]

Maka dari itu, sesungguhnya kerusakan badan dengan adanya kematian, itu tidak lantas menimbulkan rusaknya jiwa, dan kehudusan jasad tidak lantas menyebabkan kehudusan jiwa. Jiwa itu tidak harus musnah bersama badan tatkala ajal menjemputnya.

Ibn Sina menegaskan, sesungguhnya tidak ada argumen yang membuktikan atas hudusnya sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang mesti rusak dengan kerusakannya. Akan tetapi hal tersebut menjadi demikian apabila jiwa itu mempunyai sesuatu dimana jiwa bergantung dengannya dan tidak independen.[107]

Adapun pendapat Ibn Bajah mengenai masalah kekekalan jiwa, maka beliau memberikan definisi terhadap jiwa serta hubungannya jiwa dengan badan, lalu beliau membedakan antara jiwa personal yang fana dengan rusaknya jasad. Karena jiwa, di sini adalah bentuk bagi badan, dan bentuk itu tidak kekal pada makhluk natural(ath-thobi’iah) yang tidak mempunyai materi.

Adapun akal jenis manusia, ia adalah qadim, kekal, dan keadaanya tidak berubah sebagai akal yang efektif. Beliau memberikan konklusi pendapatnya pada ungkapannya berikut: “(Aliiqun)Makhluk-makhluk yang pantas musnah adalah wujud jasmani, dan makhluk-makhluk yang pantas kekal adalah wujud akal (jiwa).

Ibn Sab’in telah mengeritik Ibn Bajah dalam masalah ini dengan kritikan yang tajam, beliau berkata: “Sesungguhnya Ibn as-Soigh(orang yang omong kosong ini; julukan dari Ibn Bajah), yang mengatakan bahwasanya ia telah menyelesaikan masalah jiwa dan akal, dan ia telah memberikan masalah tersebut sebuah kebenaran, dan ia telah sampai puncak(tujuan) dengan masalah tersebut, dalam hal itu ia tidaklah melakukan apa-apa.” Keseluruhan dari pendapatnya, dan penegasannya yang disebutkan oleh Ibn Sab’in, sesungguhnya ia menjadikan manusia itu terdiri dari dua hal; satu hal adalah tentang fana dan hal yang lain adalah tentang kekal…. Beliau membahas hal tersebut di dalam risalahnya Al-Itisol Bi Shina’ah al-Bahs (sebuah kaitan dengan pembuatan karya ilmiah). Pada tulisannya tersebut, beliau mengetengahkan pembicaraan, pada satu hal mengenai dzat(esensi) dan satu hal tentang bentuk, serta Ibn Sab’in memberikan komentar bahwasanya hal inilah yang dijadikan sebagai pendapat salah Ibn Bajah yang diambil olehnya dari karya aristoteles, dan Ibn Bajah telah salah pada keyakinannya dalam hal ini.[108]

Inilah aliran para filosof tentang kekekalan jiwa, dan itu adalah pendapat yang ganjil yang sangat terpengaruh dengan pemikiran Aristoteles yang menghubungkan antara jiwa dengan jasad. Meskipun mereka merasakan pendapat ini telah menyalahi akidah Islam mereka, hal itu menjadikan mereka bimbang untuk mengambil pendapat tentang fana dan kekal.

Adapun para tokoh ahli kalam (mutakalim) mereka telah menegaskan akan kekekalan jiwa menggunakan dalil-dalil aqli dan naqli, karena kematian dan kemusnahan itu hanya bagi tubuh.

Adapun jiwa sesungguhnya akan meninggalkan badan dan naik menuju Tuhannya, karena kematian itu tidak membuat musnah jiwa, akan tetapi jiwa itu tetap ada dan eksis sebagaimana jiwa ada sebelum kematian. Hanya saja yang terjadi adalah terpisahannya jiwa dari badan yang telah ia tempati pada awalnya. Juga, indra serta pegetahuan jiwa tersebut tidak akan hilang dari jiwa.

Ibn Hazm menegaskan bahwa jiwa itu telah diciptakan oleh Allah semenjak berabad-abad lamanya, dikala Allah menciptakan Adam. as. Dimana Allah berfirman: Qs: Al-A’raf: 72.

Maka, Allah menciptakan jiwa itu lebih dulu. Adapun kehidupan merupakan keterhubungan jiwa dengan badan atau tiupan ruh di dalam badan.[109] Kemudian Ibn Hazm berpandangan bahwa kematian adalah perpisahan jiwa atau ruh dari badan, dan beliau berargumentasi terhadap kebenaran ini dengan firman Allah. Swt.: Qs. Al-An’am: 93:

“Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat kedustaan terhadap Allah atau yang berkata: “Telah diwahyukan kepada saya”, padahal tidak ada diwahyukan sesuatupun kepadanya, dan orang yang berkata: “Saya akan menurunkan seperti apa yang diturunkan Allah.” alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zalim berada dalam tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarkanlah nyawamu” di hari Ini kamu dibalas dengan siksa yang sangat menghinakan, Karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (Perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayatNya.”

Dan firman Allah Azzawajala: Qs. Al-Baqarah: 28:

“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan kamu, Kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, Kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”

Inilah argumen syariat (naqli) menurut Ibn Hazm. Adapun argumen logis yang ia paparkan dalam menetapkan jiwa, beliau mengatakan bahwa jiwa itu tidak terjadi seiring dengan kejadian badan, maka hal tersebut tidak lantas menyebabkan jiwa itu rusak dengan kerusakan badan.[110] Ibn Hazm dalam hal ini sangat dekat dengan pendapat-pendapat Plato yang mencoba untuk menggabungkan pandangan plato dengan akidah Islam yang menegaskan kekekalan jiwa dan naiknya jiwa menuju Tuhannya. Allah berfirman Qs. Al-Fajr: 27-30 dan QS al-Baqarah: 156, dan kata kembali dan pulang ini bermakna, bahwasanya jiwa itu datang dari Tuhannya, kemudian jiwa menempel dengan badan ketika Allah menciptakannya, agar jiwa itu kembali lagi kepada Tuhannya ketika jiwa itu berpisah dari badannya untuk dihisab dan mendapatkan pahala atau hukumannya. Artinya, sesungguhnya jiwa adalah yang memiliki perbuatan yang akan dihisab, yang berarti ia pembawa akhlak.

Begitu juga al-Ghazali menetapkan kekekalan jiwa dan berargumentasi terhadap kebenaran hal tersebut melalui argumen-argumen syariat maupun logika.

Adapun argumen syariat, itu jelas dari firman Allah. Swt: Qs. Al-Imran: 168-169, dan begitu juga firman Allah azzawajala: Qs. Al-Baqarah: 154. Serta sabda Rasulullah Saw: “Arwah para syuhada itu menyerupai burung hijau yang beterbangan di taman surga.”

Maka pendapat ini bermakna bahwasanya jiwa itu kekal, tidak mati, karena kegembiraan dan memberikan kebaikan, sedekah dan kerahmatan itu hanya milik jiwa yang kekal.

Adapun argumen-argumen logika, al-Ghazali mengambil dari Ibn Sina sebagaimana yang dikatakan oleh DR. Mahmud Qasim, yaitu secara prinsip didasarkan kepada karakter jiwa dan kepada jenis hubungan jiwa dengan badan. Al-Ghazali berbeda dengan Ibn Hazm tentang pendapat tentang lebih dahulunya jiwa dalam keeksistensian (wujud) daripada badan dilihat dari waktu. Karena lebih awal jiwa daripada badan dalam waktu, itu akan menyebabkan pada sebuah kesulitan, yaitu bagaimana jiwa menjadi banyak sedangkan jiwa itu bukan materialis, dan sesungguhnya materi adalah sebab suatu jumlah yang banyak. Al-Ghazali berpendapat bahwasanya jiwa tidak mungkin akan ada sebelum badan-badannya, karena hal tersebut bermakna bahwa wujud jiwa itu tersia-sia pada sewaktu-waktu. Al-Ghazali menegaskan bahwasanya jiwa itu terjadi ketika kejadian badan, akan tetapi al-Ghazali kembali berkata sesungguhnya jiwa tidak berhubungan dengan badan dan tidak terkait dengannya, akan tetapi jiwa itu terkait dalam eksistensinya dengan sebab eksternal, yaitu pemberian atau curahan Ilahi, yang sampai pada badan manusia dengan jalan akal-akal yang berbeda. Ketika itu sesungguhnya rusaknya badan bukanlah bukti akan rusaknya jiwa, akan tetapi sesungguhnya jiwa ini adalah kekal. Tidak ada yang mengharuskan secara mutlak bahwasanya, apabila kejadian sesuatu bersamaan dengan kejadian sesuatu yang lain, itu tidak berarti ia akan rusak dengan rusaknya sesuatu yang lain itu, atau ia akan musnah dengan musnahnya sesuatu yang lain tersebut.

Itu berbeda dengan pendapat Ibn Sina dan Ibn Hazm, bahwasanya jiwa itu belum ada bersama badan. Maka dari itu, sesungguhnya kerusakan badan tidak bermakna kerusakan jiwa.

Adapun usaha Ibn Rusd dalam menggabungkan antara filsafat dengan agama, itu sampai pada sebuah keyakinan tentang kekekalan jiwa dan penetapan bahwasanya jiwa-jiwa parsial itu akan kembali dan menuju pada kehidupan yang lain.

Ibn Rusd telah menjelaskan hal tersebut dalam bukunya Manahij al-Adilah, dimana beliau mengkhususkan untuk membuktikan terhadap kekekalan jiwa secara nyata, dan beliau menyebutkan dua argumentasi logis guna menetapkan kekekalan jiwa. Kedua argumen tersebut adalah dalil fana, yaitu berarti seungguhnya manusia diciptakan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang khusus bukan yang lainnya, dan sesungguhnya manusia diciptakan dengan tujuan kesempurnaan jiwa yang berakal, dan itu adalah yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Aktifitas-aktifitas jiwa yang berakal menurut Ibn Rusd itu ada dua macam, salah satunya adalah bersifat praksis yaitu akhlak, dan yang lain adalah bersifat teoritis yang berarti khusus tentang pengetahuan.

Oleh karena itu, yang diperlukan pertama kali semestinya adalah ditemukan kesempurnaanya dalam kedua kekuatan ini. Yang saya maksud adalah keutamaan-keutamaan praksis dan keutamaan teoritis, serta aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh jiwa melalui dua keutamaan ini yaitu kebaikan-kebaikan, dan yang menghalanginya adalah keburukan-keburukan.[111]

Dengan itu, maka kematian bagi jiwa yang cerdas lagi suci, itu lebih melipat gandakan kesuciannya karena jiwa bisa lepas dari syahwat-syahwat tubuh.

Adapun jiwa yang kotor, maka kematian baginya itu akan menambah keburukannya serta membesarkan kerugiannya dari pembersihan yang telah melewatkannya ketika jiwa itu berpisah dengan badan. Karena jiwa menurut Abu al-Walid adalah esensi rohani yang terbebas dari setiap materi, dan independen dalam esensinya dari badan, maka kematian adalah berpisahnya jiwa dari badan dan bukan musnahnya jiwa.

Ibn Hazm mengambil pendapat ini sebelumnya, ketika beliau berkata: “Kematian jiwa, itu tidak seperti yang disangkakan oleh orang-orang bodoh dan orang-orang yang sesat, bahwasanya jiwa itu akan lenyap sama sekali. Akan tetapi jiwa itu ada, eksis, sebagaimana ia ada sebelum kematian dan sebelum hidup yang pertama. Tidak juga perasaan dan keilmuannya itu hilang, namun perasaan jiwa itu lebih sehat daripada sebelumnya setelah ada kematian, dan keilmuannya lebih sempurna dari sebelumnya, dan kehidupan jiwa yang merupakan perasaan, gerakan kehendak, itu kekal adanya, yang lebih sempurna dari sebelumnya.

Allah Azzawajala berfirman: Qs. Al-Ankabut: 64. Artinya, sesungguhnya pengetahuan jiwa setelah kematian itu lebih berkurang, dan perasaan jiwa menjadi lebih kuat dari sebelumnya.

Jelas, bahwasanya perkataan-perkataan IbnHazm dan Ibn rusd itu mempunyai kemiripan yang sangat besar dengan perkataan Plato, yaitu perihal argumentasi etika, dan begitu juga perhatian mereka dalam menggabungkan antara argumen-argumrn logis dan teks-teks keagamaan dari akidah Islam, serta penjelasan terhadap sisi etika, dan hubungan moral dengan jiwa.

Adapun dalil kedua yang disebutkan oleh Ibn Rusd dalam menetapkan kekekalan jiwa yaitu didasarkan pada asas hubungan antara jiwa dan badan, yaitu ketika jiwa itu berupa esensi yang independen dari badan, maka sesunggunya rusaknya badan tidak berarti rusaknya jiwa, dan pendapat ini sangat dekat sekali dengan argumentasi Ibn Sina dan Ibn Hazm bahwasanya jiwa tidak diciptakan bersamaan dengan badan, maka tidak lantas jiwa itu musnah dengan musnahnya badan.

Begitu juga Fahru ar-Razi, berpendapat bahwa jiwa itu kekal setelah musnahnya badan.[112] Beliau menegaskan, bahwa pendapat tersebut perkataan para nabi dan orang-orang bijak, lalu ar-Razi berkata: “Ketahuilah bahwa cara kami dalam kekekalan jiwa itu sesuai dengan para nabi, para wali, dan orang-orang bijak tentangnya. Kemudian arti ini makin kuat dengan penerimaan-penerimaan logika(iqna’at al-aqliah)[113]

Artinya, sesungguhnya ar-Razi menetapkan sesuatu yang ditetapkan oleh teks dalam hal kekekalan jiwa, kemudian beliau berargumentasi guna menunjukkan kebenarannya melalui argumen-argumen logika.

8. Reinkarnasi

Akan tetapi apabila jiwa itu tidak mati, maka apakah jiwa itu akan tetap hidup selamanya, atau jiwa itu mempunyai peran lain yang akan ia lakukan, atau apakah jiwa itu akan berpindah dari satu badan untuk menempati badan yang lain setelah musnahnya badan yang pertama tersebut, dan itu yang dinamakan reinkarnasi?

Ibn Hazm menggolongkan pendapat reinkarnasi pada kaum “Dahriah” yang mengatakan bahwa dunia(alam) tidak akan pernah habis, dan maka dari itu jiwa itu harus bolak-balik masuk ke dalam tubuh selamanya. Maka, jiwa selamanya akan berpindah-pindah, dan perpindahan jiwa itu bukan kepada selain jenisnya, akan tetapi perpindahan itu untuk jenisnya yang sesuai karakternya.[114] Ibn Hazm mengemukakan orang-orang yang berpendapat tentang reinkarnasi arwah, dan beliau melihat bahwasanya ada dua golongan: golongan Dahriah adalah golongan pertama, dan golongan kedua yang berafiliasi kepada Islam dengan anggapannya, dan golongan ini yang berpendapat bahwa arwah itu berpindah setelah ia berpisah dari badan menuju badan yang lain, dan meskipun perpindahannya itu bukan kepada jenis jasad yang ia tinggalkan, dan itu adalah pendapat Muhammad bin Zakaria ar-Razi yang seorang dokter, dan Ahmad bin Habid, serta lainnya dari golongan Qaramithah yang mengatakan reinkarnasi arwah sebagai cara ganjaran dan hukuman. Maka orang fasik yang berbuat kejahatan, ruhnya akan berpindah ke tubuh hewan yang buruk, dan sesungguhnya pelaku keburukan ruhnya akan berpindah menuju setan, adapun orang yang berbuat kebaika, maka ruhnya akan berpindah kepada malaikat.

Golongan ini berargumentasi dengan firman Allah Qs. Al-Infitor: 6-8:

“Hai manusia, apakah yang Telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.(6) Yang Telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang,(7) Dalam bentuk apa saja yang dia kehendaki, dia menyusun tubuhmu.(8)

Ibn Hazm telah mengkafirkan orang yang mengatakan reingkarnasi dari golongan yang berafiliasi kepada Islam, dan menyalahkan pendapat kaum ad-Dahriah yang berpendapat pada alam yang unlimitid, dan beliau menegaskan, sesungguhnya alam itu terbatas, dan bahawasanya tubuh itu terbatas, dan maka dari itu, pendapat tentang reingkarnasi adalah salah.

Golongan para ahli kalam juga menyalahkan pendapat tentang reinkarnasi arwah. Mereka berargumentasi untuk membenarkan hal tersebut, yaitu bahwasanya kita apabila telah hidup pada kehidupan yang lampau sebelum kehidupan kita sekarang, niscaya kita bisa mengingat-ingat keadaan-keadaan kita, dan pengetahuan-pengetahuan kita, yang kita miliki pada kehidupan yang pertama.

Al-Imam al-Juaini pernah mengatakan tentang jiwa yang bersifat ruh dan kekekalannya, dan jiwa tersebut tidak akan musnah dengan musnahnya badan setelah kematian, akan tetapi arwah orang yang taat akan naik ke surga dan arwah orang yang bermaksiat akan menuju ke neraka. DR. Madzkur berkata, bahwasanya teori Imam al-Haramain tentang ruhiah jiwa itu telah mempengaruhi orang Islam, dan jiwa ditakdirkan untuk hidup. Al-Ghazali mengikuti pendapat ini dan mengatakan bahwasanya argumentasi Ibn Sina tentang ruhiah jiwa itu telah mempengaruhi kaum asy’ari.[115] Berbeda dengan al-Baqilani yang berpendapat bahwa ruh adalah bentuk, dan sesungguhnya ruh tidak lain adalah kehidupan, dan maka jiwa itu tidak kekal setelah musnahnya badan. Pendapat ini berseberangan dengan pendapat kaum filosof yang mengatakan bahwa jiwa tidak mati dengan kematian badan, dimana sesungguhnya jiwa itu sudah tidak bertempat di dalam badan itu. Maka Ibn Sina berkata dalam tulisannya Ushubah Fi Amri al-Ma’adin: “Sesungguhnya jiwa yang berakal itu tidak akan musnah, karena jiwa tersebut nyata-nyata memang ada. Maka apabila jiwa yang berakal itu bisa hancur, niscaya yang sederhana, yang merupakan jiwa pada waktu jiwa tersebut mempunyai perbuatan sesuai dengan wujud(eksistensi)nya dan mempunyai kekuatan sesuai dengan fana dan kemusnahannya, hal ini adalah mustahil karena adanya dua hal yang saling beradu itu tidak mungkin ada kecuali pada dua tempat yang berbeda.[116]

Ini berarti, sebagaimana yang dikatakan Ibn Sina, sesungguhnya kebahagiaan itu untuk jiwa bukan badan.

Kita juga menemukan Ibn Bajah yang menolak anggapan-anggapan orang yang mengatakan reinkarnasi secara umum, dan beliau berkata: “Ketika penggerak pertama dalam manusia itu berupa satu hal yang tetap(kekal) dengan dirinya sendiri, maka yang ada adalah satu dengan dirinya sendiri, sebagaimana kehilangan alat-alatnya dan ia tidak menemukan peggantinya, ataupun ia menemukan penggantinya. Ketika sebagian orang yang mencermati tentang ilmu karakter itu berhenti pada pendapat ini, maka hal itu akan membuatnya mengikuti pendapat reinkarnasi, akan tetapi pendapat reinkarnasi itu adalah mustahil.[117] Perpindahan jiwa dari jasad satu menuju jasad yang lain, itu tidak boleh sebagaimana yang dikatakan penganut reinkarnasi.

Abu al-Barakat al-Baghdadi juga menyalahkan pendapat tentang perpindahan jiwa, dan berargumentasi atas tertolaknya pendapat reinkarnasi arwah, maka beliau berkata: “Sesungguhnya apabila badan yang banyak itu hanya mempunyai satu jiwa, maka bisa saja yang menjadi bagian dari badan itu adalah jiwanya sendiri atau jiwa yang lain. Dan apabila bagian dari badan ini adalah dari jiwa yang sama yang mereka namakan jiwa universal yang merupakan bagian daripada yang lain, niscaya semua perbuatan-perbuatan yang dinisbatkan kepada jiwa badan ini, dan jiwa tersebut mempunyai sesuatu yang dinisbatkan kepadanya dari badan yang lain.” Maka salah satu badan tersebut tidak dikhususkan dengan perbuatan tanpa yang lain, dan satu badan itu tidak berbeda dengan yang lain. Maka apabila seseorang itu memperoleh tanpa ada ganti, maka manusia yang lain pun akan memperoleh yang sama.

Oleh karena itu semestinya tidak ada seorang pun yang tahu dan orang lain pun tidak tahu, dan tidak ada yang tahu apabila jiwa itu mempunyai banyak badan; satu jiwa memiliki banyak badan, maka badan-badan tersebut mengambil peran dalam jiwa itu, sehingga tidak mustahil seluruh badan-badan tersebut harus mengambil bagian dalam perihal-perihal dan keadaan-keadaan ini, dan kami melihat bahwasanya hal ini sangat tidak mungkin dan kontradiksi terhadap makhluk(al-maujud)[118]

Maka dari itu, Abu Nasr as-Siraj at-Tusi juga berpendapat, ” Seluruh arwah adalah makhluk, dan ruh itu urusan Allah Swt. Di antara ruh dan Allah tidak ada sebab dan tidak ada nisbat kecuali ruh hanya milik Allah dan tunduk kepada-Nya dalam genggaman-Nya, tidak bereinkarnasi, dan ruh itu tidak keluar dari badan hingga ia masuk ke badan yang lain. Juga, ruh merasakan kematian sebagaimana badan merasakannya, ruh merasakan kenikmatan dengan apa yang dirasakan badan dari kenikmatan, ruh itu disiksa dengan siksaan badan, dan ruh itu dikembalikan dalam badan yang ia tinggalkan.

Al-’Alusi menegaskan tentang penciptan jiwa dan kematiannya, dan bahwasanya jiwa itu akan kembali lagi kepada yang ia tinggalkan pada hari kebangkitan untuk menerima pahala dan siksa.

Imam al-Ghazali dalam pendapatnya, itu dekat dengan at-Tusi bahwasanya jiwa itu akan mati dengan kematian badan, mekipun ia menegaskan bahwa jiwa adalah jauhar yang terbebas dari materi. Al-Ghazali berpandangan bahwa pendapat para filosof tentang kekalan jiwa, dan tidak ada kefanaan bagi jiwa, dari segi bahwasanya jiwa adalah jauhar. Pendapat demikian tidak pada tempatnya, karena jiwa adalah sesuatu yang sederhana, dan hal-hal yang sederhana tidak akan musnah, sebaliknya seperti jasad yang mempunyai kontruksi. Namun al-Ghazali berpendapat bahwa seluruh alam semesta akan musnah, dan alam tersebut kembali diciptakan dari awal yang mencakup didalamnya jiwa dan lainnya, karena firman Allah Swt.: Qs. Al-Qashas: 88. Al-Ghazali berpendapat, bahwa hal tersebut adalah pendapat orang-orang yang mengikuti kebenaran, yang disebutkan oleh at-Tusi bahwasanya jiwa akan merasakan kematian sebagaimana jiwa merasakannya. Akan tetapi al-Ghazali merasakan bahwa dalam pendapat at-Tusi, jiwa atau ruh akan kembali ke badan, dari situ mungkin bisa dipahami pendapat tentang rengkarnasi, maka beliau berkata: “Tidak bisa dibantah dalam hal nama-nama, maka nama yang muncul dari syariat harus dipercayai, maka semestinya ada reinkarnasi, akan tetapi renkarnasi itu ditolak dalam alam ini. Adapun kebangkitan itu tidak diingkari meskipun ia dinamakan reinkarnasi atau tidak dinamakan reinkarnasi.” Maka yang diimani oleh al-Ghazali secara yakin, adalah hari kebangkitan dan hari kiamat, yaitu hari dimana setiap jiwa akan ditanyakan tentang perbuatannya.

Ibn Rusd telah mengikuti al-Ghazali dalam pendapatnya tentang kembalinya jiwa pada suatu badan. Tidak penting jiwa akan kembali pada badan yang pertama. Sebagaimana Ibn Rusd mencoba untuk mengeritik para filosof yang mengatakan bahwasanya kebahagiaan dan kesusahan itu hanya untuk arwah dan bukan badan, dan mereka mengingkari kebangkitan jasad, meskipun sesungguhnya jiwa itu tersebar dalam tubuh, dan hal tersebut diyakinkan dengan teks-teks keagamaan. Sesungguhnya seluruh syariat itu sepakat akan adanya hari akhir setelah kematian, meskipun hari akhir tersebut berbeda-beda dalam sifat wujudnya. Sebagaimana mereka sepakat dalam perbuatan-perbuatan yang akan menyebabkan kebahagiaan akherat, dan meskipun mereka berbeda dalam memberikan standar bagi perbuatan-perbuatan manusia. Sesungguhnya keyakinan ini penting karena ada kebaikan-kebaikan moral bagi manusia, keutamaan-keutamaan teoritis, dan karya-karya perbuatan. Maka manusia tidak mempunyai kehidupan dalam dunia ini, dan juga di dalam akherat kecuali dengan keutamaan-keuatamaan teoritis. Manusia tidak bisa mencapai hal tersebut kecuali dengan keutamaan-keutamaan etika, dimana keutamaan-keutamaan etika tersebut diperhatikan oleh agama Islam dan para pemikir muslim atas keutamaan etika tersebut dan jiwa manusia sebagai pembawa akhlak manusia.

Untuk itu, sekarang kita rasakan penting untuk mencurahkan studi-studi orang Islam tentang akhlak, dan menjelaskan perhatian mereka terhadap akhlak, serta penelitian-penelitian mereka terhadapnya.

Bab III : ETIKA ISLAM

Sudah tentu ada keterikatan kuat antara jiwa dengan akhlak

Bahwasanya jiwa manusia merupakan sumber setiap etika dan moral, terlebih lagi mempunyai hubungan yang logis antara penelitian didalam kejiwaan dengan penelitian didalam moral. Hal itu jelas sekali sebagaimana yang kami ketengahkan dalam pembahasan-pembahasan jiwa, penjelasan karakteristiknya, ciri-ciri pentingnya, dan kelebihan-kelebihannya. Sebuah keyakinan tentang abadinya jiwa merupakan problem yang krusial untuk mensuport tegaknya kehidupan moral yang peka dengan tanggungjawab, perhitungan, ganjaran dan hukuman. Hubungan ini akan terlihat lebih jelas ketika kita membahas masalah akhlak, dimana kebanyakan dari keutamaan-keutamaan akhlak itu merupakan ranah potensi jiwa manusia.

Untuk itu, telaah terhadap kejiwaan dan moral merupakan inti penelitian tentang kemanusiaan dalam bidang filsafat. Maka kita tidak terlepas dalam penelitian kejiwaan itu dengan akhlak. Filsafat humanisme Islam itu lebih menguatkan hal tersebut, yang telah mengikat antara pembahasan kejiwaan dengan pembahasan moral, dan hal ini sepakat dengan sekte pemikiran filsafat moral secara umum. Baik menurut filasafat Yunani sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato dalam pembahasan psikologi dan keutamaan-keutamannya, hal senada juga diikuti oleh Aristoteles ketika mendefinisikan moral. Sebagaimana akhlak memerdulikan manusia selayaknya manusia[119], bahkan manusia sebagai makhluk yang bermoral.

Pendapat ini banyak diikuti dari kebanyakan filosof modern dan kontemporer. Seorang filosof dari prancis yang bernama Paskal memberikan definisi terkait dengan moral sebagai keilmuan manusia. Dia mengingatkan para pemikir yang hidup dizamannya untuk lebih meneliti kekurangan dan keburukan yang ditimbulkan oleh sebuah karakter dalam jiwa dan perbuatan manusia. Kant berasumsi, bahwasanya akhlak berhubungan dengan manusia dari tinjauan bahwasanya dia makhluk yang berakal[120].

Anda juga akan menemukan pandangan ini secara gamblang didalam Islamic thought ‘pemikiran Islam’. Filosof moral dari kalangan muslim mencurahkan perhatian terhadap psiko (an-nafs) sebagai sumber perilaku moral ‘moral ettitude’. Ibn Maskawaih dalam mukadimah bukunya yang bertajuk “At-Tahdzib”, mengemukakan: “Dalam buku ini kita mempunyai tujuan untuk menghasilkan sebuah moral pada diri kita yang bisa melahirkan perbuatan cantik ‘beaitiful attitude’, dengan begitu kita akan mudah, bukan kesusahan dan bukan kerintangan. Itu bisa terealisir dengan perbuatan dan ajaran sebab-akibat. Cara untuk mencapai poin tersebut, kita harus mengetahui diri kita; apa sih diri kita? Bagaimana sih nafs kita? Untuk apa kita itu ada? Apasih potensi dan bakat diri kita? Yang biasanya kita gunakan untuk status keilmuan yang semestinya”[121]

Hal senada juga dikemukakan oleh Imam Ghozali dalam mendefinisikan ilmu akhlak, bahwasanya moral adalah[122] ilmu yang mempelajari perbuatan kehendak manusia yang bersumber dari analisis dan observasi[123]. Umat muslim berkata, sesungguhnya apa yang diambil dari manusia dari etika itu moral, karena moral menjadi seperti makhluk dari moral tersebut, maksudnya adalah dia adalah kondisi untuk sebuah psikologi dan salah satu bentuk perbuatan dari an-nafs yang berjalan secara kontinu, sehingga hal tersebut menjadi sebuah karakter pada nafs ‘jiwa’ itu sendiri, dan menjadi tata cara. Melalui tata cara tersebut kita berperilaku atau bersikap menurut perilaku, dan akhirnya an-nafs itu berjalan sesuai dengan ritmenya.

Dalam hal ini Ibn Hazm menambahkan, bahwasanya akhlak itu terbawa dalam jiwa, dan membawanya, dan kaifiah nafs itu berkisar antara perilaku baik-buruk[124].

Yang terhormat Syekh DR. Abdurrahman Baisor juga menegaskan dalam bukunya yang berjudul Al-Akidah wal Akhlak. Ketika mencoba mendefinisikan akhlak secara komprehensif, beliau berkata: “sebenarnya akhlak adalah perbuatan baik, tata cara memperolehnya agar manusia itu mampu mengaplikasikannya, untuk mengetahui perbuatan baik dan buruk, serta tata cara menjauhinya, agar manusia bisa terbebas dari keburukan, dan memahami prinsip-prinsip perilaku manusia dengan tolak ukur untuk mengukur perbuatan kehendak manusia, sehingga ia bisa memberikan justifikasi bahwasanya perilaku itu baik atau buruk, dengan menyertakan akibat untuk perilaku tersebut.”[125]

Fungsi akhlak yang paling fundamental adalah merealisasikan kebahagiaan nafs, ketenaangan hati bagi manusia, menciptakan kehidupan yang tentram, serta membuat kehidupan yang menyenangkan dalam kehidupannya yang sekarang maupun yang akan datang.

Ibn Hazm juga berpendapat: “Bahwa sesungguhnya hakekat filsafat adalah makna, fungsi, tujuan, hanyalah berkisar memperbaiki diri agar perilaku yang baik dapat digunakan dalam filsafat itu, dan perilaku yang baik itu akan berakibat pada kebaikannya dimasa yang akan datang[126]. “

Hal serupa juga diutarakan oleh Ibn Bajah dalam penelitiannya tentang akhlak, beliau berkata: “Sesungguhnya ilmu akhlak adalah ilmu yang mencakup seluruh makhluk yang ada atas kehendak yang baik dan buruk. Maka dari itu, ia lebih memperhatikan pada sisi perbuatan manusia sebagai topik pembahasan ilmu akhlak, dan bagian ini menjelaskan tentang aspek ikhtiar yang merupakan ciri khusus perbuatan manusia, dan sebagai pondasinya melebur dalam tanggungjawab, pahala, dan hukuman.”

Imam Ghozali juga mengemukakan: “bahwasanya ilmu akhlak itu merupakan ilmu ‘takayun nafs’ ilmu tentang adaptasi nafs, dan mengembalikannya sesuai apa yang digariskan oleh syariah.”[127] Maka syariah Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap akhlak, dan memberikan penjelasan tentangnya. Dan mensuportnya agar konsisten dalam perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk, tarbiah nafs, dan menghaluskan akhlaknya.

Terkait hal ini juga, syariah dalam perpekstif Ibn Maskawaih adalah yang mebina filsafat, karena syariah lebih mengurusi akhlak daripada filsafat. Dia berkata, “Syariatlah yang memberikan kontrol terhadap setiap peristiwa dan memberikan obat untuk perilaku-perilaku yang menyimpang, dan menyiapkan jiwa-jiwa manusia agar lebih siap menerima hikmah, mencari fadhilah dan menuju kebahagiaan manusia melalui akal yang sehat serta nalar yang lurus, sekaligus berbakti kepada orang tua melalui kebaikan tersebut.”[128]

Sungguh, pada dasarnya syariat Islam dan teks-teks Al-Quran telah menjelaskan secara detail tentang teori akhlak. Ia banyak membicarakan tentang jiwa dan akhlak manusia, serta banyak menyuguhkan solusi-solusi problematika moral, dimana para filosof dan orang bijak itu masih sibuk dalam hal ini. Ia juga membicarakan tentang perilaku seseorang dengan Tuhannya, diri sendiri, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, teman-temannya, hingga dengan musuh-musuhnya, sehingga kita jarang menemukan problematika moral yang belum terselesaikan oleh Al-Qur’an. Hadits Nabi juga memerinci apa yang ada dalam Al-Quran, seperti firman Allah QS. As-Syams [91]: 7-10:

“7. Jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, 9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Maka jiwa membawa akhlak yang mulia dan akhlak yang buruk, namun manusia mempunyai kehendak dan ikhtiar untuk memilih perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk.

Al-Quran juga menjelaskan, bahwasanya manusia itu memiliki ‘basiroh’ pandangan moral dan kesadaran perihal yang menyangkut dirinya. Allah berfirman dalam Qs. Al-Qiyamah [75]: 14-15:

“14. Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri, 15. meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”

Al-Quran juga menjelaskan, bahwasanya meskipun hawa nafsu itu lebih condong kepada keburukan (amarotun bis-su’), akan tetapi ia juga mampu untuk mengontrol perasaan dan keinginannya. Sebagaimana Allah mengatakan, QS. An-Nazi’at [79]: 40-41:

“40. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, 41. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).”

Di sini Anda dapat melihat, apakah perhatian dari sisi agama Islam serta para pemikir muslim terhadap psikologi dan akhlak tersebut cukup untuk membuktikan betapa jerih payahnya umat Islam terhadap pembahasan topik ini (moral). (Hal demikian) Guna menyangkal perkataan orang, bahwasanya pemikiran Islam ‘Islamic thougt’ itu tidak pernah membahas sisi teori moral atau falsafah moral, dengan dalih bahwasanya orang muslim tersebut merasa cukup dengan ajaran-ajaran teks yang bersumber dari Al-Quran dan Hadits, sehingga hal tersebut membuat para umat Islam enggan untuk melakukan kajian ataupun pembahasan dan penelitian filsafat tentang akhlak.

Prof. Carradevaux mengungkapkan tentang ini dalam pendapatnya: “Sebenarnya akhlak ditinjau sebagai disiplin ilmu yang independen, itu tidak memperoleh perhatian dari orang Islam.” Pendapat ini jelas salah, sebagimana yang telah kami jelaskan tentang perhatian yang besar dari orang muslim terhadap akhlak, dan sebagaimana diketahui, bahwa tujuan agama Islam itu adalah akhlak. Rasulullah Saw berkata: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.”

Ibn Hazm juga menjelaskan tentang perhatian orang muslim pada akhlak. Dia berkata: “Tidak mungkin, untuk memperbaiki diri itu dengan filsafat saja, tanpa nubuah. Islam itu begitu memperhatikan akhlak manusia, dan mendengungkan agar dipelajari oleh manusia. Maka Allah mengutus Rasulullah Saw sebagai nabinya, guna mengajari manusia serta memperbaiki akhlak-akhlaknya. Islam telah datang dengan segenap ajaran-ajaran akhlaknya untuk manusia, dan bukan untuk golongan tertentu, akan tetapi mencakup seluruh manusia yang mempunyai sifat sebagai manusia. Islam mengajak manusia agar menjadi makhluk yang ramah, kamil, dan beramal baik.” Allah berfirman dalam Qs. Hud [11]: 112:

“112. Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat besertamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”

Sebenarnya kita bisa berkata -sebagaimana yang dikatakan Kamal Ja’far- bahwa fase yang paling membahagiakan bumi dengan risalah Nabi Muhammad adalah ketika akhlak Islam itu eksis yang didasarkan pada prinsip-prinsip agama yang kuat, sehingga nampak kemuliaannya, dan kokoh ketika berhadapan dengan tantangan[129] serta kondisi yang akan mempengaruhinya.

Yang mereformasi jiwa manusia. Ibn Hazm telah menjelaskan hal tersebut ketika berbicara tentang kenabian dan kemuliannya. Dia berkata: “Kita bisa mendapati tiga hal manfaat yang datang dari kenabian (Muhammad); pertama, memperbaiki akhlak jiwa dan mendatangkan kebaikannya seperti egaliter(keadilan), dermawan, harga diri, kejujuran. Kedua, pertolongan pada tempatnya, kesabaran, khilm, rahmat. Ketiga, menjauhi keburukan jiwa yang merupakan kebalikan dari apa yang kita sebutkan tadi.” Ini merupakan manfaat besar yang dibutuhkan oleh seluruh penghuni dunia, dan sudah tentu menurut logika bahwasanya jiwa yang baik itu mengobati jiwa lebih bermanfat daripada mengobati jasmani, karena mengobati jasmani merupakan bagian dari mengobati jiwa.

Dari sini jelaslah bagaimana Islam memperhatikan akhlak dan memperhalus budi pekerti, serta bagaimana Islam menanamkan pekerti itu dan mendidik jiwa manusia, begitu juga bagaimana para pemikir Islam mencurahkan pikiran mereka terhadap akhlak. Mereka mempunyai teori dan pendapat yang sarat nilai dan manfaat yang tidak kalah dengan penelitian yang dilakukan para pemikir Yunani dan modern.

Realitasnya, kebanyakan dari pelajar kontemporer melakukan percobaan guna membuka tabir mengenai bagian penting itu, yang notabene salahsatu dari bagian pemikiran orang Islam. Sehingga munculah banyak penelitian dan kajian pada bagian ini. DR. Zakki Mubarok mencanangkan sebuah kajian tentang akhlak menurut al-Ghozali. Begitu juga DR. Abdul Azziz Izzat yang melakukan kajian menurut Ibn Maskawaih. Hal senada juga dilakukan oleh DR. Ahmad Subhi pada penjelasannya tentang filsafaat akhlak dalam pemikiran Islam ‘Islamic thought‘. Dan banyak juga yang melakukan kajian tentang akhlak menurut sufisme. Begitu juga kajian yang dilakukan di India tentang akhlak Islam yang diprakarsai oleh Prof. Donaldson, dengan mengeluarkan sebuah buku yang bejudul “Etic Studies in Muslim”, yang dalam buku tersebut ia menegaskan bahwasanya setelah kurun waktu perluasan Islam secara militer dan mulai mengikisnya jahiliah, para pemikir Islam mulai melakukan kajian kembali terhadap akhlak sebagai sebuah topik yang khusus dari kajian-kajian metafisika dan analogi, mereka menamakan sebagai etik-praksis. Akan tetapi, kajian tersebut belum menjadi kajian yang integratif dalam pemahamannya tentang Al-Quran, yang diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk dan rahmat bagi semesta alam. Ajaran-ajaran etika untuk orang Islam bersumber dari Al-Quran sendiri dan kepribadian Muhammad Saw, serta perilaku beliau dijadikan sebagai tolak ukur akhlak Islam dan contoh yang baik untuk sahabat, tabiin, dan semua umat Islam.

Al-Bahits, seorang yang melakukan kajian menegaskan, bahwasanya perhatian orang Islam terhadap akhlak itu tidak berhenti pada tataran etika mereka pada akhlak Rasulullah. Saw. Mereka memegang teguh akhlak beliau, akan tetapi penelitian dan kajian mereka tentang akhlak telah sampai pada pembahasan problematika filsafat yang berkaitan dengan akhlak Islam. Hal tersebut tampak jelas dalam akidah “al-wa’du al-wa’id”, tanggung jawab personal, dan pahala. Ini merupakan arah filsafat yang dominan dalam para mutakalim, khususnya mu’tazilah[130]. Dalam pembahasan dua aliarn ini, Prof. Dalndson menambahkan, ada aliran yang ketiga, yaitu filosof muslim yang mempelajari filasafat Yunani, dan mereka terpengaruh dengan etika filsafat Yunani, sehingga mereka mencoba untuk menggabungkan antara agama Islam dengan etika Yunani. Di antara yang mengikuti ini yaitu Ibn Sina, Farabi, dan ikhwan wasofa.

Kemudian berbicara akhlak ahli sufi, dan menampilkan akhlak menurut Ibn Maskawaih dan Ghazali sebagai sebuah model untuk penelitian-penelitian ini. Inilah yang dilakukan oleh para peneliti untuk mengungkapnya secara obyektif dalam kebenaran, bahwasanya pemikiran Islam ‘Islamic thought’ itu eksis dengan adanya para pemikir yang mencurahkan perhatiannya dalam meneliti akhlak. Mereka mempunyai hasil kajian yang melimpah dalam hal ini.

Kami akan mencoba menampilkan akhlak Islam lebih jelas dari gambaran ini. Dalam artian ini menegaskan, dengan memuncullkan berbagai macam aliran dalam pemikiran etika Islam, dan pemaparan tema-tema penting didalam pembahasan ini. Salah satu manfaat yang mungkin bisa kita petik dari paparan aliran-aliran tersebut, adalah usaha menanamkan prinsip-prinsip akhlak yang baik dalam diri manusia, serta mempraktekkan nilai-nilai rohani agama di dalam turats Islam, dimana ia mempunyai peran yang signifikan terhadap negara-negara barat. Maka mereka dapat mengambil banyak manfaat dari nilai-nilai ini dan berpegang teguh kepada kebaikan ini, sedang kita menjadi orang asing dari nilai-nilai itu. Karena kita membutuhkan sebuah figur yang mau menanam nilai-nilai itu; dan memberikan perhatian terhadap nilai-nilai tersebut pada generasi muda sehingga mereka tumbuh dalam nilai-nilai yang terhormat serta mengaplikasikan akhlak.

Sejak awal kita bisa menjelaskan, bahwasanya ada aliran-aliran etik dan sekte pemikiran yang bermacam-macam untuk orang Islam. Aliran-aliran ini begitu populer hingga tumbuh menjadi besar dan banyak kegunaannya. Kurang lebih ada 5 aliran, yaitu:

1. Aliran pertama, yaitu golongan etik religi.

2. Golongan hikmah etik

3. Golongan seperti yang dikemukakan para mutakalim, yaitu golongan mutakalim.

4. Aliran filosof Islam yang terpengaruh dengan pemikiran Yunani.

5. Sufisme. Orang-orang sufi, yang berpendapat hakekat tasawuf adalah ilmu akhlak jiwa.

1. Aliran Etik Religi

Mereka adalah golongan yang mau mengenalkan nilai-nilai akhlak teks-teks keagamaan, serta memahami kandungan akhlak pada risalah Nabi Muhammad. Mereka mengagumi perilaku Rasulullah (sebagai bagian) dari etika yang luhur. Allah telah memilih dan menyucikannya dari seluruh manusia agar menjadi teladan serta menjadi petunjuk bagi manusia. Untuk itu, Allah membekali beliau dengan akal yang cemerlang dan ilmu yang mumpuni, hikmah yang luas, dan perilaku yang terpuji. Beliau mempunyai pengaruh yang indah, sampai-sampai para ulama berterus terang, andaikan beliau tidak mempunyai mukjizat niscaya akhlak dan sifatnya pun cukup sebagai bukti kenabiannya. Keutamaan akhlak Rasulullah itu belum pernah ada pada diri seorang pun selain beliau sendiri. Beliau adalah manusia yang sempurna, teladan yang tinggi, untuk akhlak yang mulia. Sayidah Aisyah ra, pernah ditanya tentang Rasulullah Saw, maka beliau menjawab, “Akhlak Rasulullah adalah Al-Quran.” Artinya, ini merupakan fenomena praksis dari Al-Quran yang sarat akan nilai sempura etika, yang seharusnya dipopulerkan dan diajarkan oleh generasi muda. Sehingga bisa membekas dan bisa mengambil ajaran-ajarannya, maka tumbuh jiwa yang sehat, akhlak yang baik, dan memiliki semangat kuat yang memiliki prinsip dan keyakinan. Dengan demikian dapat terealisir tujuan Rasulullah Saw. Di dalam hadits, beliau berkata, “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak-akhlak yang mulia.” Rasulullah Saw telah menjelaskan diutusnya beliau menjadi rasul, maka beliau mengukuhkan sebuah tujuan serta menegaskan keinginan kepada umatnya supaya menuju kekedamaian dan ketentraman.

Tatkala akhlak Rasulullah Saw adalah tempat cintanya kepada Allah dan meraih ridho-Nya, dalam firman-Nya, Allah memuji akhlak tersebut Qs. Al-Qalam [68]: 4:

“4. Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”

Allah telah memerintahkan pada hambanya agar berperilaku dan berakhlak mengikuti Rasulullah. Allah berfirman: Qs Al-Alhzab[33]: 21:

“21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.“

Bagaimanasih generasi Islam pertama bergegas meniru akhlak Rasulullah Saw dan mengikuti perilakunya, serta mengisahkan keindahan sejarah beliau? Pada waktu itu, para sahabat mencontoh Rasulullah Saw dari apa yang disaksikan yang dikagumi dari keagungan akhlak Rasulullah Saw. Apabila kita berdalih bahwasanya keagungan tersebut implikasi dari ujian manusia, maka kita katakan bahwasanya Muhammad saw merupakan orang yang paling mulia di antara orang-orang yang mulia, karena beliau telah menanggung beban dipundaknya untuk mengangkat derajat rohaniah dan akhlak untuk kaumnya, bahkan untuk seluruh umat manusia. Beliau telah sukses merealisasikan tujuan tersebut, yang belum pernah diraih oleh siapapun. Kesuksesan tersebut diraih melalui adanya agama Islam. Islam telah menguasai dunia sejak kurun waktu yang lama dalam hal militer dan sistem, indahnya karakter dan akhlak. Dalam menciptakan manusia-manusia yang berakhlak dan toleransi agama yang mulia.

Kemuliaan akhlak dan perilaku nabi merupakan guru yang besar, pendidik yang jujur . setiap ucapan dan perbuatan beliau tidak pernah bersumber dari nafsu dalam dirinya, akan tetapi merupakan konstruksi wahyu ilahi dan ilmu laduni: Qs. An-Najm: 3-4:

“3. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. 4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Generasi Islam pertama telah mencurahkan jerih payahnya dalam merealisasikan akhlak tersebut dan memahami prinsi-prinsip dan nilai ini, yang menjadi barang berharga buat mereka, yang menjadi sebuah metode dalam bertutur kata dan berperilaku.

Orang Islam juga khawatir hilangnya nilai-nilai akhlak ini atau melupakan peninggalan moral itu, maka mereka menulis atau membukukan hadits-hadits nabi tersebut dan mengumpulkan atsar dan sunan.

Demikianlah, gerakan mencetak dan mengumpulkan hadits itu mulai membidik pada nilai-nilai akhlak, dan menyeru untuknya (mengumpulkan hadist-hadits akhlak). Sebagaimana sejarah Nabi Muhammad itu sendiri mencakup aspek-aspek yang mulia diri nabi dan para sahabatnya, dengan demikian kehidupan akhlak menjadi sebuah karakter daripada menjadi sebuah tulisan, dan ujaran daripada sebuah aksi, khususnya setelah situasi politik ,sosial, dan ekonomi itu berubah-ubah. Lalu orang-orang mulai fokus melihat akhlak dengan melakukan studi analisis. Mereka mulai membaca buku-buku dan karya-karya yang berisi tentang akhlak ini, dan menjelaskan terhadap keutamaan akhlak tersebut dengan cara ceramah dan mauidzoh, dan pemahaman terhadap isi dan hadits nabi.

Buku-buku itu juga mencakup tentang cerita dan hikayat yang mencakup nilai-nilai akhlak, dan menyerukan kepada umat manusia agar mempraktekkan keutamaan moral, dan menjauhi keburukan. Di antara karya-karya penting tersebut adalah semisal kumpulan risalah yang ditulis oleh seorang tokoh pendidik anak-anak para raja. Nama beliau Abubakar Abdullah bin Muhammad yang lebih dikenal dengan Ibn Abi Dunnya.[131]

Dalam risalah tersebut, beliau juga memberi perhatiannya dengan membahas problematika moral etik serta perilaku dengan cara menyebutkan hadits-hadits nabi, dan menampilkan pendapat para sahabat dan para tabiin.

Di dalamnya, beliau juga mengumpulkan materi yang kaya yang terdiri dari Al-Quran, hadits, syiir-syiir, kata-kata bijak persia, dsb. Ia juga menampilkan banyak cerita, banyak hikayat tentang orang zuhud, ahli ibadah, sahabat, dan orang-orang arab, serta menjelaskan karakter akhlak Islam. Karya-karya seperti ini ibarat wangian bunga yang menyihir generasi muda sehingga perhatian mereka mulai tertuju terhadapnya serta mempelajarinya, karena ajaran-ajaran tersebut mengandung toleransi, optimisme, dan harapan untuk mendapatkan pintu maaf Allah sehingga jiwa menjadi lurus dan akhlak pun menjadi baik.

Aliran keagamaan ini telah populer sebagian besar para pemikir Islam ketika mereka membahas akhlak, khususnya Ibn Maskawaih yang konsisten memegang syariat dalam pendidikan akhlaknya.

Beliau menunjukkan arti penting perintah-perintah Tuhan, dan mulianya urusan agama sebagai petunjuk bagi manusia menuju jalan yang benar.

Pendekatan beliau dalam menuangkan puncak hikmah[132] yang menanamkan rasa cinta terhadap kebaikan, egaliter, melakukan kebaikan, dan menjauhi keburukan dalam jiwa manusia.[133] Menurut Ibn Maskawaih, syariah adalah teks-teks Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad[134], yang wajib kita taati, kita hargai prinsip dasarnya, kita laksanakan perintah-perintahnya tanpa interupsi dan diskusi.

Hal tersebut harus mulai tumbuh sejak kecil, sehingga akhlak menjadi sebuah karakter, dan akal mempunyai kemampuan dalam mempraktekkan dan mengetahui hal itu sebagai kewajiban moral. Ibn Maskawaih berpendapat: “Sesungguhnya syariatlah yang mengontrol setiap kejadian manusia dan menyembuhkan perilaku-perilaku yang menyimpang. Syariat juga yang membuat diri manusia menjadi siap menerima hikmah dan mencari kebaikan, mencapai kebahagiaan manusia dengan pemikiran yang sehat, logika yang rapih, dan kewajiban terhadap orang tua”[135].”

Ibn Maskawaih berpendapat, bahwasanya di dalam agama itu terdapat hikmah-hikmah moral dan kebaikan manusia yang cukup untuk mendidik etika dan menghaluskan perilaku, membiasakan manusia untuk berakhlak baik dan menjauhi keburukan. Beliau menegaskan, bahwasanya akhlak harus sudah menjadi kebiasaan sejak waktu dini dalam hidup manusia.

Hal tersebut bisa terealisir dengan mengikuti ajaran prinsip-prinsip syariat tanpa harus berfikir ulang ataupun melihat, interupsi, mupun diskusi. Sehingga etika yang baik itu menjadi kebiasaan, karakter, dan perilaku. Maka apabila orang tersebut beranjak dewasa, ia mampu memahami sebuah karakter dengan akalnya, sebab-akibat, serta dirinya dengan mudah bisa mengambil sebuah filsafat dan fadhilahnya. Karena ia sudah terbiasa dengan kehidupan yang baik dan perilaku lurus yang “disebabkan” oleh agama. Sehingga kebahagiaan dan ketenangan jiwa bisa terealisir untuknya.

Ibn Maskawaih juga berkata: “Orang yang bahagia itu, sejak kecilnya merupakan orang yang sudah menjalankan serta mempraktekkan syariat. Sehingga ia sudah terbiasa dengan perintah-perintah tersebut. Oleh karena itu apabila ia sudah pada titik dimana ia mampu untuk mengenali sebab-sebab, maka ia bisa memetik sebuah hikmah. Maka hikmah tersebut dirasakan cocok untuknya dikarenakan kebiasaannya yang baik. Dengan demikian akalnya bisa lurus, mata hatinya bisa kuat, dan keinginannya bisa terealisir[136].

Di dalam mengajarkan perbuatan baik, mendidik diri manusia, menyelaraskan jiwa manusia dan melembutkannya, serta mengobati penyakit-penyakit diri manusia, Ibn Maskawaih berpedoman pada ajaran-ajaran agama dan perilaku moral Rasulullah yang mulia. Karena menurut beliau, syariat merupakan azaz sekaligus pondasi dalam menciptakan akhlak serta menyempurnakan diri dengan melakukan perbuatan baik dan menjauhi keburukan.

Dari sini tampaklah keterkaitan aliran keagamaan dengan pengaruh syariat dalam membentuk hikmah moral, sehingga seseorang memiliki harga diri, bersikap berani dan mempunyai kontrol….

Tanda harga diri yang terdapat pada diri seseorang itu, cukup dilihat melalui perilaku badannya, sehingga sikap berlebih-lebihan itu tidak merusak dirinya atau menghancurkan harga diri…, dan tanda keberanian pada diri seseorang itu adalah memerangi gejolak nafsunya yang buruk sehingga keinginan yang buruk ’syahwat’, dan amarah yang membabi buta itu tidak menaklukan dirinya. Adapun tanda-tanda orang bijak adalah tidak salah langkah dalam mengambil keyakinan, sehingga tidak terlewatkan ilmu dan pengetahuan yang baik guna memperbaiki dirinya terlebih dahulu kemudian menyelaraskannya dengan bekal ketaatannya, atau rasa keadilan yang ia peroleh dari usaha-usaha tersebut.[137]

Aliran keagamaan ini juga tampak bagi seperti seorang pemikir lain yang tergolong pioner pemikir Islam, beliau adalah imam Ibn Hazm, yang sangat tegas berpegangan Al-Quran dan sunah, yang senantiasa istikomah pada ajaran-ajaran agama dan Rasulullah. Beliau menjelaskan arti penting ajaran tersebut dalam pendidikan dan memperbaiki akhlak. Beliau berkata: “Sangat tidak mungkin, untuk memperbaiki akhlak diri manusia itu hanya dengan filsafat tanpa ajaran kenabian, karena ketaatan kepada selain Allah itu tidak wajib. Golongan ahli logika berbeda pendapat dalam pembenaran akhlak ini. Orang yang mempunyai aura amarah yang begitu dominan dalam dirinya tersebut tidak sependapat dengan pandangan orang yang memiliki aura nabatiah yang menguasai dirinya, dan kedua orang tersebut juga berbeda dengan orang yang mempunyai kekuatan logis yang mendominasi dirinya.”[138]

Hal tersebut berarti, bahwasanya Ibn Hazm mempunyai pandangan, bahwa memperbaiki akhlak diri manusia itu pertama-tama dengan cara ketaatan terhadap risalah Nabi Muhammad, dan mengikuti akhlak Rasulullah yang mulia, karena akhlak beliau merupakan contoh dalam segala hal serta suriteladan dalam perkataan dan perbuatan. Untuk itu beliau berkata: “Engkau harus mengikuti ajaran dan akhlak Nabi Saw. Barangsiapa yang ingin kebaikan akherat, kebaikan dunia, jalan yang mulus, berakhlak yang baik, dan mendapatkan kebaikan sekaligus seluruh rahasia dibaliknya, maka contohlah pribadi Rasulullah Saw , serta praktekkan akhlak dan perilaku belia sebaik mungkin. Semoga Allah membantu kita untuk mengikuti baginda rasulullah.[139]“

Agama dan syariat, oleh Ibn Hazm juga dijadikan sebagai landasan dalam menciptakan akhlak dan praktek terhadap amal yang baik, ketaatan, serta membiasakan mematuhi perintah Allah dan mempraktekkan akhlak Rasulullah dalam perilakunya. Karena Rasulullah merupakan contoh, suriteladan, sekaligus model yang baik yang dinominasikan. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Rasulullah Saw itu menjadi contoh dalam segala kebaikan, dimana allah telah memuji akhlaknya. Allah telah mengumpulkan segala bentuk kebaikan yang sempurna dalam dirinya, dan allah menjauhkan segala kekurangan dalam dirinya, apa yang butuhkan pun tidak susah untuk didapatkannya. Beliau makan kurma tanpa dengan roti, roti tanpa dengan kurma, menjenguk orang sakit dengan beberapa sahabatnya dengan berjalan kaki diujung kota… mengambil bahan makanan, tidak menerima pemberian yang lebih, meninggalkan apa yang tidak dibutuhkan. Beliau makan sebatas kebutuhannya saja, tidak marah pada dirinya sendiri, dan tidak marah kepada Tuhannya.”[140]

Ibn Hazm memberikan sebuah analogi tentang kesuritauladanan Nabi, serta memaparkan gaya kehidupan beliau, perilaku etika beliau, kesederhanaannya, dan zuhudnya…. Sudah pasti, bahwasanya kehidupan Rasulullah Saw sebagai contoh kesederhanaan, zuhud, ketakwaan, wara, sehingga kehidupan sahabat dan tabiin itu juga seperti itu. semua ini adalah buah dari ilmu yang kuat (kesadaran), bahwasanya dunia itu fana, dan akherat itu lebih baik dan kekal.

Untuk itu, wajib mengaplikasikannya, serta tidak terbuai dengan dunia, tidak tertipu, tetap waspada menjaga nilai tersebut, dan meletakkan dunia itu hanya sebatas kehidupan manusia yang sewajarnya tanpa ada sifat tamak dan rakus yang notabene kedua sifat itu adalah penyebab kebingungan dan kotor. Beliau berkata: “Sesungguhnya kerisauan dan kebingungan itu niscaya ada pada diri setiap manusia[141]. Beliau menasehatkan agar menjauhi perasaan bingung, dan menegaskan bahwasanya beramal untuk akherat itu lebih menyelamatkan dari segala keburukan dan membersihkan dari semua hal kotor, dan hal tersebut itu akan memberikan kemampuan untuk mengusir rasa bingung, karena orang yang berbuat dengan tujuan akherat apabila sedang dilanda sebuah musibah ia tidak akan bergeming, bahkan masih merasa bahagia, karena dia mempunyai harapan dibalik apa yang ia terima dari musibah itu. Karena dunia itu fana, dan semua orang yang mengejar dunia tidak akan mendapatkan apapun kecuali kebingungan, dan ketentraman serta kedamaian itu bisa diperoleh secara total dengan kembali(menghadap) kepada allah.”

Ibn Hazm berpendapat, bahwasanya orang yang mengharapkan pahala akherat itu seperti malaikat[142], dan yang diketahui manusia guna mencapai hal tersebut tidak ada jalan kecuali memperhatikan sisi kebaikan serta menjauhi sisi keburukan, karena kebaikan dalam beragama itu taat kepada Allah Swt, dan keburukan dalam beragama itu bermaksiat kepada-Nya[143]. Untuk itu, semestinyalah merealisasikan ketaatan serta menjauhi maksiat, dan membiasakan diri untuk menjauhi segala keburukan dan maksiat, melatih diri untuk mencintai kebaikan sekaligus melakukannya, dan taat kepada Allah pada setiap perintah dan larangannya. Sehinga pembiasaan dan latihan kebaikan-kebaikan tersebut menjadi perilaku sehari-harinya dan menjadi karakter pada dirinya, karena kebaikan-kebaikan tersebut merupakan tatacara sikap yang akan dibawa pada diri. Dengan ini seseorang akan mampu untuk melakukan dan menjaganya, tanpa aral dan kesusahan. Artinya, sesungguhnya Ibn Hazm berpendapat akan melatih diri dan menggemblengnya, beliau menegaskan bahwasanya melatih diri itu lebih sulit dari melatih singa, karena singa-singa yang biasanya dipelihara oleh raja apabila dimasukkan di dalam jerujinya maka akan aman dari terkamannya, akan tetapi meskipun diri manusia itu dipenjara belumlah aman dari keburukannya.[144]

Ibn Hazm juga mencontohkan, melatih dan membiasakan diri untuk berperilaku baik dan menjauhi keburukan. Beliau berbicara tentang dirinya, bahwasanya dengan kebiasaan ia mampu melepaskan dirinya dari keburukan-keburukan yang mengotori perilaku yang akan menguasai dirinya. Sebenarnya cara-cara beliau adalah dengan rajin intropeksi, sebagaimana apa yang diwasiatkan oleh para nabi dan orang-orang bijak. Dengan menyebutkan beberapa keburukan yang pernah menguasi dirinya seperti amarah, kebencian, ujub, riya, dan ego, setelah itu beliau berkata: “Saya masih saja mengobati semua pernyakit itu dengan cara menahan hawa nafsu, memaksimalkan akal, serta kesabaran yang luarbiasa sehingga saya mampu mengalahkan semua keburukan itu.” Meskipun ada keinginan yang kuat dan usaha untuk membersihkan diri dari keburukan dalam diri Ibn Hazm, namun beliau mengakui bahwasanya ia mampu merealisasikan semua hal itu hanya karena pertolongan Allah dan taufiknya, dan dengan kosistennya beliau menjaga diri dari keharaman dalam agama dan syariat. Pendapat tersebut diperkuat bahwasanya diri manusia yang pemarah apabila dikritik untuk diri orang yang logis, maka itu merupakan keutamaan dari Allah dan perilaku yang baik. Beliau heran, bagaimana bisa kebaikan itu sulit direalisasikan, sedangkan keburukan mudah dilakukan?[145]

Ibn Hazm terus menjaga pentingnya mengaplikasikan kebaikan dan menjauhi keburukan. Dia menganjurkan manusia agar senantiasa belajar kebaikan dan mengamalkannya. Barangsiapa yang mampu menggabungkan dua hal tersebut bersama-sama, niscaya ia medapatkan keduanya. Adapun orang yang tahu kebaikan tapi tidak mau mengamalkannya, maka ia bagus pada sisi pengetahuan, dan buruk pada segi tidak mengamalkannya, karena ia akan mencampurkan perbuatan yang baik dengan yang buruk, meskipun ia lebih baik dari orang yang tidak memiliki ilmu kebaikan (mengetahuinya) dan tidak berperilaku baik juga.

Terakhir, dalam mencontohkan kondisi orang yang paling buruk ialah orang yang melarang untuk berbuat baik dan menghalanginya, akan tetapi dia justru tidak melarang dalam hal keburukan kecuali bagi orang tertentu, dan tidak menganjurkan kebaikan kecuali pada orang yang dia inginkan. Dia tidak mencegah seseorang untuk berbuat buruk, juga tidak menyuruh orang yang berbuat baik setelah Nabi Saw.[146]

Rasulullah dalam pandangan Ibn Hazm merupakan insan yang sempurna, paling utama, yang tidak akan pernah ada yang menyerupainya baik orang-orang sebelumnya maupun orang-orang sesudahnya. Dialah seorang yang mengetahui hakekat secara utuh. Beliau melarang segala keburukan dan tidak melakukannya, dan beliau menganjurkan kebaikan sedang beliau mengamalkannya. Untuk itu Ibn Hazm berkata: “Apabila ada seseorang yang tidak tahu tentang kebaikan, maka berpegang teguhlah pada perintah Allah dan rasulnya, karena sesungguhnya hal itu mencakup seluruh kebaikan.[147]“

Ibn Hazm berpendapat, sesungguhnya manusia itu memiliki kemampuan moral yang membekalinya untuk bisa membedakan antara kebaikan dan keburukan. Dikarenakan antara kebaikan dan keburukan, ketaatan dan maksiat, itu tidak hanya memberikan efek pada diri saja. Maka orang yang bahagia adalah orang yang membawakan kebaikan dan ketaatan untuk dirinya serta menjauhi keburukan dan maksiat. Sedangkan orang yang susah adalah orang yang mendatangkan keburukan serta maksiat kepada dirinya yang menjauhi kebaikan dan ketaatan, dia hanya mementingkan dunia[148]. Meskipun dari penegasan Ibn Hazm tentang potensi ilmu, pembiasaan, latihan, penyerupaan, bimbingan dan kesuritauladanan dalam menciptakan etika,serta tarbiahnya untuk diri manusia, hanya saja kami menilai beliau tidak meremehkan tentang kehendak dan kemampuan Tuhan, serta besarnya keutamanNya terhadap manusia mencakup apa yang Allah karuniakan kepada manusia seperti kemampuan akhlak. Maka orang yang bahagia adalah orang yang senang kepada kebaikan, dan orang yang susah adalah orang yang menyukai keburukan untuk dirinya, dan itu menjadi karakter dalam akhlak. Kemampuan akhlak ini adalah pemberian dan karunia Allah, yang diberikan menurut kehendak-Nya bagi siapapun. Dalam hal ini beliau berkata: “Sesungguhnya nikmat Allah yang paling agung adalah dengan menumbuhkan karakter pada hambanya untuk mengutamakan Allah daripada yang lain, dan keadilan.[149]

Sesungguhnya pandangan-pandangan ini muncul melalui religi dan keimanan yang dalam dimana Allah telah mengatur dan menjadikan-Nya nikmat yang paling besar untuk kita, dengan berharganya agama, dan lebih utama dari yang lain. Untuk itu Ibn Hazm berkata: “Peganglah orang yang taat agamanya, meskipun dia berebeda agama dengan engkau, dan jangan mudah percaya dengan orang yang meremehkan larangan-larangan Allah, maka engkau tidak akan aman sedikitpun meskipun engkau terjaga.”[150]

Agama merupakan kedamaian serta jaminan untuk perilaku yang sehat dan etika yang lurus. Barang siapa yang berpegang teguh pada agama, maka dia telah berpegang teguh dengan “al-urwah al-wusqa”, yang senantiasa mendukung, menjaga, dan memberi haluan terhadap perilaku dan etikanya. Sehingga dia berkata: “Sesungguhnya karakter manusia itu satu. Hanya saja kebiasaan, keyakinan yang dalam terhadap agama, dan pencapaiannya terhadap rohaninya, serta pencapaian agama dan prinsip-prinsip agama, itu sangat memengaruhi akhlak. Berangkat dari semua ini, jelaslah aliran keagamaan dalam pemikiran etik Ibnu Hazm, dan sentuhan beliau yang begitu mendalam dalam pendidikan akhlak, serta pembentukannya dengan dasar nilai agama. Sentuhan ini juga nampak begitu jelas dalam pemikiran keilmuan Islam lainnya, seperti Imam Ghazali dalam penelitiannya tentang akhlak, dan definisi beliau terhadap ilmu akhlak. Beliau berujar: “Yaitu ilmu yang mempelajari-mempelajari tentang seluk-beluk nafs dan mengembalikannya sesuai ajaran syariat”, artinya syariat menurut Ghazali merupakan sumber primer (wajib) yang kita aplikasikan dalam perilaku akhlak kita, dalam prinsip kita, dan nilai-nilai akhlak kita. Oleh karena itu, buku-buku al-Ghazali dipenuhi banyak sekali teks-teks Al-Quran dan hadits Nabi yang menggariskan perilaku yang baik dan menjauhkan perilaku yang buruk. Hingga kita dapatkan pemaparan beliau tentang akhlak, bahwasanya akhlak yaitu: “Membuang semua kebiasaan yang menurut syariat itu tidak baik dalam keterangan-keterangan syariat tersebut, seperti halnya menjauhi keburukan dan membiasakan kebiasaan yang baik dan selalu merindukan kebaikan itu”.

Ini berarti, bahwasanya al-Ghazali memberikan penegasan tentang peran syariat dalam proses pendidikan dan pembentukan akhlak, bahkan proses penanaman akhlak itu sendiri dalam jiwa manusia, sehingga etika tersebut dianggap baik menurut syariat, dan juga dianggap buruk menurut syariat itu sendiri, sehingga selalu melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Agama dalam pandangan Ghazali senantiasa menjadi sumber teorinya tentang etika, hingga boleh dikatakan bahwasanya etika menurut Ghazali adalah inti dari akhlak islamiah. Semua itu dikarenakan bisa dikembalikan ketika menilik buku-buku beliau bahwasanya pribadi Rasulullah dijadikan sebuah imej etik yang sempurna, dan muaranya adab. Dan beliau menjadi suritauladan dalam segala hal. Untuk itu, Ghazali tetap konsisten dengan menjadikan taklid, hikayat, atau meniru secara persis semua perilaku Rasulullah menjadi satu-satunya jalan/cara untuk menuai akhlak yang bagus, dan perilaku yang lurus. Oleh karena itu, Imam Ghazali menampilkan dalam buku-bukunya itu model-model akhlak yang baik dan menjelaskan berbagai macam dorongan untuk perbuatan yang baik ini dengan sedikit fokus dalam menyebutkan nama-nama orang yang terkenal memiliki akhlak mulia, dan hal apapun yang mereka maksudkan dari perbuatan baik mereka.

Disamping keyakinan Ghazali tentang peran kebiasaan dan upaya di dalam tarbiah etika dan pembentukannya, beliau juga menggariskan bahwasanya akhlak merupakan pemberian dari Allah, dan kenikmatan kepada siapapun yang Allah kehendaki, hingga menjadi sebuah kekuatan dalam dirinya, dan kemampuan yang dimilikinya yang bisa menghasilkan sebuah usaha. Adab adalah moral dari sebuah bentuk kemampuan menuju realitas, dan proses terjadinya hal ini adalah buah dari tindakan dan realita manusia.

Artinya, bahwasanya kemampuan etika adalah sebuah pemberian dari Allah, dan manusia semestinya menampakkannya dalam bentuk pembiasaan, latihan, dan usaha. Imam Ghazali juga berpendapat, bahwasanya manusia merupakan sebuah gambaran yang batil, yang mempunyai dorongan yang buruk, dan susungguhnya Allah mengutus para rasul dan nabi bertujuan untuk membantu manusia dalam meluruskan dirinya dan memperbaiki kekurangannya. Hal tersebut bisa terealisir dengan cara menorehkan kemampuan untuk melakukan hal yang baik, hingga hal tersebut berjalan dengan mulus dan mudah, tanpa ada aral atau kesulitan, hingga seakan-akan hal tersebut bisa muncul hanya dari karakter dan kemampuan yang disebabkan oleh seringnya latihan dan menirukan perilaku mulia Rasulullah, yang merupakan sebuah imej kesempurnaan untuk akhlak yang mulia. Ia juga menjadi suritauladan dalam segala hal, dan nilai-nilai moral yang agung untuk manusia agar mendapat petunjuknya, dan berjalan dengan keutamaan akhlak rasulullah.

Tampak jelas dalam buku Ihya Ululumuddin, dimana judul tersebut menunjukkan terhadap kemauam tegas Ghazali untuk kembali kepada agama dalam segala hal, dan senantiasa mempraktekkan prinsip-prinsip agama dan keutamannya agar masyarakat bisa hidup dalam kebahagiaan yang sempurna, dan memberikan ciri khas kepada masyarakat itu dalam kehidupan yang baik, karena manusia adalah personality yang sempurna nan komprenhensif, dia mampu untuk merealisasikan kebahagiaannya dengan sebatas mau disiplin atau mempraktekkan semua perintah Allah dan perilakun Rasulullah Saw. Oleh karena itu Imam Ghazali menampilkan tema-tema penting dalam pemikiran etika dalam buku al-Ihya. Beliau memberikan penjelasan tentang hubungan manusia dengan dirinya, Tuhannya dalam sub titel al-ibadah, kemudian membahas tentang muamalah. Di sini beliau menampilkan hubungan manusia dengan sesama manusia, kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan hal apa saja yang menyebabkan kerusakan dan kehancuran yang disebabkan oleh keburukan yang menghancurkan, dan beliau menyuruh untuk melepaskan diri dari keburukan tersebut. Kemudian, diakhir buku tersebut beliau menampilkan sisi keimanan dalam akhlak, yaitu pembahasan tentang kebaikan-kebaikan yang seharusnya dilakukan oleh manusia dan mempraktekan dalam perilakunya. Dalam pembahasan ini juga nampak dengan jelas aliran keagamaan al-Ghazali, dan pengetahuan yang lengkap tentang hakekat jiwa manusia, dan karakter manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Allah.

Dalam buku Ihya Ululumuddin tersebut, Imam Ghazali telah mencapai pada titik yang agung dalam memperhatikan agama, dan istikomah dalam prinsip-prinsip agama hingga pada tingkatan dimana Imam Subhi memberi komentar tentangnya, bahwasanya andaikan tidak ada buku bagi orang Islam selain buku Ihya, niscaya itu cukuplah baginya.

Dari semua hal ini, nampak jelas bagaimana agama Islam menjadi unsur kuat yang mempengaruhi, yang dominan dalam pemikiran etika Islam menurut pemikir-pemikir besar Islam. Pandangan-pandangan dan penelitian mereka dalam bidang etika itu bersumber dari perasaan agama yang kuat, pemahaman yang dalam terhadap kandungan agama dan kekaguman yang besar terhadap akhlak Rasulullah. Mereka tidak sebatas berpedoman dengan pemikiran Yunani, akan tetapi mereka mempunyai sesuatu yan lebih kuat, lebih agung, lebih sempurna, dan menyeluruh. Mereka mulai membentuk prinsip-prinsip hidup mereka, dan mulai melukis perilaku mereka sesuai ushul mereka yang disertai dengan pengetahuan terhadap seluruh teori-teori filsafat yang disuguhkan oleh Plato dan Aristoteles dalam bidang etika. Itu menjadi saksi hak yang benar, bahwasanya agama Islam adalah agama etika, dan tujuan Islam adalah berperilaku dengan akhlak terpuji, dan tujuan para pemikir Islam adalah untuk memperbaiki akhak jiwa, dan tarbiah perilaku yang baik. Ibn Hazm senantiasa menjaga hal tersebut, dalam mukoddimah bukunya Mudawatun Nufus wa Tahdzibul Ahlak.

Beliau berkata: “Amma ba’du. Di dalam buku ini sesungguhnya saya mengumpulkan berbagai macam makna, dimana Allah memberikan pemahaman terhadapku atas-Nya, seiring dengan waktu dan kondisi yang berbeda-beda, yaitu pemahaman yang diberikan oleh Allah terhadapku dengan curahan waktu dan bimbingan atas berbagai situasinya, sehingga kucurahkan sebagian besar umur saya di dalam hal ini. Dan saya lebih mementingkan pengkhususan hal tersebut dengan rutinitas muthola’ah tentangnya, memikirkannya, atas semua kelezatan-kelezatan yang disukai oleh kebanyakan manusia dan kelebihan dari harta yang melimpah. Saya memberikan tanda setiap apa yang saya informasikan tentang semua hal tersebut dalam buku ini, agar orang mau bertakwa kepada Allah Swt dari siapa saja yang dikehendaki dari hamba-Nya yang mampu meraihnya. Letihnya diri saya dalam memikirkannya, dan jerih payah yang saya curahkan untuknya yang kulalui begitu lama, niscaya itu lebih baik dari harta yang melimpah, harta yang dimiliki apabila direnungkan dan dimudahkan oleh Allah untuk menggunakannya, dan saya berharap kepada Allah pahala yang besar dalam hal itu untuk niat saya memberikan manfaat kepada hamba Allah dan memperbaiki akhlak-akhlak mereka yang rusak, dan memberi obat jiwa-jiwa mereka yang sakit. Hanya kepada Allah-lah saya meminta pertolongan. Allah-lah yang menolong kita, dan Dia-lah sebaik-baik penolong.”[151]

2. Golongan Hikmah Etik

Golongan hikmah etik adalah orang-orang yang menemukan wasilah/cara dalam teladan, hikmah, hikayat, kisah, dan nasehat untuk menjelaskan kebaikan-kebaikan, dan metode penjelasannya, dorongan untuk menyerukannya, serta berpegangan kuat guna mengaplikasikannya dan menjelaskan manfaat kebaikannya. Dunia Timur merupakan tempatnya tauladan, hikmah-hikmah pendek, nasehat-nasehat, dan ungkapan-ungkapan yang dipenuhi dengan makna hikmah dalam kehidupan. Kalimat tersebut adalah ungkapan. Ungkapan memiliki arti penting dan perannya, dan pemikiran memiliki pengaruh dan daya tarik.

Nampak sekali nilai ungkapan tersebut dalam agama-agama Timur, khususnya Yahudi, Nasrani, dan begitu juga Islam.

Kebanyakan buku-buku yang laku dalam pemikiran Timur, umumnya adalah buku-buku yang menerangkan ungkapan-ungkapan hikmah pendek (instan), seumpama dalam bentuk munajat atau bentuk prosa, yang tersembul dalam paragraf-paragraf yang membawa pemikiran-pemikiran dan mauidzoh hasanah. Sebagai contoh hikayat seruling Nabi Daud, buku tentang teladan dan hikmah miliki Yashu’ bin Syirah, dan al-jamiah (kumpulan buku) yang dinisbatkan kepada Nabi Sulaiman di antara buku-buku al-ahlul al-qadim (versi lama) menurut orang Yahudi, begitu juga yang tertulis dalam mukodimah injil ke-4 yang dinisbatkan kepada Yohanes.

Akhlak-akhlak hikmah juga jelas sekali nampak dalam pandangan orang Islam dalam frame akidah amar ma’ruf nahi mungkar, dan mengikuti nabi dalam tiap wejangannya terhadap orang-orang bodoh, dan terhadap orang-orang yang terlena melalui hikmah dan mauidzoh hasanah-nya.

Karena itu, orang Islam mencurahkan perhatian mereka dalam menjelaskan kebaikan dan keburukan melalui gambaran hikmah, keteladanan, dan hikayat, agar pendengarnya bisa menjauhi keburukan yang ditunjukkan dari pada yang lain, menganjurkan kebaikan yang diunduh dari orang terdahulu, dan mengambil pelajaran melalui orang terdahulu. Semua hal tersebut, golongan hikmah etik merupakan aliran yang jelas dalam pemikiran etika Islam. Mereka mempunyai pengaruh dan peran dalam lingkungan Islam, sehingga tersebarlah buku-buku yang dipenuhi dengan hikmah dan teladan pada masa awal. Yang membantu penyebaran pemahaman ini yaitu yang diprakarsai oleh orang-orang India dalam menorehkan karya klasiknya dibidang ini pada waktu penyebaran Islam secara damai ataupun dengan cara penaklukan-penaklukan negara-negar Islam ‘futuhat Islamiah’.

Negara Persia terletak di tengah-tengah antara India dan Arab. Ibn Muqoffa al-Farisi merupakan orang yang menjembatani sekaligus sebagai penerjemah buku-buku ini. Beliau menerjemahkan kisah-kisah tentang politik etik Baidaba, yang lebih dikenal dengan Kalilah wa Dimnah,yaitu buku yang meriwayatkan kisah-kisah hewan dan burung dengan tujuan moral yang jelas dalam pemikiran pengarangnya, yaitu pendidikan akhlak dan perbaikan jiwa melalui hikmah dan teladan. Sebenarnya cerita-cerita hikmah dan teladan ini memberikan pengaruh dalam pembentukan dengan apa yang disebut etika batin atau perilaku perasaan untuk manusia, dimana ia membantu mereka untuk membedakan antara kebaikan dan keburukan, kemuliaan dan kehinaan yang tumbuh dari kesadaran dan kemampuan untuk mengontrol seseorang melalui akal dan logika guna memilih perilaku yang baik dan perbuatan yang baik.

Apabila etika hati itu terbentuk setahap demi tahap (step by step) dengan cara tarbiah serta mengusai pengetahuan dan ilmu yang lebih luas, dan sumber-sumbernya bermacam-macam, maka hikmah, teladan , dan kisah-kisah tersebut mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan batin ini, yang pada akhirnya diarahkan untuk perilaku manusia, membantunya, dan mendorongnya agar senantiasa melakukan kebaikan dan menjauhi keburukan. Ibn Muqoffa menegaskan makna ini melalui kata-katanya yang termuat di dalam buku-bukunya, al-Adab al-Kabir dan al-Adab as-Soghir yang dipenuhi dengan hikmah dan mauidzoh hasanah. Dalam buku-buku ini, “Kucantumkan perkataan orang yang tersimpan sampai kehuruf-hurufnya, yang di dalamnya bisa membantu untuk menghidupkan hati, mendidiknya, memepertajam mata batinnya, menghidupkan kembali pemikirannya, menegakkan guna mengontrol, serta sebagai petunjuk perkara-perkara yang baik dan akhlak yang mulia.[152]“

Sungguh, buku-buku ini mempunyai pengaruh dan kandungan yang besar yang mencangkup hikmah dan teladan terhadap para pemikir Islam ketika mereka membubuhkan pembahasan-pembahasan mengenai etika hingga pada tingkatan sebagaimana yang kita temui seorang doktor bernama Abdurrahmah al-Badui melalui perkataannya: “Sesungguhnya logika timur belum mampu mengalahkan para filosof Yunani kecuali setelah teladan dan ungkapan-ungkapan hikmah singkat yang mereka miliki dinisbatkan hampir ke dalam semua aspek. Dimana kebanyakan buku-buku ‘minal wamihal’ berperan mengusung ajaran-ajaran tadi, serta yang ditorehkan oleh filosof dalam agama Islam sebagaimana yang diketahui dalam buku al-Kalim ar-Ruhaniah fi al-Hikam ay-Yunaniah karya Farid Abu al-Faraj bil Hindi (w.1420 H/ 1029 M).”

Realitanya, pendapat ini terlalu mengada-ngada. Karena hikmah dan ungkapan tersebut juga terdapat dalam pemikiran Yunani sebelum munculnya filsafat etika. Hikmah tersebut juga menjadi tonggak timbulnya filsafat etika serta yang membantu melahirkan filsafat etika itu sendiri. Ini merupakan hal yang wajar dalam pertumbuhan manusia dan bukan merupakan fenomena spesial untuk sebuah komunitas atau etnis saja sebagaimana DR. Badui mencoba menjelaskan dan menisbatkan nilai hikmah dengan logika Timur.

Sebenarnya model akhlak ini, yaitu etika teladan (al-amtsal), mempunyai manfaat yang besar, karena ia memberikan dorongan supaya berbuat baik serta mengilhami mauidzoh, dan menjadikan standar-standar berperilaku, yaitu berupa motifasi serta dorongan untuk perilaku yang baik dan mendorong manusia agar melakukan kebaikan sekaligus menjauhi keburukan. Hal tersebut merupakan tujuan filsafat etik pada konklusinya.

Model ini juga dekat dengan aliran filsafat, karena apabila kita memaparkan hikmah dan keteladanan, niscaya kita akan mendapati hal tersebut menyerupai filsafat realitas dalam bidang akhlak. Karena ia menerjemahkan serta mengungkapkan ruh golongan, aliran-aliran dan partikularnya. Artinya, ia merupakan filsafat etnis yang mengekspresikan logika tentang sesuatu yang dibolehkan dan yang dilarang. Dalam hal ini, ia begitu dekat dengan ideologi agama dan kekayaan klasik peradaban untuk etnis ini.

Kita juga dapat mengetahui, bahwasanya hikmah juga bertujuan untuk merealisasikan kebahagiaan yang riil bagi manusia dalam komunitas manusianya. Karena, hikmah berdiri berdasarkan amal baik yang merupakan sisi penting keadilan, keseimbangan dan sebagainya, yang bisa mengarahkan rasa persamaan dalam komunitas manusia ’sense of humanity’. Sehingga baik inividu ataupun masyarakat tidak akan semena-mena terhadap komunitas yang lain. Oleh karena itu, manfaat hikmah ini begitu mulia, dan pengaruhnya juga besar terhadap masyarakat dan para pemikirnya karena terdapat problematika yang masih bergelut dalam pemikiran Islam secara garis besar meskipun lingkungan berbeda-beda, tempat yang saling berjauhan, dan permasalahan yang bermacam-macam, kecuali bahwasanya manusia adalah tetap manusia dalam segala situasi dan kondisi.

Mungkin pengaruh hikmah ini begitu jelas menurut orang Islam, dan itulah yang menjadikan DR. Abdurrahman Badui memberikan komentar (dalam mukodimah buku al-Hikmah al-Kholidah) tentang etika menurut orang Islam, bahwasanya aliran hikmah itu tidak identik dengan hikmah dan keteladanan, dan aliran hikmah juga bukan sekte moral yang komprehensif.

Sungguh, aliran ini begitu jelas menurut para pemikir Islam seperti al-Jahid, Abu Bakar bin Muhammad Zakaria ar-Razi, Ibn Hayyan at-Tauhidi, dan gurunya Abu Sulaiman al-Sajistani dalam buku Siwanul Hikmah. Dalam aliran teks-teks itu sendiri juga menunjukkan betapa pentingnya aliran ini, dan kajian mereka tentang ungkapan-ungkapan rohani yang simpel, sebagaimana jelas menurut al-Farabi, Ibn Maskawaih, dan Ibn Hazm, seperti yang akan kami terangkan nanti. Namun hal demikian tidak berarti mereka membutuhkan filsafat etik dan sekte yang lengkap seperti yang akan kami jelaskan bagian-bagainnya, dan kami detailkan jangkauannya pada sisi perhatian mereka terhadap salah satu corak Islam ini.

Dalam aliran etika Ibn Maskawaih, hal etika tersebut sudah dijelaskan hampir menyeluruh ketika beliau berbicara tentang nilai keteladanan, nasehat, dan manfaatnya dalam memperbaiki akhlak. Beliau berkata: “Saya tidak meninggalkan dengan singkat dan ringkas agungnya bab ini, dan disebutkan berulang-ulang kepadamu, agar kita tahu bahwasanya orang-orang dahulu sudah menulis buku-buku tentangnya dan menyuguhkan perumpamaan keteladanan dan memberikan banyak wasiat mengenai hal itu. Karena mereka melihat, di dalamnya terdapat banyak manfaat untuk khalayak yang mendengarkan, agar mereka lebih takut akan bahaya yang banyak bagi orang yang menyepelekan kebaikan.”[153] Ibn Maskawaih percaya dengan nilai keteladanan, hikmah, dan dalam pembentukan akhlak yang baik untuk mengaplikasikannya, karena beliau telah mengkaji ulang buku Kalilah wa Dimnah. Beliau juga terinspirasi banyak hal dalam buku tersebut dalam aliran akhlaknya, dan perhatian serta usahanya dalam memunculkannya guna mendetailkan dan menampilkan kisah yang memiliki pengaruh kuat dalam diri manusia dan mendidik akhlaknya, karena ia mempunyai naluri etika. Hal itu nampak jelas ketika beliau berbicara tentang sifat menggunjingkan orang serta bahayanya dalam merusak ikatan persahabatan. Beliau berkata, “Banyak sekali hal-hal buruk yang merasuki hal yang baik pada imej orang-orang yang memberikan nasehat, lalu mereka memahaminya sebagai nasehat. Kemudian mereka mentransfer pada diri mereka ketika sedang menampilkan pembicaraan ilmiah gosip mengenai kawan mereka yang telah dipelesetkan, sampai gosip miring tersebut menguat dalam diri mereka. Sehingga secara terang-terangan mereka merusak kedamaian pada diri mereka dan menghembuskan kerusakan pada kawan-kawan mereka sampai mereka saling membenci.” Ibn Maskawih sebenarnya hanya terinspirasi pada pembahasan ini saja pada buku Kalilah wa Dimnah, khsususnya ketika membicarakan singa dengan lembu, dan dia sendiri mengakui hal tersebut.[154]

Kita juga akan menemukan Ibn Hazm membahas hal yang sama ketika beliau berbicara, “Sebagian model nasehat itu sulit dibedakan dengan menggunjingkan orang, karena seseorang akan mendengarkan perkataan orang yang sedang mencela yang lain secara dzolim atau tipu daya terhadapnya. Lalu ia menyembunyikan hal tersebut dari pembicaraannya mengenai tipu daya tersebut, maka orang yang menyembunyikan hal tersebut dikategorikan sebagai orang yang aniaya, tercela. Kemudian apabila ia menceritakan hal tersebut pada orang lain menurut versinya, mungkin saja hal tersebut akan memunculkan permusuhan yang abadi.”[155] Pengaruh buku Kalilah wa Dimnah juga nampak dalam bukunya An-Nas al-Farid, dimana Ibn Hazm menyuguhkan didalamnya hikayat-hikayat dan kisah yang menyentuh, yang dibaliknya memberikan pendidikan diri manusia dengan cara menghibur dan rileks.

Adapun bukunya, Jawidan Khord di dalamnya nampak begitu terpengaruh perumpamaan-perumpamaan orang kuno dan wasiat mereka, kecuali beliau mencoba untuk menggabungkan banyak hikmah-hikmah persia kuno yang dinisbatkan kepada Hu Syink Syah bin Kiwumrt al-Babsyadadi yang termasuk raja-raja Persia kuno, yang di (alih bahasa) arabkan oleh al-Hasan bin Sahl, salah satu menterinya al-Makmun. Hikmah-hikmah (Persia kuno) ini mempunyai nasehat-nasehat praksis yang banyak, yang bermaksud untuk membentuk kepribadian seseorang serta memberikan perhatian terhadap pendidikan yang sebenarnya, dan langkah-langkah meraih keselamatan.

Di dalamnya juga dijelaskan banyak sifat-sifat yang baik seperti keberanian, optimis, kesetiakawanan, kemudian memberikan nasehat kepada orang agar dia mau berfikir pada kondisinya yang terbalik sehingga dia dapat mengetahui kadar kenikmatan yang dia rasakan. Ibn Hazm juga menyepakati pendapat ini, maka beliau berkata: “Lihatlah harta, kondisi, dan kesehatan yang dimiliki oleh selainmu.”[156] Pada kesempatan lain, beliau juga berujar: “Ketahuilah, bahwasanya orang yang mengira dirinya memiliki kelebihan daripada orang lain, maka orang tersebut seharusnya melihatlah (merenungkan) apa jadinya ketika dia ditimpakan musibah atau keburukan…. Kemudian pastilah dia melihat pada perilakunya, dan keadilan atau kecurangannya, maka Allah mengambil nikmat-nikmat yang diberikannya”.[157]

Ibn Maskawaih juga menorehkan perhatiannya terhadap pembicaraan tentang sifat-sifat mulia yang wajib kita praktekkan dalam semua perbuatan dan perilaku kita. Di samping beliau menyebutkan wasiat Hu Sying syah, “atau Usyhing”, beliau juga menambahkan hikmah-hikmah dan perumpamaan lain dari bangsa-bangsa besar yang hidup sezamannya, yaitu Persia, India, Arab, dan Romawi. Beliau mengkategorikan hal tersebut sebagaimana perkataan beliau , “menambah kebaikan kepadanya.” Yang merupakan buah karya para ahli hukmah serta hasil-hasil pemikiran mereka, dan hikmah-hikmah yang beliau cantumkan ini, adalah nasehat-nasehat dimana seorang yang bernama Adzarban mendidiknya melalui hikmah tersebut. Dimana Adzarban menasehatkannya terhadap anaknya, dan juga beberapa wasiat Anu Syarwan. Setelah itu, beliau menampilkan hikmah-hikmah dari India yang berkaitan erat dengan problematika kehidupan berjalan secara nyata, kemudian beliau berbicara tentang hikmah-hikmah orang arab, di situ dia menyebutkan hadits-hadits Nabi Muhammad Saw, ujaran-ujaran Ali, Hasan bin Ali, Ibn al-Muqaffa, dan al-Farabi. Beliau juga menyebutkan wasiat Lukman kepada anaknya, dan wasiat Qis bin Sa’idah terhadap anaknya. Beliau juga menyebutkan wasiat-wasiat Nabi Isa as, kemudian beliau berpindah kenasehat-nasehat orang romawi dan Yunani, dan beberapa tokoh penting yang disebutkan pada sisi ini adalah Ghoz Qobis dan wasiat-wasiat Pitagoras. Dalam penggabungan hikmah-hikmah, perumpamaan dan nasehat, Ibn Maskawaih ingin menegaskan hakekat individu manusia meskipun berjauhan tempat dan berlainan waktu.

Ibn Maskawaih berkata, “Orang-orang terdidik-yaitu ahli hikmah yang diambil hikmahnya dipelbagai bangsa-meskipun pemikiran mereka berbeda-beda, akan tetapi mereka itu menjadi “satu wadah” bersama-sama membahas problematika umum seperti sifat baik dan buruk, memerangi syahwat dan emosi yang mempunyai efek buruk dalam kehidupan manusia yang menjauhkannya dari kebahagiaan, yang sebenarnya merupakan tujuan dari akhlak sekaligus harapan yang akan dicapai oleh akhlak.” Ibn Maskawaih meletakkan akhlak sebagai pokok yang memberikan kemampuan kepada manusia untuk hidup dengan kehidupan yang bahagia dalam realitas masyarakat.

Dalam aliran akhlaknya, Ibn Maskawaih juga memperhatikan dengan menguji akal serta mengajak untuk mengasahnya melalui ilmu dan pengetahuan. Karena akal adalah yang mendesain ketentraman, yang mengkontrol manusia dalam kecenderungan kehewaniannya. Diri manusia juga akan tentram dengan ilmu, dan dia akan merasa bahagia melalui pengetahuan yang hakiki.

Perhatian Ibn Maskawaih terhadap akal, atau pujiannya terhadap akal, sebenarnya mengikuti pendapat filosof sekaligus seorang dokter, Abu Bakar ar-Razi, yang mengarang buku at-Thib ar-Ruhani, dimana ia ingin mengobati diri manusia dengan bukunya. Dalam buku tersebut beliau memuji akal serta menjelaskan keutamaannya. Beliau juga berbicara tentang mencegah nafsu, dan menolak hawa, serta menyebutkan dampak negatif dari diri manusia yang buruk, sehingga orang tersebut mau menyelami kekurangan pada dirinya.[158] Hal tersebut merupakan problematika yang sama yang dibahas oleh Ibn Hazm dan risalahnya yang berjudul, Tahdzibul Akhlak dan Mudawah an-Nufus, dimana ia menyebutkan keutamaan ilmu dan akal saja, beliau berkata: “Kenikmatan orang berakal adalah kemampuan akalnya membedakan sesuatu, dan kenikmatan orang yang berilmu adalah dengan ilmunya, dan kemampuan orang yang bijak adalah dengan hikmahnya.”[159] Maka akal, ilmu dan hikmah merupakan sebab kebahagiaan dan ketenangan jiwa dan ketentraman hati. Ibn Hazm menjelaskan hal tersebut dengan ungkapannya: “Sebagian dari manfaat ilmu dan orang yang menyibukkan diri dengan ilmu itu bisa menghalau godaan-godaan yang tidak sehat, dan hamparan kemauan yang hanya membekaskan kegelisahan, dan kemampuan berfikir yang menyakitkan bagi diri sendiri. Hal tersebut merupakan motifasi terbesar terhadapnya, lalu bagaimana sedang ia mempunyai sisi-sisi kebaikan yang banyak sekali kalau disebutkan.”[160]

Ibn Hzam berpendapat, sesungguhnya ilmu itu menghilangkan kesusahan hati dan menepis kegelisahan dalam jiwa dengan hakekat-hakekat yang bisa membukakannya dan membantunya untuk mempraktekkan sifat-sifat yang baik dan berpegang teguh kepadanya. Maka Ibn Hazm berpendapat seperti pandangan Aristoteles, bahwasanya fadhilah adalah ilmu. Ibn Hazm juga menegaskan, bahwasanya batasan akal adalah memaksimalkan sisi-sisi ketaatan dan kebaikan, dan definisi ini mencakup menjauhi maksiat dan keburukan. Allah Swt telah menggariskan dalam banyak ayat dalam Al-Qur’an, bahwasanya barangsiapa bermaksiat kepada Allah, maka dia tidak berakal. Dalam menceritakan sebuah kaum, Allah berfirman: Qs. Al-Mulk: 10:[161]

10. Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”

Kemudian Allah berfirman, ketika membenarkan mereka, Qs. Al-Mulk: 11[162]:

“11. Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.”

Ibn Hazm berpendapat, bahwasanya akal dan perbuatan merupakan azaz untuk memaksimalkan perbuatan baik, karena manusia itu mengetahui kebaikan dari sifat-sifat baik, maka ia akan melakukannya-dan mengetahui buruknya dari perbuatan yang buruk, sehingga ia akan menjauhinya-dan mendengar pujian yang baik yang membuat ia senang, dan celaan yang buruk yang membuat ia tidak menyukainya. Dengan pendekatan-pendekatan seperti ini, seemestinya ilmu mempunyai porsi dalam setiap kebaikan, dan kebodohan juga mempunyai porsi dalam setiap perbuatan buruk, sehingga perbuatan baik ini tidak akan dilakukan oleh orang yang belum mempelajari ilmu, kecuali dia mempunyai karakter yang bersih sekali, dan kontruksi kejiwaan yang bagus.

Pada level ini, Allah mengkhususkan kepada para nabi, karena Allah mengajarkan semua kebaikan kepada mereka, yang tidak dipelajari oleh manusia.[163] Ibn Hazm juga menjadikan ilmu sebagai hal yang penting dalam mempraktekkan sifat-sifat yang baik dan menjauhi keburukan-keburukan, dan beruntunglah bagi orang yang lebih mengetahui kekurangan dirinya daripada orang lain.

Ibn Hazm menghubungkan antara ilmu dengan amal baik, serta menjelaskan peran ilmu dalam membentuk ahlak, dan mentarbiah etika. Menurut pendapatnya, ilmu adalah mengikuti apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasulnya, karena ia mencakup seluruh kebaikan.[164] Maka ilmu tentang agama menjadi dasar aliran Ibn Hazm dalam akhlak, dan kontruksinya terhadap hikmah dan pendidikan moral.

Ibn Hazm tidak meremehkan potensi nasehat, akan tetapi beliau senantiasa menyerukannya. Beliau berkata: “Nasehat itu dua kali; pertama, kewajiban dan agama, dan kedua, mengingatkan dan memperingatkan. Adapun yang ketiga, lebih menghinakan atau memukulnya…, atau barangkali lebih dari hal itu seperti penolakan, menyakiti, kecuali dalam urusan agama, maka wajib hukumnya bagi seseorang untuk mengulang-ulang nasehat pada kebaikan, terlepas dari yang dinasehati menolak atau menerima, ataupun orang yang memberi nasehat itu tersakiti atau tidak. [165]

Maka nasehat merupakan hal penting menurut Ibn Hazm, sebagai upaya untuk memberikan penerangan bagi orang bodoh, sehingga dia mengetahui dan mau belajar etika yang baik dan perilaku yang bagus, sampai dia melakukannya. Ibn Hazm juga menyerukan agar mengulang-ulang nasehat, sehingga etika yang baik menjadi sebuah perilaku.

Beliau juga menjelaskan tata cara memberikan nasehat sehingga membuahkan hasil yang baik lagi banyak, beliau menjelaskan: “Apabila engkau sedang menasehati, maka berilah nasehat secara rahasia bukan terang-terang. Artinya tidak melakukan secara transparan, kecuali bagi orang yang tidak bisa memahami maka harus dilakukan secara terang-terangan kepadanya.

Ibn Hazm menegaskan, bahwasanya nasehat itu tidak mesti diterima oleh orang yang dinasehati, akan tetapi itu hanya sebuah cara untuk menyadarkan dan memberi pengertian, serta menjelaskan sisi-sisi kebaikan daripada sisi-sisi kejelekan. Maka dari itu, tidak mesti orang yang diberi nasehat itu mau menerima nasehat, akan tetapi itu merupakan sebuah usaha dari sisi orang yang memberikan nasehat, yang kadang berhasil dan kadang tidak, maka dalam hal ini beliau berkata : “Jangan memberikan nasehat dengan mensyaratkan menerima nasehatmu, maka apabila engkau melanggar (melakukan) sisi-sisi ini, maka engkau adalah orang dzolim, bukan orang yang memberikan nasehat dan bukan orang yang taat, dan bukan orang yang memberikan hak agama dan persaudaraan, dan ini bukan hukum logika dan bukan hukum kebenaran, akan tetapi ini adalah hukum seorang raja dengan kemauannya, dan seorang tuan terhadap hambanya.[166]

Ibn Hazm memberikan pendekatan dalam bernasehat supaya menunaikan hasil, serta menampilkan keteladanan Rasulullah Saw, karena beliau merupakan teladan dalam segala hal. Ibn Hazm berkata: “Engkau harus mencontoh Nabi dalam nasehatnya kepada orang jahil, ahli maksiat, dan orang yang berperangai buruk. Oleh karena itu, orang yang memberikan nasehat dengan cara yang kasar, meskipun kepada orang kafir, maka dia telah melakukan kesalahan dan menyalahi cara Rasulullah Saw, sehingga nasehatnya tersebut menjadi orang yang buruk, bukan orang yang baik.”

Adapun orang yang memberikan nasehat dengan cara menyenangkan, senyum, lembut, maka dia seakan-akan menunjukkan sebuah ide serta memberikan pengertian yang dianggap baik oleh orang yang dinasehati, dan hal yang demikian ini lebih berhasil dan sukses dalam sebuah nasehat. Apabila yang menerima nasehat tidak menerimanya, maka orang yang memberikan nasehat tersebut mencoba menasehati dengan rasa takut terhadap orang yang dinasehati, maka ini adalah sebuah etika kepada Allah Ta’ala dalam perintah-Nya agar berkata yang lembut.

Allah berfirman, Qs Thaha [20]: 44[167]:

“44. maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.”

Rasul Saw bersabda, “Janganlah engkau menakut-nakuti.” Rasulullah Saw memuji sikap yang lembut dalam perkataan, dan memberikan kemudahan dan melarang untuk menyusah-nyusahkan. Beliau terkadang beranjak dari nasehat, karena takut kebosanan orang yang mendengarnya. Allah berfirman Qs. Al-Imron [3]: 159:

“159. Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu[246]. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Ibn Hazm juga menyerukan atas nasehat yang lembut sehingga dapat diterima untuk nasehat tersebut, dan hal itu juga merupakan perintah Allah. Wallahu a’lamu bishowab. Beliau telah mewasiatkan semua hal tersebut kepada kita, serta melarang kita dari sikap kasar dan keras, yang sekiranya tidak memberikan manfaat, sehingga membuat orang yang dinasehati menjauhi orang yang memberikan nasehat. Dan sikap keras dan kasar itu hanya pada hudud Allah saja, dalam hal ini tidak ada toleransi bagi orang yang mampu untuk menegakkan hukum Allah.

Ibn Hazm juga berpendapat, sesungguhnya pujian itu memberikan semangat untuk mempratekkan perilaku dan perbuatan yang baik, serta penuh dedikasi. Untuk itu Ibn Hazm mengharuskan agar sifat-sifat yang baik dicatat dalam sejarah, supaya orang yang mendengarkannya bisa menjauhi keburukan yang datang dari selainnya. Beliau juga menyukai terhadap perkara yang baik yang datang dari orang sebelumnya, dan mengambil pelajaran dari pendahulunya.[168]

Oleh karena itu, hikmah dan perumpamaan merupakan hal penting menurut pandangannya guna mendidik moral serta menanamkan sifat-sifat baik dalam diri manusia.

Perhatian Ibn Hazm terhadap suguhan perumpamaan-perumpamaan dan hikmah-hikmah begitu besar, sehingga membuat seorang orientalis yang berasal dari Spayol, bernama Asin Palacios, berkomentar mengenai filsafat moral Ibn Hazm, bahwasanya filsafat Ibn Hazm itu tidak menyerupai sebuah aliran etika yang sempurna, hanya sekedar timbangan hikmah-hikmah, perumpamaan, nasehat, dan petunjuk.[169]

Di dalam filsafatnya, Ibn Hazm hanya sekilas menyebutkan runtutan yang terdiri dari nasehat-nasehat yang memilikik karakter amaliah, yang dikhususkan pada seseorang yang memiliki pandangan tajam dalam meneliti masyarakat, personality manusia, lebih banyak porsinya daripada seorang pemikir yang teoritis. Hal ini juga sebagaimana yang dipaparkan DR. Muhammad Abdullah Dar Raz.

Kami akan menguji (munaqosah) pendapat ini, (setelah)ketika kami menampilkan aliran etika Ibn Hazm, agar kita bisa melihat apakah Ibn Hazm, Ibn Maskawaih, dan al-Ghazali itu hanya memberi batasan pada wilayah ini saja yang tergolong merupakan salah satu bagian dari pemikiran etika, ataukah mereka benar-benar memilki filsafat etika yang mempunyai jangkauan agama yang hakiki, ekslusif, yang bersumber dari pandangan logika dalam agama Islam, disamping memahami hikmahnya orang-orang terdahulu, filsafat Yunani, kezuhudan para ahli sufi, serta akidah ahli kalam.

Ataukah sebuah ciri khas untuk karakter manusia dan kemampuan-kemampuannya, kemudian definisi terhadap kebaikan, dan pengklasifikasiannya, sebuah tingkatan yang pada umumnya menurut-model-Plato atau Aristoteles, dan menyebutkan buku yang paling bagus dalam model ini, yaitu buku Ibn Maskawaih yang berjudul Tahdzib al-Akhlak.

Beliau menambahkan: “Beginilah bagaimana kita melihat dua metode dalam satu keilmuan yang berurutan, hal ini nampak menurut al-Asfahani, dalam buku Adzari’ah, dan dengan gambaran yang lebih sempurna dan lebih luas menurut al-Ghazali dalam mayoritas bukunya, khususnya ensiklopedia Islamnya yang berjudul Ihya Ulumudin.”

Mengenai perihal tentang mukodimah bukunya yang berjudul Dustur al-Akhlak Al-Quran, sesungguhnya perpustakaan Islam belum mengetahui hingga sekarang kecuali dua macam ajaran akhlak yang berisi tentang nasehat-nasehat amaliah yang bertujuan untuk meluruskan etika generasi muda, sehingga memberikan mereka kepuasan dengan nilai-nilai luhur dan kebaikan. Mereka juga menyebutkan di antara buku-buku bagus dalam bidang ini adalah risalah milik Ibn Hazm dalam Tahdzib al-Akhlak dan Mudawat an-Nufus.

3. Etika Ahli Kalam

Etika menurut ahli kalam itu mempunyai ciri khusus dengan prinsip-prinsip teologi dan dasar-dasar awal, yang tidak dimiliki oleh golongan moral religi maupun golongan etika hikmah. Prinsip-prinsip ini begitu kuat dan dasar-dasar ini begitu mendalam, yang begitu mempengaruhi pemikiran mereka, dan membuat penelitian mereka semakin mendalam, serta lebih mengangkat pemikiran mereka, sehingga sangat banyak pembicaran mereka dalam problematika moral seperti kemauan manusia yang bebas, diskursus antara al-Jabar wal IkhtiarI , permasalah antara baik dan buruk, al-hasan dan al- qobah, mereka juga membahas tentang beberapa permasalahan etika yang cukup penting seperti: “Orang yang melakukan dosa besar, apakah ia tergolong orang mukmin atau fasik.” Sehingga teori-teori mereka pun berbeda-beda dan komentarnya beraneka macam. Hanya saja mereka semua sepakat dalam satu masalah, yaitu keterkaitan iman dengan amal. Karena iman menurut mereka(ahli kalam) adalah yang menentukan amal, dan keyakinan adalah yang mengatur perilaku.

Mereka juga menegaskan, bahwasanya perintah-perintah Tuhan tidak semuanya berhubungan dengan syiar-syiar ibadah saja, namun juga mencakup tentang moral yang baik, serta hal-hal yang dilarang oleh agama, yang biasanya disertai petunjuk-petunjuk etika. Bahkan mereka mensinkronkan antara ketaatan dengan kebahagiaan, dan kemaksiatan dengan kesusahan.

Atas dasar ini, filsafat etika mereka (ahli kalam) disandarkan pada prinsip-prinsip awal keagamaan dan dasar-dasar teologi, hingga kita dapat mengetahui bahwasanya Imam Ghazali menggariskan secara jelas mengenai hal tersebut dalam bukunya yang berjudul Ihya Ulumudin. Beliau berkata, “Sesungguhnya, akhlak bukanlah perilaku kosong yang dilakukan manusia, karena perilaku bersumber dari sebuah keyakinan.”[170] Maka iman dalam hati merupakan penggerak sebuah kemauan atau kehendak, dan kemauan menggerakkan perilaku. Artinya, bahwasanya prinsip-prinsip keyakinan merupakan sesuatu yang fundamental menurut ahli kalam, yang seharusnya sudah tertanam dalam diri sebelum timbul perbuatan, baik secara waktu ataupun logika. Karena, bagaimana bisa ibadah dilakukan tanpa didahului dengan adanya iman.

Dalam konsep ini, permasalahan etika itu sama dengan permasalahan teologi. Dimana keduanya merupakan salah satu sisi personality manusia, salah satu kemampuan keagamaan dan perilaku, sehingga hubungan antara keduanya begitu erat. Keterkaitan yang kuat antara akidah dengan akhlak itu berdiri di atas prinsip-prinsip kejiwaan, yang sebagian elemennya berupa naluri dan sebagian yang lain berupa logika. Sehingga bisa dikatakan bahwasanya aliran keagamaan dan akhlak itu merupakan pelebaran dari tiga potensi/kekuatan diri manusia:

1. Pemikiran. Dengan pemikiran itu bisa mencapai pada prinsip-prinsip ‘illah dan tujuan.

2. Naluri yaitu yang menjangkau perasaan-perasaan inti, dengan berbagai kebutuhannya dari motor penggerak yang memotifasi untuk perbuatan yang baik.

3. Kemauan ialah yang menjadi motifator untuk sebuah perbuatan, karena keyakinan itu tersembunyi dalam diri manusia, yang senantiasa berbarengan dengan bentuk kemanusiaannya, dan hakekat dzat manusia itu terpengaruh olehnya, yang mengarahkan perilakunya dan menata etikanya.[171]

Ini merupakan realita yang mendominasi pemikiran ahli kalam dari sebuah ideologi dan dasar-dasar yang tampak begitu jelas dalam pembahasan mereka tentang moral. Oleh karena itu, kita bisa tahu DR. Ahmad Subhi itu membuat satu pembahasan mengenai filsafat etika dalam pemikiran Islam ‘Islamic thought’, dimana beliau mengkhususkan perhatiannya yang besar terhadap mutakalimin, hingga bisa ditetapkan bahwasanya ahli kalam itu memiliki filsafat moral yang dibangun atas prinsip-prinsip teologi keagamaan, dan yang mendominasi logika dalam urgensi dan nilai-nilainya, karena tidak mungkin akhlak itu bisa berdiri tanpa adanya teologi. Meminjam ungkapan Santhleir, maka iman harus lebih dulu ada sebelum perbuatan, dan keyakinan merupakan pondasi dari ketenangan jiwa sebelum memetakkan sebuah perilaku untuk dirinya.

Untuk hal ini, DR. Subhi berpendapat, bahwasanya apabila seseorang ingin membicarakan etika ahli kalam, maka seharusnya ia memulai dengan menjelaskan prinsip-pinsip ideologi atau metafisika yang merupakan bagian dari akhlak menurut ahli kalam, kemudian beralih dari sisi konsep kepada permasalahan perbuatan atau kaidah-kaidah perilaku yang harus disandarkan pada materi-materi rujukan atau penerimaan-penerimaan solutif bagi problematika perbuatan disatu sisi, serta dari sisi yang lain jati diri berjalan antara keyakinan dan perbuatan karena melihat perbedaan antara keduanya. DR. Subhi menemukan lembah yang subur dalam pemikiran muktazilah yang memungkinkannya untuk memunculkan filsafat etika ahli kalam dengan ciri khasnya, yang mengungkapkan aliran logika dalam akhlak. Sisi ini sudah lama sekali tidak diketahui dalam pemikiran filsafat, yang diketahui dari muktazilah hanya sebatas bahwasanya mereka adalah ahli tauhid, atau pengusung keadilan.

Akan tetapi bukankah keadilan itu pada intinya juga akhlak. Bukankah kemauan yang bebas, tanggung jawab, taklif (ketaatan terhadap syariat), juga merupakan akhlak? Bukankah ajaran “al-wa’du al-wa’id” juga merupakan akhlak. Dengan metode ini, DR. Subhi menegaskan bahwasanya muktazilah mempunyai filsafat etika yang berdiri atas dasar teologi dan prinsip-prinsip logika yang menjadi rujukan hukum-hukum positif dan hukum-hukum etika. Hal itu sudah nampak jelas dalam konstruksi filsafat mereka, khususnya dasar keadilan menurut mereka itu merupakan pondasi yang mendasar pada etika.

Begitu juga seperti halnya kebebasan dalam berkehendak, dan kebebasan dalam berikhtiar yang menjadi titik tolak dari taklif bagi muktazilah, dan merupakan salah satu ideologi mereka yang paling penting. Manusia ditinjau dari hubungannya dengan Allah adalah makhluk mukallaf (mempunyai kewajiban ketaatan) terhadap tuntutan-tuntutan syariat maupun moral. Dari sini muktazilah mencurahkan perhatiannya dengan menjelaskan hal tersebut, dan melakukan penelitian tentangnya, dan dalam konsekwensi-konsekwensinya.

Abu Ali al-Jubai berpendapat demikian dengan perkataanya yang berlebihan, bahwasanya memberikan taklif kepada manusia wajib hukumnya bagi Allah Swt. Namun mayoritas kaum muktazilah tidak menyutujui pendapat ini, meskipun mereka sepakat akan kewajiban Allah untuk menyempurnakan manusia dengan akal apabila Allah memberikan taklif kepadanya, karena akal adalah muara dari sebuah taklif, sebagaimna sebuah kehendak dan ikhtiar merupakan unsur dasar dalam prinsip-prinsip ajaran kalam kaum muktazilah, dan kedua hal tersebut merupakan bagian penting problematika moral.

Sesungguhnya orang yang mencermati lima prinsip ajaran muktazilah, maka dia akan menemukan bahwa semua hal tersebut tidak terlepas dari semua arti penting ini. Untuk itu, filsafat mereka merupakan filsafat etika dengan kwalitas nomor satu.

Keadilan yang merupakan salah satu prinsip ajaran mereka yang paling penting, itu berdiri dari azaz moral, begitu juga ia berkaitan erat dengan ajaran “al-wa’du al-wa’id” yang merupakan pondasi kewajiban moral. Juga term “amar ma’ruf nahi mungkar“, dan “manzilah baina manzilatain“, mereka mendasarkannya kepada keadilan. Hal itu telah dijelaskan dengan baik oleh qodi Abd al-Jabar ketika berbicara tentang filsafat muktazilah: “Kami jadikan tauhid sebuah pintu, dan keadilan juga sebuah pintu. Semua hal selain kedua hal tersebut,tergolong dalam pintu keadilan.”[172] Artinya, bahwasanya “al-wa’du al-wa’id“, merupakan pondasi keadilan, dan begitu juga “manzilah baina manzilatain”, dan “amar ma’ruf nahi mungkar“.

Allah Swt berfirman Qs. Al-Imran [3]: 110:

“110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Buku beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Maka kaidah Islam ini, mempunyai arti sebagai kaidah perbaikan moral, yang memperbaiki manusia dan masyarakat. Dimana di dalamnya terdapat ajakan untuk kebaikan, cinta, perintah untuk menyayangi, dan berbuat baik antar manusia. Untuk itu, mereka semua masuk dalam pintu keadilan, karena mereka berkewajiban di dalamnya.

Kita juga menemukan al-Syahr Satani, yang memberikan penjelasan mengenai arti akhlak untuk keadilan menurut kaum muktazilah. Beliau berkata: “Keadilan merupakan hikmah yang ditunjukkan oleh akal, dan itu melahirkan perbuatan yang benar dan mempunyai maslahat.”

Dalam pandangan mereka, akal itu menunjukkan bahwasanya perilaku yang bersumber dari Allah dan yang berhubungan dengan manusia mukalaf dengan konsekwensi hikmah, dan atas sisi kebaikan. Muktazilah menginterpretasikan semua tindakan Allah yang berhubungan dengan manusia itu dalam frame keadilan dan hikmah.

Sungguh, bahwasanya sifat adil dalam mayoritas aliran etika merupakan inti kebaikan-kebaikan, dimana bahwasanya hubungan di dalamnya itu saling bertautan dengan yang lain. Atau dari sisi lain, kita melihat Plato pada masa dahulu menjadikan keadilan sebagai nilai kebaikan yang mulia dari sisi bahwasanya ia adalah sebuah kondisi yang bagus, layak, yang menyatukan hikmah, keberanian, dan harga diri. Setelah itu, Aristoteles juga berpendapat bahwasanya keadilan adalah sebuah keutaman yang sempurna, akan tetapi ia bukanlah kebaikan yang personal, karena ia bertautan dengan yang lain, bahkan itu inti dari kebaikan-kebaikan, karena semua kebaikan itu menjadi satu dalam frame keadilan. Itu merupakan keadilan yang sempurna, karena orang yang adil akan mungkin merealisasikan keadilan bagi orang lain, bukan bagi diriya saja. Bahkan banyak orang menjadi orang-orang yang baik bagi diri mereka sendiri, namun mereka tidak mempunyai kemampuan dalam kebaikan yang berkaitan dengan orang lain. Perihalnya, keadilan itu tidak mungkin hanya sebatas kebaikan, bahkan ia mencakup semua keadilan tersebut. Kedzoliman yang merupakan antonim dari keadilan, tidaklah satu jenis dari berbagai keburukan, akan tetapi kedzoliman adalah seluruh hal-hal buruk. Maka kebaikan yang disatu segi berhubungan dengan orang lain adalah keadilan, dan disegi yang lain ia adalah karakteristik sebuah etika, maka ia adalah kebaikan secara mutlak.

Kaum muktazilah telah menjelaskan tentang filsafat etika mereka dalam semua prinsip-prinsip ajaran mereka, dan di setiap dasar-dasar ajaran mereka, hingga kita dapat menemukan DR. Ali Sami an-Nasyar, menunjukkan adanya hubungan antara tauhid dengan keadilan. Beliau berkata: “Sesungguhnya keadilan menurut muktazilah itu berarti menegasikan kedzoliman dari Allah untuk membersihkan dzat Allah dari menyerupai makhluknya dalam hal adanya kedzoliman tentangnya, dan Allah dalam kerangka dasar tauhid adalah YME dalam dzatnya, dalam rangka keadilan merupakan yang maha tunggal dengan segala kebaikannya, dan tidak perlu untuk dijelaskan. Bahwasanya menafikan kedzoliman dengan yang lain, itu masuk dalam pembahasan akhlak.

Goldy Tsihr mengisyaratkan adanya petunjuk moral untuk prinsip keadilan, dengan perkataannya: “Sudut pandang yang mendominasi mereka dan yang menguasai filsafat mereka yang khusus tentang agama, yaitu pembersihan pemikiran tauhid dari semua kerancuan dan ketidakjelasan yang akan memburukkannya. Mereka berpandangan wajib hukumnya untuk menjauhkan Allah dari semua imej dan gambaran yang menegasikan terhadap keyakinan tentang keadilan-Nya.”[173]

Pembahasan perihal buruk dan baik itu bertautan dengan prinsip keadilan, dan filsafat etika hanya membahas yang lain dalam kebaikan yang manusiawi. Tujuan filsafat etika secara spesifik yaitu mengenai kebaikan etika. Akan tetapi, keburukan ada yang berwujud sebuah karakter dan metafisika, untuk itu aliran ahli sunah menerima keberadaannya dan tidak melakukan pembersihan ‘tanzih’ Allah darinya, dan tidak menafikkan kehendak Allah akan terjadinya, akan tetapi mereka melakukan hal demikian untuk sebuah hikmah tersembunyi yang kita tidak tahu, yang mesti kita terima apa adanya.[174]

Akan tetapi kaum muktazilah meskipun menerima eksistensi keburukan bagi Allah, hanya saja mereka menafikan kehendak Allah terhadapnya. Mereka menginterpretasikan apa yang terjadi di alam semesta ini, yang berupa kehancuran dan keburukan, bahwasanya Allah pada hakekatnya itu kebaikan dan kemaslahatan. Adapun kebaikan dan kesalehan Tuhan tidak ditampakkan kepada manusia. Hal itu, karena Allah tidak pernah melakukan keburukan sama sekali, maka wajib hukumnya menjadikan rasa sakit, pernyakit-pernyakit, dan sebagainya, sebagai mana diyakini akan kerusakannya, itu bukanlah kedzoliman yang dilakukan oleh Allah. Al-qadi Abdul Jabar memaparkan pendapat muktazilah dalam membedakan antara keburukan dan kehancuran, bahwasanya penyakit, derita, musibah menurut muktazilah bukanlah kerusakan meskipun hal itu buruk. Oleh karena itu, hal yang demikian tidak boleh diburukkan. Beliau berkata: “Sebuah perkataan yang salah apabila mengganggap bahwa semua hal yang berubah karakter dari biasanya atau yang tidak disukai dari diri manusia merupakan sesuatu yang buruk, maka sesungguhnya derita (rasa sakit) meskipun karakter manusia tidak menyukainya, itu dianggap baik, bahkan bisa-bisa menjadi sesuatu yang lazim, seperti yang terjadi dengan bekam.[175]

Maka dari itu, rasa sakit dan derita tidak musti buruk apabila memang diperlukan, sebagaimana seorang hamba itu berhak menerima pahala dengan kesabaran yang ia raih. Sesungguhnya Allah melakukan semua perbuatan-Nya dengan hikmah dan mengatur keadaan-keadan manusia melalui ilmu yang sempurna, dan sesungguhnya mereka tidak menjadi baik kecuali dengan cara ini. Kaum muktazilah berpendapat, bahwasanya nikmat maupun bala, baik maupun buruk, semuanya merupakan kebaikan ditinjau dari sisi bahwasanya hal tersebut menyerukan dan mengingatkan manusia agar mengambil pelajaran, akan tetapi seruan tersebut tidak lantas memaksanya kepada kebaikan atau keburukan. Adapun kesenangan (kebaikan) yang tanpa batas, sesungguhnya itu merupakan bencana jika ditinjau bahwasanya ia akan selalu menjerumuskan ke dalam syahwat hingga kehidupan ini dipenuhi dengan nilai-nilai materialistis yang disertai hilangnya moral dan lupa kepada Allah Ta’ala.

Inilah filsafat muktazilah dalam pembenarannya terhadap eksistensi keburukan, dimana mereka menginterpretasikan keburukan itu dalam frame tanggung jawab manusia, maka model interpretasi mereka itu anti kritik.

Dari sini, terlihatlah perhatian muktazilah terhadap akhlak, manusia, kebebasan manusia dalam berkeinginan, berikhtiar, tanggungjawabnya, dan taklif (tuntutan syara’)-nya. Maka tidak masuk akal, apabila seorang mukalaf yang memilih untuk taat kepada Allah dengan kesadaran dan keinginannya, kemudian Allah melakukan sesuatu yang khusus untuknya yang memaksanya keluar dari ketaatan , dan memilih perbuatan maksiat, sesungguhnya perkara ini apabila ditinjau dari sisi Allah, itu tidak masuk akal, karena Allah itu tidak membawa seorang mukalaf kepada ketaatan secara paksa ataupun secara sewenang-wenang.

Lebih-lebih tidak masuk akal apabila Tuhan membawanya kepada perbuatan maksiat, sehingga orang tersebut terpaksa melakukannya, yang tidak keluar dari keinginan mukalaf tersebut lalu ia mendapatkan siksa dan hukuman.[176] Kaum muktazilah membahas tentang keburukan itu secara luas, karena hal tersebut mempunyai keterkaitan dengan keadilan yang agung dan kebebasan manusia, yang keduanya bagian dari tanggung jawab etika.

Apabila filsafat mereka itu mempercayai tentang keadilan Tuhan dan luasnya kehendak manusia, maka mereka harus menyuguhkan sebuah teori yang memosisikan Allah sebagai maha berkehendak yang memberikan hidayah kepada manusia setelah menciptakannya sebagai makhluk yang bertanggung jawab dan mukalaf, dan setelah membekalinya dengan potensi-potensi nafsu terhadap keburukan.

Abu Ali al-Jubai berkata: “Allah itu maha adil dalam qada-Nya, menyayangi ciptaan-Nya, melihat hamba-hamba-Nya. Ia tidak menyukai kerusakan dan tidak meridhoi kekufuran dari hamba-Nya, dan tidak menginginkan kedzoliman bagi umat manusia. Ia tidak menyembunyikan sesuatu apapun dari hamba-Nya, yang sekiranya apabila Ia melakukan kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan taat dan baik. Meskipun Ia menciptakan dalam diri hamba-Nya syahwat untuk keburukan dan menjauhi kebaikan, dan menjadikan dalam dirinya itu akhlak yang buruk, maka sesungguhnya wajib bagi Allah apabila akan men-taklif (menjadikan hambanya sebagai mukalaf) maka wajib bagi Allah untuk menyempurnakan akalnya, memberikan petunjuk dan kemampuan kepadanya, sehingga Allah berbuat kepada hamba-Nya dengan menunjukkan perkara-perkara yang mestinya dilakukan oleh hamba-Nya serta menjauhkan segala sesuatu untuk hamba-Nya dari perbuatan yang buruk, yang dilarang oleh-Nya.[177]

Apabila manusia mempunyai kehendak yang bebas, ikhtiar, taklif (tuntutan syariah), dan mempunyai syahwat yang menjadikannya lebih dekat pada keburukan, dan berkecimpung di dalamnya, sesungguhnya pertolongan Tuhan itu menyayanginya dan menunjukkannya kepada kebaikan, maslahat, ketaatan, dan keutamaan.

Ini adalah ringkasan teori muktazilah tentang kebijaksanaan Tuhan.[178]

Kebijaksanan Tuhan menurut muktazilah hukmnya lazim apabila memberikan tanggung jawab. Karena apabila Allah Ta’ala menjadikan seorang mukalaf itu mempunyai berbagai karakter, maka Allah wajib memberikan taklif kepadanya, dan apabila menjadikannya sebagai orang yang mempunyai pilihan, maka orang tersebut itu boleh berbuat ataupun tidak, dan ketika menumbuhkan karakter dan syahwat dalam dirinya, maka akan menjadikan taklif tersebut dekat dengan kepayahan dan kesusahan, dan apabila Allah berkehendak untuk memberikan taklif-Nya kepada hamba-Nya dengan tujuan untuk membawanya kepada manfaat, maka harus ada kebijaksanaan, sehingga hal yang dimaksud tersebut bisa digapai dengan sempurna.

Beginilah kebijaksanan itu berjalan disemua sisi keniscayaan. Kalau tidak, maka taklif tersebut menjadi tidak lengkap, dan mempengaruhi hukum terhadap mukalaf.

Maka pendapat tentang kebijaksanaan itu merupakan suatu konsekwensi keadilan, dan begitu juga taklif yang merupakan suatu konsekwensi dari kebijaksanaan sebagai posisi “al-wa’d” karena ia mempunyai konsekwensi ada bersama “wa’id” (kabar gembira).

Maka ajaran “al-wa’du al-wa’id” menurut muktazilah adalah realitas yang tidak mustahil, karena Allah menepati janji dan ancaman-Nya, dan tidak ada yang merubah ucapan Allah, dan sebenarnya siksa dan ganjaran menurut muktazilah itu diukur sesuai perbuatan manusia dimana dikategorikan sebagai perbuatan yang baik dan buruk, dan kehendak manusia dan kebebasan berikhtiar. Untuk itu, maka ganjaran dan siksa itu sesuai dengan perbuatan manusia, apa yang dicapai manusia maka akan menuai konsekwensinya sebagai hasil perbuatan dan perilakunya, dan ini sesuai dengan pemikiran tentang keadilan Tuhan, dan sesungguhnya Allah itu maha adil, yang bermakna bahwasanya Allah memberikan alam semesta ini untuk manusia dan memberikannya kebebasan agar ia bisa memilih antara perbuatannya.

Dengan itu, manusia menjadi makhluk yang bertanggungjawab atas perbuatannya, yaitu tanggungjawab moral yang bukan merupakan campur tangan Tuhan. Di sini terlihatlah makna etika dalam filsafat muktazilah. As-Syahrotani, memberikan ulasan tentang prinsip ajaran ini, dengan komentarnya: “Kaum muktazilah sepakat, bahwasanya orang mukmin yang meningal di dunia ini dalam keadaan takwa dan tobat, maka ia akan memperoleh pahala dan keutamaan sebagai makna lain dibalik pahala. Apabila dia meninggal tanpa taubat atau melakukan dosa besar, ia akan mendapat siksa abadi dalam neraka, akan tetapi siksanya tersebut lebih ringan daripada siksanya orang kafir, kaum muktazilah memberikan istilah point ini dengan nama “al-wa’du al-wa’id”.[179]

Kaum muktazilah juga disibukkan dengan perihal dosa besar dan taubat yang intinya juga merupakan sebuah etika, karena pada hakekatnya makna taubat bukan saja untuk tidak mengulangi pada perbuatan yang buruk ataupun dosa besar saja.

Muktazilah juga memberikan perhatian dengan melakukan diskusi tentang sikap terhadap orang yang melakukan dosa besar, apakah ia seorang mukmin atau fasik? Kaum muktazilah berpendapat, bahwasanya orang yang melakukan dosa besar tidak tergolong orang yang beriman atau kafir, akan tetapi ia di antara dua golongan itu (al-manzilah bainal manzilatain).

Artinya, sesungguhnya prinsip ini menurut muktazilah juga berkaitan dengan problematika etika dimana yang diperhatikan kaum muktazilah, yang dijadikan sebagai pemikiran mereka. Hingga dalam hal ini al-Mas’udi berkata: “Adapun pendapat tentang manzilah ‘bainal manzilatain’ yang merupakan prinsip ajaran yang ketiga menurut kaum muktazilah, yaitu bahwasanya orang fasik yang melakukan dosa-dosa besar bukanlah orang yang beriman juga bukan kafir, akan tetapi tetap dinamakan sebagai orang yang fasik sebatas apa yang digariskan oleh syariat dalam penamaannya, dan orang Islam sepakat atas kefasikannya.”

Maka dari itu, persoalan orang yang melakukan dosa besar tersebut menyibukkan para pemikir Islam dalam kapasitas yang penting. Mereka memberikan analisa terhadap arti kata “mukmin”, “fasik”, dan “kafir”, dan mereka berselisih pendapat secara tajam pada substansi moral. Aliran khowarij mengkategorikan pelaku dosa besar sebagai orang kafir melebihi kadar kefasikan mereka, dimana mereka abadi di siksa dalam neraka.

Adapun ahlul hadits dan sunah, mereka berkata, bahwasanya pelaku dosa besar adalah seorang yang beriman karena keyakinannya yang benar. Sedangkan orang fasik yang bermaksiat dengan perbuatannya, yang artinya bahwasanya perbuatan anggota tubuh tidak menafikan keimanan apa yang ada dalam batinnya; kefasikannya itu tidak menafikan nama iman dan Islam, dan orang yang berkata ini adalah golongan murjiah dari ahli hadits, kemudian datanglah Hasan al-Basri yang menetapkan bahwasanya pelaku dosa besar adalah munafik.

Adapun muktazilah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh al-Asfiroini tentang madzhabnya, ia berkata: “Sesuai apa yang telah disepakati, bahwasanya pelaku dosa besar itu bukanlah seorang yang mukmin ataupun kafir, akan tetapi ia terletak di dalam golongan tersebut, dan apabila ia meninggal dunia sebelum bertaubat, maka ia disiksa di dalam neraka selama-lamanya, dan tidak boleh bagi Allah mengampuni dan merahmatinya. Artinya, bahwa pelaku dosa besar meskipun ada subhat (masih meragukan) sebagai orang mukmin dalam keyakinannya, akan tetapi tidak menyerupai sebagai orang mukmin dalam perbuatannya, dan menyerupai orang kafir dalam perbuatannya namun tidak menyerupai dalam keyakinannya, maka dia menjadi golongan yang ditengah-tengah di antara keduanya, artinya di antara dua hal yang saling bertolak belakang. Menilik hal ini, maka siksaannya lebih ringan daripada siksaannya orang kafir.

Dalam gambaran ini kita temukan bahwasanya ahli kalam mencurahkan perhatiannya terhadap problematika moral yang penting, dan pandangan mereka terhadap perbuatan mereka, memilah-milah pada perilaku mereka, dan macam-macam halal dan haram disamping perhatian mereka terhadap prinsip-prinsip teologi dalam arti iman yang mempunyai kaitan dengan amal perbuatan.

Kita juga temui, bahwa prinsip ajaran yang kelima dari prinsip-prinsip ushul muktazilah, sebenarnya merupakan prinsip moral yang praksis, yang singkatnya menyuruh orang Islam serta memberikan kepada mereka tanggung jawab untuk berjihad di jalan Allah dan menegakkan hukum-hukum Allah terhadap siapapun yang melanggar perintah dan larangan-Nya, meskipun dia orang kafir ataupun muslim.

Al-Asy’ari memberikan batasan terhadap masalah ini dengan perkataannya, “Orang muktazilah semua sepakat kecuali al-A’som, atas kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan kemampuan untuk menegakkannya dengan lisan, tangan, dan pedang. Bagaimana bisa mereka menetapkan seperti itu?”

Kita juga menemui al-Mas’udi berkata: “Bisa dikatakan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar yang merupkan prinsip ajaran yang kelima, yang berarti sesungguhnya prinsip amar maruf nahi mungkar itu wajib bagi semua orang mukmin menurut kadar kemampuan mereka dalam menegakkannya dengan pedang ataupun lainnya, meskipun jihad. Tidak ada perbedaan memerangi orang kafir maupun orang fasik.”

Beginilah, kita sampai kepada akhir ajaran madzhab muktazilah, yaitu sebagaimana yang kita lihat, aliran ini merupakan aliran akhlak yang ekslusif (VIP). Aliarn ini berdiri di atas dasar-dasar pemikiran teologi, dan memberikan analisa terhadap permasalahan moral yang kuat, yang telah meletakkan di dalamnya itu peran manusia, kebebasannya, dan kehendaknya untuk kebaikan jikalau manusia menghendaki kebaikan tersebut, dan kehendaknya kepada keburukan apabila ia menghendaki keburukan. Ia akan menuai apa yang akan ia perbuat, baik ganjaran maupun siksa. Inilah puncak keadilan Tuhan, yang memberikan manusia untuk berbuat sesuka hatinya, kebebasannya, dan kehendaknya. Kemudian Allah menghitungnya atas semua perbuatan menurut amal dan jerih payahnya, dan hal itu terealisir dalam prinsip ajaran “al-wa’du al-wa’id” yang merupakan puncak dari akhlak.

Adapun ajaran “manzilah bainal manzilatain“, pada dasarnya berdiri di atas pembahasan tentang akhlak yang penting, ialah tentang sebuah sikap terhadap pelaku dosa besar. Begitu juga ajaran ‘amar ma’ruf nahi munkar‘, yang merupakan prinsip akhlak yang umum untuk kebaikan bagi individu maupun sosial. Inilah prinsip-prinsip dan ushul yang umum pada pemikiran muktazilah. Pada intinya, ia menyerupai filsafat moral yang kuat yang memberikan pengaruh dengan perannya terhadap mayoritas sekte-sekte Islam dan aliran-aliran kalam. Ia menjadikan akal itu agar mau berfikir dan merenungkan arti dan makna akhlak, nilai-nilai perilaku bagi kemanusiaan agar kita mampu membentuk kehidupan yang bahagia bagi manusia yang berdiri secara mendasar, pada prinsip-prinsip akhlak dan ushul teologi. Maka barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhrir, ia akan takut kepada Allah dalam sepi dan ramai, dan perilakunya akan menjadi baik, dan terlepas dari dosa-dosa besar dan kesalahan, menuai pahala dan ganjaran di hari akhir yang lebih baik lagi kekal.

Sungguh, secara alami bahwasanya ahli kalam itu memiliki filsafat etika, karena mereka itu adalah ahli teori logika dalam teks-teks al-Qur’an, dan merekalah yang bersinggungan dengan hakekat yang sempurna. Agama Islam merupakan hakekat dari intinya. Maka barangsiapa yang mau menjamahnya, dia akan tahu bahwasanya agama mengandung filsafat dan tujuannya adalah akhlak. Beginilah, akhlak menurut ahli kalam yang berdiri di atas dasar-dasar teologi, dan teori filsafat yang disandarkan pada prinsip-prinsip keagamaan, maka ia akan mendapatkan hasil yang lebih baik, dan membentuk akhlak dalam bentuk yang lebih bagus. Buah dan jejak-jejaknya itu nampak dalam aliran-aliran kebanyakan para pemikir dan ahli filosof seperti Ibn Sina, Ibn Maskawai, Ibn Hazm, dan al-Fahru ar-Razi. Dimana kita temui, bahwasanya keutamaan dari keadilan menurut mereka itu adalah kebaikan yang paling mulia, dan kebaikan-kebaikan etika yang lain seperti keberanian, harga diri, dan hikmah itu berkumpul menjadi satu dibawah naungan keadilan. Kita juga menemui Ibn Sina dan al-Fahru ar-Razi, dimana keduanya membahas baik dan buruk secara luas. Jelas, bagi kita hubungan antara kedua pembahasan tersebut dengan akhlak sebagaimana juga nampak menurut ahli kalam sebelumnya.

4 Etika Filosof

Kita bisa melihat pada pembahasan sebelumnya, bagaimana para pengikut aliran akhlak keagamaan membubuhkan madzhab akhlak mereka dari agama dan sunnah, dan bagaimana aliran hikmah menjadikannya sebagai cara berdakwah untuk mempraktekkan secara disiplin tentang akhlak dan kebaikan. Kita juga melihat bagaimana ahli kalam berpegangan pada konsep logika dalam pembahasan akhlak mereka. Adapun para filosof Islam dalam akhlak itu menyerupai filsafat Yunani dan semua keilmuannya yang mencakup di dalamnya ilmu akhlak. Pengaruh yang kuat terhadap aliran-aliran mereka dan teori etika mereka. Karena mereka mengetahui secara pasti beberapa biografi yang mereka dapatkan waktu itu seperti Philip, karyanya Plato tentang keberanian dan buku ‘jumhuriah’ (republik) yang menampilkan keadilan dan harga diri, orang Islam juga mengetahui buku Goergyas dan an-Nawamis[180]

Hanin bin Ishak juga menyuguhkan buku biografi Aristoteles yang berjudul al-Akhlak an-Niqomakhiyah yang disertai dengan syarah oleh/untuk Ghorfrius. Al-Farabi juga mencurahkan perhatiannya yang besar terhadap buku ini. Pengaruh besar dari folosof Islam lainnya semisal Ibn Maskawaih, Ibn Sina, ar-Razi at-Thabib, Ibn Hazm, al-Ghazali, Ibn Bahah, dan al-Fahru ar-Razi. Hingga kita menemui, mereka melakukan pembahasan yang sama terhadap pemabahasan-pembahasan yang diteliti oleh orang Yunani. Mereka mempraktekkan beberapa metodologi yang sama, maka mereka memulai dengan menyebutkan mukodimah yang disertai dengan beberapa definisi, analisis, dan klasifikasi terhadap kebaikan dan sebagian pembahasan tentang kebahagiaan, kebaikan, dan sebagainya, yang tercakup dalam permasalahan akhlak, yang nampak jelas sekali di situ ada pengaruh Socrates, Plato, Galileo, Aristoteles, Pitagoras, Aflutin (pengikut Plato), dan banyak yang lain dari orang Yunani yang mereka sebutkan secara transparan dalam karya-karya mereka. Realitanya, bahwa perhatian orang Islam terhadap akhlak itu tidak bersifat sektarian atau tujuan tertentu, akan tetapi timbul dari pemahaman yang benar terhadap arti filsafat, dan keberadaannya sebagai kumpulan pengetahuan, dan bahwasanya filsafat merupakan satu kesatuan yang tidak terpecah-pecah. Artinya, bahwasanya akhlak berkaitan erat dengan seluruh pengetahuan-pengetahuan lain, baik teoritis maupun praktis.[181] Untuk itu, mereka memulainya dengan penuh perhatian, dan mereka fokus melakukan penelitian, menulis dan mengarang tentangnya. Kita bisa temui seperti al-Farabi memiliki banyak buku akhlak yang terlihat jelas sekali terpengaruh oleh Yunani seperti buku Tahsil Sa’adah dan risalah Fi at-Tambih ala Sabili as-Sa’adah, dan kumpulan-kumpulan buku.

An-Nawamis milik Plato, dan buku Aro Ahlil Madinah al-Fadhilah, di dalam buku-buku tersebut nampak akan ketakjuban al-Farobi dengan ilmu-ilmu Yunani, dan khususnya Plato dan Aristoteles. Beliau mencoba menggabungkan antara pemikiran dua orang bijak dan pembaharu tersebut dalam filsafat, yang merupakan founding untuk prinsip-prinsip dan dasar-dasar filsafat, dan sebagai orang yang menyempurnakan sisi akhir filsafat beserta cabang-cabangnya. Kepada kedua orang tersebutlah, orang yang butuh baik sedikit ataupun banyaknya filsafat, dan banyaknya sebagai referensi akan kemudahan dan sulitnya filsafat. Dan seluruh disiplin keilmuan yang bersumber dari keduanya merupakan prinsip yang mu’tamad (kokoh ), yang bersih dari kekaburan dan kotor.

Dengan itu, lisan-lisan pun berkata, dan akal-akal membaca, meskipun tidak secara kafah, secara mayoritas dari orang-orang yang mempunyai pikiran lurus dan akal yang bersih.[182]

Maka dari itu, al-Farabi membaca buku-buku karya Plato dan Aristoteles dengan penuh perhatian dan teliti, seksama dan menjiwai, hingga dikatakan bahwasanya ia membaca buku an-Nafs karya Aristoteles seratus kali, dan buku as-Sama at-Thobi’i empat puluh kali, dan hal ini menunjukkan kedalaman ilmunya tentang filsafat Yunani. Ibn Sab’in memberikan komentarnya: “Tokoh ini adalah orang yang paling memahami para filosof Islam, dan yang paling menguasai terhadap ilmu-imu kuno. Dialah seorang filosof yang menguasai ilmu-ilmu tersebut bukan yang lain, hingga dia diberi gelar dengan sebutan guru kedua melihat status keilmuannya di dalam dunia Islam. Dia begitu terinspirasi dengan Plato dan Aristoteles. Hal demikian nampak jelas dalam bidang akhlak dan etika, dimana terkadang dia setuju dengan Plato dan Aristoteles, dan terkadang melampui pendapat mereka berdua dengan mengambil jalan tasawuf dan zuhud.

Al-Farabi memulai pembahasan filsafat etikanya seperti para filosof Yunani dengan menegaskan peran akal dan kemampuannya untuk mengontrol terhadap perbuatan yang baik maupun yang buruk, karena akal adalah curahan dari alam yang tinggi. Apabila pengetahuan merupakan inti dari kebaikan, maka kenapa akal itu tidak meletakkan kaidah-kaidah akhlak. Al-Farabi menegaskan tentang nilai ilmu dan pengetahuan dalam bidang akhlak dimana pengetahuan menurutnya adalah paling penting dari perilaku etika, karena tanpanya kita tidak mampu mengontrol perilaku etika.

Al-Farabi juga memberikan perhatian dengan mempelajari psikologi manusia, potensi-potensinya, karakternya, dan bagian-bagiannya. Dia menegaskan, bahwasanya ikhtiar merupakan salah satu diri manusia, karena ikhtiar itu berdiri atas pandangan logika, dan medannya adalah berfikir murni. Maka ikhtiar itu tergantung pada sebab-sebab berfikir, seakan-akan ikhtiar dan keterpaksaan ada dalam waktu yang sama. Karena sebatas prinsip pertama itu telah ditentukan dalam ilmu Allah, dan al-Farabi dalam sisi ini bisa dikategorikan dalam golongan jabariah. Karena diri manusia yang berakal, itu tidak mempunyai kebebasan yang lengkap, kecuali apabila ia terbebas dari kungkungan-kungkungan materi dan dari jaringan-jaringan kesesatan, hingga jiwa manusia itu menjadi akal, dan inilah kebahagiaan. Inilah kebaikan yang paling besar menurut al-Farabi yang seyogyanya dicari substansinya, karena ia bersifat mutlak, dan itulah yang dicari di diri manusia apabila merindukan kepada akal yang di atasnya. Kebahagiaan menurut al-Farabi merupakan tujuan akhir bagi setiap manusia, dan kebahagiaan adalah yang paling bernilai dari semua kebaikan menurut usaha manusia kepada inti kebaikan maka kebahagiaannya menjadi sempurna. Dan kebahagiaan itu bisa tercapai dengan membiasakan perilaku yang terpuji yang bersumber dengan kemauan dan pemahaman yang saling berhubungan, artinya, dengan cara kebaikan-kebaikan yang ditanam oleh materi dan kebiasan. Al-Farabi mengambil teori ‘tawasuth’ yang adil dalam kebaikan, seperti yang dilakukan oleh Aristoteles. Beliau berkata, sesungguhnya kebaikan itu di tengah-tengah antara kekakuan dengan kelembekkan, misalnya keberanian yang terletak di antara membabi buta dengan sifat takut, dan kedermawanan merupakan di tengah-tengah antara sifat bakhil dengan berhambur-hamburan, dan menjaga harga diri (iffah) itu di antara terlalu vulgar dengan frigiditas.

Al-Farabi menjelaskan pendapat tentang kebaikan-kebaikan yang bisa merealisasikan kebahagiaan bagi manusia yang menurutnya ada empat macam:

1. Kebaikan teoritis, yaitu berupa ilmu-ilmu pertama, artinya prinsip-prinsip dasar pertama yang bisa dicapai oleh manusia dengan cara insting maupun non insting.

2. Kebaikan pemikiran, yaitu yang tidak mengkomparasikan kebaikan teoritis. Melalui ini, mungkin manusia bisa menggali sesuatu yang bermanfaat untuk tujuan yang baik. Sebagaimana ungkapan al-Farabi: “Hampir menyerupai untuk menjadi sebuah kemampuan yang bisa membuat aturan-aturan untuk ditaati.” Maka dari itu, sesungguhnya ia adalah kebaikan pemikiran yang modern.

3. Kebaikan-kebaikan etika, dan yang merupakan tingkatan selanjutnya untuk kebaikan pemikiran, karena kebaikan pemikiran merupakan syarat-syarat bagi kebaikan etika. Dan melalui itu bisa menyentuh kebaikan.

4. Kebaikan perilaku, yaitu yang bisa dicapai oleh manusia baik dengan perkataan-perkataan yang menyejukkan atau dengan perkataan-perkataan yang emosional maupun dengan paksaan… Inilah empat macam kebaikan[183] yang dijelaskan al-Farabi secara detail, dan ia terpengaruh dengan pendapat Plato dan Aristoteles. Ia berpendapat bahwasanya ada juga kemungkinan mencapai dengan sebuah kemauan, dan itu datang apabila seseorang mengontrol dirinya sendiri dan perilaku yang melengkapi kekurangan-kekurangannya. Maka apabila ia sampai pada tingkatan kebaikan yang menengah, maka dia bisa dikategorikan sebagai orang yang baik.[184]

Al-Farabi juga berpendapat, kebaikan yang bermacam-macam itu bisa dicapai dengan pendidikan dan pembelajaran dalam bangsa-bangsa. Maka yang pertama adalah jalan untuk kebaikan secara teoritis, dan yang kedua adalah jalan untuk kebaikan etika dan perilaku-perilaku yang nyata. Hal pertama tadi bisa diraih dengan perkataan saja. Adapun hal yang kedua, kadang-kadang bisa dicapai dengan perkataan, dan terkadang dengan perbuatan.

Siapapun yang mempunyai profesi dalam dunia pendidikan maupun pembelajaran, menjadi seorang pengajar maupun pendidik, maka dia menjadi tokoh dalam suatu komunitas atau asisten tokoh untuk meraih tujuan ini. Di sini, al-Farabi berbicara tentang pendapat-pendapat penduduk kota yang baik, dimana ia terpengaruh dengan Plato secara jelas dan terang-terangan di dalamnya, dibanding pendapat Aristoteles dalam hal kebaikan. Akan tetapi, filsafat Yunani yang begitu eksis tersebar di negara-negara Islam, dan menjadi hal umum dalam aliran-aliran pemikiran, serta mulai dipelajari di masjid-masjid, di rumah-rumah, di paguyuban, di istana para raja dan pemimpin, dan begitu juga buku-buku dan karangan-karangan. Manusia pun sibuk mempelajarinya, dan muncullah banyak tokoh filsafat pada abad ke-4 H, yang memperhatikan filsafat Yunani dan sibuk pada pengetahuan-pengetahuan filsafat Yunani. Ibn Maskawaih termasuk filosof yang getol menorehkan perhatian terhadap ilmu-ilmu Yunani dan khususnya dibidang etika, maka ia membaca buku an-Nawamis karya Plato yang diterjemahkan Yahya bin Khudai atau Hanin bin Ishak, dan dia mengakui hal tersebut dengan sendirinya.

Kemudian dia membaca buku al-Jumhuriah karya Plato, yang meskipun ia tidak berterusterang. Hanya saja ia mengklasifikasikan jiwa manusia itu ada tiga macam: jiwa yang berakal, jiwa amarah, dan jiwa syahwat. Kemudian dia menjelaskan tata letak setiap jiwa tersebut dibagian badan; yang pertama terletak di kepala, yang kedua terletak di dada, dan yang ketiga terletak di perut. Dengan jelas, ini menunjukkan kepada kita bahwasanya Ibn Maskawaih itu membaca bagian yang kesembilan dari buku al-Jumhuriah yang diketahui oleh orang Arab dan diterjemah ke dalam bahasa Arab oleh Hanin bin Ishak.[185]

Begitu juga perkataan Ibn Maskawaih tentang karakter jiwa manusia dan keabadiannya menunjukkan kepada kita bahwa ia membaca buku Fadzan yang diterjemahkan oleh Isa bin Zur’ah. Dan perkataan Ibn Maskawaih tentang kesenangan-kesenangan, menunjukkan kepada kita bahwasanya dia membaca al-Qinas karya Plato yang dialihbahasakan oleh Ibn Zur’ah seperti yang dikatakan al-Qufthi.[186]

Kita juga temui, Ibn Maskawaih banyak sekali menyebutan Aristoteles dalam buku-bukunya. Ia membaca bukunya yang berjudul al-Akhlak an-Niqomafiah. Ia begitu terpengaruh dengan buku ini, sebagaiman ia membaca buku an-Nafs, seperti yang disebutkan dalam buku al-Faus al-Asghor, yang pada akhirnya Ibn Maskawaih menjelaskan dalam at-Tahdzib, bahwasanya ia membaca buku al-Maqolat dan Fathhurias dalam ilmu mantik karya Aristoteles. Ibn Maskawaih banyak membaca karangan Aristoteles, dan terpengaruh dengannya, sebagaimana ia membaca karya Plato yang membuatnya takjub. Ibn Maskawaih juga membaca buku al-akhlak karya Galileo seperti yang ia sebutkan dalam dua bukunya; al-Faus dan at-Tahdzib, dan juga buku Fi Ta’aruf al-Mar’i ‘Uyuban Nafsih yang telah dialihbahasakan ke dalam bahasa arab oleh Thouma, dan kemudian diedit oleh Hanin. Buku Fi Ta’aruf al-Mar’i ‘Uyuban Nafsih berupa satu makalah yang ringkasannya kita bisa temukan di buku at-Tahdzib.

Ibn Maskawaih juga menyebutkan, bahwasanya ia membaca buku Intifa’ al-Akhyar bi A’da Ihim karya Galileo, yang berupa satu makalah yang ditejemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Hubaisy yang ia ringkas dalam buku at-Tahdzib. Kita juga menemukan topik-topik ini telah dipelajari oleh Ibn Hazm dalam risalahnya Tahdzib al-Akhlak wa Mudawatun Nufus.

Dengan takaran ini, kita bisa menegaskan, bahwasanya Ibn Maskawaih itu terpengaruh dengan turats (ilmu-ilmu) Yunani dan akhlak Yunani yang begitu berkembang peradabannya dalam filsafat etikanya. Ia mengakui hal tersebut dalam buku-bukunya sendiri. Kemudian datanglah filsafat etikanya yang merupakan campuran dari pendapat Plato, Aristoteles, Galileo, dan dari syariat Islam juga. Dan itu nampak jelas dalam pembicaraannya tentang potensi-potensi jiwa, dan kebaikan-kebaikan yang berkaitan dengannya dan keburukan-keburukan yang berlawanan arah dengannya. Dalam hal ini ia mengikuti Plato dari segi bahwasanya jiwa memiliki tiga kekuatan; kemampuan berfikir yang dipakai untuk berfikir dan menelaah, kekuatan syahwat yang merupakan sumbernya syahwat, dan potensi amarah yang berupa muara amarah dan keberanian.

Kemudian Ibn Maskawaih berbicara tentang inti kebaikan-kebaikan untuk potensi-potensi ini. Ia berkata bahwasanya hal tersebut adalah keutamaan ilmu atau hikmah untuk jiwa yang berfikir. Keutamaan harga diri untuk potensi jiwa syahwat, dan keutamaan kesabaran untuk potensi amarah. Dari empat keutamaan tersebut menghasilkan kebaikan pokok lainnya, yaitu keutamaan keadilan. Ibn Maskawaih juga mengambil teori Aristoteles dalam keseimbangan antara kebaikan-kebaikan itu. Artinya, sesungguhnya ia berpendapat dengan teori ‘tawasuth’ yang adil yang bisa terealisir dengan cara logika dan pemahaman. Ketika Ibn Maskawaih berbicara tentang kebaikan dan keburukan, ia tidak mengabaikan hubungan yang ada di antara keduanya, dan antara fadhilah, maka sifat-sifat baik menurutnya itu akan merealisasikan hal-hal yang baik dan kebahagiaan. Di sini terlihatlah hubungan antara filsafat Yunani dan agama, yang mana keduanya bertujuan kebaikan dan kebahagiaan manusia. Ia juga terpengaruh Aristoteles dalam pembahasan ini. Ia mengakui hal tersebut ketika ia berbicara tentang hal yang sempurna yang menurutnya bisa terwujud dengan lima hal; kesehatan badan, kelembutan indra, kekayaan dan para pembantu, dan pikiran yang baik dan keyakinan yang bersih dalam agamanya dan yang bukan agama, diskusi yang berkualitas dalam pandangan-pandangan, dan keberuntungan manusia untuk menuai kebahagiaan itu bisa diukur keberuntungan mereka dalam menguasai hal-hal tersebut.

Akan tetapi ia menolak pendapat bahwasanya kebahagiaan itu tidak akan tercapai kecuali dengan berpisahnya ruh dengan jasad, ia berpendapat bahwasanya hal tersebut tidaklah benar.

Dan penting menggabungkan antara dua prinsip, yaitu rohani dan jasmani, yang keduanya berkaitan dengan alamnya yang khusus.

Kebahagiaan itu tidak akan tercapai kecuali dengan dua prinsip tadi bersamaan, meskipun bahwasanya status jasmaniah itu lebih sedikit. Aadapun penuhnya keberuntungan dari hikmah, ini adalah mahkota jiwa yang mulia yang merefleksikan kebahagiaan yang sempurna, menghilangkan berbagai derita dan kesusahan.

Ibn Maskawaih menasehatkan, bahwasanya agar tidak membatasi keinginan manusia, dan tidak merasa puas dengan hanya mencapai kepuasan badan serta menjadikannya sebagai tujuan dan puncak kebahagiaannya. Karena apabila manusia melakukan hal tersebut maka ia telah merelakan dirinya untuk menghambakan dirinya secara rendah.

Pernyataannya ini sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla, Qs. Al-Jaatsiah: 23:

“23. Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?

Dari semua ini, kita bisa melihat bahwasanya filsafat etika Ibn Maskawaih merupakan hasil natural untuk pengetahuan Yunani dan ideologi Islamnya yang luas.

Ibn Sina juga termasuk salah satu filosof Islam dengan ajaran-ajaran Yunani, dan menerimanya dengan mengambil manfaat-manfaat dari ajaran Yunani dengan mendalami ilmu-ilmu mereka untuk mengambil faedah darinya. Khaji kholifah menyebutkan dalam buku Kasyaf adz-Dzunun tentang perhatian Ibn Sina terhadap ilmu-ilmu orang Yunani dan kontinuitas dalam membacanya.

Beliau berkata: “Ibn Sina merasakan kesulitan mempelajari buku-buku Aristoteles dalam pembahasan at-Thobiah. Ia membacanya hingga berpuluh-puluh kali. Sampai membuatnya merasa putus asa dalam memahaminya, sehingga ia mencoba menyelusuri bukunya al-Farabi dalam membahas tujuan Aristoteles dalam bukunya, kemudian terbukalah bagi Ibn Sina sesuatu yang tertutup tadi. Maka beliau merasa senang dengan hal tersebut dan memberikan sedekah dengan harta yang banyak kepada orang-orang fakir. Sungguh, Ibn Sina telah memperhatikan semua keilmuan pada zamannya dari Al-Quran, tafsir, sastra, bahasa, fiqh, ilmu hitung (hisab), teknik, kedokteran, ilmu kalam, dan filsafat. Artinya sesungguhnya beliau telah menggabungkan bermacam-macam ilmu yang populer pada masanya, dan tidak membatasi pada keilmuan Arab yang agamis, bahkan juga mempelajari ilmu-ilmu logika yang dijangkau oleh beberapa tokoh Yunani. Akan tetapi beliau tidak melakukan sebagaimana al-Farabi lakukan dalam keterbukaan dengan kehidupan umum dan menyeluruh terhadap pembacaan buku-buku yang ditorehkan oleh para pensyarah madzhab Aristoteles, akan tetapi Ibn Sina meggabungkan keilmuan Yunani dengan hikmah Timur.

Beliau berkata: “Cukup bagi kita apa yang tertulis pada beberapa syarah untuk aliran-aliran terdahulu, maka sekarang waktunya bagi kita untuk membuat filsafat yang khusus bagi kita.”

Meskipun demikian, Ibn Sina belum mampu untuk membersihkan diri dari pengaruh pemikiran Yunani terhadap filsafatnya secara umum, dan filsafat etikanya secara khusus, beliau memberi perhatian terhadap kajian an-nafs (jiwa). Beliau banyak mengarang buku dan risalah dalam bidang nafs, dan membhas tentang potensi-potensi jiwa dan akhlak. Ia mempunyai risalah akhlak, dan risalah al-’ahd (janji), risalah al-razak (rizki), risalah dalam kebaikan dan dosa, risalah dalam menolak kesusahan ketika datang kematian, risalah tentang hakekat kematian, risalah tentang zuhud, risalah tentang kebahagiaan dan kesusahan, risalah tentang takdir, dimana ia memberikan diskusi didalamnya tentang problematika kebaikan dan keburukan.

Beliau telah mengupayakan untuk menggabungkan dalam tulisannya antara filsafatnya, antara akidah mayoritas orang Islam, dan kalangan ahli sunah wal jama’ah. Beliau berkata, sesungguhnya sesuatu yang ada, baik yang bagus maupun buruk, maka hal tersebut ada dengan takdir Allah, akan tetapi Allah tidak meridhoi kecuali dengan yang baik. Keburukan merupakan sesuatu yang tidak ada, meskipun itu datang dari Allah. Karena itu adalah yang dikategorikan sebuah ilusi, dan apabila Allah tidak menyertakan di semesta ini apa yang menghiasinya dari sebuah keburukan, niscaya itu merupakan keburukan yang paling besar.

Tidak mungkin semesta menjadi baik dan menjadi baru, dari seperti yang sudah ada dengan perbuatan dan perhatian Tuhan yang berjalan ditengah-tengah jiwa, di tengah-tengah aflak(astronomi) dalam sistem alam semesta yang bagus.

Ia juga memiliki buku tentang hikmah iluminasi, kita mempunyai gambaran tentang filsafat iluminasi yang bisa dipahami dengan jalan insting dan indra bukan analogi, memaparkan pendekatan-pendekatan, dan membubuhkan konklusi-konklusi. Dan tingkatan perasaan dan insting lebih tinggi daripada tingkatan keilmuan yang teoritis, karena itu berbeda dengan adanya tambahan gambaran-gambaran yang jelas, iluminasinya, dan kemampuan yang lebih cepat untuk menguak hakekat dalam satu waktu.

Disamping itu, makna dari akhlak yang paling menonjol adalah bahwasanya hukum-hukum dari syariat atau hukum-hukum positif dari suatu negara itu diwajibkan bagi semua orang, maka Nabi Muhammad Saw berusaha untuk mengeluarkan kalangan Arab dari keterbelakangan mereka serta untuk menuju k edalam tujuan ini. Beliau (Nabi Muhammad Saw) menghembuskan kepada mereka keyakinan tentang hari kebangkitan, dan hal tersebut merupakan keyakinan yang berbau akhlak. Mereka hanya memahami arti kebahagiaan rohani saja. Kita tidak mengetahui apapun, melainkan adzab atau kenikmatan badan yang telah menunggu mereka dikehidupan lain menurut kabar yang diriwayatkan.

Orang-orang yang zuhud, meskipun mereka menolak kenikmatan dunia serta kelezatannya secara menyeluruh, tapi mereka mirip dengan orang-orang umum yang bergantung dengan indrawi yang materi, dan orang-orang yang mendasarkan ibadah-ibadah mereka kepada Allah yang berpegangan dengan gambaran-gambaran nyata. Hal tersebut mirip, melainkan bahwasanya orang-orang zuhud itu meninggalkan kenikmatan dunia hanya ingin mendekatkan diri pada pahala-pahala ukhrowi.

Menurut Ibn Sina, ada segolongan orang yang tingkatannya lebih tinggi dari golongan umum dan orang-orang zuhud, dan mereka adalah orang yang arif yang beribadah kepada Allah dengan sebenar-benar ibadah, sehingga mereka mencintai Allah dengan cinta rohani. Mereka menuju kepada Allah dengan pikiran mereka. Mereka tidak menginginkan hal tersebut, kecuali hanya kepada Dzat Yang Maha Hak. Mereka tidak menginginkan pahala, dan mereka tidak takut dengan siksa. Mereka memiliki keistimewaan dengan yang lain, bahwasanya ruh-ruh mereka telah terbebas dari kungkungan-kungkungan, dan akan tetapi rahasia ini semestinya tidak dipopulerkan kepada orang-orang umum. Dan seorang filosof menyebutkannya hanya khusus kepada murid-muridnya.

Orang yang arif menurut Ibn Sina, adalah orang yang mencurahkan pikirannya untuk kesucian Yang Maha segalanya, yang senantaiasa istikomah menyambut terbitnya cahaya Ilahi dalam rahasianya. Dan orang arif hanya menginginkan Dzat Tuhan, dan dia menyembahnya karena Allah berhak untuk disembah tanpa tuntutan ataupun tanpa ancaman, kecuali Tuhan itu hanya sebagai perantara.

Maka hikmah iluminasi Ibn Sina dan tasawufnya itu mencakup pada arti-arti akhlak yang agung, dimana jiwa itu akan membersihkan dari kedzoliman dan syahwat menuju cahaya ilahi dan keutamaan. Sebuah hikayat yang menyeritakan tentang Ibn Sina dan Ibn Maskawaih serta perhatian mereka terhadap akhlak yang diriwayatkan oleh al-Baihaki, mereka berkata: “Sesungguhnya, Ibn Sina datang kepada Ibn Maskawaih yang sedang berada di antara muridnya dan kemudian beliau melemparkan juz anggur kepada beliau dan berkata, di antara jarak minuman ini terdapat tumbuhan-tumbuhan gandum. Kemudian Ibn Maskawaih menolak beberapa bagian dalam hal akhlak. Ibn Maswaih kemudian mengetengahkannya kepada Ibn Sina, dan beliau berkata: ‘Perbaikilah akhlakmu dulu, hingga aku dapat menampilkan jarak minuman ini, karena engkau lebih memerlukan guna memperbaiki akhlakmu, daripada saya menjelaskan minuman ini’.”

Riwayat ini juga menunjukkan kepada kita tentang perhatian Ibn Maskawaih terhadap akhlak, dan keinginannya kepada Ibn Sina agar memberikan perhatian terhadap pembahasan-pembahasan akhlak, dan sesungguhnya Ibn Sina itu dengki terhadap Ibn Maskawaih atas apa yang beliau raih sekarang, dan amal perbuatan yang bermanfaat. Mungkin, amarah serta emosi Ibn Maskawaih itu dipicu bahawasanya pada saat itu beliau merupakan seorang syekh, guru yang terhormat yang menjadi tokoh dimasanya, sedangkan Ibn Sina hanya seorang pemuda yang sedang tumbuh, yang ingin menunjukkan dirinya dengan berlebihan kepada orang lain.[187]

Kemudian filsafat etika Ibn Hazm datang, yang pernah diberi komentar oleh Asin Bilacius bahwa filsafat Ibn Hazm tidak bisa dijadikan perumpamaan. Agar kita bisa menegaskan pendapat (Asin Bilacius) yang salah ini, karena aliran filsafat Ibn Hazm tidak sebatas pada sisi hikmah dan keteladanan.

Dalam aliran filsafat Ibn Hazm, itu mencakup semua aliran-aliran yang populer dalam pemikiran etika Islam dari sisi (yang pertama) keagamaan kepada sisi lain (yang kedua) hikmah, kemudian kepada sisi (yang ketiga) kalam, kemudian sisi (yang keempat) filsafat, kemudian (yang kelima) tasawuf. Hal itu terlihat ketika kita memaparkan aliran Ibn Hazm, dimana beliau pada mulanya menyebutkan definisi akhlak, bahwasanya itu merupakan sifat-sifat yang baik. Dan sesungguhnya filsafat yang benar, itu menjelaskan sifat kebaikan dari pada sifat keburukan yang dibangun di atas beberapa argumentasi yang memisahkan antara hak dan batil. Artinya, bahwasanya Ibn Hazm telah memberikan pengertian akhlak dan mendefinisikannya; bahwasanya akhlak adalah sifat-sifat baik, kemudian beliau juga menjelaskan metode-metode yang memungkinkan digunakannya untuk membedakan sifat-sifat yang baik daripada sifat-sifat yang buruk. Dalam pembahasannya pada sifat-sifat yang baik, beliau mencoba untuk menggabungkan antara filsafat dengan agama, karena kebaikan menurutnya adalah terletak di tengah-tengah antara konservatif dan liberal, dan keduanya sudah mafhum, dan kebaikan antara keduanya itu terpuji. Jauh dibayangkan akal seperti itu, karena sesungguhnya akal itu tidak konservatif.[188]

Artinya, sesungguhnya Ibn Hazm itu mengambil teori Aristoteles dalam konsep kebaikan yang dijadikannya sebagai penengah dan tidak memihak antara kedua sisi itu (konservatif dan liberal), dimana keduanya adalah buruk. Kemudian Ibn Hazm menggariskan, bahwasanya sifat-sifat baik dalam agama adalah ketaatan kepada Allah. Swt, dan keburukan adalah bermaksiat kepada-Nya. Apabila dia tidak mengetahui keburukan tersebut, maka wajib bagi seseorang berpegangan terhadap Allah dan Rosulullah. Saw. Sesungguhnya itu mencakup semua kebaikan.[189]

Kemudian Ibn Hazm menegaskan pentingnya menjelaskan sifat-sifat baik dari sifat-sifat buruk, agar orang mau menjauhi keburukan yang timbul dari orang lain, dan menyukai kebaikan yang datang dari orang sebelumnya, serta mengambil nilai-nilai baik dari yang sebelumnya. Ibn Hazm mengaitkan antara jiwa dengan sifat-sifat kebaikan seperti yang dilakukan orang sebelumnya, yaitu para filosof Yunani; Plato dan Aristoteles.

Maka beliau berkata: “Ketika manusia itu tergabung di antara sifat-sifat kehewanan dan kemanusiaan, maka kebaikan itu ada dua jenis; satu jenis berupa makanan dan indrawi, dan jenis lain menyerupai dalam kehidupan renungan logika dan pandangan yang fokus. Keutamaan jenis yang pertama sudah dijelaskan sebelumnya dalam menaklukan syahwat dan hawa nafsu untuk jangkauan akal. Maka akal adalah yang mengganggu dan yang mengarahkan kebaikan, dan beliau dalam hal ini seperti pendapat Plato yang berpandangan bahwasanya orang yang bijak adalah orang konsist terhadap ketidakberpihakkan, dan berpegang teguh dengan harga diri dan zuhud dalam kelezatan. Apabila syahwat untuk marah itu bisa ditundukkan, dan meredam amarah untuk akal, maka tercapailah keadilan. Dan kebahagiaan menurut Plato itu disertai keadilan. Dan orang yang adil itu adalah orang yang bahagia, meskipun ia sedang dilanda musibah. Ibn Hazm juga berpendapat seperti:

Pemimpin seluruh kebaikan

keadilan, pemahaman, kedermawanan, dan kokoh

Maka dari ini, akan tercapai yang lain

barang siapa mendapatkannya,maka dia adalah pemimpin bagi manusia

Beginilah kepala, yang di dalamnya berisi tentang hal-hal yang

apabila dirasakan, maka akan bisa mengungkap kerancuan

Ibn Hazm berpendapat bahwasanya keadilan adalah pondasi dari kebaikan, karena keadilan adalah moderat dan balance. Beliau juga mengambil teori kontruktif dalam kebaikan-kebaikan, yang semuanya berjumlah empat, dan dari keempat hal tersebut, disusunlah seluruh kebaikan. Kempat hal tersebut adalah keadilan, pemahaman, keberanian, dan kedermawanan. Keburukan-keburukan juga dikonstruksi dari lawan kata dasar-dasar kebaikan, yaitu kebodohan, ketakutan, dan kebahilan. Maka kebodohan adalah lawan kata pemahaman dan keadilan, dan ketakutan kebalikan dari keberanian, dan kebakhilan kebalikan dari kedermawanan.[190]

Ibn Hazm juga berpendapat, bahwasanya kebaikan itu tersusun dari beberapa prinsip, contohnya al-wafa (sifat menepati janji), menurutnya itu dibangun dari keadilan, kedermawanan, dan keberanian. Karena orang yang menepati janji dalam pandangan orang yang dermawan, yaitu adalah orang yang tidak menghianati orang yang memberikan kepercayaan kepadanya, atau orang yang berbuat baik kepadanya, sehingga ia berbuat adil dalam hal itu. Ibn Hazm berpendapat, agar memberikan toleransi apabila ia tidak ditepati janjinya, dan orang yang tidak menepati janji telah berbuat aniaya dalam hal itu. Beliau juga berpendapat untuk mengambil segala kemungkinan dari tindakan hal tersebut, sehingga ia memiliki keberanian dalam hal itu.

Kebersihan jiwa juga merupakan kebaikan yang tersusun dari keberanian, kedermawanan, keadilan dan pemahaman,[191] dan begitu juga kesabaran.

Adapun menerima ‘qonaah’ merupakan kebaikan yang terkonstruksi dari kedermawanan dan keadilan. Begitu juga sifat istikomah, yang merupakan tersusun dari sifat kesabaran. Adapun kejujuran itu tersusun dari keadilan dan keberanian.

Ibn Hazm juga berpendapat, bahwa keburukan-keburukan adalah sisi lain yang juga tersusun, maka kebohongan itu dilahirkan dari aniaya, takut, dan kebodohan. Karena takut itu melahirkan kehinaan bagi jiwa, dan bohong itu membahayakan jiwa, yang jauh dari bagian jiwa yang terpuji.

Beginilah Ibn Hazm melakukan analisa setiap kebaikan dan keburukan dengan menjelaskan dasar-dasarnya yang konstruksional. Beliau mengikuti plato dalam pendapatnya, bahwasanya hikmah, harga diri, dan keberanian adalah kebaikan-kebaikan bagi jiwa manusia. Orientalis Spanyol yang bernama Hernando memberi komentar: “Sesungguhnya Ibn Hazm belum menambahkan sesuatu yang baru dalam analisanya terhadap sifat-sifat kebaikan dan keburukan, akan tetapi ia mengikuti ajaran Aristoteles yang telah-di translit ke dalam bahasa-Arab, karena kebaikan Ibn Hazm bentuk kemoderatan antara konservatif dengan liberalisme, yang keduanya adalah tercela, dan kebaikan itu terletak di antaranya, yang itu terpuji.[192]

Ibn Hazm membubuhkan ‘tujuan’ (hadf/ ghoyah) dari setiap perilaku manusia adalah menghilangkan kegelisahkan dan menenangkan jiwa. Semua manusia dengan segala perbedaannya mereka berusaha dan mempunyai tujuan untuk membuang rasa gelisah serta menghilangkan kesuraman. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Telah kucari-cari sebuah tujuan, dimana semua manusia itu sama dalam menganggap kebaikannya dan mencarinya, dan saya tidak menemukannya, kecuali dalam satu hal yaitu mengusir kegelisahan.[193] Ibn Hazm juga menegaskan, bahwasanya manusia meskipun berbeda-beda namun mereka sama dalam menganggapnya baik, dan sesungguhnya mereka tidak melakukan usaha apapun melainkan mereka hanya berharap bisa mengusir kegelisahan, dan pada dasarnya mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun kecuali yang mereka maksudkan untuk melepaskan diri mereka dari kegelisahan.

Maka ‘tujuan’ menurut Ibn Hazm, itu bukanlah kebahagiaan sebagaimana mayoritas filosof berpendapat demikian, melainkan tujuan tersebut adalah membuang rasa gelisah dan itu merupakan tujuan negatif sebagaimana yang dikatakan oleh DR Ihsan Abbas.[194], dan bukan positif. Tujuan yang ingin diraih manusia menurut Ibn Hazm adalah membuang rasa gelisah. Ia (tujuan) juga berarti membuang kegelisahan yang memenuhi jiwa akan perasaan sedih serta dada dengan perasaan susah, sehingga menyebabkan jiwa kotor dan rapuh. Ibn Hazm berkata: “Di dunia ini tidak ada satupun orang yang menganggap kegelisahan itu baik, dan setiap orang pun hanya ingin membuang kegelisahan itu dari dirinya.” [195]

Ibn Hazm beranggapan, bahwasanya pendapat yang menyatakan kebahagiaan yang positif itu di atas kemampuan manusia, sehingga manusia menghitung suatu perbuatan yang bertujuan untuk menjauhkan dirinya dari derita dan supaya bisa hidup dengan ridho dan menerima.

Di sini, Ibn Hazm dalam filsafat etikanya lebih mendekati kepada Abeqior yang meyerupai dalam keadaan ketenangan,ketentraman, jauh dari derita dan kepayahan, dan terbebas dari rasa takut dan keadaan yang mengelisahkan. Ibn Hazm menerangkan hal tersebut, bahwasanya sesuatu yang paling berat bagi manusia adalah perasaan takuk, gelisah, sakit, dan kemiskinan. Adapun yang paling menyakitkan bagi jiwa adalah kegelisahan karena kehilangan dari orang yang dicintai, rasa keterpaksaan, kemudian rasa sakit, perasaan takut, dan kemiskinan.

Hal tersebut mengindikasikan, bahwasanya kemiskinan digunakan untuk membuang rasa takut, sehingga seseorang akan membelanjakan seluruh hartanya agar dia merasa aman. Adapun perasaan takut dan miskin digunakan untuk mengusir derita pernyakit, sehingga manusia akan mencari kesehatan dan akan menghabiskan hartanya untuk mendapatkan kesehatan apabila dia akan mendekati kematian, dan dia berharap yang disertai dengan keyakinannya apabila dia mengeluarkan seluruh hartanya akan selamat dan sembuh. Serta perasaan takut digunakan untuk mengusir rasa gelisah. Dan penyakit yang paling parah adalah ketakutan yang menyertai diseluruh bagian dari sesuatu yang membantunya. Adapun bagi jiwa yang mulia, rasa hina merupakan sesuatu yang paling berat.

Oleh karena itu, tatkala para pencari kenikmatan dari golongan orang-orang yang mencari manfaat(ashabul manfa’at) pada abad ke-19, mereka benar-benar menuntut untuk memperbanyak kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan, serta berusaha memuaskan kebutuhannya guna merealisasikan kebahagiaan manusia. Kita menemukan, Ibn Hazm berpendapat bahwasanya cara untuk merealisasikan ketenangan jiwa dan mengusir rasa gelisah, itu hanyalah bisa diraih dengan cara mengurangi kebutuhan-kebutuhan manusia dengan kadar kemampuannya, dan beribadah karena Allah dan hari akhir. Karena semua hal yang kita kejar dalam kehidupan ini adalah fana, yang ujung-ujungnya hanya menuai kesedihan dan keputusasaan, yang pada suatu hari nanti ia akan lenyap.

Segala sesuatu itu akan rusak kecuali dzat Allah. Semua hal akan meninggalkan manusia sebagaimana dengan lenyapnya hartanya atau existensinya yang fana, maka ketiadaan dengan wujud itu adalah sebuah keniscayaan.[196]

Inilah yang akhirnya dicapai oleh Ibn Hazm dalam filsafatnya, yang merupakan sebuah warna dari pesimistis dan zuhud dalam kehidupan dunia, setelah kehidupan yang dipenuhi oleh segala sesuatu yang diharapkan seseorang seperti ilmu, martabat, kekuasaan, dan kebutuhan. Akan tetapi Ibn Hazm dapat merealisasikan bahwasanya semua hal tersebut ujung-ujungnya adalah fana dan akan sirna, yang tersisa hanyalah perbuatan baik dan ketaatan kepada Allah yang bisa merealisasikan kebahagiaan di waktu sekarang juga yang akan datang.

Adapun kebahagiaan di masa sekarang itu berupa kegelisahan yang sedikit dari hal yang diperhatikan manusia pada kehidupan dunianya seperti mencari harta, martabat, kedudukan, dan kebutuhan-kebutuhan yang mana hal tersebut tidaklah kekal. Maka dari itu, manusia bisa membuang semua hal yang ia perhatikan dari materi-materi dunia, dan yang tertinggal hanyalah amal perbuatan untuk kehidupan akherat yang merupakan kehidupan yang lebih baik lagi kekal.

Maka inilah kezuhudan dalam kehidupan dan menatap pada kehidupan akherat, yang kesemuanya bersumber dari insting kesederhanaan menurut Ibn Hazm, serta ketakjubannya terhadap perjalanan hidup Rasulullah yang mulia, kezuhudan dan kesederhanaannya dalam kehidupan dunia, padahal beliau mampu untuk mendapatkan segala hal materi.

Ibn Hazm akhirnya bisa menjadi seorang yang zuhud, qonaah dan ridho: “Ketika ilmu yang mulia ini bersemayam dalam jiwaku, dan terbuka kepadaku rahasia yang menakjubkan ini, dan Allah Ta’ala menyinari pemikiranku dengan kemewahan yang agung ini, maka kucari jalan yang menuju untuk membuang kegelisahan, maka tidak kutemukan kecuali yang menuju kejalan Allah Azza wa Jalla dengan beramal dihari akhir.”

Orang yang berusaha untuk kehidupan akherat, dia tidak akan menganggap remeh dunia dalam pandangannya, begitu juga ia tidak akan bersedih, tidak akan khawatir, tidak akan takut, kecuali dari amarah Allah. Oleh karena itu, apabila dia ditimpakan kesulitan, dia tidak akan merasa khawatir.

Jikalau cita-citanya untuk meraih sesuatu itu gagal, maka dia tidak akan bersedih, dan akan tetapi dia justru tetap ridho, menerima, dan bahagia.

Ibn Hazm akhirnya berpendapat, wajib bagi seseorang yang berakal agar tidak mengobarkan dirinya kecuali terhadap pada sesuatu yang lebih tinggi darinya, dan sesuatu yang lebih tinggi darinya itu hanyalah dzat Allah, yang merupakan tujuan paling tinggi dan paling mulia dalam kehidupan.

Karena orang yang mencurahkan dirinya untuk urusan-urusan dunia, maka dia seperti yang menjual intan dengan bayaran kerikil. Dialah yang rugi besar-besaran, yang seharusnya dia tidak perlu rugi karena sebenarnya akherat itu lebih baik dan lebih kekal.

Ibn Hazm menegaskan, bahwasanya orang yang berakal itu adalah orang yang tidak melihat harga untuk dirinya kecuali surga yang dijanjikan oleh Allah bagi orang-orang yang bertakwa. Beliau juga menegaskan ini dengan perkataannya: “Apabila engkau menuruti semua hal, maka semuanya itu akan rusak untukmu, dan semuanya itu akan habis di ujung pikiranmu dengan mulai hilangnya perihal dunia, hingga ujungnya sebuah manfaat yang merupakan hanya perbuatan untuk akherat saja, karena seluruh harapan yang menguasainya itu ujung-ujungnya adalah kesedihan. Bisa saja ia akan meninggalkanmu ataupun engkau akan meninggalkannya, dan itu mesti melewati dua jalan ini.[197]

Ibn Hazm menegaskan makna ini, dan menjelaskan aliran ini dengan banyak cara, sehingga hakekat yang sebenarnya tentang ini, itu bersemayam dalam pikiran, dan manusia tidak akan hanya mengikuti di belakang kebutuhan-kebutuhan mereka, syahwat mereka, kenikmatan materi mereka, dan yang mengabaikan akibatnya.

Ibn Hazm berpendapat, bahwa apabila zuhud itu menjadi dasar untuk setiap kebaikan, dan sebagai penolak untuk kekuatan syahwat dan amarah, maka sesungguhnya ketamakan di dunia itu adalah juga sebagai penggerak untuk semua kejelekan, dan sebagai motifasi untuk seluruh perilaku yang tidak etis. Karena sifat inilah yang menggerakkan egoisme yang buta dalam diri orang-orang, sehingga membuat sebagian orang tidak bisa melihat kecuali hanya untuk kepentingan dan ketamakan mereka, walaupun hal demikian bisa menjerumuskan seseorang untuk merusak dirinya atau diri orang lain, sebagai jalan untuk meraih apa yang ia inginkan.

Ketamakan ini, yang tidak hanya berhenti disini saja, itu bisa menyebabkan kegelisahan bagi individu-individu, dan kegusaran untuk keinginan-keinginan yang meledak-ledak, yang menuntut untuk dipenuhi. Sesungguhnya semua manusia sama dalam hal ini, tatkala ketamakan menguasai mereka, meskipun dia orang yang religius ataupun ateis, dan orang yang berbuat ataupun yang berpangku tangan.

Untuk itulah, Ibn Hazm tetap konsisten untuk memerangi ketamakan dan kerakusan yang merupakan penyebab kegelisahan dan kekotoran. Dalam hal itu, Ibn Hazm sesuai dengan pendapat Abiqioer tentang zuhud dalam kehidupan, dan kecukupan dengan sedikit, karena kebutuhan-kebutuhan yang makin membengkak, itu membuat sulit untuk memenuhinya, dan bisa merampas kehidupan dengan kesederhanannya dan menjauhkan manusia dengan kebahagiaannya.

Maka dari itu, Ibn Hazm meneriakkan dengan pendapatnya, bahwasanya orang yang bijak, yang hidup ala kadarnya baik dari makanan dan minuman, maka ia hidup dengan kecukupan dalam kebahagiaan yang tetap.

Beliau menjelaskan bahwasanya, cara menuai kebahagiaan yang paling baik adalah kesederhanaan, keceriaan, keseimbangan, dan menjaga harga diri. Melalui hal tersebut, keinginan-keinginan akan makin menipis, dan makin menipis pula cara untuk mengenyangkannya.

Beliau juga menasehatkan untuk menjauhi sikap yang ambisius yang biasanya membonceng rasa kehausan akan terkenal yang bisa menyebabkan kegelisahan dan kekotoran.

Kita juga temui disini, ada kedekatan antara pemikiran Abiqioer dan Ibn Hazm, dan ia berkata: “Orang yang mencari harta, itu berjuang ekstra keras untuk membuang rasa kegelisahan karena tidak mendapatkan kesenangan, dan itu seperti orang yang makan, minum, bersantai, dan bermain. Maka sesungguhnya, orang yang melakukan hal yang demikian, ia menciptakan kegelisahan-kegelisahan baru seperti mencerca orang, hasud, atau celaan orang yang mencela.

Adapun sesuatu yang bisa mencabut kegelisahan dari akar-akarnya tanpa harus membuat luka yang baru terhadap keduanya, maka hanya menuju rahmat Allah saja.

Itulah tujuan yang musti di ikuti, sehingga bisa merealisasikan kenyamanan dan ketenangan jiwa di dunia dan akherat. Karena ketamakan adalah kekuatan yang besar dalam membengkakkan sisi keburukan dalam kehidupan, dan keinginan merupakan keburukan yang merampas kenyamanan dan kebahagiaan manusia. Artinya, sesungguhnya kebahagiaan itu terletak di qanaah dan ridho.

Dengan semua ini, kita melihat Ibn Hazm seorang pakar dalam kehidupan dan etika manusia, seorang yang alim, dan seorang filosof dalam analisanya terhadap perilaku manusia, motifasi-motifasinya, sebab-sebab dan akibatnya, dan tujuan-tujuannya, dimana dalam hal ini ia melakukan pendekatan dari sudut pandang aliran kejiwaan. Maka teori ketamakan itu mencakup hal besar, dan apa yang dikatakan tentang hasrat manusia dan pengaruhnya. Bahkan, memberikan satu nama untuk beberapa dorongan-dorongan (motifasi) dalam diri seseorang, itu mirip dengan pendapat Freud, yang mana ia memberikan batasan untuk semua potensi-potensi hasrat pada diri manusia itu dengan satu nama, dan ia menganggap dorongan seksual sebagai yang menjadi pioner untuk semua potensi dan bakat dalam perilaku manusia. Ibn Hazm dalam analisa tentang manusia dan penjelasannya tentang dasar keburukan-keburukan, dia berkomentar: ” Ambisi itu lahir dari ketamakan, dan ketamakan itu timbul dari rasa hasud, dan rasa hasud itu timbul dari sebuah keinginan, dan keinginan itu lahir dari aniaya, keburukan, dan kebodohan.”

Sikap ambisius juga banyak melahirkan keburukan seperti kehinaan, mencuri, amarah, zina, pembunuhan, kefasikan, keinginan buruk, dan kemiskinan. Masalah yang ada di kedua tangan manusia itu selalu ada dua, yaitu ambisi dan ketamakan. Ibn Hazm tidak menemukan obat yang mujarab untuk ketamakan dan semua keburukan-keburukan itu, kecuali kezuhudan dan mematahkan keinginan dengan menghadap kepada Allah, dan tidak berambisi atas tuntutan.

Artinya, sesungguhnya Ibn Hazm itu menegaskan nilai dan peran zuhud dalam mengarahkan perilaku manusia, dan mendidik etika manusia. Karena zuhud itu berarti mengalahkan semua potensi atau semua kemampuan syahwat amarah, dengan kemampuan yang maksimal.

Begitu juga, menghilangkan, ketakjuban, dan tipuan-tipuan yang menyebabkan persaingan kotor dan ambisi buruk.

Ibn Hazm berpendapat bahwasanya tatkala ketamakan menjadi dasar semua keburukan, maka sesungguhnya zuhud dalam semua kehidupan itu dasar untuk mendidik etika yang baik dan mengikis segala ketamakan, dan menghilangkan segala ambisi.

Ibn Hazm mencontohkan kehidupan Rasulullah. Saw. sebagai suritauladan yang jelas akan kezuhudan dan kesederhanaan yang nyata, meskipun beliau mempunyai kemampuan untuk mencapai kehidupan yang gemerlap dan penuh kenikmatan, akan tetapi beliau lebih memilih kesederhanaan serta memakai jalan zuhud, dan menjauhi materialisme untuk merealisasikan ketenangan, ketentraman, dan kenyamanan dalam hidupnya.

Ibn Hazm berpendapat, sesungguhnya membiasakan diri terhadap kebaikan-kebaikan ini, itu bisa memberikan manfaat dan menyenangkan bagi diri manusia, dimana tidak ada ketamakan yang menarik kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, dan kegoncangan dalam hidupnya. Karena ketamakan adalah dasar dari semua itu. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Sesungguhnya ketamakan adalah sebab bagi semua keinginan hingga dalam harta ataupun perkataan, dan ketamakan merupakan dasar dari semua keburukan, dan semua keinginan merupakan etika buruk yang tercela.”[198]

Maka Ibn Hazm menjelaskan, sumber keburukan dan menerangkan dasar dari motifasi-motifasi dan rahasia-rahasianya. Dengan ini, maka ia lebih dulu pembahasannya dari pada aliran psikologi modern.

Dari semua itu, kita melihat, bahwasanya Ibn Hazm tidak menghilangkan pandangan filsafat dan analisis ilmiah terhadap jiwa manusia. Beliau juga mengetahui filsafat yunani, yang mana ia mengambilnya hanya pada sesuatu yang sesuai menurutnya dengan prinsip-prinsip keislaman, peradabannya, dan turats (keilmuan) Timur, akidah kalamnya, dan aliran kesufiannya.

Dengan ini beliau telah menampilkan kepada kita madzhab etika yang komprehensif, bahkan lebih luas. Ini kejeniusan dan kemampuan yang besar dalam merangkul peradaban-peradaban dan mengambil teori-teori dan berupa aliran-aliran etika yang berada di lingkungannya yang islami. Ia juga tidak merasa cukup dari segi teoritis saja dalam bidang akhlak mengenai pencarian terhadap kebaikan-kebaikan dan penjelasan atas keburukan-keburukan dan pengetahun tentang keburukan, akan tetapi beliau berusaha untuk mewujudkan tujuan yang lain, yaitu tujuan pendidikan yang dimaksudkan guna mendidik perilaku yang baik, serta menanam nilai-nilai dan prinsip-prinsip dalam jiwa manusia sehingga menjadi baik dan terdidik serta bisa bahagia dalam kehidupan dunia dan akheratnya.

Beliau juga menorehkan perhatian yang besar sekali dengan meletakkan etika-etika perilaku umum bagi humanisme, sebuah perundang-undangan yang bisa dipegang oleh seseorang bagi perilakunya dan hubungan dengan teman-temannya, dimana akhlak yang bagus tidak akan nampak kecuali dengan interaksi bersama orang lain.

Yang pertama dari kaidah-kaidah ini, adalah seseorang mampu mencintai bagi orang lain seperti ia mencintai bagi dirinya, dan berdedikasi agar bisa dikarakterkan dengan sisi yang bersih dan dikarakterkan dengan kejeniusan sehingga banyak orang yang menimba kepadanya, sehingga hal itu bisa saja memberi mudhorot kepadanya.[199]

Ibn Hazm berkata: “Barang siapa diberi cobaan untuk berbaur dengan manusia, maka janganlah semua anggapannya itu tertuju kepada orang terdekat, dan tidak membuat sikap permanen kecuali bahwasanya ia adalah seorang musuh yang pasti. Semua ia pantau, dan ia juga mengontrol pengkhianatan dari temannya, dan interaksi mereka yang buruk seperti apa yang diawasi oleh musuh yang memata-matai, dan apabila ia bisa selamat dari hal itu, maka bersyukurlah.”

Apabila bagian lain itu dalam keadaan siap dan belum membunuh kegelisahan, maka ia tidak dipergunakan dalam interaksi yang buruk, maka terciptalah hal tersebut pada orang-orang yang ahli keburukan dan manusia. Akan tetapi inilah cara dan jalan yang berat, itu tuntutan yang susah, dibutuhkan orang yang melaluinya untuk menjadi lebih tajam daripada seekor kucing dan lebih waspada daripada seekor elang, hingga ia meninggal menemui Tuhannya.

Cara-cara ini adalah jalan menuju kemenangan dalam agama dan dunia,[200] karena barang siapa yang mempergauli manusia dan ia belum membunuh rasa keinginan, maka ia akan menyakiti dirinya sendiri, dan ia hanya akan terbayang-bayang olehnya di setiap waktunya dan kemurkaan yang memasak hatinya, dan kehinaan yang menyelimuti keinginannya, maka apa kemungkinan yang akan terjadi dengan orang yang berinteraksi dengan orang-orang yang demikian itu? Kemuliaan, kenyamanan, kebahagiaan, dan kedamaian dalam menjauhi mereka, akan tetapi itu menjadikannya seperti api yang mendekat padanya dan tidak mempergauilinya pada suatu malam.[201]

Dengan ini, Ibn Hazm berpendapat, pertemanan ataupun persaudaraan bukanlah perkara yang mudah dan remeh, karena tidak ada sesuatu dari kebaikan yang mirip dengan keburukan yang seringkali dilakukan oleh saudara-saudara dan kawan-kawan. Maka sesungguhnya itu adalah kebaikan yang sempurna dan terkonstruksi, karena mereka tidak melakukan perbuatan kecuali kesabaran, kedermawanan, kelembutan, kesesuaian, perdamaian, keikutsertaan, harga diri, benteng yang kuat dan mengajarkan keilmuan, dan masing-masing keadaan itu terpuji.

Ibn Hazm berpendapat, bahwasanya maksud dari persaudaraan, persahabatan, dsb yang merupakan lahir dari persatuan, itu merupakan buah dari etika yang baik, yang mana membubuhkan rasa saling mencintai, saling keterikatan, dan saling kecocokan. Bahwasanya etika yang buruk itu membuahkan rasa saling membenci, saling dengki, dan saling mengolok-olok. Ibn Hazm membeberkan dalam penjelasannya, bahwasanya persahabatan itu tidak berarti dalam perkara dunia dan kesenangannya seperti minuman keras, permainan, dan ketamakan, akan tetapi ia adalah persahabatan cinta kepada Allah dan taat kepadanya. Ibn Hazm juga berpendapat, dari sebagian etika perkawanan, yaitu engkau tidak membawa kepada kawanmu sesuatu yang menyakiti dirinya dan tidak memberikan manfaat kepadanya dengan mengetahui sesuatu itu, maka ini adalah perbuatan yang hina, dan engkau menyembunyikan sesuatu yang tidak diketahui olehnya, maka ini adalah perbuatan yang tercela.

Ibn Hazm berpendapat, bahwasanya kewajiban seorang teman apabila dimintai keperluannya, setelah ia memintanya kepada engkau atas bantuan itu, dan engkau mulai ingin membantunya, maka jangan melakukan sesuatu untuknya, kecuali apa yang dia kehendaki, bukan apa yang engkau mau. Apabila tidak, maka tidak usah engkau membantu. Apabila engkau melanggar ini, maka engkau berhak menerima celaan darinya dan dari orang lain bukan ucapan terimakasih, dan engkau menyulut permusuhan, bukan perkawanan.

Beginilah, kita dapatkan madzhab etika Ibn Hazm yang tidak meninggalkan satu aliran pun dari bebeberapa aliran yang membentuk pemikiran Islam, melainkan aliran itu terlihat jelas olehnya. Beliau begitu disiplin dengan dasar-dasar agama beserta madzhabnya. Beliau tidak pernah meninggalkan aliran agama sama sekali sepanjang menampilkan pemikiran etikanya. Kita juga bisa temui, hikmah dan nasehat yang mempunyai kapasitas penting dari beberapa sisi akhlaknya, dan juga metodologi muktazilah yang ia ambil pada prinsip keadilan sebagai dasar kebaikan-kebaikan yang jelas olehnya. Adapun pengaruh Yunani, kita tidak bisa memungkirinya, bahkan ia begitu terpengaruh oleh pemikiran Yunani dengan begitu besar. Begitu juga zuhud, dan aliran yang menuju kepada Allah SWT., dan cinta kepada Allah yang merupakan inti madzhab akhlak sufi, kita dapat memenuhi, Ibn Hazm melihatnya sebagai asas untuk semua etika yang baik dan perilaku yang bagus. Bukankah semua ini cukup guna membantah pendapat Asin Bilacius, seorang orientalis Spanyol yang menuduh bahwasanya madzhab moral Ibn Hazm tersebut tidak tergolong sebagai runtutan dari nasehat-nasehat yang ia suguhkan kepada generasi muda.

Kenyataanya, sesunggunya Ibn Hazm tidak meninggalkan satu sisi pun dari sisi-sisi akhlak Islam, kecuali ia memaparkan dan menampilkannya. Meskipun pemaparannya itu singkat, akan tetapi dalam pemaparan tersebut mempunyai derajat yang besar dari kesadaran dan kemampuan, yang membuat kita takjub dengannya, dan kita menerima studi etik yang ia lakukan. Kita hargai jerih payahnya, dan perhatiannya terhadap studi an-nafs dan moral, dimana pembahasan dan perhatiannya itu ditujukan demi kebaikan diri manusia dan pendidikan moral yang masih terus menjadi kajian para pemikir Islam sebagaimana yang telah kami jelaskan dan akan kami jelaskan nanti. Misalnya adalah al-Ghozali, meskipun ia sangat memusuhi filsafat dengan keras, namun ia belum mampu menyelamatkan dirinya dari pengaruh filsafat Yunani, dan khususnya dibidang akhlak. Pandangan kita terhadap klasifikasi al-Ghozali untuk kebaikan-kebaikan, cara mendapatkannya, dan jenis-jenis keburukan, dan cara-cara untuk mengobati dan menghilangkannya, itu menjelaskan kepada kita kadar terpengaruhnya al-Ghozali dengan para filosof Yunani. Sesungguhnya asas kebaikan menurut al-Ghozali, itu sebagiannya bisa dirujukkan kepada apa yang ia ambil dari Aristoteles, dan sebagian yang lain dari Plato.

Maka al-Ghozali mengambil dari Aristoteles teori moderat yang ia namakan keseimbangan. Misalnya kekuatan amarah, apabila kekuatan amarah tersebut lebih condong kepada sisi yang lebih maka itu dinamakan membabi buta, dan apabila kekuatan amarah itu lebih condong kepada lemah maka dinamakan takut. Adapun ia tetap di tengah-tengah antara lebih dan kurang, maka itu dinamakan sebagai keberanian. Maka yang terpuji adalah yang ditengah-tengah, dan itu adalah kebaikan. Maka, kedua sisi baik yang lebih maupun yang kurang, itu adalah hina.

Begitu juga al-Ghazali mengambil teori penyerupaan dari Plato, yaitu penyerupaan Tuhan, karena Tuhan dalam pandangan Plato adalah kesatuan yang di dalamnya tergabung seluruh kesempurnaan yang diciptakan. Orang baik menurut Plato adalah orang yang melihat Tuhan tanpa terputus sebagaimana seorang seniman melihat pada model-model.

Al-Ghozali menetapkan bahwasanya seseorang itu mendekatkan diri kepada Allah dengan ukuran sebagaimana ia mendekatkan diri kepada Rasulullah Saw. Yang demikian berarti, bahwasanya Rasul Saw. telah mengumpulkan berbagai akhlak yang mulia, dan Allah telah menyuruh kita agar beretika sebagaimana akhlak Rasulullah Saw. Maka penyerupaan terhadap Rasulullah Saw. dan mengikutinya, menurut Ghazali itu mirip sekali dengan penyerupaan ajaran Tuhan menurut Plato.

Al-Ghazali juga mengambil dari Plato teori keharmonisan, yang ia namakan dengan keadilan. Keharmonisan menurut Plato adalah kecocokan antara kekuatan-kekuatan dan potensi untuk menyempurnakan sisi-sisi moral dalam diri seseorang. Kami tampilkan kepada Anda apa yang diucapkan al-Ghazali dalam hal kemiripan arti ini: “Sebagaimana sebenarnya gambaran dzohir yang baik, itu sama sekali tidak bisa sempurna hanya dengan kecantikan kedua mata tanpa hidung, mulut, dan pipi. Akan tetapi harus dari kecantikan semua agar bisa sempurna dzohir yang cantik. Begitu juga dalam batin, yaitu ada empat bagian, yang harus cantik semuanya hingga bisa sempurna moral yang bagus.

Apabila bagian-bagian itu dipenuhi, berimbang dan sesuai, maka bisa dicapai moral yang bagus. Bagian-bagian itu adalah: kekuatan ilmu, kekuatan amarah, kekuatan syahwat, dan potensi keadilan. Adapun kekuatan ilmu dengan kecantikan dan bagusnya kekuatan ini, itu akan memudahkan untuk membedakan antara kejujuran dan kebohongan di dalam perkataan-perkataan, dan antara hak dan batil dalam keyakinan-keyakinan, dan antara keindahan dan keburukan di dalam perbuatan-perbuatan. Maka apabila potensi-potensi ini baik, maka akan bisa dicapai buah suatu hikmah. Kebijaksanaan adalah inti dari akhlak yang bagus. Adapun potensi amarah, di dalam yang bisa terkontrol dan termenej itu akan menjadi sebuah kebijaksanaan. Begitu juga dengan syahwat yang baik, itu di bawah naungan petunjuk kebijaksanaan, yang saya maksud adalah akal dan syariat.

Ini merupakan pendapat al-Ghozali, yang mana beliau menjelaskan perhatian filsafat dan agama. Sesungguhnya Ghazali itu menggabungkan dalam ajarannya, keharmonisan dan penyerupaan secara bersamaan. Adapun penyerupaan, itu dalam lafadz syariat. Beliau telah meletakkan pada hal ini akhlak Rasulullah Saw sebagai perumpamaan dalam al-Quran. Adapun keharmonisan itu ada dalam kata logika, dimana seluruh ucapan itu dipakai untuk ketaatan kepada Tuhan. Lihatlah perkataan Ghazali: “Akal, perumpamaanya itu menyerupai orang yang menyampaikan nasehat dan memberikan petunjuk. Potensi keadilan, merupakan sebuah kekuatan yang perumpamaannya seperti orang yang bekerja di lapangan dan orang yang menghitung. Amarah, adalah yang mengaplikasikan petunjuk itu, dan perumpamaanya seperti anjing pemburu, maka sesungguhnya anjing itu perlu dididik sehingga kapan pemburuan dan berhentinya itu bisa dikontrol melalui isyarat atau petunjuk.

Begitu juga, sama dengan kekuatan ilmu dan kekuatan syahwat. Beliau telah menggariskan dalam buku al-Mizan, bahwasanya keadilan merupakan ungkapan tentang adanya kekuatan-kekuatan ini atas susunan yang wajib. Beliau mengambil argumentasi melalui ajaran terdahulu: “Dengan keadilan, bumi dan langit bisa tegak berdiri.” Tartib wajib ini tunduk kepada akal. Sudah tentu, ini merupakan yang dimaksud dari teori keharmonisan. Ketika al-Ghozali berbicara mengenai inti-inti kebaikan, maka nampaklah sisi ajaran Plato, beliau berkata: “Sesungguhnya asas kebaikan itu ada empat: kebijaksanaan, keberanian, kehormatan, dan keadilan.” Beliau telah menggariskan, bahwasanya yang dimaksud kebijaksanaan adalah sebuah keadaan bagi jiwa untuk bisa memahami kebenaran dari kesalahan dalam segala situasi, kondisi, dan ujian. Yang dimaksud keadilan yaitu suatu kondisi bagi diri manusia yang mempunyai kekuatan amarah dan syahwat, dan menjadikannya seperti yang dikehendaki kebijaksanaan. Yang dimaksud keberanian yakni adanya kekuatan amarah yang dikritisi oleh akal ketika memasuki dan mengeluarkannya. Adapun yang dimaksud dengan kehormatan adalah mendidik potensi syahwat dengan didikan akal dengan syariat.

Menurut Ghazali, prinsip-prinsip ini mempunyai cabang-cabang, maka melalui keseimbangan kekuatan akal itu bisa diraih pengaturan yang bagus, kualitas berfikir, serta pendapat yang berisi. Adapun keberanian itu akan muncul tatkala ada celaan, kesempitan, dan kemuliaan. Kehormatan bisa timbul, itu ketika bermurah hati, malu, sabar, toleransi, dan sifat tamak yang minimalis. Al-Ghozali juga menggariskan dalam al-Mizan, bahwasanya hikmah adalah fadhilah dari kekuatan kebijaksanaan, keberanian merupakan fadhilah dari kekuatan amarah, amarah fadhilah dari kekuatan syahwat, dan keadilan ibarat dari teraplikasinya tiga kekuatan tadi pada rangkaian yang pasti. Maka keadilan bukanlah bagian dari kebaikan, akan tetapi ia adalah ibarat dari seluruh kebaikan itu. Pendapat ini serupa dengan Ibn Maskawaih sebelumnya yang mengikuti ajaran Yunani, di mana beliau berkata bahwasanya kondisi akal itu bisa membuat manusia guna mencapai pada tujuan tinggi “kebijaksanaan”, yaitu yang menuntut manusia agar tidak merasa cukup pada fitrahnya, atau usahanya yang terbatas dalam pekerjaanya, atau dalam disiplin lain. Akan tetapi manusia dituntut agar bisa menguasai semua pengetahuan perihal kemanusiaan baik teoritis maupun praktis, serta mampu memahami rahasia-rahasia alam dan fenomena-fenomenanya. Dengan kebijaksanaan, manusia akan menjadi bahagia, dengan artian rahasia-rahasia alam. Maka dengan kebijaksanaan, manusia akan bahagia dalam artian yang benar, maksudnya dalam kehidupan dan pemikirannya. Beliau berkata: “Barangsiapa ingin menyempurnakan kemanusiaanya dan mencapai pada tujuan yang dimaksudkan pada penciptaan manusia guna menyempurnakan jati dirinya, serta mengikuti orang-orang bijak dalam setiap ajaran dan maksud mereka, maka semestinya menjadikan dua bagian ini”. Maksud saya, yaitu dua bagian dari kebijaksanaan yang bersifat teori dan praktek, agar ia mencapai hakekat sesuatu melalui bagian teori dan perilaku-perilaku baik bagian dari praktek. Maka hikmah itu, di sini dimaksudkan untuk kekuatan pikiran dan akal sehat, yang mana kita bisa memahami hakekat-hakekat sesuatu dan karakter-karakter semua benda yang konkrit. Ia juga sebuah ‘azimah (kemauan) dalam merealisasikan perbuatan manusia yang diabaikan, dan tetapnya manusia juga selalu dengan cara yang sama, artinya yaitu menguasai keilmuan serta mengaplikasikannya dalam perbuatan.

Karena itu, tujuan sebenarnya, yang semestinya dipatuhi manusia agar menjadi orang yang bahagia serta mampu merealisasikan tugas yang merupakan tujuan manusia diciptakan, adalah logika filsafat. Artinya logika yang membedakan manusia dengan dunia hewan, dan yang bisa mengangkatnya dari batasan fitrah dan mengangkatnya dari garis pemikiran yang sempit dalam pekerjaanya, atau dalam kedisiplinan tertentu menuju pada alam pemikiran yang bersih dan pada alam perbuatan yang sesuai menurut prinsip kebaikan.

Beliau juga berpendapat, bahwasanya puncak kebahagiaan adalah ketika manusia melakukan tugas yang ia temui dengan sebaik-baiknya. Tugas ini adalah kesungguhan berfikir yang membedakannya dengan yang lain, yang merupakan inti tugas manusia yang khusus bukan yang lain, yaitu tugas yang menampakkan kemampuan-kemampuan pemikiran dalam kreaktifitasnya yang paling kuat, dan pemikiran ini akan menjamin untuk merealisasikan akan kebahagiaan dunia. Orang bahagia yang sempurna adalah seorang filosof yang bijak, dan hanya sedikit dari manusia yang mencapai derajat kebijaksanaan.

Mungkin juga bagi kita untuk menampilkan etika menurut tokoh Islam yang penting seperti Ibn Bajah yang mencurahkan perhatiannya terhadap jiwa dan akhlak dengan usaha besar yang tertoreh dalam mayoritas karya dan karangan-karangannya. Beliau mengawali dengan mempelajari tentang manusia, jiwa, dan potensi-potensinya. Beliau berkata: “Sesungguhnya manusia itu mempunyai potensi-potensi, perbuatan-perbuatan yang bermacam- macam seperti kekuatan pemikiran, kekuatan rohani yang ada tiga, kekuatan perasaan, kreatifitas, dan utopia/uvoria . Segala perbuatan itu hanya tunduk kepada keterpaksaan; bisa karena sebuah ujian dan bisa juga mengambil setiap darinya dengan kredit. Bisa juga mengambil dari kedua tersebut dengan cara berangsur. Ibn bajah juga memperhatikan tentang batasan-batasan perbuatan ini, dan membukukannya yang hanya bertujuan untuk menjelaskan bahwasanya perbuatan-perbuatan tersebut sesuai dengan kebaikan. Karena kebaikan menurutnya itu tidak selaras kecuali hanya pada perbuatan-perbuatan yang bersifat pilihan. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh manusia dengan kehendaknya yang sempurna dan kebebasannya, maka ia mempunyai sifat baik maupun buruk. Disini, kebaikan itu terbatasi seperti standar bagi etika sebagaimana yang dikatakan Aristoteles.

Ibn bajah berkata, apabila manusia itu merasakan bahwa dirinya mempunyai kehendak yang bebas, yang bisa berbuat apa yang ia mau, dan bahwasanya ia bertanggung jawab atas perbuatannya, maka sesungguhnya tanggung jawab ini mempunyai konsekwensi kebebasan. Di sini, pahala dan siksa itu akan mempunyai arti, dan beliau melihat bahwasanya Allah itu mengetahui segala sesuatu, pengetahuan Allah itu meliputi segala yang telah ada dan akan ada. Hal itu bukanlah berarti bahwasanya Allah itu menciptakan seluruh orang yang berbuat agar melakukan perbuatan tersebut, dan orang yang diciptakan untuk berbuat tersebut untuk melakukan perbuatan yang diciptakan oleh Allah sebagaimana yang dikatakan al-Ghazli di bagian akhir bukunya Misykah al-Anwar, yang mana pendapat ini sebenarnya membuat manusia sebagai pihak yang tidak perlu bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatannya, terlebih lagi tanggung jawab tersebut menjadi hilang, dan pahala-siksa menjadi tidak bermakna lagi.

Ibn Bajah berkata: “Yang jelas, bahwasanya perbuatan ini, yang menjadi satu adalah pahala dari Allah dan nikmatnya kepada seseorang dari hambanya yang Ia ridhoi. Maka dari itu, tidak ada pahala dan siksa, akan tetapi yang ada adalah pahala dan nikmat atas seluruh potensi-potensi jiwa, dan pahala dan siksa itu adalah jiwa yang terlepas, yaitu yang salah dan musibah.”

Hal itu berarti, bahwasanya Ibn Bajah berpandangan, sebenarnya perbuatan-perbuatan tersebut yang tunduk kepada pahala dan siksa adalah perbuatan-perbuatan hewan. Perbuatan-perbuatan itu dari jiwa-jiwa terlepas, yaitu jiwa yang salah dan musibah.

Adapun perbuatan-perbuatan manusia yang tergolong ihtiar dan kerohanian, dan pikiran itu menjadi pendukung utama dari sekian pendukung-pendukungnya, maka perbuatan-perbuatan ini adalah yang kekal, serta kebahagiaan itu untuk kekuatan pikiran atau akal dengan perbuatan, yang mana merupakan pahala dari Allah dan nikmat-Nya yang diberikan kepada seseorang dari hamba yang Ia ridhoi. Untuk itu, Ibn Bajah berkata: “Barang siapa taat kepada Allah dan melaksanakan apa yang diridhoi-Nya, maka Allah akan memberikan pahala kepadanya dengan perbuatan ini, dan Allah menjanjikan baginya cahaya di antara kedua tangannya agar dia tidak tersesat. Barang siapa bermaksiat kepada Allah dan melakukan apa yang tidak diridhoi olehNya, maka Allah akan menutupnya dari cahaya itu, dan dia akan tetap dalam kegelapan yang buta yang pantas untuknya hingga dia berpisah dengan badannya dalam keadaan tertutup oleh cahaya, dan melangkah dalam kegagalannya, dan dia berjalan dalam murkanya. Tingkatan-tingkatan ini tidak bisa dipahami dengan pikiran, dan untuk itu Allah menyempurnakan ilmu dengan syariat. Maka barang siapa melakukan perbuatan ini, apabila dia berpisah dengan badannya, dia akan mendapatkan cahaya dari sekian cahaya-cahaya bertasbih dan menyucikan Allah, bersama para nabi, para sahabat, syuhada, serta orang-orang sholeh, dan merekalah sebaik-baik pendamping.

Ibn Bajah kemudian mencoba untuk menulis tentang perbuatan manusia yang sesuai dengan tujuan, yang digariskan, dan yang dikembalikan kepada karakter-karakter manusia. Ibn Bajah telah mencurahkan perhatiannya dengan mempelajari topik tentang tujuan mayoritas tulisan-tulisannya seperti risalah al-Wada’, al-Ishol, Tadbir al-Mutawahid, dan beliau mempunyai sebuah tulisan khusus yang dinamai al-Ghoyah al-Insaniah. Al-Farabi, sebelum Ibn Bajah datang termasuk orang-orang yang memberikan perhatian tentang studi ini. Ibn bajah telah menjelaskan hal tersebut, beliau berkata: “Tujuan yang ingin dicapai dari sebuah karakter dan perilaku, telah dijelaskan panjang lebar oleh orang-orang sebelum saya. Seseorang yang telah menjelaskan dan mengulang-ulang perkataannya dalam hal ini adalah Abu Nasr, yang mempunyai posisi dalam ilmu ini. Akan tetapi pendapat itu tidak lantas kita mempercayai bahwasanya Ibn Bajah telah mengambil pendapat al-Farabi dalam tema tentang tujuan. Karena Ibn Bajah memberikan komentar setelah itu dengan kata-katanya: “Akan tetapi saya tidak menemukan dari semua buku-bukunya (al-Farabi) yang sampai di Andalusia tentang pembahasan yang sedang saya kaji ini…, maka sesungguhnya saya menemukan pembahasan tersebut milik Aristoteles di nomor 11 (sebelas) dari “al-Akhlak“. Hanya saja buku Aristoteles tersebut hanya bersifat global dan tidak mungkin cukup melalui buku ini.”[202]

Pengaruh Aristoteles dalam pemikiran al-Farabi dan Ibn Bajah itu cukup jelas, mereka mengambil dari Aristoteles kemudian mengolahnya sesuai dengan prinsip-prinsip keislaman mereka, dimana mereka berkata: “Di antara beberapa bagian tujuan ini adalah ibadah yang dilakukan manusia untuk bertujuan menggapai ridho Allah, pandangan logika yang ditorehkan ketika berinteraksi, dan ilmu yang benar yang merupakan hal paling mulia yang dicapai manusia.

Kita juga menemui Ibn Bajah mencoba mengaitkan antara perilaku-perilaku manusia dalam satu sisi, dan antara kesempurnaanya pada sisi lain. Apabila perilaku itu ada yang bersifat hewani dan manusiawi, maka bentuk kesempurnaannya itu ada yang berbentuk dan ada yang berupa pikiran. Yang ia maksud kesempurnaan-kesempurnaan di sini adalah dalam makna akhlak, dari segi arah kebaikan. Apabila plato membedakan antara kebaikan etnis yang didasarkan pada kebiasaan dan kebaikan filsafat yang didasarkan kepada renungan. Hanya saja Plato itu meremehkan kebaikan etnis yang didasarkan pada kebiasaan.

Aristoteles dalam aliran etikanya menghormati kebaikan yang berdasarkan pada kebiasaan itu, akan tetapi ia menganggap bahwasanya kebaikan itu tidak menjadi kebaikan kecuali apabila ia menjadi sebuah kebiasaan yang keluar dari pemiliknya hingga ia menemukan kenikmatan dan kelezatan dalam melakukannya.

Untuk itu Ibn Bajah mengklasifikasikan kebaikan:

1. Gambaran (kejiwaan ataupun etika), yaitu yang berhubungan dengan karakter hewani manusia, yang mana ia didasarkan untuk menundukkan syahwat dan nafsu manusia untuk kemampuan akal. Dari kebaikan-kebaikan ini berupa keharmonisan, sifat menolong dan kebersamaan. Kebaikan menurut Ibn Bajah itu bukanlah tujuan utama, dimana syahwat itu bisa saja menjadi kebaikan, dimana menghendaki perbuatan-perbuatan yang memberikan faedah kesehatan.

2. Kebaikan-kebaikan pikiran, yaitu keadaan-keadaan khusus melalui bentuk-bentuk rohani manusia yang tidak sama dengan yang lain seperti sebuah pendapat yang benar atau kwalitas diskusi. Dengan cara kebaikan-kebaikan pikiran ini, manusia bisa membedakan apa yang paling bermanfaat baginya, dan perbuatan ini berupa amaliah atau teoritis.

Kita juga menemui Ibn Bajah itu menjadikan kebaikan teoritis dalam sebuah puncak dimana ia begitu terpengaruh pendapat-pendapat Plato bahwasanya kebaikan-kebaikan yang benar itu yang diiringi dengan pikiran sebagaimana halnya yang berkaitan dengan kesenangan-kesenangan atau yang tidak berkaitan dengannya, dimana bahwasanya pikiran itu adalah cara untuk membersihkan diri.

Ibn Bajah juga terpengaruh Aristoteles, yang menyebutkan kebaikan itu ada dua macam, salah satunya bersifat logis yang lain adalah etis. Kebaikan logis selalu dihasilkan melalui proses pembelajaran, yang selalu didasarkan pada prinsip dan perkembangannya, dan dari sini ia datang dengan membutuhkan pada waktu dan tempat.

Adapun kebaikan etis, maka sesungguhnya ia secara spesifik dihasilkan dari kebiasaan dan etika, dan kebiasaan itu merupakan harapan bagi kebaikan-kebaikan ini, dan yang ia lengkapi. [203]

Apabila manusia merupakan makhluk yang berbeda dari seluruh ciptaan, adalah yang memiliki keistimewaan daripada seluruh makhluk yang lain, yang mana ia menggabungkan antara piranti-piranti kemauan dan karakter secara bersamaan, maka sesungguhnya kemampuannya untuk menjaga dan memperhatikan piranti-piranti ini adalah yang memberikan corak perilaku etikanya dengan kebaikan ataupun keburukan.

Kebaikan menurut Ibn Bajah adalah di tengah-tengah antara dua sisi.Yang mana ia mengikuti dalam pendapat tersebut, Aristoteles dan lainnya dari kalangan para filosof Islam dalam pendapatnya, bahwasanya kebaikan itu bentuk yang seimbang, yang mana kebaikan menurutnya adalah yang di tengah-tengah antara dua keburukan yaitu liberal dan konservatif. Adapun liberal adalah sisi yang lebih, yang harus dijauhi oleh seseorang yang baik, adapun konservatif adalah sisi lain yang berupa kekurangan atau ketat yang mana kita dapati beliau berkata bahwasanya membuang gambaran jasmani pada cara rohaniah itu juga termasuk liberal.” Ini semua menyerupai dengan liberalis”

Sesungguhnya Ibn Bajah tidak mengikuti Aristoteles ketika memberikan hukum atas kebaikan logika saja, akan tetapi ia mengikuti Ghozali yang menjadikan logika dan syariat secara bersama

Beginilah kita temui Ibn Bajah yang menjadikan kebaikan di tengah-tengah antara dua sisi, dan ia menetapkan behwasanya manusia itu mempunyai kebebasan berikhtiar dan berkehendak yang memberikan batasan-batasan terhadap kemoderatan yang adil, dan logika juga menjelaskan kemoderatan ini, dan untuk itu kebijaksanaan logis itu menjadi dasar dari kebiasan logis.

Kemudian Ibn Bajah berbicara tentang tujuan utama yang diserukan manusia, dan yang dicari oleh ilmu akhlak.

Ibn Bajah berkata: “Perspektif orang-orang dalam hal tujuan utama itu berbeda-beda, melihat perbedaan tingkatan-tingkatan mereka. Sebagian orang berpendapat bahwasanya tujuan tersebut adalah untuk merealisasikan pencapaian materi secara besar-besaran, dan sebagian lain berpendapat bahwa tujuannya adalah untuk menjaga badan manusia agar ia menjadi lebih sehat, kemudian sebagian lain berpendapat untuk kehidupan berfikir dan logika, sedangkan sebagia lain berpendapat bahwasanya tujuan tersebut untuk mendekatkan diri kepada Allah dan berinteraksi dengan-Nya sama halnya dengan cara hati dan akal.”

Ibn Bajah menegaskan bahwa puncak kebahagiaan menurut filosof yang ahli tauhid adalah buah dari kesempurnaan kemanusiaan. Kesempurnan manusia itu tidak mungkin dicapai kecuali dengan akal sehat, dan akalnya tidak sehat kecuali disertai dengan ilmu dan memusatkan perhatian dengan perkataan yang bersih dan perilaku, sehingga akalnya menjadi berakhlak.

Asin Becius berkata, “Bahwasanya Ibn Bajah mencari kebahagiaan yang utama. Beliau berpendapat bahwasanya kebahagiaannnya bisa terealisir dengan cara membersihkan gambaran-gambaran logika. Kita bisa mendapatkan jiwa menyatu dengan jasmani, hanya saja manusia itu tidak dapat berhubungan dengan akalnya yang aktif dan menyatu dengannya, yang mana dianugerahkan dengan pengetahuan-pengetahuan. Jadi kebahagiaan itu terletak di dalam pikiran, dengan cara ilmu, filsafat, dan penyatuan, apabila ia memerlukan beberapa hal materi untuk membantunya agar dapat mengantarkan perilakunya dalam jalan hidupnya. Hanya saja perkara-perkara ini tidak mendapatkan perhatian dari manusia, maka wajib baginya untuk tidak membuatnya menjadi kegelisahan sehingga hal tersebut memungkinkan dia untuk merealisasikan kebahagiaannya.”

Artinya, sesungguhnya Ibn Bajah berpendapat, bahwasanya perbuatan manusia itu bisa mencapai kesempurnaan melalui pengetahuan akal bukan khayalan-khayalan atau impian-impian tasawuf keagamaan yang tidak bisa membebaskannya dari pertumbuhan indra dan juga bukan dengan kebaikan-kebaikan karakter, yang dimana manusia mencoba untuk menyempurnakannya sebagaimana dikatakan oleh Ibn Bajah sendiri. Begitu juga orang yang membatasi pada kebaikan-kebaikan etis saja, maka ia telah membatasi pada wujud selainnya dalam keadaan-keadaannya yang paling baik, seperti orang yang hanya menginginkan agar kudanya mempunyai banyak daging dan indah jika dipandang, jadi ia tidak hanya merasa cukup dengan kebaikan-kebaikan karakternya yang merupakan kebahagiaan utama.

Manusia bisa mencapai puncak kebahagiaanya dalam pandangan al-Farabi, dan orang setelahnya seperti Ibn Bajah. Jiwa itu menjadi sempurna ketikaberpisah dengan materi-materi, dan itu terjadi dari perbuatan kehendak, dan sebagiannya perbuatan pikiran, dan sebagian yang lain pebuatan badan, dan bukan dengan perbuatan-perbuatan yang disepakati, akan tetapi ia adalah sesuatu yang telah ditentukan yang menghasilkan suatu kemampuan-kemampuan yang telah ditentukan.

Maka apabila al-Farabi telah menjelaskan kepuncak kebahagiaan bagi manusia, dengan kewajiban-kewajiban tertentu yang musti dilakukan oleh manusia, sesungguhnya Ibn Bajah juga mewajibkan bagi seorang individu dengan beberapa kewajiban yang semestinya ia ambil bagi dirinya, “Pengaplikasian kewajiban-kewajiban itu sama halnya antara dia dengan dirinya, atau antara dia dengan pribadi yang lain, atau antara dirinya dengan Tuhannya.”

Realitanya, bahwasanya pemikiran Ibn Bajah itu mengembalikan puncak kebahagiaan kepada telaah atau pemikiran logis yang mana telah didahului oleh Aristoteles dalam pembahasannya, dan pemikiran Aristoteles tersebut ia transfer melewati dirinya kepada seluruh para filosof islam seperti al-Farabi dan Ibn Sina.

Kebahagiaan menurut al-Farabi sebagaimana yang ia katakan dalam bukunya al-Madinah al-Fadhilah adalah inti dari kebaikan yang dicari, dan kebahagiaan itu sebenarnya tidak perlu dicari untuk mendapatkan sesuatu yang lain, dan kebahagiaan itu adalah terlepasnya diri dari jasmani, dan ia tidak memerlukan adanya materi untuk tegaknya kebahagiaan yang bisa dicapai dengan perbuatan-perbuatan yang sebagiannya bersifat pikiran, dan sebagian lain bersifat badaniah, dan kebahagian itu ada ketika manusia berhubungan dengan Tuhannya.

Saya telah mengikuti pikiran-pikiran ini-sebagaimana yang dikatakan DR Taufik at-Thowil-sampai kepada para filosof Timur dan Barat, dari Ibn sina sampai Ibn Rusd, dsb. Kebahagiaan menurut mereka, itu datang dengan pemikiran dan zuhud. Sesungguhnya berfikir itu termasuk salah satu tujuan menurut para filosof Islam.[204]

DR at-Thowil juga menyebutkan Fahrurrozi, meskipun Fahrurrozi membuat sebuh konklusi dalam madzhabnya dengan pendapat bahwasanya kebahagiaan itu adalah mengetahui Allah dan mencintai-Nya secara menyeluruh. Adapun keilmuan-keilmuan lain, maka itu tidak bisa menjadi penyebab-penyebab kebahagiaan, ia juga berkata: “Yang disangka oleh banyak orang adalah bahwasanya semua ilmu-ilmu yang membahas hal-hal logika itu merupakan sebab-sebab kesenangan logika, dan ini adalah salah. Tapi kebahagiaan itu tidak bisa dicapai kecuali dengan ilmu(mengetahui) kepada Allah, dan mencintainya secara menyeluruh.”

Dimana sebenarnya akhlak menurut ar-Razi itu bukanlah cara untuk menuju kebahagian, dan pada intinya, bahwasanya akhlak itu menjauhkan diri manusia dari siksa dan derita, dan menghindarkan diri dari siksa adalah hal negatif. Sementara kebahagiaan adalah hal positif.

Dalam makna ini, beliau berkata: “Yang benar menurut saya, sesungguhnya akhlak yang bagus itu tidak menjadi sebab kebahagiaan. Sebenarnya tujuan dari hal itu adalah agar jiwa tidak menjadi begitu ketergantungan dengan badan, dan pengaruh akhlak itu hanya sebatas agar jiwa jauh dari siksa. Adapun dalam kebahagiaan itu tidak demikian.[205] Apabila ini adalah pendapatnya tentang seluruh keilmuan selain ilmu (mengetahui) tentang Tuhan dan akhlak yang mulia, maka kebaikan-kebaikan menjadi perhatiannya yang besar. Dalam pembahasan kebaikan, Fahrurozi mengikuti Aristoteles dalam mengartikan kebaikan, seperti para filosof muslim lainnya, yang mana ia berkata bahwasannya kebaikan itu adalah bentuk keseimbangn antar dua sisi, yaitu konservatif dan liberal.[206] Kebaikan-kebaikan etis itu ada tiga; keberanian, harga diri, dan kebijaksanaan. Dan seluruh kebaikan-kebaikan ini bernaung di bawah satu kebaikan, yaitu keadilan. Ketika menafsirkan firman Allah SWT.: al-Fatihah: 6, pembicaraan beliau dalam tafsir tersebut nampak sekali pengaruh Aristoteteles. Beliau berkata: “Barang siapa yang berlebih-lebihan dalam perbuatan syahwat, maka ia telah jatuh dalam perbuatan-perbuatan dosa, dan barang siapa yang berlebihan dalam meninggalkannya, maka ia akan terlempar dalam keaniayaan.

Makna “sirotol mustakim,” adalah kemoderatan, dan itu adalah harga diri. Dan juga barang siapa yang berlebih-lebihan dalam perbuatan amarah, maka dia akan terjatuh dalam sikap yang membabi buta, dan barang siapa yang berlebihan dalam meninggalkannya, maka ia akan terlempar dalam sikap ketakutan. [207]

“Sirotol mustakim,” adalah kemoderatan, dan itu berarti keberanian. Maka ar-Rozi mencoba untuk menggabungkan pemikiran Aristoteles dengan pemikiran keagamaan, sehingga pemikiran-pemikiran Aristoteles tersebut menjadi benar dan sesuai dengan akidah dan pemikiran.

Dari semua ini, kita bisa melihat secara gamblang bagaimana para filosof Islam memperhatikan dalam mempelajari akhlak sebagai sebuah ilmu yang penting dari salah satu bagian ilmu-ilmu filsafat. Begitu banyaknya pembahasan-pembahasan yang beraneka ragam dan kaya, serta karangan-karangan yang tidak terhitung jumlahnya yang mereka torehkan dalam bidang ini, dan semua hal itu mungkin cukup untuk membantah Prof. Karadi, yang beranggapan bahwasanya ilmu akhlak itu tidak diperhatikan oleh para filosof Islam dan tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari mereka. Yang kita tampilkan dari pembahasan akhlak menurut para pemikir muslim itu, juga sudah jelas menegaskan rusak dan batilnya anggapan ini. Karena para filosof Islam telah melengkapi seluruh pembahasan filsafat etika; mereka telah meneliti kebaikan, keburukan, kehendak, kebebasan, dan mereka telah meneliti dalam hal kebahagiaan, puncak kebaikan, kebaikn-kebaikan, keburukan-keburukan, dan kewajiban beretika, pengorbanan, pentingnya kemampuan dalam mempelajari akhlak, dan sebagainya dari problematika-problematika yang khusus dengan aliran etika manapun.

5. Akhlak Menurut Ahli Sufi.

Sudah pasti, bahwasanya tasawuf dan orang sufi itu memperhatikan jiwa manusia dengan perhatian yang besar, serta mempelajari perihal akhlak-akhlak manusia begitu besar. Ucapan-ucapan orang sufi dipenuhi dengan makna-makna etika dan pengaruh-pengaruh perilaku berskala besar hingga mayoritas dari peneliti dan pelajar menganggap tasawuf sebagai ilmu akhlak agama Islam, karena tasawuf merupakan ilmu perilaku, dan ia adalah mengetahui jiwa. Kewajiban dan hak-haknya dari kenaluriaan.

Terkait itu, Imam Nawawi berkata, tasawuf itu bukanlah garisan-garisan dan bukan ilmu-ilmu, akan tetapi tasawuf adalah akhlak. Ibn al-Qayim berpendapat dalam kitabnya, Madarij as-Salikin: “Semua pendapat orang-orang yang berbicara mengenai ilmu ini sepakat, bahwasanya tasawuf adalah etika.”

Begitu juga al-Kattani menjelaskan dalam perkataannya: “Tasawuf adalah moral. Jikalau akhlakmu meningkat, maka engkau semakin bertambah bersih.”[208]

Inilah ilmu tasawuf serta definisi-definisinya dari realitas ungkapan-ungkapan orang sufi sendiri, dan tidak ada yang lebih jelas daripada hal tersebut guna menunjukkan perhatian tasawuf kepada akhlak dan perhatian orang-orang sufi dengan perilaku dan manusia, sehingga menjadikan mereka untuk memberikan istilah nama tasawuf, terkadang dengan nama ilmu “akhwal” (keadaan) dan ilmu “maqamat“(kederajatan), dan kadang-kadang dinamai dengan ilmu thoriqoh. Terkadang juga dinamakan dengan nama-nama yang lain, yang menguatkan tentang perhatian mereka terhadap adab, pendidikan perilaku, dan akhlak.

Artinya, sesungguhnya tasawuf itu merupakan inti dan substansi yang berupa akhlak, karena apabila kita menelusuri ungkapan-ungkapan orang sufi, dan penjelasan-penjelasan mereka, maka kita akan menemukan penjelasan tersebut berkutat sekitar norma moral tertentu yang dikehendaki oleh seorang sufi atau yang lain. Corak dan kehidupan mereka juga merupakan gambaran yang dinamis untuk teladan yang tinggi dan aplikasi terhadap akhlak yang baik. Karena tasawuf, adalah akhlak yang terpuji dari kaum yang terhormat untuk tujuan yang mulia, yaitu hubungan dengan Allah, yang mana tidak bisa dibayangkan pencapaian hubungan ini, dan meraih kebahagiaan tanpa usaha seorang manusia itu memuliakan akhlaknya, dan memperbaiki perilakunya. Dalam hal ini, At-Tistari berkata: “Barang siapa tidak menjadikan akhlak yang mulia dalam hubungannya dengan Allah, maka ia tidak akan merasa bahagia dengan kehidupan di dunia dan akheratnya.”

Realitanya, bahwa orang sufi tidak hanya memperhatikan akhlak itu sebatas kata dan ucapan saja, namun mereka sungguh memperhatikan terhadap perilaku dan tata cara, karena tasawuf adalah sebuah tatacara dan metode sebelum tasawuf menjadi perkatan dan pandangan.

Di sini terlihatlah sisi amaliah dari akhlak di samping prinsip-prinsip dan teori-teori. Akhlak orang sufi juga terlihat dalam perhatian mereka terhadap jiwa, klasifikasinya dan keadaan-keadaanya. Dalam akhlak dan pendidikannya, itu berarti terdapat maqam-maqamnya. Keadaan-keadaan dan maqam-maqam orang sufi itu dipenuhi nilai-nilai moralitas yang sangat kental dengan pengaruh perilaku-perilaku yang makin menegaskan peran tasawuf atas akhlak, perbaikan diri manusia, pendidikan perilaku dan kebersihan batin, sehingga membuat Abu Muhammad al-Hariri tentang definisi tasawuf melalui perkataannya: “Merengkuh dalam semua etika, mulia, dan keluar dari semua akhlak adalah hina”

Maka tasawuf itu memperhatikan jiwa manusia, dan perbaikannya dengan cara riyadhoh dan mujahadah. Yaitu apa yang diketahui dalam taswuf dengan istilah ‘takholiah’ (pembersihan) yang berarti membersihkan diri dari halangan-halangan, kungkungan-kungkungan, dan kerusakan-kerusakan. Artinya, yaitu perbuatan yang dilakukan untuk membersihkan jiwa dari akhlak tercela, dan menghiasinya dengan akhlak terpuji, dan itu apa yang dinamakan dengan isitilah ‘takhaliah’ (penghiasan).

Dalam hal ini tampak secara jelas sekali, bagaimana tasawuf itu merupakan ilmu akhlak yang memberikan perhatian terhadap jiwa dan etika. Karena diri manusia (an-nafs) menurut orang sufi adalah tempat bagi akhlak yang tercela, dan tempat perbuatan-perbuatan yang hina. Sesungguhnya agar bisa merealisasikan manusia dalam arti kemanusiannya, maka jiwa yang berakal itu harus menundukkan jiwa yang syahwat dalam diri manusia, dan atas jiwa amarahnya dengan cara mengatur diri dan badannya melalui aturan yang bisa meluruskan dengungan-dengungan konservatisme dan liberalisme dalam dirinya.

Pada ranah ini, ada titik singkron antara pembahasan jiwa dengan pembahasan akhlak. Tasawuf dengan orang-orang sufi, dalam membicarakan mereka tentang karakter jiwa, dimana mereka telah memberikan ciri-cirinya sesuai dengan apa yang digariskan dalam al-Qur’an, bahwasanya jiwa kadang-kadang mengajak kepada keburukan ‘amarotun bissu’, dan terkadang jiwa itu angkara murka (lawwamah). Jiwa dengan dua karakter ini merupakan tempat keburukan dan bencana. Akan tetapi apabila jiwa itu dibersihkan dan dididik secara steril dan dijauhkan antar jiwa itu dengan apa yang merusaknya, dan kehidupan rohaninya yang bersih, maka jiwa yang ‘amarotun bissu’ yang menjaga keburukan dan angkara murka itu mempunyai sifat jiwa yang tenang ‘nafsu mutmainnah’ , bahagia ’sa’idah’, dan tentram ’saniah’.

Singkat kata, menurut orang sufi, bahwasanya jiwa itu adalah tabir antara hamba dengan Tuhannya, dan muara tabir ini sebenarnya dikembalikan pada akhlaknya yang tercela. Maka dari itu, mereka begitu memperhatikan dengan membersihkan jiwa itu dari keburukan-keburukan dan menjauhi keburukan, kerusakan, dan menghiasi dengan perbuatan-perbuatan baik, serta senantiasa meningkatkan kebaikannya. Karena kedua tingkatan ini, manusia bisa mencapai setelahnya menuju ketenangan, sakinah, ketetapan, dan keteladanan di hadapan Allah.

Ketika riadhoh (proses internalisasi kejiwaan), mujahadah (bersungguh-sungguh), dan ta’dzib (pendidikan) adalah, cara untuk merealisasikan hal tersebut, yaitu perbuatan dari sebuah kehendak yang dilakukan manusia untuk membersihkan jiwa dan mensterilkan hati dan mengaplikasikan akhlak yang mulia, dimana manusia menjadi bersih, dengan segala apa yang dimksud dari kata bersih (as-sofa) dengan maknanya. Oleh karena itu dikatakan, bahwasanya tasawuf adalah akhlak, apabila akhlak engkau bertambah maka engkau akan bertambah bersih.

Untuk itu, al-Harawi al-Ansori itu mencurahkan perhatiannya terhadap jiwa dan pendidikannya. Beliau menjelaskan pengaruh hal tersebut dalam membebaskan jiwa dari akhlak tercela dan menghiasi jiwa dengan akhlak terpuji, sehingga jiwa itu kembali pada keadaan awal sebelum jiwa ada hubungan dengan jasmani dari perilaku yang bersih dan mata batin yang tajam.

Menurut orang sufi, semua hal tersebut tidak bisa dicapai kecuali dengan menempuh jalan riadhoh(proses internalisasi kejiwaan) dan mujahadah yang membuka karakter diri manusia, dan menjelaskan motifasi-motifasi yang dicakup oleh jiwa ini, yang mendorongnya untuk melakukan ini atau itu dari perbuatan-perbuatan yang menjauhkan atau mendekatkan manusia dari kebaikan. Sebagaimana dengan analisa-analisa ini, mereka telah mengenalkan kepada kita pengobatan jiwa sehingga bisa terlepas dari ajakan-ajakan keburukan dan seruan hawa nafsu.

Agar bisa mempunyai kemampuan untuk mengaplikasukan akhlak yang terpuji dan membebaskan dari akhlak yang tercela, almarhum Musthofa Khilmi berkata: “Dalam semua ini, orang sufi mengobati seluruh jiwa melalui sesuatu yang sesuai dengannya, dimana mereka mengobati untuk setiap golongan dari jiwa-jiwa dengan kaidah-kaidah yang pantas digunakan dalam meperbaiki etika. Karena tidak semua jenis jiwa itu sama motifasi dan tujuan menurut orang sufi, begitu juga dengan perbuatan-perbuatannya. Semua orang sufi berbeda-beda dalam menangani hal tersebut, dan dari sini perbedaan-perbedaan itu terjadi dalam tata cara mengobati, dan piranti-piranti untuk membersihkan jiwa dari keburukan dan bencana

Dari sini juga, perbedaan yang terjadi di antara manusia terhadap perbuatan dan moral yang mereka lakukan, as-Sahrowardi menyebutkan dalam kitabnya Awarif al-Ma’arif. Bahwasanya jiwa-jiwa orang sufi itu menerima semua akhlak yang mulia. Orang yang memperhatikan para sufi dalam pembahasan jiwa manusia dan analisa mereka terhadap jiwa manusia, serta ramuan mereka untuk meluruskan akhlak jiwa manusia, itu bisa mendapati bahwasanya para sufi itu berpendapat di dalam jiwa manusia terdapat dua unsur yang menghalangi jiwa manusia dari kebaikan. Bahwasanya salahsatu dari dua unsur itu adalah terjerumusnya jiwa dalam syahwat, dan unsur yang lain adalah jiwa yang menghalangi kepada ketaatan.

Pelu dicermati juga, bahwasanya riyadhoh dan mujahadah yang mereka dedikasikan, pertama-pertama mereka mencirikan kecondongannya dan kecepatannya, kemudian mereka menjelaskan apa yang pantas untuk diambil dan diterima dari cara-cara jiwa dan akhlak yang mana dua unsur ini berkiprah dalam membersihkan jwa, karena jiwa apabila ia begitu cepat dalam menaiki hawa nafsu maka harus dikendalikan dengan pelana (tali) takwa, dan apabila lemah untuk mengerjakan kebaikan maka harus ditarik agar tidak mengikuti hawa nafsu, dan apabila ia begitu meledak-ledak dalam amarahnya maka harus dikontrol amarahnya.

Dari semua ini, nyata sekali bagaimana kaum sufi itu menjadi ulama (pakar) dalam hal jiwa dan akhlak, dimana mereka mengetahui karakter jiwa, hawa nafsunya, dan keburukannya yang muncul dalam berbagai keadaan yang berbeda-beda. Melalui apa yang mereka ketahui, kaum sufi mampu menyelaraskan antara perbuatan yang timbul didalamnya dari dorongan-dorongan dan kemauan, dan antara yang dibuang dan pembersihan dari beberapa bentuk riydhoh dan model mujahadah yang sesuai dengan setiap keadaan dari beberapa keadaan jiwa, serta apa yang dipakai untuk memperbaiki jiwa sehingga jiwa menjadi baik dalam hal tersebut.

Kaum sufi juga berpandangan bahwa semestinya jiwa itu dididik dan diajarkan sesuai dengan prinsip ini, dan as-Suhrowardi membuat pendapat bahwasanya etika itu tidak bisa dibentuk secara komprehensif dalam diri seorang hamba dengan akhlak yang menyeluruh, dan sesungguhnya memperbaki akhlak adalah sebagai wahana yang dipakai dalam diri seorang hamba guna mencapai akhlak terpuji.

“Jadi manusia itu mempunyai gambaran dan makna; gambarannya adalah bayangan yang dibelakangnya, dan maknanya adalah akhlaknya.”[209]

Kaum sufi juga memperhatikan dalam meneliti akhlak, apakah akhlak itu fitroh dalam manusia dimana tidak ada jalan untuk merubahnya atau tidak mungkin untuk merubahnya.

Sebagian kaum sufi mencoba menjawab pertanyaan ini, bahwasanya akhlak itu seperti ciptaan (makhluk) tidak ada cara untuk mengubahnya. Tidak demikian dengan Sahrowardi, bahwasanya merubah akhlak adalah sebuah keniscayaan dan bisa terjadi terkeculi al-khalq (makhluk). As-Sahrowardi berargumentasi untuk menguatkan pendapatnya dengan sebuah riwayat dalam hadits Rasulullah Saw “Bagusilah akhlak kalian.”

Allah telah menciptakan manusia dan menjadikannya sebagai makhluk yang siap menerima kebaikan dan kehancuran, menjadikannya mempunyai kemampuan untuk beretika, dan memberikannya kemampuan untuk memperbaiki dirinya dengan tarbiah. Bahwasanya kemampuan menurut as-Suhrowardi merupakan karya dari Tuhan, dimana manusia tidak memiliki kemampuan untuk menciptakannya. Sesungguhnya etika-etika itu adalah sumber etika yang baik, dan sebenarnya etika adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuk potensi kepada perbuatan nyata, dan ini ada bagi orang yang mempunyai kemampuan yang baik.

Dari analisis terhadap jiwa manusia ini, dan melalui penjelasannya tentang pengaruh kebiasaan dan riyadhoh dalam mendidik jiwa ini, serta mengaplikasikannya dengan akhlak yang mulia, dari semua itu as-Suhrowardi membuat konklusi bahwasanya jiwa-jiwa kaum sufi telah diberikan kemampuan oleh Allah dengan menyempurnakan potensi dan bakat-bakatnya hingga mampu mencapai kebiasaan yang baik dan riyadhoh guna mengeluarkan apa yang terkandung dalam jiwa melalui ciptan Allah menuju pada tindakan nyata. Maka dengan ini kaum sufi menjadi orang yang beradab dan terdidik akhlaknya. Apabila kebiasaan dan riyadhoh itu merupakan jalan untuk mengeluarkan apa yang dikandung dalam jiwa, dari potensi dan kekuatan menuju tindakan nyata, maka kekuatan hasyrat dan perasaan itu berbeda-beda dalam ada atau ketiadaan perwujudannya, dalam kuat dan lemahnya, dengan pribadi seseorang yang berbeda-beda. Kaum sufi menjadikan cara perbuatan sebagai penolong untuk mendidik jiwa dengan model pendidikan yang ia buat sebagai cara-cara yang berbeda-beda menurut perbedaan karakter jiwa dan hasyrat-hasyratnya. Melalui bentuk ini, kita melihat bagaimana tasawuf itu menjadi ilmu untuk akhlak islam, dimana ia banyak membahas tentang jiwa manusia, mengetahui potensi-potensinya, dan mengaplikasikan dengan riyadhohnya dan pendidikannya, dan tasawuf juga menyentuh nilai-nilai kebaikannya dalam berbagai maqom dan tingkatan hingga ia melatih jiwa manusia dan mendidiknya. Apabila jiwa sudah merasa rindu dengan kehidupan ruhiah, maka mudah bagi jiwa itu untuk meraih yang utama atau bagus dan menentramkannya. Kebaikan-kebaikan dari kaum sufi itu banyak dan terkenal seperti ridho, murokobah, dzikir, sabar, tawadu, takwa, ikhlas, syukur, dan ini merupakan keutamaan-keutamaan yang positif. Adapun keutamaan lainnya bersifat negatif, misalnya miskin, zuhud, uzlah, dan tawakal. Tujuan dari semua keutamaan-keutamaan ini adalah mendidik jiwa dan memperbaikinya dengan mengangkatnya dari tingkatan dan maqam yang ada dalam jiwa yaitu sisi perbuatan dari akhlak, karena tasawuf itu tidak hanya sebatas pada teori saja pada makna-makna akhlak yang dipakai, akan tetapi juga bersifat aplikatif yang artinya berpegangan akhlak yang utama dan terpuji serta melepaskan diri dari akhlak tercela.

Thoriqoh sufiah dan hubungan antara para guru dan muridnya, serta studi analisa tentang thoriqoh hingga pada unsur-unsurnya, itu telah membukakan tabir prinsip-prinsip akhlak dan kaidah-kaidah yang dijadikan dasar, dan thoriqoh sufiah tersebut mempunyai pengaruh yang besar dalam membersihkan jiwa, mensterilkan hati, dan tegaknya akhlak manusia itu dibangun atas prinsip-prinsip ruhiah murni dan menyalakan nilai-nilai akhlak yang tinggi dalam kehidupan individu dan sosial.

Etika yang tinggi dan akhlak yang mulia ini, dalam tasawuf merupakan unsur-unsur kejiwaan dan moral, yang dibangun dan terangkai berdasarkan etika yang telah digariskan oleh kaum sufi dengan cara mereka dan perbuatan mereka, dalam melatih diri mereka sendiri dan selama melatih murid-murid mereka untuk menerapkannya pada kehidupan individu maupun sosial. Aturan-turan ini menjadi alat bantu yang efektif untuk menghidupkan ajaran-ajaran Alquran dan sunnah dalam jiwa-jiwa orang yang memeluk agama Islam. Dan kaum sufi tersebut merupakan tim medis bagi jiwa manusia, dan mereka adalah orang-orang pilihan yang mengajak kepada kebaikan dan keutamaan. Mereka menepati hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Mereka adalah ulama terhadap akhlak dalam mengetahui hak-hak Allah sebelum hamba-hamba-Nya, dan [mengetahui] hak-hak hamba sebelum yang lain dengan kewajiban-kewajiban hamba kepada Allah dan kepada yang lainnya. Mereka menerapkannya guna menjaga kewajiban-kewajiban ini, dan hak-hak tersebut ditunaikan dan dilaksanakan secara istikomah oleh mereka, dan mereka mempraktikannya dalam kehidupan dalam kehidupan individu dan sosial. Olehkarena iti, benar ungkapan, “Tasawuf bukanlah tatacara dan bukan pula ilmu-ilmu, akan tetapi tasawuf adalah akhlak.

Inilah pandangan global atas tasawuf dan menjadikannya ilmu untuk akhlak, dan sesungguhnya tema tasawuf adalah penyempurnaan teologis dan penyucian jiwa, serta memperbaiki akhlak yang mulia dan tabiat yang lurus. Sesungguhnya, tujuan dan jangkauan tasawuf adalah dzat Allah yang tinggi dan mencintai dzatnya, dan fana terhadap dzatnya. Maka tasawuf memberikan kepada pengikutnya sebuah permualan dimana ia bisa memulai darinya, dan wasilah yang membantunya dalam perjalanan hidup dan menanggung kesusahan dalam perjalanan hidupnya, dan tujuan agar sampai kepada-Nya secara mutlak, yaitu makrifat kepada Allah dan hakekat asma Allah, kesempurnan Allah, perbuatan dan sifat-sifatNya.

Adapun wasilah yang harus dipakai adalah berhias dengan akhlak terpuji dan meninggalkan akhlak tercela.

Adapun tujuannya yaitu menuju Allah SWT, mencintaiNya, rindu untuk bertemu denganNya, tetap mendekatiNya setelah seorang hamba memutuskan jalan untuk menujuNya step by step. Naik tahap demi tahap dalam meraih maqam dan tingkatannya, dan keadaan-keadaan yang lazim untuk setiap tingkatan. Inilah tasawuf menurut Ibn al-Qayim, yang mana ia ingin menjelaskan bahwasanya tidak ada perilaku tanpa pengetahuan, dan sesungguhnya pengetahuan itu mengajak untuk berhias dengan akhlak yang mulia, maka kebenaran yang baik adalah buah dari pengetahuan, dan kebenaran tersebutlah yang mendorong orang yang mempunyai pengetahuan untuk mencari cinta dan kedekatan…, maka tidak ada cinta bagi orang yang tidak memiliki. Oleh karena itu, sekarang kami akan menyebutkan konsep Islam dalam cinta, dan menjelaskan hubungan cinta dengan jiwa dan akhlak.

6. Cinta

Setelah perjalanan panjang dalam mempelajari dan meneliti tentang manusia dan jiwa, dan setelah meneliti tentang etika dan akhlak, tiba saatnya peran cinta, mungkin saja cinta itu bisa membuat kedamaian pada jiwa, dan menjadi bernilai dan tinggi dengan akhlak, hingga hati itu menjadi gembira dan ceria menikmati waktu dengan cinta, serta pengaruh-pengaruhnya, keutamaan-keutamaannya, bentuk-bentuk dan warna-warni cinta

Sudah menjadi keharusan buat saya, dan Ibn Hazm yang seorang filosof cinta telah memaparkan bahwasanya cinta merupakan sebuah hal yang menyibukkan perempuan, agar saya bisa mencurahkan perhatian dan penelitian terhadap hal ini, hingga saya bisa merealisasikan kebenaran pemahaman ini. Kebanyakan filosof itu berpendapat bahwasanya cinta adalah “fadhilah dari kebaikan-kebaikan”, karena cinta itu mencakup nilai akhlak yang mulia, yaitu “kehendak yang baik” dan “niat yang baik”. Maka dari itu, cinta merupakan bentuk paling sempurna, dan sifat kesempurnaan yang paling tinggi, dimana manusia bisa mendekatkan diri kepada Yang Maha Mulia serta menjauhkan dari kesesatan. Cinta juga merupakan keutamaan positif karena dalam hakekat cinta adalah kedekatan, perhubungan, menyongsong, kehidupan, dan kontinuitas, dimana pada sisi lain sesungguhnya kebencian adalah antonim dari lawan kata cinta yang bermakna jauh, menghindar/melarikan diri, kerusakan, dan tertutup.

Artinya, sesungguhnya cinta itu memberikan kepada eksistensi manusia, arah, tujuan, cita-cita, dan juga melepaskan manusia dari keterperosokan. Cinta juga memberikan makna yang hakiki, yaitu menjadi alat untuk melayani manusia dan perkembangannya, karena cinta adalah nilai perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Apabila para filosof itu telah mengaategorikan tiga nilai, yaitu: kebenaran, kebaikan, dan keindahan, maka sesungguhnya seorang filosof kontemporer tidak memandang sesuatu yang salah apabila menambah tiga nilai-nilai ini dengan nilai yang keempat, yaitu cinta.

Karena cinta adalah yang melepaskan ketiga nilai-nilai tersebut dari segala nilai, jadi cinta adalah nilai dari segala nilai karena bagaimana bisa kebenaran itu ada tanpa mencintai kebenaran, dan bagaimana bisa kebaikan itu ada tanpa mencintai kebaikan, dan bagaimana bisa keindahan itu ada tanpa mencintai keindahan?

Apabila kita meberikan istilah bahwasanya filsafat adalah “mencintai kebijaksanaan,” maka sesungguhnya kami menemukan Hidger, seorang filosof kontemporer, mendefinisikan filsafat bahwasanya ia adalah “hikmah dari cinta,” karena cinta menurutnya adalah topik yang masih dipikirkan oleh seorang filosof, yang ia lakukan untuk memahami hubungan dan kaitan antara manusia dan alam, dan membuka keharmonisan, cinta, dan persahabatan yang mengikat keduanya (manusia dan alam)[210]

Jadi cinta itu merupakan unsur tetap dalam sebuah wujud yang tidak mungkin disepelekan/diinggkari. Usaha-usaha para filosof pun dilakukan guna mengetahui cinta dan pemaparan kedalamannya menjawab pertanyaan mereka tentang apa itu cinta?

Hakekat sebenarnya kita belum menemukan satu jawaban dari mereka untuk fenomena hunamisme ini, dan satu makna untuk gejolak nurani itu, hingga para penyair dan sastrawan yg mencoba untuk mengetahui cinta dan menjelaskannya, mereka mengungkapkan tentang hakekat ini saja, dan tampak perbedaan serta pertentangan sekitar hakekat ini. Sebagian orang berkata tentang cinta, “Bahwasanya cinta itu adalah sesuatu yg paling manis di alam dunia kita,” dan sebagian orang lagi berkata, “Sesungguhnya cinta itu adalah yang paling agung dan sesuatu yang paling membahagiakan.”

Sebagian yang lain berkata, “Sesungguhnya cinta itu pernyakit dan wahm (perasaan kecil yang negatif; persepsi imajinasi; fantasi), dan sebagian yang lain berkata, “Sesungguhnya cinta itu kerugian dan derita,” dan sebagian lain berkata, “Sesungguhnya cinta itu adalah sesuatu yang menyamakan antara seorang tuan dengan hamba”[211] . Kenyataannya, orang-orang bijak dari para filosof tidak mempunyai kata sepakat dalam hakekat cinta secara general, misalnya Plato, ia mengungkapkan bahwasanya cinta adalah istihsan, anggapan baik tentang keindahan.

Dekart dalam definisinya untuk cinta, mencoba untuk menjauhi teori estetika, maka ia memasukan beberapa keinginan-keinginan dan emosi-emosi. Dia berkata, “Sesungguhnya cinta itu adalah emosi dan pengaruh, dan perasaan yang mendorong ruh dan jiwa, serta mengarahkannya kepada topik yang ia sukai.

Di era modern, kita menemukan Ortega Gast, ia mencurahkan perhatiannya dengan menganalisa cinta atas prinsip-prinsip jiwa. Ia berkata, “Sesungguhnya cinta itu adalah perbuatan inti bagi sebuah ruh dalam arus tetap yang menjadikan ruh itu berjalan menuju sisi tujuan secara positif, dan mengembalikan penegasan wujud walaupun tanpa berlebihan. Para ahli romansa berkeyakinan bahwasanya cinta itu kekuatan yang tiada bandingnya dalam kehidupan manusia.[212]

Jadi, cinta itu selalu ada pada seluruh manusia semenjak mulai diciptakan, karena cinta itu adalah nilai humanisme yang global, bahkan cinta itu adalah kehidupan dan kelanjutannya. Para filosof dan pemikir bahkan para penyair dan sastrawan itu megungkapkan hakekat tersebut. Jadi cinta tidak hanya berkutat pada perempuan saja, akan tetapi cinta itu menyentuh pikiran orang yang paling kuat, perasan orang yang paling besar, dan hati yang paling hidup. Cinta itu menyentuh orang-orang yang agung, orang-orang yang bijak sepanjang masa dan di seluruh tempat.

Untuk itu, Ibn Hazm berpendapat, bahwasanya cinta adalah sesuatu yang menyentuh tentang perempuan, yang bukan menjatuhkan dengan sebatas pujian. Karena cinta adalah keutamaan dari kebaikan-kebaikan dan cinta adalah kehendak yg baik. Cinta adalah hikmah yg mulia dan cinta merupakan keutaman dari Allah kepada makhluk-Nya, perhatian Allah kepada kebaikan-kebaikan makhluk-Nya, dan menunjukkan mereka kepada Allah, serta dorongan bagi mereka untuk lebih mengerjakan perintah Allah. Jadi cinta bukan sesuatu yang sia-sia atau omong kosong. Cinta itu bukan hasyrat atau emosi, akan tetapi cinta adalah sebuah perbuatan, aktifitas, kekuatan, inovasi, kebaikan, dan keutamaan. Pada suatu saat, cinta itu tidak menjadi hal yang sia-sia, atau menjadi penutup waktu kosong sebagaimana yang dituduhkan oleh Ibn Hazm ketika ia berbicara tentang perempuan dan cinta: “Saya tidak tahu penyebab yang menguatkan karakter ini terhadap perempuan. Hanya saja, perempuan itu adalah orang yang kosong pikirannya dari segala sesuatu kecuali dari sex dan dorongan-dorongan sex, kesia-kesiaan dan penyebab-penyebabnya, dan kedekatan dan macam-macamnya. Mereka tidak memikirkan kecuali dalam hal ini saja, dan mereka diciptakan untuk hal itu saja.”[213]

Sesungguhnya saya itu heran dengn perkataan Ibn Hazm ini, dan beliau adalah yang kita kenal sebagai seorang yang cinta kepada perempuan. Ia mencintai tiga kali. Beliau melakukan eksperimen-eksperimen cinta dengan begitu mendalam, lalu beliau merasakan kebahagiannya, serta merasakan kegagalan dan kepahitan cinta ketika seorang perempuan itu menolaknya untuk menggapai cintanya dengan cinta. Jadi, beliau di sini berkelana dari cinta ke cinta yang ia fikirkan, dan yang menguasai gerak-geriknya, perkatannya, dan dalam diamnya. Sedangkan perempuan itu menolak dan menghindar.

Jadi cinta itu telah membuat pikiran Ibn Hazm, sedang dia saat itu omong kosong, akan tetapi dia itu selalu sadar dan mengetahui tentang jiwa dan keadaannya, tentang akhlak dan penyakit-penyakitnya. Untuk itu Ibn Hazm bernaung dengan cinta guna menyembuhkan jiwa dan pengobat jiwa, sekaligus obat yang manjur untuk inspirasi, maka Ibn Hazm menulis buku Thuuq al-Khamamah fil Alafati wal Alaf, karena permintaan kawannya. Lalu Ibn Hazm menambahkan dalam kitab itu poin yang begitu besar dengan menulis cinta. Kitab itu adalah buku yang paling bagus yang pernah ditulis dalam hal ini, yang diakui oleh para peneliti dalam bidang ini. Karena Ibn Hazm mencurahkan perhatiannya untuk mempelajari cinta dengan studi filsafat yang dalam, yang begitu menyentuh terhadap seluruh teori-teori yang ia tulis dan letakkan. Beliau mengungkapkan hal tersebut dengan perkataanya pada awal bukunya: “Manusia itu telah berselisih pendapat dalam hakekat cinta, dan mereka berkata-kata dan terlalu memanjang lebarkannya”.[214]

Sesungguhnya cinta itu telah menjadi pikiran seluruh pikiran manusia, dulu dan sekarang, dan mereka berselisih pendapat dalam menguaknya, dalam tiga arti.

Cinta materialis yang menunjukkan pada nafsu, yaitu cinta yg membedakan pemikiran Yunani. Cinta kehendak yang dipilih (agape), yaitu cinta yang mendominasi pemikiran agama. Sedangkan cinta persahabatan, perkawaan atau kebersamaan, yaitu yang mengikat seorang filosof dengan alam sekitarnya yang merupakan tujuannya, atau ia adalah hikmah dari cinta seperti yang dikemukakan oleh Hidger.

Kata amor juga digunakan dalam bahasa Perancis untuk menunjukkan kata cinta, dan kata tersebut sesuai dengan arti kata amor dalam bahasa latin. Kata tersebut (amor) mengungkapkan tentang cinta, indra akal dan ruh, dengan makna-makna yang luas. Kita juga menemukan, bahwasanya para filosof etika sepert Orlagay, Gasset, dan juga Erichfromm seorang analis kejiwaan, mereka memfokuskan, bahwasanya cinta itu tidak sebatas egoisme, dan cinta itu bukan hanya mencari garam untuk mengenyangkan pemikiran. Akan tetapi cinta itu mendorong sikap menghormati, kemuliaan, pengorbanan, dan keinginan dalam pemberian, manfaat, dan pengorbanan bagi orang yang dicintai seperti yg dijelaskan oleh Ibn Hazm.[215]

Adapun agama-agama, semuanya berdiri atas pondasi cinta; cinta Allah kepada manusia dan cinta hamba kepada makhluk Allah. Hal ini jelas dan pasti dalam agama Yahudi dan Nasrani. Adapun Islam, itu mempunyai konsep dalam cinta yang orisinil nan agung, meskipun tuduhan yang dilontarkan oleh sebagian orientalis bahwasanya Islam itu jauh dari cinta. Bagaimana mungkin Islam itu seperti yang mereka tuduhkan, sedang banyak sekali ayat-ayat Allah yang memaparkan kepada kita tentang cinta dan mahabbah, kasih sayang dan ridho, rahmat ampunan dan toleransi. Allah berfirman dalam kitab-Nya yang mengungkapkan tentang cinta, ridho, toleransi, taubat, dan rahmat:

“Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya…” (Qs. Al-maidah: 54)

“Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-Imron: 31)

“Mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (Qs. al-Baqarah: 165)

” Aku Telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku.” (QS. Thaha: 39)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (Qs. Maryam: 96)

“Allah meridhai segala perbuatan-perbuatan mereka, dan merekapun merasa puas terhadap nikmat yang Telah dicurahkan Allah kepada mereka.” (Qs. Al-Maidah: 119)

“Hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. an-Nur : 22)

“Kemudian Allah menerima Taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. at-Taubah:118)

Dan lain sebagainya.

Dalam hadits Qudsi, Allah berfirman:

“Tidaklah seorang hamba-Ku bertaqarrub kepada-Ku melalui sesuatu kepada-Ku, itu lebih Aku sukai dari apa yang Kutuntut darinya. Dan hamba-Ku masih saja bertaqarrub kepada-Ku melalui amalan-amalan sunah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku itu adalah pendengaran yang ia pakai untuk mendengar, penglihatan yang ia pakai untuk melihat, tangannya yang ia pakai untuk menggenggam, dan kakinya yang ia pakai untuk berjalan.”

Jadi Islam itu memperhatikan tentang cinta, dan ayat-ayat Allah yang jelas itu berbicara tentang cinta, sebab-sebabnya, dan macam-macamnya. Kalimat cinta dalam Al-Qur’an itu disebutkan sembilan puluh kali (90x), untuk mendetailkan pembicaraan tentang teori ini serta menjelaskan bentuk-bentuk dan jangkauan-jangkauannya, yang menganggap cinta sebagai dasar bagi seluruh yang maujud, ibadah yang paling mulia, tujuan yang paling utama, dan yang paling mulia, dimana dengan cinta bisa mmbersihkan hati, mensterilkan jiwa, dan kehidupan ruh yang merupakan tuntutan dan tujuan Islam, dan juga untuk menegaskan bahwasanya cinta kepada Allah itu harus menjadi dasar bagi seluruh macam-macam cinta. Allah berfirman : Qs At-Taubah: 24.

“Katakanlah: ‘Jika bapa-bapa , anak-anak , saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNya dan dari berjihad di jalan nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan Keputusan NYA.’ dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.”

Melalui semua ini, maka tidak mungkin diterima tuduhan orang bahwasanya Islam itu tidak mempunyai konsep dalam cinta. Penelitian Liter dalam bidang ini, telah menegaskan adanya dua macam cinta dalam sastra Arab.

Jenis yang pertama yaitu cinta manusiawi. Pengikut paham ini berpendapat bahawasanya cinta dan kerinduan merupakan fenomena kemanusiaan yang global, yang mana tidak mungkin spesies manusia itu terlepas darinya

Jenis yang kedua cinta Ilahi, sebagaimana nampak menurut orang-orang sufi, dimana cinta menurut sebagian mereka merupakan tujuan yang merupakan titik akhir.[216]

Akan tetapi apakah mungkin, bisa ditemukan cinta dalam sastra Arab dengan gambaran seperti ini, tanpa mempunyai wujud orisinil dalam filsafat Islam. Inilah hal yang kita perhatikan dan yang akan kita coba membahasnya, menampilkannya, menjelaskannya, dan agar kita bisa menegaskan bahwasanya pemikiran filsafat Islam itu memperhatikan tentang cinta dan kerinduan dengan perhatian yang besar, hingga sesungguhnya kami bisa menemukan forum-forum dan seminar-seminar yang diadakan dan buku-buku yang ditulis untuk mendiskusikan dan membahasa masalah ini. Al-Mas’udi memberitahukan kepada kita tentang forum yg diadakan di istana menteri Yahya bin Kholid, yang diikuti oleh 22 pemikir Islam, dimana mereka disibukkan dan memikirkan pembahasan cinta, dan mereka melakukannya dan memberikan definisi serta menjelaskannya. Forum tersebut diadakan sekitar abad ke-3 H:

1. Ali bin Haitsam, yang merupakan pakar ilmu kalam dari golongan syiah berkata: “Cinta itu tidak mempunyai batas, dan cinta itu adalah buah yg terbentuk antara orang yang mencintai dan yang dicintai, dan cinta itu hanya ada dengan leburan dua bentuk dan kebersamaan dua jiwa, dan itu merupakan sebuah bukti atas meleburnya dua ruh.

2. Hisyam bin al-Hikam yang merupakan syeikh aliran imamiyah berkata tentang cinta: “Cinta itu tidak akan ada kecuali dihasilkan dari keseimbangan bentuk, dan kesesuaian dalam sebuah cara, dan keserasian dalam keinginan.

3. Muamar bin Sulaiman al-Muktazili berkata: “Kerinduan itu hasil dari pembentukan cinta dan penanaman keserasian”.

4. Ibrohim bin Sayar an-Nadzom, syeikh aliran muktazilah berkata: “Cinta itu magic, dan orang yang dicintai adalah ibarat orang yang melakukan magic, dan sikap keterlaluan dalam cinta itu bisa merusakkan raga(jasad).[217]

Jadi para pemikir Islam itu disuguhkan dengan hal cinta dan hakekatnya,cinta dan sebab-sebabnya, bentuk-bentuknya, warna-warninya, dan bidang-bidangnya. Kesibukan mereka dengan hal cinta itu merupakan sesuatu yang lumrah, karena cinta merupakan unsur yang azazi dalam kehidupan mereka, dimana kebahagiaan dan keharmonisan itu dengan cinta, dan cinta juga merupakan orisinil dalam pembentukan mereka.

Sejarah tentang mereka itu dipenuhi dengan cerita-cerita cinta yang masyhur, dan apabila cinta itu menyentuh individu-individu dari bangsa-bangsa lain, maka cinta juga menyentuh kabilah-kabilah Arab tentunya, semisal cinta perempuan yang bernama Laila dan kegilaanya (Laila Majnun), dan banyaknya kemuliaannya, dan sebagainya. Dan cinta itu telah menguasai ruh-ruh mereka, dan cinta juga merasuk dalam badan mereka, hingga mereka bernyanyi-nyanyi dengan cinta dan orang-orang yang dicintai. Mereka mendendangkan syair dan bait-baitnya dalam keharmonisan cinta, sehingga banyak sekali kalimat-kalimat dan sinonim-sinonim dalam hal cinta ini. Seperti kata “al-hub“, al-Gharam, al-’isyk, al-ghiyam, al-kalif, al-wajd, as-sobabah, dan al-walh, dsb. Pernah dikatakan pada seorang ara; “Sesungguhnya aku mencintai anak lelakimu. Maka ia berkata, biarkan dia, sesungguhnya anakku berlemah lembut, bersih-bersih dan menciptakan keadaan.

Inilah cinta, dan nilai cinta yang hakiki menurut orang Arab dan Islam, bahkan menurut semua manusia. Cinta adalah dorongan untuk semua kebaikan dan motifasi untuk segala keinginan, dan seorang penyair mengungkapkan hal tersebut melalui kata-katanya:

Apabila engkau tidak mencintai, dan engkau tdk mengetahui apa itu cinta

Maka jadilah batu dari gunung batu yang keras

Artinya, sesungguhnya cinta adalah sebuah gerakan; dan cinta adalah kehidupan; cinta adalah keutamaan; dan bahkan cinta adalah kebahagiaan yg sempurna. Mereka juga berkata, sesungguhnya dari beberapa kebaikan cinta adalah bahwasanya cinta itu mendorong orang yang mencintai untuk mempunyai keberanian dan harga diri, kedermawanan dan pengorbanan, dan perkara-perkara terpuji yang lain agar perilakunya menjadi terpuji, keutamaan-keutamaannya menjadi kuat, dan tingkah lakunya menjadi baik menurut orang yang dicintai. Mereka juga berkata: “Andaikata cinta itu tidak ada, pada asal muasal penciptaan manusia, niscaya hilang seluruh kebaikan-kebaikan tersebut.”

Jadi, cinta adalah gabungan dari kebaikan-kebaikan, tingkah laku yang baik, dan kesempurnaan bagi akhlak. Untuk hal itu, mayoritas para filosof dan orang-orang bijak mencurahkan perhatiannya terhadap cinta. Para pemikir Islam mempunyai peran yang begitu besar, ilmu yang dalam, pemahaman yang begitu mendalam terhadap nilai cinta, motifasi-motifasinya, pengaruh-pengaruhnya, dan keutamaan-keutamaannya. Mereka membubuhkan karya mereka tentang cinta dalam buku-buku dan mereka memeperbanyak karya-karya tersebut[218].

Seorang orientalis dari Amerika yang bernama Lois Anita Giffen membuat perkiraan dalam bukunya yang berjudul Nadzorih al-Hub ‘Indal Arab. Lebih dari dua puluh karangan itu berbicara tentang cinta dan melakukn pembahasan dalam tema tersebut. Dia menyebutkan bahwasanya buku yang pertama kali ditulis adalah buku al-’Isq. Buku itu karangan Amhad bin Thoyib as-Sarohsi yg mati terbunuh, dan kitab tersebut dikabarkan hilang. Pernah dikatakan bahwasanya dalam kitabnya ini beliau menirukan Aristoteles dalam pembahasannya tentang cinta secara filsafat.

Kitab al-Mutayamim karangan Ibn Abi Dunya, kitab az-Zahrah karang Ibn Daud, dan kitab asy-Syajan wa as-Sakan fi Akhbar Ahlil Hawa karya al-Amir Muhammad bin Abdullah al-Masiji al-Harani dan kitab ini hilang. Kitab al-Masun fi Tsiar al-Hawa al-Maknun karangan ar-Rajihi, kitab Dzam al-Hawa karangan Ibn al-Jauzi, kitab Raudhoh al-Isq wan Nuzhah al-Muhib karangan al-fazari, kitab Raudhoh al-Mubin wan Nuzhah al-Mustaqim karangan Ibn Qoyim al-Jauziah, kitab as-Sobabah karangan Ibn Abi al-Hajalah, kitab ath-Thib ar-Rukhani karangan Abu Bakar bin Zakariya ar-Razi, kitab as-Shodaqoh wa as-sidik karangan Abu Khayan at-Tauhidi, dan masih banyak lagi yang lain, dimana tidak bisa disebutkan di sini, dan hanya cukup menunjukkan terhadap sebagiannya, agar kita bisa melihat bagaimana keseriusan orang Arab dan orang Islam dalam mempelajari cinta, dan mereka memperhatikan terhadap pengetahuan cinta, dan mereka mempunyai karya-karya penelitian serta tulisan-tulisan dalam bidang ini, yang mungkin sangat banyak yang lainnya.

Jahid merupakan orang yang pertama kali menulis tentang cinta, meskipun demikian Lois Anita Giffen tidak menyebutkannya. Selain Jahid, dari para filosof dan ahli kalam juga begitu banyak seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Daud adz-Dzohiri, Ikhwan As-Sofa, Ibn Sina, Ibn Hazm, Ibn al-Jauzi, Ibn Taimiah, Ibn Qayim al-Jauziah. Mereka semua (para filosof dan ahli kalam), di samping yang tadi disebutkan telah disibukkan dengan cinta, dan mereka menorehkan tulisan tentang cinta dalam karya-karya tulis yang sarat akan nilai, yang begitu memukau kedahsyatan peneliti yang mengusik ketakjuban para peneliti. DR. Ali Sami an-Nasar mengungkapkan tentang ketakjuban dan keterpukauan ini dalam kitabnya mengenai cinta menurut Plato yang berjudul al-Makdabah, melalui kata-katanya: Hal yang menakjubkan adalah cinta. Penelitian tentang cinta itu merupakan ciri umum dari golongan fuqaha aliran dzahiriah (tekstualis), dan ahli kalam hambaliah yang memberikan perhatian besar terhadap cinta menusia, dan mereka mempelajarinya dengan penelitian yang cukup luas meskipun terdapat perdebatan mereka tentang cinta Ilahi.[219]

Dalam kesempatan lain beliau juga berkata, ini fenomena yang sangat spesial dan musti dicatat, karena mereka adalah fuqaha yang dikenal dengan pendapat mereka terhadap sisi tekstualis keagamaan, dan mereka dituduh oleh musuh-musuhnya dengan tuduhan stagnasi, namun mereka begitu mendalam mempelajari medan kemanusiaan ini, dan penelitiannya secara mendalam. Mereka juga menorehkan buku-buku yang banyak dalam tema cinta.[220] Jadi, para pioner pemimpin Islam sangat memperhatikan terhadap cinta manusia, dan mempelajari tentang cinta dan penyebab-penyebabnya. Mereka mempunyai teori-teori khas yang membedakan mereka dengan semua yang ditulis oleh para filosof lain dengan karakter-karakter Islam yang orisinil, yang nampak dalam konsep cinta menurut mereka.

Semua benar-benar telah menulis; Plato, Aristoteles, Plato, Plotinus, St. Augustin dan St. Thomas Aquinas dan Noch dan Vnlon dan Asiinosa dan Maldainc, Rousseau, Voltaire, Hegel dan Coenhor dan Harnjan, Nietzsche dan Bergson, dan Max Chelor dan Oorepettja de Jacent, Sartre, Gabriel Marcel dan Karl bir dan lain-lain

Masing-masing dari mereka itu mempunyai filsafat tersendiri tentang cinta dan teori yang berbeda dalam cinta, akan tetapi pemikiran Islam itu mempunyai perbedaan tentang mereka dalam ruh keagamaan dan prinsip-prinsip akhlak, yang merupakan substansi dari agama Islam dan hakekatnya. Maka cinta menurut para pemikir Islam adalah sesuatu yang bersih, suci, terhormat, lagi mulia, karena tujuan mereka dalam menulis tentang cinta dan semangat tentang cinta hanya bertujuan untuk mencapai akhlak yang mendidik lagi memperbaiki. Misalnya al-Jahid, yang mana tulisannya tentang cinta antara perempuan dan laki-laki merupakan tulisan yang pertama dalam bidang ini, yang memperhatikan dalam mempelajari tentang manusia dengan studi analisis mendalam dan rinci. Buku ini meskipun belum dipublikasi secara lengkap, hanya saja as-Sandubi telah mempublikasikan beberapa bagian-bagiannya.

Dalam risalah ini al-Jahid menegaskan bahwasanya cinta (al-hub) adalah inti (aslu) “al-hawa” yang mempunyai cabang “al-isq”. “Al-isq” adalah yang dipentingkan manusia pada dirinya atau yang membuat mati manusia di atas tempat tidurnya dengan duka. Jadi, kata “al-isq” itu lebih kuat daripada “al-hub” dari segi kemampuan, kerusakan dalam an-nafs (jiwa), dan ini nampak secara jelas dari definisinya Jahid terhadap “al-isq“, yang merupakan nama yang lebih unggul dari kapasitas yang dibawa oleh nama “al-hub”. Artinya, “al-isq” itu lebih banyak dan lebih besar daripada “al-hub“. Untuk itu, tidak semua yang bernama “hub” menurut Jahid itu bernama “isq,” akan tetapi “al-isq” adalah nama yang lebih tinggi dari kapasitas itu, dan ini jelas dalam perkataan orang bijak dan dalam penjelasan mereka.

Artinya, sesungguhnya al-Jahid itu mengambil pendapat para filosof dan perkataan-perkataan mereka dalam mendefisikan “al-hub,” dan ia mengambil argumentasi tentang mereka. Kita juga mendapatinya berkata: “Sesungguhnya cinta (al-hub) adalah sebab-sebab kebaikan yang paling besar sebagaimana cinta merupakan faktor-faktor keburukan yang paling penting, dan cinta juga kenikmatan yang paling besar dan paling agung. Sebenarnya, kebahagiaan yang paling besar adalah orang yang mencintai itu mendapatkan orang yang dicintanya, dan ketika cinta itu lebih menancap dan pemilik cinta itu lebih mencintai, maka sebenarnya kenikmatan untuk mendapatkan cinta itu lebih merasuk, dan kebahagiaan dalam memperolehnya itu lebih meriah.

Jadi, gambaran ini berbeda untuk penelitian tentang cinta (al-hub)terhadap apa yang ditulis oleh manusia dalam ungkapan-ungkapan atau prosa, dan bahwasanya tujuan dari analisis cinta ini adalah untuk menjelaskan bagaimana cinta itu bisa menjadi perawan suci yang menjaga harga diri, yang jauh dari perasaan-perasaan erosi yang materialis, yang tersebar dalam syair Yunani dan sastra mereka. Kemudian datanglah Plato, dan mencoba untuk membenarkan aliran mereka dengan cinta ala Platoisme yang perawan(al-’udzry). Untuk itu, setelah peradaban Yunani tersebar dalam dunia Islam, orang-orang Islam pun mulai menulis dan mengarang. Nyata sekali mereka terpengaruh filsafat Plato, terlebih lagi al-Jahid juga terpengaruh peradaban ini, dan ruh itu yang memberikan semangat kepadanya untuk menulis dalam tema ini, yang mana tulisan mengenai cinta tersebut merupakan sesuatu yang tidak disukai dan tidak dibenarkan sebelumnya.

Jadi, jasa al-Jahid dalam bidang ini adalah memberikan peringatan para filosof Islam akan pentingnya tema ini, dan untuk membiasakan mereka agar berani dalam meneliti serta mempelajari hal tersebut. Karena cinta adalah hal yang ada dan nyata, dan semua keadaan manusia itu berjalan di atasnya, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam mengungkapkan cinta karena perbedaan kemampuan mereka dalam peradaban dan kesadaran, maka setiap kesadaran dan pemahaman itu bertambah dengan nilai perasaan manusia yang indah ini, sehingga perhatian dan penelitian tentangnya menjadi lebih besar dan perhatian untuk mempelajarinya juga semakin meningkat.

Oleh karena itu, kita temui al-Kindi, seorang filosof Arab yang membuat sebuah tulisan dalam cinta dan meskipun tulisan ini hilang. Hanya saja mayoritas sejarawan itu menisbatkan tulisan ini kepada al-Kindi.[221]

Adapun al-Farabi, manakala perhatiannya terhadap jiwa (an-nafs) itu begitu besar, perhatian al-Farabi dalam menghiasi jiwa itu serta menjelaskan potensi-potensi jiwa dan rangkainnya sebagai objek penelitiannya, maka ia memperhatikan tentang cinta sebagai hal baru yang melintas, dimana ada ikatan kuat antara jiwa dan cinta. Al-Farabi melakukan studi terhadap keduanya, dimana cinta adalah sebuah gambaran yang mengungkapkan tentang karakter jiwa dan kecondongan-kecondongannya, serta keadaan-keadaannya. Ibn Sina juga memperhatikan begitu besar terhadap cinta, dan studinya terhadap cinta merupakan hal jelas yang mana ia membubuhkannya dalam banyak buku. Dari buku-buku al-Farabi yang masyhur seperti buku asy-Syifa, yg didalamnya ia bubuhkan beberapa perbedaan dalam mengungkapkan cinta, dalam buku ini, ia mengikuti metode aristoteles dalam bukunya al-Isq. Kita juga mendapati dalam buku al-Isyarat pembahasan yang luas tentang cinta, yang mempunyai keistimewaan cukup jelas dan khususnya tentang iluminasi (al-isyrak), dalam bab “Isytiyaq al-Hayuli ila as-Suroh” (kerinduan suatu bahan mentah untuk menjadi sebuah bentuk).

Beliau juga mengarang sebuah tulisan dalam tema Mahiyah al-Isq yang ditulis oleh al-Faqih al-Maksumi Abu Abdullah bin Ahmad yang dikhususkan untuk kawan-kawannya. Pada permulaan tulisannya, beliau berkata: “Engkau telah meminta wahai Abu Abdullah -semoga Allah membahagiakan engkau- agar aku mengumpulkan tulisan untukmu, yang mencakup penjelasan terhadap cinta secara ringkas, maka aku penuhi untukmu.”[222]

Dalam tulisan ini, juga disebutkan dari at-Thusi dalam syarahnya untuk kitab al-Isyarat, dan begitu juga al-Amili, beliau berkata: “Tulisan tentang cinta ini untuk Syeikh ar-Rais”.[223]

Tulisan ini telah dipublikasikan lebih dari sekali. Para peneliti dan analis begitu besar memperhatikan tulisan ini. Banyak sekali komentar-komentar isi tulisan ini dan pergesekan pendapat tentangnya. Sebagian orang bilang bahwasanya tulisan ini adalah risalah dalam ilmu tasawuf. Sebagian orang juga berkata, tulisan ini berbicara tentang jiwa dan potensinya, dan oleh karena itu maka tulisan tersebut termasuk dalam filsafat dan akhlak. Sebagian lain berpendapat bahwasanya tulisan Ibn Sina dalam cinta itu berdasar pada asas filsafat, sebagaimana yang dipandang oleh Arab, cinta yang masih perawan nan hakiki, karena tulisan ini memperhatikan tentang jiwa manusia serta menjelaskan tabiat potensi-potensinya dan keserasian yang ada di antaranya, penyatuannya, dan kekomprehensifannya.

Ibn Sina berpendapat, bahwasanya seluruh yang ada, yang mengatur itu mempunyai perasaan rindu yang alami dan hasyrat cinta. Sesungguhnya cinta ini adalah penyebab adanya wujud-wujud (eksistensi). Ibn sina juga berbicara tentang wujud yang maha tinggi, dan tentang perbuatan-perbuatan yang bernaung di bawah kontrol yang mengaturnya, karena perkara ini adalah besar. Beliau berkata:”Sesungguhnya kebaikan itu dicintai, dan andaikata tidak demikian, mana mungkin orang-orang itu bisa membubuhkan sebuah perbuatan dari orang-orang yang berkeinginan atau berkemauan atau berbuat, yang kita inginkan dihadapannya dengan gambaran kebaikannya. Andaikata bahwasanya kebaikan itu tidak dicintai, manabisa keinginan-keinginan itu dimaksudkan untuk memilih kebaikan dalam seluruh perbuatan, untuk itu juga kebaikan mencintai kebaikan. Kemudian Ibn Sina memberikan definisi cinta, sebenarnya cinta itu hanyalah anggapan sebuah kebaikan yang sesuai sekali, dan sesungguhnya cinta ini merupakan pondasi dari keinginan ketika ia sedang tenggelam, meskipun cinta itu adalah sesuatu yang jelas dan ia dipakai ketika ia ada, kemudian seluruh yang maujud itu menganggap baik apa yang sesuai dengannya.[224] Untuk itu, sesungguhnya kebaikan itu mencintai apa yang baik untuknya, bisa khusus dan juga bisa umum.

Ibn sina juga menjelaskan tentang cinta dan penyebabnya, yaitu ketamakan terhadap apa yang akan diraih seseorang yang mencintai atau sesuatu yang diperoleh dari cinta, dan setiapkali kebaikan itu bertambah, bertambah pula kebaikan bagi yang dicintai.

Ibn Sina juga menegaskan, bahwasanya jati diri itu tidak bisa terlepas dari cinta selamanya, hingga dzat yang tinggi. Dalam hal ini beliau berkata: “Sesungguhnya wujud yang suci dari perbuatan di bawah naungan dimana ia merupakan puncak dalam kebaikan, dan ia merupakan tujuan dalam hal yang dicintai, dan tujuan dalam hal yang mencintai juga merupakan tujuan yang mencintai. Yang saya maksud dalam hal tersebut adalah dzat Allah yang maha tinggi, yang maha suci, dimana kebaikan itu merindukan kebaikan, dengan usaha pencapaian untuk meraihnya. Kebaikan pertama bisa dicapai dengan perbuatan dari waktu ke waktu, jadi kecintaan kepada kebaikannya yang pertama itu adalah kecintaan yang sempurna atau kecintaann yang paling tinggi. Dengan demikian sifat-sifat Tuhan itu tidak membedakan diantaranya tentang dzat Allah, maka cinta itu jelas sekali adalah dzat dan wujud, yang saya maksud adalah hanya dalam kebaikan, jadi wujud itu: kadangkala ia ada disebabkan karena rasa cinta terhadapnya, dan kadangkala ia ada bermula dari dzat cinta itu sendiri”[225]

Oleh karena itu Lois Anita Giffen berkata, bahwasanya tulisan tentang cinta itu hanya untuk berbicara mengenai cinta dengan analisis filsafat, dimana Ibn Sina menjadikan cinta itu sebagai prinsip global yang umum untuk segala yang ada yang tidak dinamis.[226]

Akan tetapi, yang kita rasakan penting setelah penegasan perwujudan cinta pada seluruh ke-wujud-an (benda-benda) menurut pendapat Ibn Sina, yaitu supaya kita melakukan penelitian tentang cinta menurut manusia. Ibn Sina telah mencurahkan perhatiannya tentang hal ini, dan mengkhususkannya dalam bab tersendiri ketika ia berbicara tentang “al-Isq ‘inda al-Dzurfa wa al-Fityan li al-Awjuh li al-Ihsani“. Dalam bab ini beliau menegaskan bahwasanya apabila potensi jiwa itu sudah sesuai, dan bagian-bagian yang tinggi itu telah serasi dengan bagian-bagian yang rendah, maka cinta itu bisa diraih.

Untuk itu, Ibn Sina menegaskan dalam bab ini tentang persatuan jiwa dan keharmonisannya. Sisi ini nampak jelas sekali pada Ibn Sina, yang berbanding berbalik dengan orang-orang sebelumnya dimana mereka menggambarkan saling bertolak belakang yang terus menerus antara potensi-potensi jiwa. Oleh karena itu, nilai yang sebenarnya untuk tulisan cintanya menurut sebagian peneliti adalah penegasan dan pembuktian tentang persatuan dan sisi komprehensif antara potensi-potensi jiwa.

Poin penting menurut Ibn Sina dalam bab ini adalah menjadikan ruh itu mempunyai penyatuan yang komprehensif dalam memeliharanya untuk menuju kesempurnaan dan kebaikan, bukan untuk membuat bagian-bagian ruh itu tunduk pada dunia atau hilang.

Nilainya, selagi jiwa yang berfikir itu yang memegang kendali arahnya, maka jiwa hewani itu mempunyai perannya yang digariskan (syariatkan) untuk mencapai kesempurnaan, dan itu tidak membuatnya menghancurkan jiwa hewani melainkan mengangkatnya.

Di dalam pendapat ini, kita temukan Ibn Sina itu berpindah dari aliran Plato ke aliran Aristoteles. Pendapat ini juga diperkuat Lois Anita Giffen, ketika ia berbicara bahwasanya filsafat cinta menurut Ibn Sina terkadang mengambil dari Plato dan Aristoteles.

Iskandar Ditumi merasa takjub dengan aliran Ibn Sina. Beliau berpendapat bahwasanya akar-akar cinta yang terhormat itu kita tidak harus mencari-cari dalam sastra Arab, namun semestinya dicari dalam filsafat Arab, dan lebih khusus lagi dalam tulisan al-Isq karya Ibn Sina.

Ditumi juga menejelaskan bahwasanya Ibn Sina dalam tulisannya ini telah memberikan peran yang positif dalam cinta manusia, maksudnya “al’isq“, dan kekuatan-kekuatan hewani, yang mana memberikan input dalam mengarahkan jiwa menuju cinta Ilahi atau bersatu bersama Allah.[227] Hal itu disebabkan Ibn Sina dalam tulisannya ini telah mampu mengalahkan hawa nafsu yang membedakan aktifitas jiwa hewani dari aktifitas jiwa yang berakal dalam diri manusia, yang karena itu ia bisa mengaitkan antara al-hub ath-thobi’i (cinta natural) dan al-hub ar-ruhiy (cinta spiritual).

Dengan demikian, Ibn Sina memberikan dunia kepada jiwa dalam ukuran bentuk kerjasama dengan jiwa yang berakal. Sehingga ia menjadikan cinta yang dhohir, yaitu cinta indrawi sebagai penolong untuk mendekatkan diri kepada Allah, karena ketika nafsu hewani melebur dengan jiwa berakal, maka dari gabungan itu bisa diraih kekuatan luhur yang tinggi lagi mulia.

Artinya, bahwasanya dalam tulisan al-Isq ini, Ibn Sina berusaha menjadi orang yang memberikan arah dan petunjuk bagi jiwa manusia yang membawanya menuju tingkatan yang paling tinggi dari kehormatan, bersih dan steril. Maka beliau berkata: “Sesunggunya manusia apabila mencintai bentuk yang dianggap baik dengan tujuan kesenangan hewani, maka ia akan menerima angkara bahkan kemurkaan dan dosa.

Adapun orang yang mencintai gambaran manis melalui pikiran logis sebagaimana yang kita jelaskan tadi, maka itu terhitung sebagai wasilah untuk nilai yang tinggi dan nilai lebih bagi kebaikan, karena kecintaannya atas sesuatu yang lebih dekat dalam pengaruh yang pertama dan orang yang dicintai saja, dan menyerupai dengan hal-hal tinggi nan mulia, dan hal tersebut adalah yang memberi kemampuan baginya agar menjadi pintar dan [menjadi] orang yang lemah-lembut. Oleh karena itu, hampir orang-orang yang cerdas itu orang-orang yang mempunyai kepintaran dan orang-orang bijak, yang termsuk orang yang mengikuti cara orang yang tenggelam dalam cinta. Sekarang ada hembusan yang menyibukkan hatinya dengan bentuk kemanusiaan yang baik.

Karena itu, manusia dengan apa yang dia miliki, tidak lebih dari keutamaan manusia, yang mana dia seperti orang yang menang dengan keutamaan-keutamaan yang mempunyai bentuk seimbang, yang dia peroleh dari tabiat yang diluruskan dan keseimbangannya, dan nampak jejak-jejak Tuhan dalam bentuk tersebut agar dia menuai buah yang dikandung oleh hati dan dari bersihnya kasih sayang yang paling bersih, paling baik, dan kejadiannya. Untuk itu Nabi Saw bersabda: “Penuhilah(carilah) kebutuhan-kebutuhan dengan cara yang baik”, ini merupakan nas dari nabi, bahwasanya “Sebuah bentuk yang baik itu tidak pernah ada kecuali melalui kontruksi kenaturalan yang baik, dan bahwasanya keseimbangan yang baik dalam sebuah kontruksi itu akan menghasilkan sesuatu yang baik dalam perilaku dan kematangan dalam kemampuan.”[228]

Setelah Ibn Sina menegaskan tentang mengalirnya kekuatan cinta dalam seluruh makhluk (maujudan), dan sesungguhnya cinta adalah suatu perasaan natural dalam setiap jati diri, beliau melakukan penelitian tentang penyebab cinta dan menegaskan bahwasanya penyebab cinta adalah keindahan, dimana beliau menerangkan definisi cinta bahwa cinta itu adalah anggapan baik terhadap sesuatu yang baik lagi serasi. Untuk itu, bentuk-bentuk yang baik menurutnya adalah sebab sebuah cinta dan mendapatkannya, karena jiwa dengan karakternya itu cenderung untuk mencintai bentuk-bentuk yang indah lagi bagus. Dengan ini Ibn Sina senantiasa berusaha meningkatkan indra jiwa dan perasaannya, serta meningkatkan tingkatkannya dari kerendahan-kerendahan, keburukan-keburukan dengan menundukan kekuatan-kekuatan hewani dalam diri manusia, dan yang berupa mencintai kesenangan-kesenangan materi dengan kekuatan-kekuatan logis. Melalui ini, cinta itu menjadi bersih dan steril. Dalam hal ini Ibn Sina berkata: “Sesungguhnya jiwa(nafs) yang berakal, dan jiwa(nafs) hewani yang juga berdekatan dengan jiwa (nafs) yang berakal, keduanya akan senantiasa mencintai segala sesuatu yang diatur secara baik, terangkai, dan seimbang seperti pendengaran-pendengaran yang ditakar dengan takaran yang sesuai, dan rasa-rasa yang berasal dari makanan yang bermacam-macam, yang dianggap sesuai, dsb. Adapun jiwa hewani, maka itu ada secara alamiah. Jiwa yang berakal sesungguhnya jiwa ini merasa bahagia dengan bayangan makna-makna/nilai-nilai yang tinggi terhadap sebuah karakter, dan apabila ia mengetahui bentuk keseimbangan.”[229]

Sebaliknya, bahwasanya kelanjutan tersebut itu memenuhi terhadap persatuan dan konsekwensi-konsekwensinya seperti keseimbangan dan kesepakatan. Hal apapun yang menjauhkannya untuk lebih mendekati kepada plural dan konskwensi-konsekwensinya seperti perbedaan dan perselisihan, sebagaimana yang dijelaskan oleh orang yang berpaham cinta Ilahi, meskipun dia mencapai konstruksi yang bagus, saya tetap memandangnya dengan penglihatan yang sukar. Apabila pendekatan-pendekatan ini bisa tercapai, maka kami katakan bahwasanya perihal orang yang berakal itu adalah mencapai imej baik menurut manusia, dan hal tersebut kadang-kadang dianggap sebagai bentuk kesempitan, dan hal ini bisa saja dikhususkan untuk mencintai sebuah bentuk kerjasama. Akan tetapi apabila dikhususkan dengan kekuatan hewani, bagaimana bisa ia dianggap oleh orang-orang yang berakal sebagai bentuk kesempitan, yang mana bahwasanya sebenarnya syahwat hewani apabila dilakukan manusia dengan cara hewani, maka ia akan nampak dengan kekurangan dan membahayakan jiwa yang berakal, dan tidak juga apa yang dikhususkan dengan jiwa yang berakal, dimana konsekwensi perbuatannya adalah nilai-nilai global yang logis dan kekal, bukan hal parsial-parsial indrawi yang rusak.[230]

Ibn Sina senantiasa melakukan analisa kejiwaan dengan analisis yang detail untuk mengetahui karakternya serta menjelaskan tujuan-tujuannya seperti mencintai keindahan dan mendapatkan kebaikan. Kemudian untuk menegaskan keharmonisannya, peleburannya, dan keserasiannya, dalam pencariannya terhadap kebaikan dan kesempurnaan, dimana ia merupakan pihak yang pertama dicintai, sebab kelembutannya, kebahagiannya, dan kenikmatannya.

Sungguh, Ibn Sina telah membuat kita puas dalam perkataanya tentang cinta, dan pandangannya yang global lagi menyeluruh terhadap tema yang dinamis lagi penting ini, yang merupakan rahasia dari sebuah wujud dan asal muasalnya. Oleh karena itu, filsafat cinta Ibn Sina menjadi objek yang dihargai oleh para analis dan peneliti. Perhatian Ibn Sina terhadap sisi ini merupakan kunci pembuka yang baik bagi para pemikir Islam yang memiliki perhatian untuk mempelajari cinta dan untuk meneliti hakekat cinta sebagai sebuah hakekat yang nyata, yang mencakup seluruh manusia dan bahkan seluruh makhluk.

Begitu juga Ikhwan As-Sofa, juga termasuk yang memperhatikan studi cinta dan pengetahuan tentang hakekat cinta. Oleh karena itu, tulisan keenamnya itu mempunyai judul Mahiyah al-’Isq.

Jelas, bahwasanya nama tulisan tersebut serupa dengan nama tulisan Ibn Sina. Meskipun kita tidak menemukan kemiripan yang besar pada bagian pertama dari tulisan as-Sofa dan antara tulisan Ibn Sina, hanya saja pada bagian terkhir tulisan Ibn Sina itu mempunyai alur yang sama yaitu analisis cinta manusia, pengetahuan sebab-sebab cinta pada diri manusia, dan menuju kepada Allah sebagai yang mula-mula dicintai. Realitanya, sesungguhnya tujuan dari tulisan itu satu, karena keduanya membahas tentang cinta dan mengungkapkan mengenai sub cinta, serta menyuguhkan dasar-dasar teori terhadap potensi humanisme(kemanusiaan) dan perasaan-perasaan naluri.

Akan tetapi pembahasan yang dilakukan Ikhwan As-Sofa pada cinta itu merupakan pembahasan yang luas, dan analisisnya terhadap cinta dalam jiwa (an-nufus) itu lebih mendalam. Maka dari itu mereka memulai pembahasannya itu dengan menjelaskan hakekat cinta dan pendapat orang-orang bijak tentang cinta. Sehingga mereka berkata, “Ketahuilah bahwasanya kebijaksanaan-kebijaksanaan itu telah banyak menorehkan komentar dan pendapat dalam disiplin-disiplin keilmuan dan jalan pengetahuan.” Kami ingin menyebutkan sebuah sudut dalam tulisan ini, dari yang dikatakan oleh orang-orang bijak dan para filosof dalam hakekat cinta, macam-macamnya, tatacara pertumbuhannya, prinsip-prinsipnya, sebab-sebab cinta yang mendukung eksistensinya, dan sebab-sebab yang memotifasi terhadapnya, dan tentang apa tujuan puncak dari cinta.[231] Maka Ikhwan As-Sofa terhadap unsur-unsur kebahasaan mereka, dan mereka telah menentukan objek-objek penelitian dan perhatiannya. Untuk itu, mereka memulai pembicaraan mereka bahwasanya cinta adalah sesuatu yang senantiasa ada, yang berada dalam jiwa manusia, dan tidak akan pernah hilang selagi makhluk itu ada. Jadi cinta adalah sesuatu yang ada dan nyata yang tidak mungkin diingkari atau disepelekan. Dari itu, maka harus dilakukan penelitian tentangnya, perhatian terhadap rahasia-rahasianya, mengetahui arahnya, dan penjelasan tentangnya. Dalam hal ini mereka berkata: “Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya dari sekian orang bijak itu ada orang yang menyebutkan tentang cinta dan mencelanya, dan menyebutkan keburukan-keburukan orang yang menganut cinta, dan memburuk-burukkan sebab-sebab cinta. Dia beranggapan bahwasanya cinta adalah sesuatu yang hina. Ada sebagian lain dari orang-orang bijak berkata: ‘Sesungguhnya cinta adalah keutamaan kejiwaan, dan ia memujinya serta menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang mengikutinya, dan ia memberi hiasan terhadap penyebab-penyebabnya’.”[232]

Ikhwan As-Sofa itu menjelaskan aliran-aliran yang populer tentang cinta pada dekade (masa) mereka. Dari sebagian manusia ada yang berkata tentang cinta, bahwasanya cinta itu adalah keutamaan, serta sebagian lain berpendapat bahwa cinta adalah kehinaan, dan kelompok yang ketiga itu tidak mengetahui hakekat cinta serta tidak memahami tentang rahasia-rahasianya dan motifasi-motifasi berikut penyebab-penyebabnya. Maka dari itu, mereka menganggapnya sebagai penyakit kejiwaan, atau cinta itu kegilaan Ilahi yang artinya kosong, kesia-siaan, dan perbuatan salah. Ikhwan As-Sofa menolak persangkaan ini, dan mereka menjelaskan rusaknya tuduhan ini. Mereka menegaskan, bahwasanya penelitian yang dalam dan pandangan yg cermat, menjelaskan bahwasanya cinta itu bukan penyakit jiwa, bukan pula kegilaan Ilahi(jununan ilahian), dan juga bukan perbuatan orang-orang yang salah. Akan tetapi alasan(dasar) dari persangkaan ini adalah kesedihan yang dinampakkan oleh orang yang sedang jatuh cinta, yang tampak dari pucat di wajahnya, kurus kering di badannya, matanya yang cekung, dan begadang dan memikirkan yang tercinta, jugs mabuk kepadanya. Tanda-tanda ini memang menampakkan pada penyakit, sehingga mereka beranggapan bahwasanya cinta adalah penyakit jiwa atau kegilaan Ilahi. Maka dari itu, sebagian para dokter meminta bantuan dari para tuhan dan meminta kesembuhan, maka apabila orang tersebut sembuh mereka menamakan proses penyembuhan tersebut dengan istilah medis Ilahi. Kemudian, Ikhwan As-Sofa menampilkan perkataan-perkataan orang bijak tentang cinta dan definisi-definisi mereka terhadapnya.

Maka mereka mengatakan: “Sebagian orang bijak itu ada yang beranggapan bahwasanya cinta (al’isq) itu mahabbah yang sempit, dan begitu cenderung pada suatu jenis dari makhluk (maujudat) tanpa pada seluruh jenis, dan pada seseorang tertentu dan bukan pada orang banyak, atau pada suatu hal tertentu tanpa [160] seluruh hal yang banyak menyebutkan tentangnya, dan perhatian yang begitu meledak-ledak terhadap cinta itu melebihi yang sepantasnya. Apabila yang dimaksud dengan cinta adalah ini, maka tiada satupun dari manusia yang terlepas dari cinta, karena tidak ada satupun manusia kecuali dia itu mencintai, dan cenderung kepada suatu hal tanpa semua hal-hal yang melebihi dari yang sepantasnya. Kebanyakan dari orang-orang bijak dan para dokter menamai keadaan ini dengan ‘malikhulia’. Hal ini telah menorehkan komentar dan pendapat dari para dokter mengenai penyakit ini, dan membuat mereka mencari penyembuhannya.”[233]

Akan tetapi, ciri khas Ikhwan As-Sofa bukanlah ini. Namun tujuan mereka adalah cinta menurut mayoritas orang, dan itu karena mereka tidak menamai cinta kecuali dari kondisi ini, seperti seseorang dari anak-anak jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, artinya adalah cinta manusia yang populer di antara jiwa-jiwa manusia.

Ikhwan As-Sofa menampilkan definisi-definisi terhadap cinta, dan mereka berkata: “Orang-orang bijak ada yang berkata bahwasanya cinta adalah perasaan kuat dalam jiwa, seperti mencetak masalah-masalah dalam badan, atau seperti gambaran yang menyerupai dalam seksualitas.”

Definisi lain: “Bahwasanya cinta adalah kerinduan yang berat kepada sebuah persatuan. Maka dari itu, semua kondisi yang dialami oleh orang yang mencintai, ia tetap mengharapkan keadaan yang lain, yang lebih akrab dengan kondisinya.” Ikhwan As-Sofa lebih memilih definisi yang terakhir ini, yaitu persatuan antara jiwa-jiwa. Oleh karena itu, mereka melakukan penelitian dalam jiwa-jiwa, dan macam-macam yang dicintainya, indikasi-indikasinya, dan penyebab-penyebabnya. Adapun perbedaan antara alasan (illah) dengan sebab, adalah bahwasanya alasan(illah) itu ada dalam karakter-karakter jiwa.

Adapun sebab, ia terletak di luar dari jiwa. Inilah perbedaan antara alasan(illah) dengan sebab dalam cinta. Bahwasanya perbedaan ini merupakan perbedaan yang sanyat detail dari Ikhwan As-Sofa, yg menunjukkan terhadap pengetahuan yang baik tentang jiwa manusia dan karakternya. Maka dari itu, mereka berkata, : “Ketika jiwa-jiwa manusia itu ada 3 (tiga) macam, maka yangg dicintai oleh jiwa itu juga ada 3.”

Jiwa syahwat itu mencintai seperti makanan-makanan, minuman-minuman, dan perempuan-perempuan.

Adapun jiwa amarah yang hewani (Ghodhobiah khayawaniah) itu mencintai kekerasan (al-qahr), kemenangan, dan cinta kepemimpinan.

Adapun jiwa yang berakal itu mencintai seperti pengetahuan-pengetahuan dan mencari keutamaan-keutamaan.

Kemudian Ikhwan As-Sofa menegaskan, bahwasanya setiap manusia itu mempunyai keberuntungan dari ketiga jiwa ini. Dia akan mengambil bagian dari tiap-tiap jiwa itu sedikit atau banyak menurut keadaan jiwa-jiwa. Bahwasanya jiwa akan mengikuti peleburan pada badan-badan dalam menampakkan perbuatan-perbuatannya, akhklak-akhlaknya, dan pengetahuan-pengetahuannya, dan khususnya jiwa-jiwa yang paling kuat dalam peleburan, dan yang paling kuat dalam dasar konstruksi. Untuk itu, maka setiap manusia mempunyai karakter yang khusus sesuai zodiaknya, dan menurut pengaruh atas planet-planetnya.

Ikhwan As-Sofa memilih pendapat bahwasanya cinta adalah kerinduan yang besar terhadap persatuan, karena persatuan merupakan persoalan-persoalan rohani dan keadaan-keadaan jiwa yang khusus. Karena hal-hal jasmani tidak mungkin bersatu di dalamnya, akan tetapi ia hanya bersebelahan, mencampur dan menempel, bukan yang lain.[234]

Ikhwan As-Sofa melanjutkan penelitiannya tentang cinta dan sebab-sebabnnya. Mereka berkata bahwasanya prinsip awal cinta adalah pandangan atau melihat pada seseorang dari beberapa orang, maka perumpamaannya itu seperti ular yang dilepas atau dahan yang ditanam, atau sperma yang jatuh dalam rahim manusia.

Pendapat ini, yang berasal dari Ikhwan As-Sofa, sebenarnya diambil dari pendapat-pendapat para filosof Yunani, dan yang akan engkau lihat setelah itu menurut Ibn Daud dalam kitabnya az-Zahra. Kemudian Ikhwan As-Sofa menjelaskan bagaimana cinta itu tumbuh seperti tumbuhnya tanaman-tanaman, mereka berkata: “Pandangan-pandangan dan kesempatan-kesempatan yang tersisa itu menjadi dalam posisi materi, yang diangkat menuju hal demikian, tumbuh, dan berkembang sepanjang waktu hingga ia menjadi sebuah pohon atau sebuah janin.”

Kemudian Ikhwan As-Sofa menjelaskan keadaan orang yang mencintai, gejolak yang ia rasakan, dan mengharap untuk dekat, serta merendah kepada orang yang dicintainya itu. Apabila ia sepakat dalam hal itu, ia akan mudah mengharapkan untuk menyepi berdua dan mendekatinya. Apabila ia mudah mendapatkan itu, ia akan mengharap peluk dan cium, kemudian apabila hal tersebut mudah dicapai, ia berharap untuk masuk pakaian dengannya dan merasakan dengan seluruh badannya. Kemudian Ikhwan As-Sofa menjelaskan bagaimana cinta itu bisa berkembang dan bertambah, dan cinta itu muncul di antara dua orang yang saling mencintai sepanjang waktu. Setelah itu Ikhwan As-Sofa menampilkan sebab sebuah cinta, kemudian mereka berkata: “Adapun sebab dalam cinta dari seseorang pada orang lain tanpa semua orang adalah kesesuaian pembentukan astronomi (Musyakalah al-Falakiah) pada asal muasal anak mereka, dengan salah satu contoh yang sesuai sebagian dari sebagian yg lain, dan itu merupakan disiplin-disiplin yang banyak. Akan tetapi yang pertama, bahwasanya kelahiran mereka berdua itu mempunyai satu zodiak, atau robbulburjain (dua zodiak ) dalam satu planet atau dua zodiak yang saling sesuai dalam beberapa arti, atau tempat terbitnya mereka berdua itu sama, atau jam siang mereka sesuai, dan bentuk-bentuk lain yang panjang penjelasannya.”[235]

Kemudian Ikhwan As-Sofa mulai menjelaskan bahwasanya sebab berubahnya cinta setelah ia tetap eksis dalam waktu yang lama, yaitu perubahan bentuk-bentuk astronomi (musyakalah) dalam perubahan peredaran tahunan terhadap tanggal lahir manusia, peredaran derajat terbit matahari, dan pergeserannya dalam garis perbintangan dan arah. Beginilah peredaran sinar/letak(syiaat ) perbintangan dalam zodiak-zodiak yang mempengaruhi masa depan umur/tahun.[236]

Ikhwan As-Sofa menyuguhkan sub pembahasan tersendiri dalam hakekat sebab (illat), disiplin-disiplin tentang hal yang dicintai, yang berkisar yang dicintai. Mereka berkata: “Tidak hanya yang bagus saja, atau yang indah saja yang menjadi penyebab cinta. Dikatakan memperdaya itu hal yg dianggap baik, meskipun ia bukan sesuatu yg baik.”

Adapun sebab hakiki untuk cinta menurut Ikhwan As-Sofa, adalah kesepakatan-kesepakatan antara yang mencintai dan yang dicintai, dan itu sangat banyak serta jumlahnya tidak terhitung, kecuali Allah, dan itu mulia. Itu karena kesepakatan-kesepakatan yang didasarkan kesesuaian-kesesuaian yang ada antara bagian-bagian dan dasar-dasar serta susunan-susunan. Di antara kesesuaian-kesesuaian itu adalah sesuatu yang ada di antara setiap yang merasa(indra) dan objek-objek indranya. Karena kekuatan pandangan itu tidak merindukan kecuali pada warna-warna ataupun bentuk-bentuk, dan ia tidak menganggap baik kecuali pada sesuatu yang dianggap lebih unggul, dan beginilah potensi .

Begitu juga sesungguhnya manusia itu berbeda dalam anggapan baiknya, dan cintanya terhadap sesuatu, tergantung perbedaan konstruksi dan warna-warna pencampuran(funun), sehingga manusia itu terkadang bisa merasakan kenikmatan terhadap sesuatu di setiap saat dan menganggapnya sesuatu yang baik. Pada saat yang lain manusia membencinya dan itu tergantung bagaimana menampilkannya dan proses terjadinya dilihat dari hal-hal yang cocok dan tidak cocok, dan penjelasan hal ini cukup panjang.

Ikhwan As-Sofa berkata: “Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya kebijaksanaan Tuhan dan perhatian-Nya itu telah mengikat sisi-sisi makhluk yang ada antara satu dengan yang lain melalui satu ikatan, serta mengaturnya satu aturan. Oleh karena itu, sesungguhnya di antara makhluk itu ada yang menjadi sebab dan sebagian lain menjadi musabab, dan diantara makhluk itu ada yang superior (‘awail) dan sebagian yang lain menjadi orang kedua (sawanin). Sehingga itu membuat himpunan musabab menjadi pecahan-pecahan seperti ketinggiannya dan kerinduan kepadanya, dan itu menjadikan pula kedekatan dan kasih sayang terhadap musabab-musababnya dalam himpunan ketinggiannya, sebagaimana hal itu ada pada para ayah dan ibu terhadap anak-anaknya, dari orang-orang besar kepada anak kecil, dan orang-orang kuat terhadap orang-orang yang lemah, karena keperluan orang-orang yang lemah yang begitu mendesak atas pertolongan orang-orang yang kuat, dan orang-orang yang kecil atas orang-orang besar.” Ikhwan As-Sofa berpendapat, bahwasanya hakekat global itu tersembunyi dalam cinta, yang mana bahwasanya cinta adalah asal kehidupan dan dasar perwujudan, karena cintanya para lelaki dan cintanya para wanita, dan cinta keduanya itu ada pada naluri mereka, sebagaimana cinta tersebut ada di dalam naluri hewan-hewan. Itu berupa asal perkawinan laki-laki yang mengawini perempuan, maka timbulah hasil-hasil darinya dan berlangsungnya keturunan serta melindungi jenis(khifdzussuroh), dan memperbanyak jenis kelamin dan ras, dimana orang-orang itu selalu berusaha dan meraih dari semua ini, yaitu berlangsungnya kehidupan dan kontinuitasnya.

Jelas sekali dari perkataan-perkataan Ikhwan As-Sofa, mereka begitu terpengaruh dalam pendapatnya itu dengan orang-orang Yunani dan filsafatnya. Mereka meminjam istilah orang Yunani seperti kata-kata “al-hayyuli” dan “as-surah“.

Setelah Ikhwan As-Sofa mendefinisikan cinta, mereka menyatukan cinta dan berbicara tentang sebab-sebabnya, alas an-alasannya(’illah), dan tatacara tumbuh berkembangnya. Mereka juga membicarakan jenis-jenisnya, bentuk-bentuknya, isi-isinya, serta hikmah yang dikandungnya.

Mereka berkata (Ikhwan As-Sofa) berkata: “Sesungguhnya cinta itu bermacam-macam, di antaranya cinta para hewan untuk kawin dan pembuahan, demi kelangsungan keturunan.”

Cintanya para ayah dan ibu pada anak-anak, kasih sayang mereka kepada anak kecil, pendidikan para orang tua terhadap anak, serta rasa kasihan mereka atas anak-anaknya, semua hal itu terhimpun dalam naluri mereka, tersimpan dalam jiwa mereka, karena betapa membutuhkannya anak-anak kecil kepada orang-orang dewasa. Di antaranya juga cinta para pemimpin dan jabatan-jabatan, usaha mereka yang senantiasa untuk mendapatkannya, serta rasa cinta mereka untuk mendapat pujian, sanjungan, dan terimakasih. Semua hal tersebut terhimpun dalam tabiat mereka dan tersimpan dalam jiwa-jiwa mereka. Cinta seorang pengrajin terhadap kerajinan mereka dan cinta para pedagang pada dagangan mereka.

Cinta para ulama dan orang-orang bijak untuk senantiasa menularkan ilmu-ilmu, menjelaskan perilaku-perilaku, mengajarkan kreatifitas-kreatifitas, penelitian-penelitian hal-hal yang sukar, mencermatinya, dan mencetaknya dalam buku-buku, seakan-akan hal tersebut menjadi sesuatu yang terhimpun dalam naluri mereka, tersimpan dalam jiwa mereka dengan tujuan untuk menghidupkan jiwa-jiwa, memperbaiki akhlak-akhlak, dan kebaikan agama serta dunia semuanya.

Di antara yang lain adalah mencintai kebaikan, semisal sanjungan dan pujian dalam mengungkapkannya, seakan-akan mencintai kebaikan tersebut merupakan yang terhimpun dalam naluri mereka dan tersimpan dalam jiwa-jiwa mereka, karena di dalamnya itu ada dorongan untuk berakhlak mulia.

Mereka berkata: “Andaikata cinta itu tidak ada pada diri makhluk, niscaya hilang kebaikan-kebaikan itu dan tidak pernah dikenal, dimana cinta merupakan keutamaan yang nampak pada diri makhluk, dan merupakan hikmah yang mulia, serta bagian kejiwaan yang menakjubkan. Cinta itu merupakan pemberian Allah kepada makhluk-Nya, dan merupakan perhatian Allah kepada kemaslahatan mereka, petunjuk Allah atas kemaslahatan tersebut bagi mereka, dan penyemangat bagi mereka agar lebih menaati perintah-Nya.”

Dari semua ini tampak secara jelas, dan hubungan yang gamblang antar jiwa dan akhlak, cinta dan kebaikan, serta cinta dan kasih sayang. Begitu juga yang kita karakterkan bagi orang-orang yang mencintai dari keadaan-keadaan mereka serta keadaan-keadaan yang mereka cintai, dan sesuatu yang mereka temukan dalam diri mereka seperti pemikiran-pemikiran, kesedihan, kegembiraan, kebahagiaan, dan keaktifan. Hal yang mereka sebutkan seperti akhlak yang bagus dan tatacara yang terpuji, dan hal yang mereka cela seperti akhlak yang tercela dan hina.

Ikhwan As-Sofa menjelaskan bahwasanya cinta itu mempunyai prinsip-prinsip, tingkatan-tingkatan, dan klasifikasi-klasifikasinya.

Mereka berkata: “Ketahuilah wahai saudaraku, bahwasanya hal-hal yang dicintai oleh jiwa-jiwa itu telah terkodifikasi menurut tingkatan-tingkatannya dalam ilmu, dan tingkatan-tingkatannya dalam pengetahuan. Bahwasanya jiwa syahwat tidak pantas bagi cinta kedudukan, kekerasan, dan kekuasaan. Nafsu hewani tidak pantas untuk mencintai keilmuan, pengetahuan, dan mencari kebaikan-kebaikan. Jiwa langit (al-falakiah), itu juga tidak pantas mencintai jasad dan tinggal bersama jasmani yang berdaging dan berdarah, akan tetapi yang pantas untuk jiwa langit ini adalah cinta untuk meninggalkan badan dan naik menuju kerajaan langit, dan berjalan/ bertamasya pada luasnya angkasa astronomi (al-aflak), dan berubah menjadi ruh dan hembusan angin yang lembut yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Dari dasar ini, yg kami sebutkan seperti tingkatan-tingkatan dari jiwa-jiwa dan apa yang pantas baginya dari hal-hal yang dicintai, sesungguhnya engkau tidak menemukan dan melihat sebuah jiwa itu mencintai dan meridukan kecuali kepada anak-anak dari jenisnya, dan hal-hal yang dicintai yang membentuknya.”[237]

Ikhwan As-Sofa membuat sebuah pendapat, bahwasanya cinta merupakan dasar yang paling asli dalam naluri para makhluk yang ada, dan himpunan dari jiwa-jiwa untuk mencintai keabadian dan kekekalan dengan keadaan yang paling sempurna, dan tujuan yang paling lengkap. Kadaan-keadaan nafsu hewani yang paling lengkap adalah ia selalu ada untuk menikmati syahwatnya, dan menikmati kesenangan-kesenangannya yang merupakan materi perwujudan orang-orangnya tanpa ada halangan dan aral.

Beginilah keadaan-keadaan hewani yang paling sempurna, yang selalu ada, merajai kepada yang lainnya, menguasai yang lainnya, dan membalas dendam terhadap orang yang menyakitinya tanpa ada halangan dan aral. Beginilah juga dari keadaan-keadaan jiwa yang berakal sempurna, yang akan selalu ada, memahami atas hakekat-hakekat dari sesuatu, memenangkannya, menikmatinya, dan bergembira tanpa ada halangan dan aral. Sesungguhnya jiwa-jiwa yang berakal itu menikmati keilmuan-keilmuan dan pengetahuan-pengetahuan, karena bentuk informasi dalam pengetahuan pada dasarnya adalah yang melengkapinya, menyempurnakan keutamaan-keutamaannya, dan mengirimnya menuju tujuan-tujuannya yang paling sempurna, dan titik akhirnya yang paling utama menurut Allah SWT.[238] Keadaan-keadaan ini tidak pantas bagi jiwa syahwat, dan tidak pula dengan jiwa amarah, akan tetapi pantas bagi jiwa berakal apabila ia terbangun dari tidur yang mengabaikan, bangun dari tidur kebodohan, dan terbukalah untuknya mata yang tajam dan ditentukan alamnya. Apabila mengetahui prinsipnya dan tempat kembalinya, ketika itu ia merasa rindu kepada Tuhannya seperti orang yang mencintai itu merindukan yang dicintainya. Sampai di sini ada petunjuk dari firman Allah SWT : Qs. Al-Baqarah:165, yaitu dari setiap orang yang dicintai, kecuali Dia.

Ikhwan As-Sofa berkata: “Kemudian ketahuilah, bahwasanya setiap jiwa apabila ia mencintai sesuatu, maka ia rindu kepadanya, mencarinya, dan menujunya dimanapun ia berada, dan tidak menoleh kepada apapun kecuali kepadanya, serta tidak meninggalkannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh penyair:

Kucintai seorang kekasih saja, tidak kuinginkan

sepanjang waktu untuk mencintai penggantinya

Apabila kumendapatkannya, maka ia adalah keinginanku

dan apabila terlepas, maka tidak kuinginkan seorang kekasih kecuali dia

Ikhwan As-Sofa menegaskan bahwasanya sebagian dari tanda-tanda cinta adalah kerinduan dan kasih sayang kepadanya. Manakala seseorang yang mencintai itu telah sampai pada sesuatu dari beberapa hal, dia akan merasakan rindu, dan menyayanginya. Ia berkata merindukannya, keinginannya untuk menikmatinya dan bersenang-bersenang dengan mendekatinya. Sesungguhnya pada suatu saat nanti, ia pasti akan meninggalkannya atau merasa bosan dengannya, atau ia berubah terhadapnya dan hilanglah hal manis itu, sirnalah keceriaan itu, kobaran kerinduan itu menjadi padam kecuali orang-orang yang mencintai kepada Allah seperti orang-orang mukmin dan orang-orang yang merindukannya dari hamba-hamba-Nya yang sholeh. Maka setiap harinya makin bertambahlah kedekatannya terhadap yang mereka cintai selama-lamanya, tiada ujung dan tiada penghabisan bagi orang-orang yang tidak mencintai hanya kepada Allah azzawajalla. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Nabi Musa. As., bahwasanya ia memanggil Tuhannya dan kemudian ia berkata, “Wahai tuhan, bagaimana aku mendapatkanMu?” Maka allah berkata, “Tatkala hati mereka jelas-jelas hancur.” Nabi Saw berkata, “Sembahlah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan apabila engkau tidak melihat-Nya, rasakanlan bahwasanya Allah melihat engkau”. Ketahuilah, bahwasanya para wali yang melihat Allah SWT itu tidak seperti melihat kepada orang-orang, bayangan-bayangan, gambaran-gambaran, jenis-jenis, macam-macam, jauhar(inti/substansi), tujuan-tujuan, sifat-sifat, yang disifati, dan di tempat-tempat. Namun melalui cara yang lebih mulia dari itu, lebih tinggi, di atas sifat jasmani, dan sifat jasad, yaitu melihat cahaya melalui cahaya, untuk cahaya, dalam cahaya, dan dari cahaya. Sebagaimana Allah berfirman: Qs. An-Nur: 35, yaitu tidak tergambar dan tidak terbentuk.

Ikhwan As-Sofa akhirnya sampai dalam hakekat cintanya dalam menjelaskan tujuan puncak dari hakekat cinta dalam himpunan jiwa-jiwa dan cintanya kepada tubuh, serta aggapan baik terhadapnya, dan untuk menghiasi badan dan kerinduannya terhadap hal-hal yang dirindukan, yang menariknya. Semua hal tersebut hanyalah pengingat baginya dari tidur yang mengabaikan, tidur kebodohan, serta melatihnya, membukanya dan mengangkatnya dari hal-hal jasmani yang indrawi menuju hal-hal [166]yang nafsani (kejiwaan) yang logis, dan dari tingkatan badan menuju kebaikan rohani, dan petunjuk untuk mengetahui intinya, unsurnya yang mulia, dan kebaikan-kebaikan dunianya(alamnya), dan kebaikan tempat kembalinya (ma’ad). Semua itu, bahwasanya seluruh kebaikan, hiasan, dan seluruh keinginan dari hal yang disukai, yang kamu lihat pada fenomena-fenomena badan, dan atap-atap tubuh, itu hanyalah sebagai warna-warni, ukiran, dan lukisan-lukisan yang telah digambarkan oleh jiwa yang global dalam bentuk yang pertama, dan menghiasi fenomena-fenomena tubuh, atap-atap badan, sebagaimana apabila jiwa-jiwa parsial itu melihat kepadanya, jiwa-jiwa tersebut merasakan rindu kepadanya dan berniat mencarinya denngan melihat kepadanya, merenunginya, memikirkannya, dan mempelajari keadaan-keadaannya. Semua hal tersebut tergambar akan dzat lukisan-lukisan , kebaikan-kebaikan, dan jiwa-jiwa, tercetak dalam jauhar(inti)nya. Sehingga apabila bagian-bagian badan itu tidak bisa melihat indra-indranya, lukisan-lukisan itu masih tetap ada, dan gambaran-gambaran yang dicintai itu masih tetap tergambar oleh pandangan jiwa-jiwa parsial terhadap gambaran rohani yang bersih, yang masih tetap bersamanya, hal-hal yang dicintainya itu masih tetap menyatu bersamanya, serta selamanya tidak dikhawatirkan hilang dan perginya.

Ikhwan As-Sofa juga menyuguhkan dalil argumennya, bahwasanya orang yang mencintai salah satu dari beberapa orang, pada suatu saat dalam usianya kemudian ia kehilangan darinya (orang yang dicintai) atau ia berubah dalam mencintainya, maka sesungguhnya ia tidak akan bisa melupakan selama-lamanya. Karena tatkala ia kembali kepadanya, ia masih menemukan gambaran dan lukisan yang masih tetap dalam dirinya sendiri, sejak dahulu kala, ia menemukannya dalam kondisi itu, dan tidak akan berubah serta tidak akan pernah terganti. Karena orang yang dicintai, sebenarnya adalah lukisan dan gambaran-gambaran itu, yang ia lihat pada diri seseorang tersebut, kemudian ia melihatnya pada suatu hari, gambaran itu telah terpahat dalam dirinya, terlukis dalam jauharnya, dan tergambar dalam dzatnya, tetap ada dan tidak akan berubah. Apabila seorang yang berakal itu memikirkan terhadap sesuatu yang ia sifatkan, dirinya akan terbangun dari tidur yang mengabaikannya, dirinya akan terbangun dari tidur kebodohannya, dia akan menjadi independen dengan dirinya sendiri dan meraih kemenangan melalui jauharnya, serta tidak akan butuh pada hal selainnya, dan keadaannya itu seperti yang digambarkan.[239]

Ikhwan As-Sofa berpandangan bahwasanya seseorang yang ditimpai cinta terhadap seseorang, dan kemudian cobaan-cobaan itu melaluinya, kemudian dirinya itu belum sadar dari tidur yang mengabaikannya, maka dia akan kesusahan dan sadar atau melupakannya. Setelah itu dia ditimpai cobaan kedua dari orang lain, sesungguhnya jiwanya itu adalah jiwa yang tenggelam dalam kebutaannya yang mabuk dalam kebodohannya.

Ikhwan As-Sofa mengklasifikasikan manusia itu kepada orang awam dan orang khusus dalam hal cinta. Orang awam adalah orang-orang yang mencintai materi, apabila mereka melihat benda yang baik, atau seseorang yang bersolek, jiwa-jiwa mereka pun merindukan untuk melihatnya, mendekatinya dan memikirkannya.

Adapun orang-orang yang khowas (khusus), orang-orang bijak, maka mereka adalah orang-orang yang apabila melihat benda bagus atau seseorang yang dihiasi, maka jiwa-jiwa mereka itu merindukan pada penciptanya yang maha bijaksana, pembuatnya yang maha mengetahui, dan pembentuknya yang maha mengasihi. Jiwa itu mempunyai ikatan dengan-Nya dan tentram bersama-Nya, dan mereka berusaha untuk menyerupainya dalam karya-karya mereka, dan menirunya dalam perbuatan-perbuatan mereka baik perkataan, perbuatan, pengetahuan, dan amal. Kemudian ketahuilah, bahwasanya jiwa-jiwa yang kurang, itu hanya mempunyai keinginan-keinginan yang terbatas, ia hanya mencintai perhiasan kehidupan dunia dan hanya berharap agar kekal di dunia, karena jiwa ini tidak mengenal selainnya, dan tidak mempunyai gambaran selainnya (kehidupan dunia). Adapun jiwa yang mulia, yang diridhoi, ia menjauhi dari keinginan di dunia, bahkan ia berlaku zuhud dalam perbuatan dunia dan lebih kepada akherat, menyukai terhadap akherat, berharap untuk bertemu dengan keturunan jenis dan bentuk-bentuknya seperti malaikat, dan ia rindu untuk naik ke kerajaan langit.

Akan tetapi hal itu tidak bisa terjadi kecuali setelah ia meninggalkan jasad, dan sesungguhnya jiwa-jiwa yang bijak itu berupaya untuk menyerupai terhadap jiwa yang global dalam perbuatan-perbuatannya, pengetahuannya, dan akhlaknya, dengan menyerupai pada penciptanya dalam rotasinya terhadap peredaran astronominya, pergerakannya di planet-planet, dan pembentukan terhadap makhluk. Semua hal tersebut merupakan bentuk ketaatan terhadap Tuhannya, ibadah kepada-Nya, dan kerinduan kepada-Nya, karena Tuhan adalah cinta pertama.

Sesungguhnya yang mendorong jiwa yang global untuk mengelilingi astronomi dan berjalan pada planet-planet(kawakib) adalah kerinduan jiwa tersebut guna menampakkan kebaikan-kebaikan, keutamaan-keutamaan, kesenangan dan kegembiraan yang ada di alam arwah. Sesungguhnya semua keutamaan-keutamaan dan kebaikan-kebaikan ini dari curahan Allah dan iluminasi cahaya-Nya, dan hanya Allah yang pertama-tama dicintai, dan seluruh makhluk yang ada itu merindukan-Nya dan bermaksud menuju-Nya, dan hanya kepada-Nya seluruh perkara itu kembali. Karena hanya dengan Allah jiwa itu ada, lurus, kekal, dan jiwa sempurna. Karena hanya Allah yang maha ada, maha kekal, dan kesempurnaan… Maha tinggi Allah dengan setinggi-Nya dari perkataan oleh orang-orang yang dzolim dan orang-orang yang jahil.

Allah telah menjanjikan kepada para wali-Nya yang sholeh akan nikmat dan cahaya. Allah berfirman:

“Pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedang cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, (Dikatakan kepada meraka): ‘Pada hari Ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar’.” Al-Hadid:12.

Realitanya, bahwasanya penelitian Ikhwan As-Sofa terhadap hakekat cinta itu lebih berani daripada Ibn Sina dalam mengupas tema ini, dan penelitiannya ini lebih banyak analisa terhadap jiwa, segmen-segmen/tujuan-tujuannya, pencapainya terhadap kesempurnaan, serta cintanya terhadap kekekalan.

Studi Ikhwan As-Sofa tersebut juga meneliti lebih panjang terhadap hakekat cinta, macam-macamnya, dan sebab-sebabnya. Studi itu tidak mencela tentang cinta, akan tetapi menjelaskannya serta menerangkan jangkauan-jangkauannya, dan menampakkan isinya. Maka dari itu, studi mereka terhadap cinta lebih global dan lebih mencakup daripada studi Ibn Sina ditinjau dari penggambaran dan kesempurnaan.

Lois Anita Giffen berkata, sesungguhnya tulisan cinta milik Ikhwan As-Sofa itu tidak melarang cinta dan tidak mencelanya, akan tetapi tulisan itu menjelaskan bahwa cinta manusia merupakan objek yang bisa berubah-ubah, keadaan-keadaan itu bisa berubah, dan kebahagiaan dan keceriaan itu bisa hilang dalam cinta manusia. Maka dari itu, idiot dan bodoh sekali apabila kita terikat atau kita mencintai sesuatu yang materialis, yang baru, yang berupa makhluk yang fana. Namun semestinya, kita itu terikat dengan dzat Allah dan semakin lebih mencintai-Nya dan abadi[240], yang mana cinta kepadaNya itu tidak pernah berubah, terganti atau hilang. Akan tetapi cinta terhadapaNya itu kekal dan terus menerus.

Adapun cinta menurut Ibn Daud adz-Dzohiri, merupakan studi jabariah yang mempunyai warna filsafat, meskipun beliau merupakan seorang imam dari para pioner fikih ad-Dzohiri, dan meskipun juga zaman dimana ia hidup yaitu abad ke-3 H yang dipenuhi dengan para sastrawan dan pemikir yang mencela terhadap cinta, dan mereka takut untuk menulis tentang cinta, kemudian datanglah buku Ibn Daud yang merupakan sebuah kejutan darinya, karena beliau merupakan seorang imam dalam agama dan fikih yang tidak ada kaitannya dengan cinta.

Mungkin bisa diterima apabila para sastrawan, ahli syair, para filosof dan orng-orang bijak itu berbicara tentang cinta. Akan tetapi apabila kita jumpai seorang imam dari para imam agama yang memperhatikan terhadap cinta dan menulis banyak buku dalam hal cinta, maka hal ini mempunyai banyak keanehan pada waktu itu, bahkan disepanjang masa.

Sebagai bukti, bahwa cinta tidaklah dilarang dan tidak dicela oleh para pemuka-pemuka agama. Seorang orientalis Prancis yag bernama Macinus merasa takjub sekali dengan buku ini, dan beliau mengungkapkan hal itu dengan memberikan komentar tentangnya, bahwasanya buku tersebut memiliki nilai yang besar untuk mengetahui insting pada zaman Ibn Daud,[241] dimana kitab ini menggambarkan tentang perhatian orang Islam pada sisi manusiawi yang penting ini, dalam kehidupan manusia, dan meneliti terhadap sebab-sebab insting naluri ini dan bentuk-bentuknya. Seorang orientalis Inggris, Macikl juga memperhatikan buku ini, dan mempublikasikan bagian yang pertama saja dari buku tersebut atas bantuan Prof. Ibrohim Thauqon, dan bagian yang kedua dari buku ini belum terpublikasikan yang mungkin dianggap hilang. Akan tetapi penelitian-penelitian Riter dalam bidang ini, dan perhatiannya terhadap tema cinta dalam perpekstif orang Islam menegaskan bahwasanya bagian kedua pada buku ini ada dalam bentuk manuskrip di perpustakaan Italia.

Lois Anita Giffen, telah menyebutkan bahwasanya bagian pertama buku ini terdiri dari 50 sub tema (pembahasan) yang termuat dalam 356 lembar manuskrip, artinya bahwasanya buku ini tergolong karya yang besar dan studi yang dalam (menakjubkan) terhadap cinta, yang mana telah menyuguhkan kepada kita konsep yang lengkap tentang cinta, dimana dalam kajian kepustakaan tentangnya(cinta) itu belum pernah ada kajian sebelumnya dengan bentuk seperti ini.

Bagian ini juga tergolong yang sarat nilai dan mempunyai manfaat yang besar dalam mengetahui cinta dari sudut pandang agama, yang mana tidak ada larangan dan dosa bagi para pencinta. Lois Anita Giffen menyebutkan bahwasanya dalam kitab milik Ibn Daud ini, menyeminarkan (munaqasah) cinta dengan cara menyeminarkan (munaqasah) akhlak agama, maka Ibn Daud melegalitaskan cinta.

Riter juga berkomentar tentang Ibn Daud, bahwasanya beliau melegalkan cinta dan seorang perawi yang mashur: “Barang siapa yang mencintai dan menyembunyikan, menjaga harga diri dan meninggal, maka ia tergolong orang-orang yang syahid di hari kiamat.” Maka inilah dia, posisi cinta dan statusnya dalam Islam, dan khususnya cinta yang terhormat lagi suci, yang naik menuju tingkatan kesyahidan, yang tiada tingkatan setelahnya.[242]

Kenyataannya, bahwasanya kitab az-Zahrah ini, yang dikarang oleh Ibn Daud adz-Dzohiri tergolong buku-buku penting yang mempelajari cinta sebagai fenomena humanisme yang layak diperhatikan dan diperhitungkan, serta dilakukan penelitian yang mana fenomena tersebut menyentuh seluruh manusia dan merambah jiwa-jiwa, memenuhi hati dengan harapan, optimis, dan keberanian.

Ibn Daud memulai pembahasannya dalam cinta dengan menyebutkan perkataan-perkataan para filosof dan orang-orang bijak pada bidang ini, maka ia berkata: “Acap kali tiap peperangan itu terjadi karena sebuah perkataan, dan acapkali cinta itu tertanam karena sebuah kesempatan.”[243] Ini sebagaimana sebelumnya, yang pernah dikatakan oleh Ikhwan As-Sofa dalam sebab-sebab cinta dan prinsipnya, dan itu adalah perkataan yang diambil dari para filosof dan orang-orang bijak Yunani.

DR. An-Nasr: “Sesungguhnya perkataan ini dari Ibn Daud, menegaskan bahwasanya beliau telah mempelajari filasafat Yunani, dan khususnya pendapat-pendapat Plato dalam buku al-Makdabah, yang merupakan studi serius terhadap cinta, dan dorongan-dorongannya(motifasi-motifasinya), dan sebab-sebabnya. Ibn Daud telah mengambil pendapat itu, dan mengatakan bahwasanya Allah SWT itu telah menciptakan ruh yang berbentuk bundar seperti bentuknya bola, kemudian Dia memotongnya, maka Dia menjadikan di setiap jasad itu setengah bagian, dan tiap-tiap setengah bagian itu bertemu dengan jasad yang didalamnya itu ada setengah bagian, yang dipotong dari setengah bagian yang bersamanya, di antara keduanya itu ada cinta karena munasabah klasik .

Kenyataanya, orang yang mencermati dalam pemikiran-pemikiran ini, bahwasanya pemikiran-pemikiran itu sangat dekat dengan pemikiran umum yang mengatakan bahwa Allah itu menciptakan hawa dari adam, dan kedekatan antara jiwa-jiwa sebab cinta, Allah berfirman: Qs. An-Nisa: 1, dan Allah berfirman: Qs A-Rum: 21.

Jadi, cinta adalah hubungan antara jiwa-jiwa yang memiki kemiripan dan kedekatan antara bagian-bagiannya(jiwa), dan definisi-definisi tentang cinta itu memiliki kemiripan dengan pendapat ini sebagaimana yang kita lihat dari perkataan-perkataan yang diucapkan oleh para filosof dan orang-orang bijak dalam bidang ini.

Ibn Daud juga menyuguhkan ringkasan pemikiran Plato sendiri yang ada dalam buku al-Makdabah, tentang cinta, beliau berkata: “Diceritakan dari Plato, bahwasanya ia berkata: ‘Aku tidak tahu apa itu cinta. Hanya saja yang aku tahu, bahwasanya cinta adalah kegilaan Ilahi, yang tidak terpuji juga tidak tercela’”.[244] Ini menunjukkan secara tegas, bahwasanya Ibn Daud telah membaca khazanah keilmuan Yunani dan beliau takjub terhadapnya, dan beliau mengutip dari ajaran-ajaran Yunani itu untuk menguatkan pemikiran-pemikiran yang ada, yang nampak dalam syair-syair yang tercakup dalam bukunya.

Dalam kitabnya ini, Ibn Daud juga menyuguhkan pendapat Pathlimus, dalam hal ini, beliau berkata: “Sesungguhnya persahabatan dan permusuhan, itu ada 3 macam: 1) bisa karena kesepakatan ruh-ruh, maka seseorang itu tidak menemukan halangan untuk mencintai kawannya; 2) bisa dikarenakan sebuah manfaat, dan bisa dikarenakan kesedihan ataupun kebahagiaan; dan 3) kesepakatan dalam ruh-ruh itu bisa didasarkan bahwasanya kedua orang itu dilahirkan pada zodiak yg sama, dan keduanya saling melihat satu sama lain dengan pandangan kasih sayang, maka apabila demikian, kedua orang yang memiliki tanggal lahir itu dikarakterkan pada kasih sayang masing-masing satu sama lain. Adapun kedua orang yang saling mencintai dan menyayangi dalam sedih maupun gembira, hal itu dikarenakan kelahiran kedua orang tersebut pada zodiak yang sama.

Adapun kedua orang yang kasih sayang mereka itu karena sebuah manfaat, maka kedua itu juga dilahirkan pada satu zodiak, dan keduanya saling memandang dari sisi yang sama. Itu menunjukkan bahwasanya manfaat kedua orang tersebut sama atau salah satunya itu mengambil manfaat dari temannya, maka dicapailah manfaat dari keduanya yang berupa persahabatan, atau kepentingannya itu dari satu sisi, maka keduanya saling sepakat pada kesedihan.[245] Ibn Daud belum merasa cukup dengan perkataan-perkataan dan pemikiran-pemikiran Yunani ini, akan tetapi ia juga menambahkan perkataan Galinius(Galileo) dalam cinta, beliau berkata: “Sesungguhnya cinta itu berasal dari dua orang yang berakal, dari kategori keduanya saling terbentuk dalam akal, sedang kedua orang yang idiot dari sudut keduanya terbentuk dalam keidiotan(kebodohan). Karena akal berjalan sesuai aturan, maka boleh saja ia sepakat pada satu jalan. Dan idiot(kebodohan) itu tidak berjalan pada aturan, maka tidak bisa terjadi kesepakatan dua orang.

Adapun pendapat Galileo dalam cinta, Ibn Daud juga menampilkannya. Ibn Daud berkata: “Cinta itu perbuatan jiwa, dan cinta itu terselubung dalam akal, jantung, dan hati. Dalam akal itu ada tiga tingkatan: 1) khayalan, yaitu terletak dibagian depan kepala; 2) pikiran, yaitu terletak di bagian tengah kepala; 3) ingatan, itu terletak dibagian belakang kepala. Dan seseorang pun tdk bisa menyempurnakan nama sebagai pecinta, kecuali ketika ia berpisah dari orang yang dicintainya, yg tidak pernah sepi dari khayalannya, pikirannya, ingatannya, jantungnya, dan hatinya, maka ia mogok dari makan dan minum, disebabkan aktifitas hati, dan tidur yang disebabkan aktifitas akal, khayalan, mengingatnya dan memikirkannya. Maka seluruh tempat-tempat jiwa itu disibukkan dengannya. Apabila seseorang itu tidak disibukkan hal yang demikian pada waktu kosongnya, maka ia bukanlah seorang yang mencintai, apabila ia bertemu dengannya tempat-tempat dijiwanya itu kosong.

Ibn Daud dalam kitabnya az-Zahra menjelaskan tentang perkataan-perkataan para medis Yunani pada bidang ini, dan definisi-definisi mereka terhadap cinta, bahwasanya cinta itu adalah ketamakan yang dilahirkan dalam hati, dan berkumpul di dalam hati itu sifat-sifat dari kerakusan. Maka tiap kali pemilik hati ini menambah kebutuhan, keras kepala, kekhawatiran yang besar, dan syahwat yang banyak, ketika itu darahnya menjadi terbakar, hatinya menjadi hitam, serangan liver(hepatitis) dan ia berubah menjadi hitam, dan ciri keburukan hati yang hitam adalah rusaknya pemikiran.[246]

Lois Anita Giffenn berkata, bahwasanya Ibn Daud dalam kitabnya az-Zahra, banyak mengambil pendapat-pendapat Yunani Helsinky Ibn Daud dalam teori cinta itu terpengaruh dengan pendapat-pendapat pemikir Yunani seperti Plato, Plotinus, Galileo, dan para medis Yunani.[247] Ibn daud dalam kitabnya, az-Zahrah, tidak hanya menganalisa cinta dan pengetahuan tentang cinta, akan tetapi ia juga memperhatikan dengan studi tentang “al-khullah” antara kaum laki-laki. Beliau berkata bahwasanya al-khullah itu diambil dari takhollala (pencampuran) materi antara daging dan tulang dengan otak dan darah. Khullah sendiri kadang menjadi kuat yang bisa mengakibatkan hawa (nafsu), dan al-hawa itu adalah sebuah nama untuk degradasi sebuah cinta.

Adapun kekuatan khullah dan mahabbah(cinta) itu menyentuh al’isq menurut Ibn Daud. Beliau berkata: “Kemudian keadaan itu menjadi kuat, lalu jadilah cinta.” Beliau berpandangan, bahwasanya seseorang yang mencintai itu terhalang untuk cepat jatuh dalam hawa yang dicintainya, karena kasih sayangnya dan kerinduannya terhadapnya.

Kemudian “al-’isq” (cinta) itu bertambah dan menjadi “tatiman” (cinta sempurna), yaitu keadaan yang dicintai itu menjadi penuh bagi yang dicintai, maka keutamaan dalam cinta yang bersama jiwa itu bukan untuk selain dirinya, dan cinta itu tidak bertambah dengan menganalogikannya pada sesuatu, kecuali jiwa itu menemukan cinta sempurna dalam dirinya. Apabila seluruh perasaan-perasaan orang yang mencintai dalam hal yang ia inginkan tertuju pada orang yang ia cintai, seperti keadaan yang ia sukai, maka ini adalah proses pembentukan secara natural yang tidak akan sirna sepanjang masa, dan tidak akan hilang kecuali dengan punahnya manusia, kemudian bertambahlah cinta(tatayun), dan menjadi kesedihan. Beliau menjelaskan tentang kesedihan, bahwasanya ia adalah keluar dari garis-garis aturan, dan rusaknya keadaan-keadaan berfikir, kemudian engkau melihat kesedihan itu mencari sesuatu yang ia tidak inginkan, dan berharap sesuatu yang tidak ia cintai, kemudian ia tidak bisa mengalahkan pikiran pada waktu itu juga, dan ia tidak menetap pada sebuah keadaan.

Kemudian, apabila kesedihan itu semakin kuat, timbullah kerinduan, dan orang yang memiliki aggapan baik merindukan apa yang ia anggap baik sebatas porsi dalam dirinya. Kemudian tiap kali keadaan itu menguat, maka menguatlah kerinduan untuk bersamanya. Cinta dan sejenisnya itu bisa tersembunyi, dan apabila jiwa itu merasakan kerinduan, makin sedikit tertutupnya.[248] Sesungguhnya prinsip-prinsip filsafat dan unsur-unsurnya itu jelas dalam tulisan-tulisan Ibn Daud tentang cinta, yang bisa menunjukkan kita bahwasanya Ibn Daud itu mempelajari filsafat dan perkataan orang Yunani dalam bidang ini. Ini jelas, karena Ibn Daud banyak membubuhkan pendapat-pendapat dan kata-kata mereka dalam cinta.

Henri Corbin, telah menyebutkan sebuah komentar tentang filsafat cinta Ibn Daud. Sesungguhnya Ibn Daud itu menutup makna batin cinta, karena ia percaya bahwasanya makna yang tertutup itu semestinya selalu tertutup.”[249]

Adapun Michael, ia berkata, bahwasanya filsafat cinta menurut Ibn Daud, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab az-Zahra, tingkatannya lebih rendah daripada yang ditulis Ibn Hazm dalam kitab Tuk al-Hamamah, karena Ibn Hazm dalam kitabnya itu lebih matang dan lebih pakar dengan eksperimen cintanya. Adapun Ibn Daud, ia hanyalah seorang pemuda ketika ia menulis az-Zahra. Sesungguhnya, mereka berdua ini menulis buku yang berbeda, dan cinta menurut Ibn Daud merupakan ungkapan dari diwan syi’ir, yang mencakup beberapa komentar kritik dan beberapa halaman tentang perwajahan cinta, analisisnya terhadap kejiwaan, dan teori-teori tentang asal muasal cinta atau sebabnya… Kemudian Michael menambahkan seraya berkata: “Adapun kitab Ibn Hazm, Tok al_Hamamah, ia adalah teori yang murni tentang manusia; bagaimana cinta itu dimulai, bagaimana cinta tumbuh, bagaimana hal-hal cinta itu bekerja, dan bagaimana cinta berakhir. Terkadang, Ibn Hazm menggunakan beberapa syair dalam mengekspresikan insting ini.”[250]

Oleh karena itu, Michael berpendapat, bahwasanya nilai yang sebenarnya untuk kitab az-Zahra adalah penguasaan Ibn Daud dalam memilih syair-syair yang sangat sedikit dipakai mengenai cinta pada zamannya, dan syair-syair tersebut banyak dan beragam.

Artinya, sebenarnya Michael itu berpendapat, bahwasanya tulisan-tulisan Ibn Hazm tentang cinta itu lebih dalam dan lebih sempurna cakupannya, serta lebih besar nilainya dari tulisan-tulisan Ibn Daud.

Namun realitanya, az-Zahrah buku Ibn Daud ini, mempunyai pengaruh pada Ibn Hazm sendiri, yang mana Ibn Hazm mempelajari naskah dari kitab Ibn Daud di perpustakaan istana Nasubah, yang mana kita temukan Ibn Hazm mengutip dari buku az-Zahrah beberapa statemen dan berargumen dengan poin-poin yang ditunjukkan oleh Ibn Daud dalam Makdabah, yang merupakan salah satu karya Plato tentang cinta. Ibn hazm berkata: “Sebagian para filosof itu berkeyakinan, bahwasanya Allah telah memberikan bentuk yang bulat bagi tiap-tiap jiwa yang Allah ciptakan. Kemudian Allah menjadikan bulatan itu dua bagian dan meletakkan keduanya pada jasad(badan). Adapun rahasia cinta, itu ada dari pertemuan kedua bagian ini, sebagaimana kedua bagian itu asalnya merupakan sebuah bentuk yang satu. Meskipun ini adalah sebuah pendapat, maka di sisi lain ada hadits nabi yang menegaskan secara jelas tentang lebih awalnya wujud jiwa (nafs), dan Ibn Hazm bersandar pada hadits ini, akan tetapi Ibn Hazm lebih mengutamakan takwilnya yang berkaitan tentang jiwa-jiwa yang berhubungan dengan penyatuan Dzat yang maha tinggi, dan pembalasan di alam ini. Yang mana perkara ini menurutnya berhubungan dengan sebuah rasa keharmonisan yang berasal dari dorongan-dorongan yang menggerakkan jiwa-jiwa ini, dan yang terbuka semenjak jiwa-jiwa itu ada di alam yang tinggi.

Cinta menurutnya adalah bentuk-bentuk yang selalu saling mendekati, dan ini juga jelas dalam kitab al-’Ilm al-Marakh karya Gholyum at-Tasi’ al-Akbiyani (ke-9 ) secara umum.

Pada waktu yang sama kita juga bisa mengatakan bahwasanya cinta menurut Ibn Daud adalah cinta yg didominasi aliran Plato. Pengaruh Ibn Daud masih jelas dalam tulisan-tulisan Ibn Hazm, hingga kita menemukan DR.Ali Sami an-Nasyar berkata dalam kitabnya al-Ushul al-Aflatoniah: “Yang menakjubkan adalah kita melihat seorang fakih yang beraliran dzohiriah, yang hidup di Andalusia yang mengikuti garis(ajaran) Ibn Daud ad-Dzohiri di timur, dan Ibn Hazm menukil sebagian statemen-statemen plato tentang cinta dari kitab az-Zahra.”[251] Karena Ibn Hazm itu mengambil pelajaran dari Ibn Daud, dan oleh karena itu nilai buku az-Zahrah ini begitu besar dan pengaruhnya jelas pada buku Ibn Hazm serta analisanya terhadap jiwa dan definisinya tentang cinta.

Ini yang akan tampak melalui penelitian kami terhadap teori cinta menurut Ibn Hazm sebagaimana yang beliau tampilkan dalam bukunya Tok al-Khamamah fil alafatil wal alaf, dan yang menegaskan tentang keseriusan Ibn Hazm dalam mempelajari, dan bacaannya yang banyak terhadap semua hal yang ia tulis tentang cinta dan studinya terhadap cinta. Dengan jangkauan yang luas dan akal yang kuat, dan setelah pandangan yang tajam, maka munculah konsepnya tentang cinta yang mencangkup dan komprehensif mengenai semua yang ditulis oleh orang sebelumnya, dan untuk itu beliau berhak mendapatkan gelar seorang filosof cinta menurut orang Islam. Karena semua alas an-alasan ini, penelitian Ibn Hazm dalam cinta itu lebih matang dan lebih berpengaruh, dan lebih sempurna bentuknya. Kesibukannya dengan cinta itu lebih besar, dan beliau telah menjejakinya, mendalaminya, merasakan manisnya, dan merasakan pahit getirnya. Meskipun demikian kita mendapati beliau (Ibn Hazm) sering melarikan diri dari cinta, dan menuduh hanya kepada perempuan cinta itu berkutat.

Kita pun bertanya-tanya: “Kenapa Ibn Hazm membatasi aktifitas cinta itu hanya pada perempuan saja!? Bukankan Ibn Hazm menulis karyanya Tok Al-Khamam, untuk memenuhi permintaan kawannya, Ubaidillah bin Abdurrahman bin Al-Mughirah, yang mempunyai ikatan persahabatan dan cinta mereka berdua sejak kecil. Kawannya ini mengunjungi dan untuk menguatkan rasa kasih sayang? Dan terjadilah pembicaraan-pembicaraan mereka berdua tentang cinta, sebab-sebabnya, tanda-tandanya dan bentukbentuknya. Untuk itu, kawan Ibn Hazm memintanya menulis sebuah tulisan tentang cinta, dan hal-hal yang ada di dalamnya dengan sebenar-benarnya. Maka kalau perkara ini tidak membuat memikirkannya, untuk apa seorang faqih, ahli hadits, dan sastrawan ini meminta kepada Ibn Hazm sebagai seorang imam dari paham adz-Dzohiri untuk khusus menulis tentang cinta. Dan ketika Ibn Hazm mengabulkan permintaan kawannya, Ibn Hazm tidak berkeinginan untuk bepergian. Ibn Hazm merasa terganggu di daerahnya, kemudian beliau menetap di Syatibah. Pada akhir kitabnya, Tok al-Khamamah, IbnHazm berkata: “Pembicaraan tentang seperti ini mesti disertai tangan dan hati yang bersih, menjaga sesuatu dan kekalnya gambaran, serta mengingat-ingat, kemudian datang untuk nilai-nilai insting saya, dan takjub atas sesuatu yang terjadi dan medatangi saya. Engkau tahu, bahwa pikiran saya mudah berubah-ubah, dan pikiran saya hancur dengan keadaan kita, seperti tempat yang tidak sesuai dan jauh dari negeri dan masa yang berubah-ubah…, dan kehilangan harta dan benda…, dan terasing pada suatu wilayah.[252]

Jadi ini persoalan penting, dan problematika ini membutuhkan studi dan penelitian, bahkan penulisan dan karangan. Maka dari itu, DR. Thoha Husain berkata dalam Kitabnya Al-Wan: “Barang siapa membaca buku Ibn Hazm Tok al-Hamah bahwasanya cinta itu telah menyibukkan Ibn Hazm dalam seluruh hidupnya, sebagaimana ia disibukkan dengan fiqh, hadits, tafsir, dan ilmu kalam. Begitu juga orang itu akan melihat dan meyakini bahwasanya cinta itu tidak hanya menyibukkan Ibn Hazm saja, dan tidak hanya menyibukkan Ibn Hazm dengan kawannya yang meminta untuk menulis sebuah buku, akan tetapi nampak bahwasanya cinta itu menyibukkan seluruh umat manusia di negara Islam Spanyol, yang mungkin saja cinta itu lebih banyak membuat sibuk terhadap orang-orang yang terpelajar dan istimewa, daripada orang-orang selain mereka.[253]

Kalaupun kita mengambil perpekstif Thoha Husain ini, maka perhatian terhadap perempuan dan kesibukannya dengan cinta, itu seperti perhatian terhadap orang yang mempunyai indra yang paling tinggi dan mempunyai hati yang paling besar, serta mempunyai keistimewaan yang paling banyak.

Ibn Hazm tampak kebingungan dan merasa bimbang untuk menulis tentang cinta, karena takut celaan dan kritikan, maka dari itu beliau memulai perkataannya dengan pujian kepada Allah, memohon penjagaan dan taufik dari Allah, dan ia juga menjadikan perkataan Abu ad-Darda sebagai penguatnya: “Kumpulkanlah jiwa-jiwa itu dengan sesuatu dari kebatilan agar jiwa itu mempunyai penolong terhadap kebenaran.” Ibn Hazm juga mengambil perkataan salah seorang yang sholeh dari kaum salaf yang semoga diridhoi oleh Allah: “Barang siapa yang tidak mampu untuk berfatwa, maka ia tidak mampu untuk menjadi kuat.” Tenangkanlah jiwa-jiwa, sesungguhnya jiwa itu bisa berkarat sebagaimana besi itu berkarat. Ibn Hazm menyebutkan semua itu sehingga ia membolehkan dirinya untuk menulis dalam tema ini, dimana pendapat-pendapat di sekitarnya saling berselisih dan bermacam-macam arah dan tanggapan antara orang yang mencela dengan orang yang memuji, antara orang yang menerima dan menolak tentangnya. Akan tetapi kepercayaan diri Ibn Hazm terhadap dirinya sebagaimana yang kami tampakkan, dan pengetahuannya yang sempurna akan tujuan dari penulisan dalam bidang ini, yaitu untuk menyadari tentang karakter jiwa manusia dan kecenderungannya terhadap kaum jenisnya, dan penyerupaannya pada sisi lain yang menyempurnakannya. Sebenarnya penyerupaan ini terkadang berimplikasi baik dan utama apabila masih dalam koridor halal, dan kadang bisa menjadi kerusakan dan kehancuran apabila tidak menjaga perintah-perintah syariat dan larangan-larangan agama…. Jadi tujuan Ibn Hazm dari penulisan risalah ini adalah tujuan perbaikan akhlak dan tarbiah(pendidikan), karena tulisan ini menjelaskan karakter jiwa-jiwa manusia dan menganalis/memberikan solusi kebingungan-kebingungannya dan menyingkap tujuan-tujuan dan bagian-bagiannya, serta menerangkan secara jelas tentang keburukan maksiat dan keutamaan kehormatan, dan kedua pembahasan terakhir ini merupakan bab yang dijadikan Ibn Hazm penutup dalam risalahnya. Ini telah beliau jelaskan dalam perkataanya: “Kedua hal ini merupakan dua bab yang kami jadikan untuk penutup bagi tulisan ini, dan kedua bab tersebut adalah bab yang membicarakan keburukan maksiat, serta bab yang membicarakan kehormatan harga diri agar menjadi penutup tulisan kami dan akhir dari pembicaraan kami, yaitu memotifasi untuk ketaatan kepada Allah SWT, dan amar maruf nahi munkar, dan semua itu merupakan kewajiban bagi seluruh orang mukmin.[254]

Kenyataannya, bahwasanya analisa Ibn Hazm terhadap cinta, alas an (illah) dan sebabnya, penjelasan bentuk-bentuk dan tanda-tandanya, menjaga kewajiban dan tuntutan-tuntutannya, dan analisanya terhadap kehormatan antara dua jenis dalam tulisan ini, merupakan tulisan yang paling utama dalam bidang ini. Karena buku ini lahir dari jiwa seorang pencinta yang bereksperimen dan seorang ‘alim yang religius, dan Ibn Hazm telah menulis risalahnya ini manakala ia berumur matang(dewasa). Ibn Hazm menulisnya di sekitar usia 40, dan usia ini merupakan pemahaman yang sempurna untuk nilai yang ia tulis, mengetahui manfaat tulisannya dalam memperbaiki jiwa-jiwa, menyembuhkan kehinaan-kehinaan dan menjelaskan keburukan maksiat-maksiat dan keutamaan menjaga harga diri, dan keistimewaanya dalam ranah agama dan dunia. Ibn Hazm telah memusatkan perhatiannya dalam tulisan ini untuk menjelaskan rusaknya pencampuran antara lelaki dan perempuan, pemuda dan pemudi, dalam bentuk-bentuk yang vulgar, yang jauh dari kesungguhan dan keseimbangan. Karena Ibn Hazm adalah seorang pakar terhadap jiwa manusia, dan sangat mengetahui terhadap rahasia-rahasianyanya, ia orang yang memperhatikan terhadap akhlak-akhlak jiwa, dan menjelaskan keadan-keadaan jiwa. Beliau mencoba untuk menjauhkan jiwa itu dari objek-objek penyerupaan dan keadan-keadaan lemah.

Untuk semua hal ini, perhatian dan studi Ibn Hazm terhadap cinta, itu bukanlah hal gurauan, akan tetapi sebuah perbuatan (amal) akhlak tarbiah yang sungguh-sungguh agar memberi manfaat bagi kemanusiaan sepanjang masa. Karena itu, banyak dari peneliti dan pelajar merasa takjub dengan buku Ibn Hazm ini, dan mereka memuji terhadap keilmuannya, keberaniannya, keberniannya dalam membahas tema ini, analisanya terhadap jiwa manusia, kedisiplinannya dengan prinsip-prinsip agama, dan kedisiplinannya terhadap perintah-perintah syariat dalam setiap perkataan dan statemen-statemennya.

Ibn Hazm memulai studinya terhadap cinta, dan pembicaraannya dalam hakekat cinta, itu dengan perkataanya: “cinta-semoga Allah memuliakan engkau-awalnya itu adalah senda gurau, dan akhirnya adalah keseriusan, makna-maknanya begitu detail, karena kebesaran makna itu yang sulit untuk dikategorikan, dan hakekat-hakekatnya tidak akan pernah kita pahami kecuali dengan merasakan sendiri.[255]

Ibn Hazm mengawali pembicaraannya tentang cinta dengan meyakinkan bahwasanya cinta itu adalah sebuah pengalaman dan kehidupan, cinta itu bukan kata-kata atau gurauan, cinta itu bukanlah sesuatu yang mungkar dalam agama dan tidak dilarang dalam syariat, dimana hati itu terletak di tangan Allah, dan cinta itu adalah sebuah makhluk, dan manusia itu hanya memiliki gerak-gerik anggota badannya yang ia lakukan.[256]

Artinya, sesungguhnya Ibn Hazm itu berpendapat, bahwasnya cinta adalah hal takdir, dimana manusia itu tidak mempunyai kekuasan di dalamnya, dan cinta itu adalah urusan Allah dan perbuatan Allah pada jiwa-jiwa manusia, pada makna ini Ibn Hazm berkata: “Seluruhnya itu adalah pemberian-Nya. Kita tidak bisa menghukumi untuk diri kita, dan kita adalah ciptaan-Nya, dan kepada-Nya lah kita kembali.”[257] Artinya, sesungguhnya cinta itu urusan Allah, yang ada dengan perwujudan kita, yang tidak bisa diremehkan dan diingkari. Cinta bukanlah sesuatu yang mungkar atau dibenci, karena Allah lah yang menciptakan perasaan ini dalam jiwa kita, dan kita tidak bisa membuatnya. Banyak dari para imam dan ulama itu menyukai cerita-cerita cinta.[258] Karena cinta adalah pengalaman dan kehidupan yang tidak dapat dipahami kecuali orang yang terjun di dalamnya, dan merasakan pahit-manisnya.

Untuk itu, Ibn Hazm dalam studinya terhadap cinta menekankan agar menjadi sebuah realitas dimana dalam analisa dan definisi beliau terhadap cinta itu mendasarkan kepada kenyataan yang ia rasakan dan yang ia alami dan kepada pengalaman orang lain yang riil. Karena itu, Ibn Hazm mencurahkan pandangannya terhadap pengalaman-pengalaman orang Arab dan orang-orang terdahulu, karena keyakinannya bahwasanya gaya-gaya cinta itu berbeda-beda dalam setiap zaman dan ciri pada waktu zamannya, yaitu perhatian terhadap cinta dan menyibukkan diri pada cinta. Karena zaman ibn hazm merupakan masa-masa yang paling maju di Andalusia Islam, dengan kemewahan, peradaban, serta kemajuan akal dan materi.

Seluruh jazirah Andalusia dengan tanah yang datar dan padang rumputnya yang hijau merupakan benteng dari keindahan natural yang menakjubkan. Orang-orang Andalusia itu suka dengan keindahan, dan oleh karena itu keindahan tersebut mempengaruhi dalam perasaan-perasaan mereka dan naluri mereka, maka banyak sekali cerita-cerita cinta dan riwayat-riwayat tentang cinta, dan negeri Andalusia menyaksikan banyaknya hikayat-hikayat tersebut.

Ibn Zaidun al-Qurtubi yang sekaligus penyair dan seorang mentri sekaligus pecinta adalah, gambaran yang hidup untuk menghembuskan cinta dalam jiwa-jiwa manusia pada waktu itu. Dimana beliau yang tercatat pengarang terakhir tulisannya yang mashur, yang ia torehkan dengan ucapan Wiladah binti al-Mustakfa yang mana beliau memiliki fans yang sangat banyak, dan Ibn Jahur yang mengajak Ibn Zaid berkompetisi dalam meraih cinta Wiladah, dan kisah ini cukup terkenal.[259]

Ibn Hazm juga menceritakan kepada kita tentang cerita-cerita para pejabat dan pemimpin, dan cerita-cerita cinta mereka. Beliau berkata: “Hal ini tampak dalam syair milik Abu Malik bin Marwan bin Abdurrahman bin Marwan seorang amirul mukminin, seorang penolong, dan beliau sangat terkenal. Beliau adalah orang Andalusia yang pandai bersyair di masanya, orang yang paling menarik dalam syair, dan aku telah melihatnya serta duduk bersamanya.”[260]

Ini hanya sedikit dari banyaknya cerita-cerita tentang cinta, dan eksperimen-eksperimen cinta yang ada dalam masyarakat Andalusia pada saat itu, yang sesuai dengan perkataan Thoha Husain, bahwasanya cinta telah menyibukkan seluruh manusia di Andalusia di zaman Ibn Hazm. Ini jelas sekali seperti dalam tulisan-tulisannya dan riwayat-riwayatnya dalam buku beliau Tok Amamah.

Ibn Hazm juga mendefinisikan cinta, beliau berkata: “Bahwasanya cinta adalah hubungan antar elemen-elemen dari jiwa-jiwa yang terbagi dalam komponen makhluk ini pada asal muasal unsur-unsurnya yang begitu tinggi, karena rahasia dari model-model dan perbedaan pada setiap makhluk adalah hubungan dan perpisahan. Bentuk selalu mengarah pada bentuknya, nilai itu mengarah pada nilainya yang tetap, dan untuk membuat sebuah jenis adalah sebuah aktifitas yang indrawi dan pengaruh dari pandangan.”

Ibn Hazm telah membawa definisi ini kepada teks keagamaan. Beliau berkata: “Semua hal itu dapat diketahui secara fitrah dalam setiap keadaan perbuatan-perbuatan manusia dan pasangannya, sehingga ia akan merasa damai kepadanya.” Allah berfirman: AlAa’raf: 189. Maka Allah menjadikan bahwasanya alasan (illah) sebab adanya alam adalah dari-Nya, dan sebab buah cinta adalah kedekatan jiwa-jiwa dan keserasiannya.

Maka cinta menurut Ibn Hazm adalah hubungan antara jiwa-jiwa. Maka dari itu, beliau berkata: “Hubungan antara jiwa-jiwa pada asal alam jiwa yang tinggi. Bahkan cinta itu adalah suatu hal yang pasti. Kita telah tahu bahwasanya jiwa di alam yang rendah ini telah tertutupi oleh tabir-tabir dan bertemu dengan tujuan-tujuan dan di kelilingi dengan karakter-karakter dunia(bumi) yang sifatnya kauniah. Maka jiwa itu akan mewarisi sifa-sifat dari tabiat tersebut. Meskipun karakter tersebut tidak menempatinya, akan tetapi ia mendiami yang lain, maka tidak bisa diharapkan perpautan secara sebenarnya, kecuali setelah jiwa mempunyai kesiapan dan setelah pengetahuan itu dibubuhkan terhadapnya, yang mengikut bentuknya serta sesuai dengannya. Kebalikan dari tabiat-tabiat yang samar, yang diserupai dengan karakter-karakter, ketika itu ia mempunyai hubungan secara benar tanpa ada halangan.[261]

Ibn Hazm tidak membedakan antara sebab cinta dan alasan (illah)nya, sebagaimana yang dilakukan oleh Ikhwan As-Sofa, akan tetapi Ibn Hazm berbicara tentang alasan (illah) dan sebab dengan satu kategori, yaitu satu kesepakatan dan satu jenis antar jiwa-jiwa. Ibn Hazm berkata: “Apabila akhlak itu sesuai dengan jiwa, maka akan melahirkan cinta.[262]“

Ibn Hazm berbicara tentang macam-macam cinta, beliau berkata: “Sesungguhnya mahabbah (cinta) itu banyak sekali dan yang paling utama adalah cinta kepada Allah, cinta kepada kerabat-kerabat dekat, cinta kepada keharmonisan, ikut dalam tujuan, cinta ketamakan terhadap orang yang dicintai, cinta dari kedua orang yang saling dicintai untuk sebuah rahasia yang mana keduanya itu berkumpul di dalamnya yang membuat tertutupnya rahasia itu dari mereka, dan cinta untuk mencapai kesenangan, untuk menunaikan sebuah hajat, dan tempatnya cinta yang tidak mempunyai sebab kecuali adanya hubungan dari jiwa-jiwa.

Ibn Hazm berpendapat bahwasanya semua cinta itu hanya ada satu macam, dan beliau menggambarkannya, bahwa cinta itu adalah sebuah keinginan terhadap orang yang dicintai, sebuah perasan benci berjauhan bersamanya, dan keinginan untuk senantiasa dekat bersama yang dicintai. Akan tetapi cinta itu berbeda-beda dengan perbedaan ketamakan-ketamakan, lebih dan lemahnya ketamakan, dan perasaan dari ketamakan. Maka dari itu, wajah-wajah cinta itu berbeda-beda, dan kita telah melihat orang itu bisa meninggal dikarenakan anaknya, sebagaimana seorang yang dicintai itu bisa mati dengan cara yang menyedihkan karena orang yang dicintainya. Kita juga melihat seseorang karena cemburu kepada pemimpinnya dan kepada sahabatnya, sebagaimana orang yang mencintai itu cemburu kepada orang yang dicintainya. Maka, ketamakan-ketamakan cinta yang paling dalam itu dari orang yang mempunyai posisi dari orang yang dicintainya, posisi dalam agama dan pangkat, dimana tidak ada ketamakan terhadap lebih banyak dari itu. Ini merupakan puncak dari ketamakan-ketamakan orang yang mencintai karena Allah SWT.[263]

Kemudian ketamakan itu semakin meningkat dalam tiap pertemuan, dalam pembicaraan, dan dalam hal tolong menolong. Ini merupakan wujud ketamakan-ketamakan seeorang terhadap pemimpinnya, kawannya, dan kerabatnya.

Puncak dari ketamakan-ketamakan orang yang mencintai, itu dari orang yang menyukai pembauran dengan anggota-anggota. Apabila ketamakan itu terbuka terhadap sesuatu dikarenakan beberapa sebab yang menuntunnya, maka jiwa itu cenderung pada sesuatu yang dikehendaki tersebut. Perkataan ini, dari Ibn Hazm yang sesuai dengan pendapat Ibn Daud, bahwasanya cinta adalah ketamakan yang lahir dalam hati. Seseorang yang mengakui atas pendirian melihat Allah, itu akan menemukan kerinduan yang sangat besar terhadap pertemuan tersebut. Begitu dalam kerinduannya untuk melihat Allah, maka dia tidak akan puas dengan nilai selain pertemuan tersebut, karena orang itu hanya menginginkan untuk melihat Allah. Kita menemui orang yang mengingkari terhadap paham melihat Allah, jiwa orang tersebut merindukan untuk melihat Allah, tapi sama sekali tidak mengharapkannya, karena orang tersebut tidak tamak untuk melihat Allah. Engkau bisa mengetahui orang tersebut hanya cukup menginginkan ridho dan tinggal di surga saja, karena dirinya tidak tamak lebih dari hal tersebut.[264]

Artinya, sesungguhnya Ibn Hazm berpendapat, bahwasanya seluruh cinta memiliki jenis yang sama, dan itu adalah sebuah keinginan merasa dekat dan berhubungan dengan pihak yang dicintai, dan akan tetapi cinta tersebut berbeda-beda macamnya menurut perbedaan tujuan-tujuan dalam cinta. Kalau tidak demikian, semua karakter-karakter manusia itu sama, dan kebiasaan serta keyakinan agama itu mempunyai pengaruh nyata dalam cinta, bentuknya, kehormatannya, dan kesuciannya.

Adapun tingkatan-tingkatan cinta menurut Ibn Hazm itu ada lima:

1. Al-Istihsan (menganggap baik), yaitu tergambarnya gambaran orang yang dilihat secara baik oleh pihak yang melihat, atau ia menganggap baik akhlaknya. Ini masuk dalam kategori tak terduga (tasoduk).

2. Al-I’jab (rasa takjub), yaitu karena keinginan dari orang yang melihat terhadap orang yang dilihat dalam kedekatannya.

3. Al-Alafah (keharmonisan), yaitu kerinduan terhadapnya ketika ia tidak ada.

4. Al-Kalf (rasa suka), yaitu, pikiran yang dipenuhi dengan perasaan tersebut, yaitu cinta.

5. Asy-Syanf, yaitu mencegah tidur, makan, dan minum, kecuali hanya sedikit saja. Hal itu bisa saja menyebabkan timbulnya sebuah penyakit, goncangan atau bisa menyebabkan kematian. Yang melatari tingkatan ini, sesungguhnya bukanlah berujung pada cinta.

Ibn Hazm berpendapat, bahwasanya seluruh jenis-jenis ini dengan selesai disertai berakhirnya alasan-alasan (illah)nya, dan bertambah dengan meningkatnya alasan (illah), dan berkurang dengan menurunnya alasannya (illah). Diyakini tanpanya, ia lemah ketika jauh dengannya, kecuali mahabbah(cinta) yang benar, yang berasal dari jiwa, maka mahabbah ini akan kekal kecuali bila datang maut.

Ibn Hazm berpendapat, bahwasanya al-Isq itu lebih kuat daripada al-hub, dan ini seperti Ibn Sina, Ibn Daud, dan Ikhwan As-Sofa. Ibn Hazm mendefinisikan cinta, bahwasanya cinta adalah istihsan (anggapan baik) rohani dan peleburan kejiwaan, dimana jiwa seorang pecinta, itu bersih dan mengetahui terhadap suatu tempat yang ia ikuti ketika berdampingan. Jiwa tersebut selalu mencarinya(cinta), menujunya, dan menginginkan agar hubungan-hubungannya itu bisa menarik cinta. Apabila cinta itu menempatinya, ibaratnya seperti magnet dan besi, maka tatkala kekuatan magnet itu bertambah, meningkat pula kekuatan tarikannya terhadap besi, dan begitu juga keadaanya. Apabila syahwat itu dominan dan melampui batasan al-istihsan(anggapan baik) dan sepakat dalam perpisahan (al-fasl) hubungan jiwa yang diikuti karakter-karakter bersama jiwa di dalamnya, maka itu dinamakan “al-isq“(cinta).[265] Maka ‘isq (cinta) itu seperti magnet. Tatkala hubungan itu kuat maka cinta itu juga semakin kuat, misalnya hal itu adalah apabila engkau memegang besi menggunakan tanganmu, besi tidak akan tertarik, karena kekuatan besi itu tidak sampai mengalahkan kekuatan orang yang memegang besi itu, karena ia lebih kuat dari besi…, dan kapanpun elemen-elemen besi itu menjadi lebih banyak, maka bagian-bagian tersebut menjadi lebih sibuk dari elemen-elemen yang lain, dan bagian-bagian besi tersebut merasa cukup dengan bentuk-bentuknya untuk mencari elemen kecil dari kekuatan-kekuatan besi yang menjauhinya itu. Manakala berat magnet itu makin besar dan kekuatan-kekuatan magnet itu menguasai daya medan besi, maka magnet tersebut kembali kepada karakternya yang asal.

Ibn Hazm membubuhkan argumentasi, bahwasanya sebab cinta adalah kesepakatan dan kecocokan. Beliau berkata: “Sebagian argumentasi hal ini juga, bahwasanya engkau tidak menjumpai dua orang yang saling mencintai, kecuali di antara keduanya itu memiliki kecocokan dan sifat-sifat karakter, dan hal ini mesti ada walaupun sedikit. Tatkala semakin banyak hal makin meningkatlah keserasian dan makin kokohlah kasih sayang.” Ibn Hazm menyandarkan pekataannya ini pada ucapan Rasulullah Saw: “Arwah itu ibarat pasukan yang berkumpul, apabila saling mengenal maka bersepakat, dan apabila ada yang saling mengingkari maka akan berselisih.” Begitu juga perkataan yang diriwayatkan dari salah satu orang sholeh: “Arwahnya orang mukmin itu saling mengenal. Oleh karena itu ia merasa sedih dengan perasaan yang tersayat-sayat ketika seorang laki-laki dari kaum yang kurang memahami cinta itu menyifatkannya(cinta) lalu dikatakan kepadanya tentang hal itu. Beliau berkata: “Ia tidak mencintaku, kecuali aku menyepakatinya di sebagian akhlaknya.” Plato juga menyebutkan, bahwasanya kebencian itu disebabkan perbedaan akhlak, dan adapun kesepakatan akhlak itu menyebabkan cinta.

Pendapat Ibn Hazm itu menunjukkan atas keilmuannya yang luas, pendidikan dan studinya terhadap filasafat Yunani, dimana beliau mengambil argumen melalui teks-teks keagamaan, dan menampilkan perkataan-perkataan orang-orang bijak dan para filosof Yunani.

Artinya sesungguhnya ada kesepakatan antara orang bijak dengan filosof, bahwasanya sebab cinta adalah kedekatan dan kesepakatan antara jiwa-jiwa. Mungkin, keindahan dan kebaikan menjadi sebab cinta, yang mana jiwa itu baik, yang selalu menyukai segala sesuatu yang baik, dan condong terhadap gambaran-gambaran yang sempurna. Ibn Hazm berkata: “Sesungguhnya gambaran-gambaran yang baik itu mempunyai kemampuan yang menakjubkan untuk mengirim antara jiwa-jiwa yang jauh.” Ibn Hazm dalam pendapat ini, setuju dengan pendapat Ibn Sina, bahwasanya jiwa itu cenderung mencintai gambaran-gambaran yang baik, maka jiwa itu apabila melihat sebagian gambaran-gambaran tersebut akan merasa tentram didalamnya, dan apabila jiwa itu memilih sesuatu dari bentuk-bentuknya di belakang gambar-gambar itu, maka jiwa itu berhubungan dan ikatan-ikatan yang hakiki menjadi baik. Apabila jiwa itu tidak memilih sesuatu dari bentuk-bentuknya, maka cintanya itu tidak melampui gambaran, dan itu adalah syahwat, dimana syahwat adalah anggapan baik dari badan, dan tatapan mata yang tidak melampui warna-warna.

Akan tetapi Ibn Hazm menegaskan, bahwasanya kebaikan bukan satu-satunya sebab cinta. Karena kita memperhatikan, bahwasanya banyak orang-orang yang mencintai itu menganggap baik suatu bentuk gambar yang kurang sempurna. Kita menemukan beberapa orang yang lebih memilih kerendahan dan mereka tahu bahwasanya itu kerendahan, akan tetapi ia selamanya tidak menemukan hatinya bisa netral darinya, bahwasanya ia mencintainya. Dalam hal ini Ibn Hazm berkata: “Tidak mengherankan terhadap orang yang mencintai keburukan…. Apabila ia melihat pada dirinya, maka ia mendapati dirinya itu mencelanya, kecuali kerendahan, maka ia merasa takjub terhadap kekalahan yang besar ini dan penguasaan yang dahsyat ini, dan itu merupakan benar-benar cinta yang paling jujur. Barang siapa berperilaku dengan tabiat suatu kaum, maka ia bukanlah tergolong dari kaum itu. Ia mengaku akan hasyrat yang tidak ia terima lalu ia beranggapan dan memilih terhadap orang yang dicintai. Adapun ketika cinta itu menutup matanya, menyesatkan pikirannya, dan menguliti kemampuannya, niscaya berubah-ubah antara dirinya dengan khayalan dan keinginan.[266]

Artinya, bahwasanya Ibn Hazm berpendapat, bahwasanya cinta itu bukan dari keinginan kita dan bukan dari pilihan kita, akan tetapi cinta adalah hal yang di luar kemauam kita. Kita tidak mempunyai kekuasaan dalam cinta, kapan cinta itu akan terjadi. Ibn Hazm menegaskan, bahwasanya cinta merupakan suatu penyakit yang kronis, dan di dalam cinta itu juga terdapat obatnya(untuk penyakt itu ), dengan dosis interaksi dan orang yang menikmati, dan penyakit yang dinginkan itu tidak diharapkan penderitanya sembuh. Cinta itu menghiasi pada seseorang sesuatu yang memberikan keharmonisan padanya, dan memudahkan sesuatu yang menyusahkannya, sehingga berubahlah karakter-karakter yang tersusun dan alasan-alasan yang tercipta.

Setelah Ibn Hazm memberikan definisi terhadap cinta, dan berbicara tentang alas an (illah) dan sebabnya, bentuk-bentuk dan macam-macamnya, serta tingkatan-tingkatannya, beliau beranjak menuju pembicaraan tentang tanda-tanda cinta. Beliau berbicara panjang lebar tentang tanda-tanda itu, dan beliau menyebutkan di antara tanda-tanda cinta itu seperti pandangan yang memabukkan pada bab an-Nafs. Apabila empat indra itu mempunyai pintu-pintu menuju ke hati dan jendela-jendela terhadap jiwa, hanya saja mata itu adalah indra yang paling kuat dan petunjuk yang paling benar serta perbuatan yang paling sadar. Mata merupakan pelopor dari jiwa yang jujur, pemandu jiwa yang menunjukkan, cermin yang bersih bagi jiwa yang membantunya untuk mengenali hakekat-hakekat, membedakan sifat-sifat, dan memahami benda-benda yang dirasakan.[267]

Ibn Hazm juga menyebutkan dari sebagian tanda-tanda cinta seperti fokus terhadap pembicaraan orang yang dicintai, mempercayainya, dan mengikutinya bagaimana pembicaraan itu berjalan. Di antara tanda-tanda itu seperti bergegas menuju ke tempat dimana orang yang dicintainya itu ada di sana, dan di antara tanda-tandanya kebingungan yang terjadi, dan ketakjuban pada diri yang mencintai ketika ia melihat orang yang mirip kekasihnya, atau ketika tiba-tiba ia mendengar namanya.

Di antara tanda-tandanya, seseorang itu menjadi dermawan dengan mencurahkan yang ada yang ia mampu berikan.

Ibn Hazm menjelaskan bahwasanya semua itu tanda-tanda cinta pada jalan pertama. Tatkala cinta itu makin menguat pada jiwa, dan api cinta itu menyala-nyala, maka pembicaraannya itu menyenangkan, dan ia tidak menganggap apapun yang datang kecuali hanya kepada yang dicintai, menatapnya dan dekat bersamanya.

Kemudian Ibn Hazm menambahkan pembicaraan yang banyak dan keluarnya nama kekasih dari lidah orang yang mencintainya, dan merasa suka dalam membicarakan kabar-kabarnya, dan membicarakan tentangnya.

Sebagian tanda-tanda cinta juga persatuan dan kerinduan ketika sendiri, dan perpindahan badan tanpa ada batasan yang ia rasakan, dan ketakutan yang menghalanginya dari terbolak-balik, dan begitu juga begadang yang merupakan kelakuannya orang yang mencintai.

Di antara tanda-tanda cinta juga sebagaimana yang engkau saksikan; orang yang mencintai itu mencintai keluarga kekasihnya, kerabat-kerabatnya, dan khususnya dia (kekasihnya), hingga kekasihnya itu menjadi orang yang lebih bernilai daripada keluarganya sendiri dan dirinya sendiri hingga semua yang dimiliki.

Ibn Hazm menyebutkan, di antara tanda-tanda cinta sering menangis, prasangka buruk, dan sering bertengkar di antara dua kekasih. Sesungguhnya saya itu mengetahui siapa orang yang paling bagus prasangkanya, orang yang paling luas jiwanya, orang yang paling banyak sabarnya, orang yang paling besar tanggungjawabnya, dan orang yang paling luas dadanya, kemudian tidak ada kemungkinan dari orang yang menyukai sesuatu, tidak terjadi pembangkangan sedikitpun dengan kekasihnya, sehingga ia menampakkan seni(funuun) yang bermacam-macam, dan beragam prasangka buruk.

Di antara tanda-tanda cinta juga perhatian seorang kekasih terhadap kekasihnya, dan menjaganya dari setiap apa yang terjadi pada dirinya, mencari-cari kabarnya hingga satu menit pun tidak terlepas darinya.

Ibn Hazm juga berpendapat, di antara tanda-tanda cinta juga kebingungan dan kekosongan.

Ibn Hazm membedakan antara “al-hub” dan “al-isq“, dimana “al-isq” itu mengalahkan sisi syahwat jasmani. Apabila syahwat itu dikalahkan dan mampu melampui anggapan baik (istihsan) serta sepakat dalam perpisahan (al-fasl) hubungan jiwa yang diikuti karakter-karakter bersama jiwa di dalamnya, maka itu dinamakan “al-isq“(cinta).

Ibn hazm berkata, dari sini sebagian orang menyangka bahwasanya cinta dua orang yang saling berbeda merupakan keniscayaan, dan hal itu tidak seperti demikian, ini hanya dari sisi syahwat saja. Cinta itu kadang dinamakan secara majas bukan dalam bentuk hakekat. Adapun jiwa seorang kekasih, maka ia cenderung tidak menganggapnya sebagai keutamaan, yang memalingkannya dari sebab-sebab agama dan dunianya, maka bagaimana tentang menyibukkan dengan cinta lain.

Ibn Hazm percaya dengan keesaan dalam cinta, dan menegaskan bahwasanya manusia itu tidak bisa mencintai lebih dari satu orang pada waktu yang sama. Ikhwan As-Sofa telah berpendapat yang seperti ini sebelumnya, yang mana jiwa itu tidak mungkin untuk mencintai lebih dari satu orang. Apabila jiwa itu mencintai sesuatu, ia akan merasa rindu, mengingatnya, mencarinya, dan menujunya dimanapun cinta itu ada. Jiwa itu tidak akan menoleh terhadap apapun selainnya, dan jiwa tidak akan meninggalkannya.

Kemudian Ibn Hazm menampilkan bentuk-bentuk cinta, macam-macamnya, fenomena-fenomenanya, dan jangkauan-jangkauannya. Beliau juga berbicara tentang orang yang jatuh cinta karena mimpi, orang yang jatuh cinta karena sifat, orang yang jatuh cinta karena sebuah pandangan, dan orang yang tidak jatuh cinta kecuali melewati proses yang panjang. Barang siapa yang jatuh cinta karena karakter, maka ia tidak akan menganggap baik selain karena karakter itu. Ibn Hazm juga berbicara tentang sesuatu yang berhubungan dengan cinta seperti surat-suratan, menyembunyikan rahasia, menyiarkan, kepatuhan, dan perbedaan-tepat janji-kematian-keburukan maksiat-menjaga kehormatan.

Sebenarnya, Ibn Hazm dalam bukunya Tok al-Khamamah, itu sangat berterus terang sekali terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan tema cinta. Beliau tidak meninggalkan satu sisi pun dari sisi-sisi cinta, dan tidak mengabaikan satu fenomena pun dari fenomena-fenomenanya, dan beliau tidak merasa takut untuk berbicara dalam tema apapun dari tema-tema cinta. Akan tetapi beliau mempelajari segala hal yang berhubungan dengann cinta secara mendalam(dari jauh), hingga beliau menyuguhkan tentang teori yang sempurna tentang cinta, dimana teori tersebut mengungkapkan melalui pemaparan yang jujur tentang insting naluri tersebut, dan hakekat nyata yang mana manusia itu masih saja di seluruh belahan bumi dan waktu masih saja bergelut dengan naluri ini, merasakannya, merasakan cela-nya, menganalogikan derita-deritanya, dan mereka masih saja sibuk dengan cinta sebagaimana mereka menghadapi bagian-bagian kehidupan. Bahkan mereka masih menjangkiti dirinya dengan cinta sebagaimana mereka akan menghadapi kematian. Dalam hal itu tidak ada bedanya antara orang-orang yang sungguh-sungguh dan orang-orang yang main-main, begitu juga tidak ada bedanya antara orang-orang yang mencurahkan hidupnya untuk ilmu dan orang-orang yang sibuk dengan sastra dan seni, dan orang-orang yang sibuk dengan politik dan perang.

Kenyataanya, bahwa Ibn Hazm dalam studinya terhadap cinta dan perhatiannya dalam meneliti cinta, beliau benar-benar orang yang serius, orang yang sholeh, orang yang bertakwa, dan orang yang wara(berhati-hati). Hal itu telah beliau ungkapkan dalam perkataanya: “Secara keseluruhan, sesungguhnya saya tidak berkata dengan kebingungan. Saya tidak melakukan ritual dengan ritual-ritual orang ‘ajam. Barang siapa melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan dan menjauhi keharaman-keharaman yang dilarang, dan dia tidak melupakan kebaikan yang ada di antara dirinya dan manusia, maka ia telah mendapatkan nama “al-ihsan“. Dan memikirkan selain itu, cukuplah Allah bagiku.

Heruando seorang orientalis Spayol berkata: “Sesungguhnya Ibn Hazm itu menuju akhlak melalui cinta, yang mana beliau mengkhususkan sebuah sub pembahasan dalam studi-studi akhlaknya tentang cinta dan yang lain tentang keindahan, dan hubungan yg member dan menerima (give and take) di antara keduanya(cinta dan keindahan). Beliau juga menampilkan pembahasannya secara panjang dalam bukunya tersebut, Tok Khamamah.[268]

Prof. Arberry juga berkata, bahwasanya barangsiapa membaca tentang cinta dalam Tok al-Khamamah karya Ibn Hazm, maka dia akan melihat secara terang bagaimana Ibn Hazm begitu terpengaruh dengan agama Islamnya, menghormati tradisi-tradisinya, dan akhlak Islamnya dalam teorinya tentang cinta yang didasarkan pada asas dari agama dan akhlak.[269]

Sungguh, sebenarnya Ibn Hazm dalam setiap ucapan dan perbuatannya, itu hanya bersumber dari sense religi yang lurus, akidah Islam yang benar, akhlak Islam yang selamat, kesadaran, dan pemahaman terhadap makna-makna teks-teks agama, serta cakupan perintah-perintah dan larangan-larangannya, dan itu akan nampak jelas sekali dalam sub tema buruknya maksiat-maksiat, dan keutamaan menjaga harga diri (Kophul ma’asi wafadlut ta’afuf).[270]

Ibn Hazm berkata: “Ketahuilah-semoga Allah memuliakanmu-bahwa cinta mempunyai kekuasaan pada jiwa-jiwa melewati sebagai seorang raja dan sebagai hakim, perintah yang tidak terbantah dan hukum yang tidak dilanggar, kekuasaan yang tak terkurangi dan ketaatan yang tidak terbatasi, dan cinta teraplikasi yang tidak terbantah, dan sebenarnya cinta itu mengurangi kepahitan.[271] Cinta menempati posisi yang menguatkan dan menjinakkan yang keras, dan cinta menjadi kokoh. Cinta bertempat di jantung hati dan menguasai hal yang dilarang, dan engkau telah saksikan banyak dari orang yang tidak dituduh kemampuan akal mereka, dan orang yang tidak ditakutkan jatuhnya pengetahuan mereka, dan kehendak mereka yang terjajah, dan perkiraan mereka yang tidak dibatasi, dan mereka itu digolongkan sebagai para kekasih di sebagian sifat-sifat mereka yang tidak dianggap baik menurut manusia, dan tidak disukai dalam keindahan, maka kata-kata kotor mereka pembiasan dari hawa nafsunya, dan puncak anggapan baik mereka, dan istihsan (anggapan baik) sifat-sifat tersebut yang tidak memisahkan mereka, dan tidak nampak mereka lebih memilihnya daripada yang lebih baik dari sifat-sifat tersebut dalam makhluk, dan mereka tidak cenderung pada selainnya, akan tetapi sifat-sifat baik tersebut ditinggalkan oleh manusia, yang jatuh di mata mereka, hingga mereka meninggalkan dunia, dan umur mereka habis, merindukan orang yang mereka anggap hilang, dan kebersamaan bagi orang yang menyertainya, dan aku tidak mengatakan bahwa hal demikian itu reka-rekaan saja, akan tetapi itu pasti, dan pilihan yang tidak bisa diotak-atik, dan mereka hanya melihat pada hal ini, dan mereka tidak mengatakan dalam keyakinan mereka selain hal ini, dan sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu tentang kekurangan-kekurangan[272] dalam diri kekasihnya yang baik itu, dan apa yang dianggap baik(istihsan) itu menjadi kelembutan, dan tidak ada kelembutan setelah itu, dan aku adalah di antara orang yang paling menolak pendekatan seorang hamba yang suka terhadap istana, maka ia tidak akan mencintai pada waktu yang lama setelah ini, dan itu banyak.’

Seperti orang yang mencintai seorang hamba, dimana di dalam mulutnya itu ada luasnya kelembutan, maka ia akan merasa jijik dengan semua mulut yang kecil dan mencelanya, juga membencinya dengan membenci yang benar.

Ibn Hazm membuat sebuah pendekatan perumpamaan dengan dirinya, dan beliau berkata: “Kukabarkan padamu, bahwasanya di saat kecilku, kumencintai seorang hamba yang mempunyai rambut berwarna kemerahan, dan waktu itu yang kuanggap baik adalah perempuan yang berambut hitam.”[273]

Ibn Hazm berpendapat bahwasanya, sebab cinta tidak selalu kebaikan dan keindahan.

Ibn Hazm berbicara tentang beberapa sifat-sifat cinta. Beliau berkata, “Lidah yang menyembunyikan, seorang kekasih yang menyangkal apabila ditanyai sesuatu, dan berpura-pura menampakkan kesabaran.”[274] Ibn Hazm mendasarkan sebab merahasiakan itu adalah bentuk perlindungan seorang pecinta terhadap tanda yang menandai dirinya ini menurut manusia, karena tanda tersebut menurut dugaannya itu tergolong sifat-sifat orang yang suka berbuat salah, maka ia menjauhinya dan lari dari padanya.

Ibn Hazm menolak persangkaan ini dan menyalahkannya. Beliau berpendapat bahwa yang menjadi kewajiban seorang muslim, itu agar menjaga harga diri dari hal-hal yang diharamkan Allah yang ia datangi dengan pilihannya, dan ia akan dihitung atas perbuatan tersebut di hari kiamat.

Ibn Hazm mengeluarkan cinta dari iman yang dalam berdasar agama dan ketaatannya yg sempurna kepada Allah SWT dan perintah-perintah-Nya. Ibn Hazm lebih mengutamakan sebab dari lisan yang menyembunyikan amerupakan seorang kekasih untuk lebih menetapkan kekasihnya, dan sesungguhnya ini sebagian dari bukti-bukti menepati dan tabiat yang mulia.

Ibn Hazm berkata: “Mungkin sebagian sebab-sebab menyembunyikan adalah, seorang yang mencintai itu melihat penolakan dan larangan dari kekasihnya dan ia mempunyai jiwa yang membangkang. Maka ia berusaha untuk menutupi dengan apapun yang ia temui agar musuh itu tidak menciumnya atau melihatnya, dan dari orang lain yang mencintai bahwasanya kekasihnya itu miliknya. Kebalikan menyembunyikan itu adalah menyiarkan dan memberitahukan dikarenakan keinginan dari orang yang mencintai agar ia itu berpenampilan dengan penampilan orang-orang yang mencintai serta termasuk dalam golongan mereka. Ini menarik dan tidak diinginkan, dan ini kebimbangan[275] yang kotor serta anggapan palsu dalam cinta.

Ibn Hazm mendasarkan sebab keterbukaan(kasyaf) itu pada cinta yang besar dan blak-blakan yang melampui rasa malu, maka ketika itu manusia tidak memiliki penolakan dan tak berkutik bagi dirinya sendiri, dan ini merupakan sebagian dari tujuan-tujuan yang jauh dan manajemennya yang kuat terhadap akal.

Ibn Hazm berkata: “Banyak tabir yang dilindungi, yang kain penutup kepala perempuan yang diturunkan, yang penutup yang dibuka, dimana cinta itu telah membuka tabirnya dan membiarkan tindakan kriminalnya, dan mengabaikan teka-tekinya…. Maka, jari telunjuk menjadi sebuah ilmu, dan diam itu menjadi perumpamaan.”[276]

Ibn Hazm juga berkata tentang kabar-kabar orang Arab, bahwasanya kaum perempuan mereka itu tidak merasa puas dan tidak mempercayai cinta seorang pecinta kepada mereka, hingga cintanya itu menjadi mashur, dan ia membuka cintanya dan mentransparankannya, mengumumkannya, dan selalu mengucapkan cinta itu manakala menyebut mereka, dan aku tidak tahu apa artinya ini! Sementara kaum perempuan Arab itu dikenal disebut dengan harga diri, dan harga diri model apa, dengan perempuan yang mempunyai keinginan dan kegembiraan puncak keinginan dan kegembiraanya itu adalah biar terkenal dalam hal ini.

Ibn Hazm juga membicarakan tentang tanda-tanda cinta, maka beliau menambahkan kepatuhan, kepatuhan seorang kekasih terhadap kekasihnya, dan ia mengalihkan sikapnya yang keras dan ia merubah sifatnya yang keras menjadi karakter yang disukai kekasihnya, dan mungkin seseorang itu mempunyai perilaku yang jahat, yang susah untuk memberi, tidak patuh pada aturan, tajamnya keinginan, jiwa-jiwa yang berkobar yang mengabaikan tenggelamnya, maka ia hanya bernafas dengan cinta dan banyaknya cinta menutupinya, dan ia berenang dalam lautan cinta, maka kejahatan itu menjadi lembut, dan kesulitan itu menjadi mudah, tajam menjadi tumpul, dan kobaran api menjadi teduh.

Ibn Hazm berpandangan, bahwasanya cinta itu bisa mengubah akhlak yang rusak, tabiat yang jahat, dan memberikan/menjadikan seorang kekasih itu bersih(wado’a) dan ceria. Itu termasuk keutamaan-keutamaan jiwa. Jadi, cinta itu mendidik jiwa-jiwa dan memperbaiki akhlak.

Ibn Hazm berpendapat, bahwasanya kesabaran dari orang yang dicintai dan tanggung jawabnya itu bukan kehinaan bagi jiwa, dengan ukuran bahwasanya itu kebaikan, karena orang yang dicintai itu tidak ada bandingannya.

Maka orang yang mencintai itu lebih mengedepankan cinta kekasihnya daripada cintanya dan mengedepankan keinginan kekasihnya daripada keinginannya, serta mampu bersabar.[277]

Ibn Hazm juga berbicara tentang hubungan dalam cinta, beliau berkata: “Sesungguhnya di antara bentuk-bentuk cinta itu adalah perhubungan. Ia merupakan keberuntungan yang tinggi, tingkatan yang menggembirakan, derajat yang tinggi, dan kebahagiaan yang muncul. Bahkan ia adalah kehidupan yang selalu diperbaharui dan hidup yang bahagia, kegembiraan yang langgeng, dan rahmat Allah yang besar.” Ibn Hazm juga berkata: “Kalau dunia itu bukan sebagai tempat lewat, cobaan, kotor, dan surga itu tempat kebahagiaan yang langgeng dan ketentraman dari seluruh kepedihan, niscaya kami akan mengatakan bahwasanya hubungan yang dicintai dengan orang yang dicintai adalah kejernihan yang tiada kotorannya, dan kegembiraan yang tiada kemuraman dan sedih bersamanya, serta harapan-harapan sempurna dan puncak dari harapan.

Tidak ada sesuatu yang lebih manis dan lebih agung daripada perhubungan, dan tidak ada yang lebih baik daripada hubungan seorang kekasih.[278]

Kemudian Ibn Hazm membicarakan mengenai dirinya, beliau berkata: “Dariku kukabarkan kepadamu bahwasanya aku samasekali tidak melihat air dari perhubungan, dan tidak menambahiku kecuali rasa haus.”

Ini merupakan hukum bagi orang yang mencari obat menggunakan air, dan sesungguhnya air yang ada darinya itu merupakan obat yang paling cepat, dan hal itu telah sampai dengan orang yang mencintai tujuan-tujuan yang mana di belakang tujuan itu manusia tidak menemukan tempat sasaran (marma).

Maka hal tersebut tidak mendapatkanku kecuali aku meminta lebih. Hal itu telah lama terjadi padaku, hingga aku tidak merasa ada keberanian, dan sesuatu yang remeh itu membuatku takut. Kuikuti sebuah majlis bersama sebagian orang yang aku cintai, maka aku tidak menemukan perasaanku dalam salah satu seni dari seni-seni berinteraksin, kecuali aku hanya mendapatkannya kurang dari kemauanku, dan tidak mengobati naluriku, dan tidak memenuhi hajatku yang sedikit dari beberapa kebutuhan-kebutuhanku.

Ia mendpatiku tatkala makin rendah, maka aku juga makin mencintai. Dan api kerinduan itu mencela api nurani yang ada di antara tulang rusukku.

Artinya, bahwasanya Ibn Hazm berpendapat, sesungguhnya berhubungan itu menguatkan cinta dan memberikan keberanian bagi cinta. Ibn Hazm dalam pendapat ini sepakat dengan sudut pandang Ibn Sina, Ikhwan As-Sofa dan Ibn Daud.

Kemudian Ibn Hazm berbicara banyak tentang nilai-nilai akhlak yang mencakup cinta. Beliau berpendapat, bahwasanya nilai-nilai yang paling penting ini adalah menepati(al-wafa), yang mana sesungguhnya sikap menepati adalah perasaan paling terpuji dan akhlak paling mulia, dan sesungguhnya sikap menepati itu merupakan bukti terkuat dan paling jelas terhadap prinsip yang baik dan unsur yang mulia.

Tingkatan pertama dari sikap menepati adalah, agar manusia itu menepati orang yang menepatinya. Ini merupakan kewajiban yang lazim dan suatu hak yang wajib bagi orang yang mencintai dan orang yang dicintai, dan tidak berpindah darinya kecuali seorang pendusta yang tidak mempunyai akhlak serta tidak mempunyai kebaikan. Kemudian Ibn Hazm berkata: “Meskipun tidak, tulisan kami ini tidak bermaksud untuk berbicara tentang akhlak manusia dan sifat-sifatnya yang menjadi karakter dan bernaluri dengan sifat itu, dan tidak lebih dari naluri yang dikarakterkan, dan naluri itu tidak habis karena tidak dikarakterkan, niscaya kutambahi di tempat ini sesuatu yang semestinya diletakkan, misalnya. Akan tetapi maksud kita membicarakannya itu adalah rasa keinginan tentang hal cinta.”

Pendapat dari Ibn Hazm ini menjelaskan ikatan erat antara akhlak dengan cinta, karena cinta sebagaimana yang telah kita katakan merupakan keutamaan dari seluruh keutamaan, dan cinta adalah kebaikan tertinggi, serta cinta itu mencakup banyak nilai-nilai akhlak, Ibn Hazm juga menegaskan bahwasanya sikap menepati dari seorang kekasih itu mesti ada terhadap orang yang dicintai, dan merupakan syarat wajib karena orang yang mencintai adalah orang yang menampakkan secara melekat, mengumpan dan menjumpai ikatan krisis. Dialah orang yang mempunyai maksud ikatan sebuah kasih sayang dan berharap hubungan yang sehat, dan orang yang pertama dalam kategori orang yang mencari kejernihan, dan dalam mencari kesenangan dengan menjadikan teman, serta orang yang membatasi dirinya dengan tali kekang cinta. Ibn Hazm berkata: “Allah telah memberikanku sikap menepati terhadap segala sesuatu yang mematikan., dan Allah telah memberikanku penjagaan dari orang-orang yang ingin mencelaku, walaupun berbicara dengannya waktu yang salah, dan saya bersyukur dan memujiNya dan dariNya lah aku meminta panjang dan lebih, dan tidak ada yang lebih berat dariku kecuali penghianatan[279]

Kemudian Ibn Hazm berbicara tentang penghianatan yang dianggap sebagai lawan dari sikap menepati, beliau berkata: “Sebagaimana bahwasanya sikap menepati adalah dari rahasia kebaikan dan sifat-sifat yang mulia, dan begitu juga sikap berkhianat merupakan akhlak yang tercela dan dibenci[280] dan dinamakan penghianatan (ghadar) itu dari orang yang mencampakkan janji. Firman Allah Swt.,

“Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS. As-Syuura: 40)

Ibnu Hazm menegaskan bahwa kejelekan yang jarang dilakukan adalah bilamana seorang kekasih pergi ke kekasihnya akan merasa senang dengan mengetahui rahasia-rahasia kekasihnya, berusaha untuk mengalahkan dan menaklukanya.

Ibnu Hazm membicarakan tentang penjelasan mengenai pengungkapannya yang bertentangan dengan wishal. Wishal yaitu hubungan antara jiwa-jiwa (cinta) yang bisa menimbulkan kesedihan, kepedihan dan penyesalan. Dia bercerita, “Aku pernah merasakan cobaan yang sangat pahit. Saya pernah jatuh cinta kepada seorang gadis yang tidak saya kenal namanya. Gadis itu menjadi harapan bagi setiap orang. Dia sangat cantik, berperilaku baik dan cocok denganku. Sedangkan Ayahku melarangnya. Padahal, aku telah terlanjur cinta. Hingga akhirnya kotoran-kotoran yang menimpa gadis itu mengagetkanku. Seiring berjalanya waktu, dia menjadi debu dan batu-batu. Ketika dia meninggal, aku baru berumur kurang dari dua puluh tahun. Dia lebih muda dariku. Setelah kejadian itu, aku tidak berganti pakaian dan selalu menanggis selama tujuh bulan. dengan kejadian itu, demi Allah, saya tidak bisa melepasnya hingga sekarang, sebelum ada ganti yang dapat menebusnya dengan segala apa yang aku miliki, seperti harta benda dan anggota tubuhku untuk menghidupkan kembali. Setelah itu, hidupku terasa hampa. Aku selalu menyebutnya. Tidak ada yang bisa memalingkanku kecuali dia. Seluruh cintaku telah kuserahkan padanya. Pintu hatiku telah tertutup.”[281]

Ibnu Hazm banyak mengutip pendapat Ibnu Abi Daud dalam kitabnya. Dia mengatakan sabda Nabi; “orang yang mencintai dan selalu menjaga hawa nafsunya, kemudian meninggal, maka dia adalah orang yang mati syahid”. Artinya adalah, dia mempunyai kekuatan untuk menahan hawa nafsu dan melakukan maksiat. Sifat iffah membantu akal untuk memperoleh keutamaan. Sehingga Ibnu Hazm membahas tentang jeleknya kemaksiatan dan kehinaan dalam bagian tersendiri. Dalam dirinya menampakan keagamanya, keagunganya, kemulyaanya dan kemampuanya dalam menganalisa jiwa manusia, penjelasan tentang gerak-geriknya dan ketertarikanya terhadap jenisnya. Dia mengatakan: mayoritas manusia mengikuti hawa jiwanya, tidak pada akal sehatnya. Sehingga mereka mengikuti hawa nafsunya, melepas agamanya dan menjauhi apa yang diperintahkan Allah. Dalam hati-hati yang baik, Allah memberikan sifat iffah, menjauhi maksiat dan tidak mengikuti hawa nafsunya. Sehingga mereka takut kepada Allah. Ada juga yang mengikuti Iblis dengan apa yang disukainya, seperti nafsu dan maksiat. Sehingga mereka melakukan maksiat didalam kesenangan iblis. Kita tahu bahwa Allah swt telah memasang dua watak yang saling berlawanan dalam diri manusia. Pertama, hanya menunjukkan ke hal-hal yang baik, hanya mendorong kepada kebaikan, dan hanya menggambarkan hal-hal yang menyakitkan. Watak itu adalah akal, dan sesensinya adalah keadilan. Kedua, kebalikan dari yang pertama. Dia hanya menunjukkan kepada kesenangan-kesenangan (syahwat) dan hanya mengakui kejelekan. Watak itu adalah hawa nafsu, yang dikendalikan oleh kesenangan-kesenangan sesaat. Sebagaimana firman Allah swt. “Sungguh nafsu ini menyuruh kejelekan” (Q.S. Yusuf;53). Dan akal dijuluki dengan hati, sebagaimana firmanNya Q.S. Qaf: 37:

“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya“. Dan Q.S. al-Hujurat;7 ;”Akan tetapi Allah menjadikan kalian ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hati kalian“. Yang dimaksudkan adalah orang-orang yang memiliki akal.

Dua watak tersebut ada dalam diri manusia. Keduanya adalah dua kekuatan dari kekuatan tubuh manusia yang banyak aktiftasnya menggunakan itu. Keduanya akan selalu berhadapan dan berlawanan selama-lamanya. Jika akal manusia bisa mengalahkan hawa nafsunya maka dia akan terhindar dari hal-hal yang buruk, bisa menundukkan bisikan-bisikannya serta cahaya Allah akan meneranginya dan bisa berbuat adil.

Akan tetapi jika hawa nafsu bisa mengalahan akal, maka hati menjadi buta, tidak bisa membedakan antara baik dan jelek, sangat kabur dan tidak jelas, serta akan terperosok ke dalam jurang kesesatan dan terhempas ke dalam kehancuran. Dengan hal inilah perintah dan larangan menjadi baik, wajib menyempurnakan, pahala, siksa dan balasan menjadi sah, dan jiwa bisa menjadi subjek dan objek antara dua watak ini, serta pembawa bertemu dengan keduanya. Ibnu Hazm menyanggah anggapan orang yang mengatakan bahwa hanya orang-orang lelaki saja yang merupakan orang yang mampu mengekang syahwat mereka. Dia menyatakan bahwa lelaki dan wanita sama dalam kecenderunganya. Tak ada lelaki manapun yang ditawari cinta seorang perempuan yang cantik secara terus menerus, serta tidak ada hal yang menghalanginya, melainkan dia jatuh dalam sekutunya syetan dan maksiat-maksiat itu mendorong hasrat dan keingginan. Tidak ada perempuan manapun yang diajak oleh lelaki dengan hal yang sama melainkan dia akan menghinakannya, pasti, telah terbukti, telah terjadi dan tidak bisa hindari. Ibnu Hazm menganggap jauh bila kebaikan ada dalam lelaki dan perempuan itu. Amat disayangkan bila disangka sebaliknya.

Ibnu Hazm mendefinisikan kebaikan dengan pernyataannya, “Bahwa kesalehan seorang perempuan adalah ketika dia disuruh, langsung mengerjakan. ketika dilarang melakukan hal-hal yang jelek dia mencegahnya. Sedangkan perempuan yang jelek (tidak shalehah) adalah jika disuruh, dia membangkang. Ketika ada sebab-sebab yang memudahkan dia untuk melakukan hal-hal yang buruk, dia akan berusaha mendapatkannya dengan berbagai cara.”

Lelaki yang shaleh tidak bolak-balik masuk komunitas pasar dan tidak mengarahkan pandangan menariknya untuk tergoda. Sedangkan orang fasik adalah seorang lelaki yang bergaul dengan orang yang tercela, menebarkan pandangannya pada wajah-wajah yang berparas cantik, bertujuan melakukan hal-hal yang menyakitkan dan suka berduaan yang bisa merusak dirinya.

Kesalehan lelaki dan perempuan ibarat api dalam sekam yang tidak akan bisa membakar sekelilingnya kecuali digerak-gerakkan. Sedangkan kefasikan keduanya ibarat api yang menyala yang akan membakar semuanya.[282]

Ibnu Hazm membicarakan tentang jiwa-jiwa manusia, sebuah kejadian biasa yang sudah tersebar. Dia mengatakan; “Apabila ada seorang perempuan yang tidak diperhatikan, lantas datang seorang lelaki yang menawarkan diri, maka keduanya akan rusak. Oleh karena itu, haram atas orang Muslim bersenang-senang dengan mendengarkan nyanyian perempuan yang bukan mahram (yang tidak boleh dinikahi). Pandangan pertamamu bermanfaat bagimu sedangkan pandangan berikutnya berbahaya bagimu. Rasulullah saw. Telah bersabda; “Barang siapa yang memperhatikan seorang perempuan saat dia sedang menjalankan puasa hingga dia mengatahui bentuk tubuh si perempuan itu, maka puasanya batal.”[283]

Oleh karena itu Ibnu Hazm berpegang teguh pada nash (teks) agama yang melarang keinginan saat dia condong terghadap hawa nafsu dan keinginannya terhadap masalah-masalah ini. Dan sesungguhnya orang yang mengekang hawa nafsunya adalah orang yang memerangi dirinya sendiri, dan sangat berhati-hati.

Dalam konteks ini, Ibnu Hazm akan mengerahkan kemampuannya untuk menjelaskan tentang keutamaan menahan diri dalam melakukan hal yang dilarang dan menuruti perintah-perintah syara’ dan agama. Karena hal tersebut bisa memperbaiki tingkah laku, dapat menenangkan rohani dan mensucikan jasmani. Ibnu Hazm berbicara tentang menahan diri dan mensucikanya dengan takut kepada Allah swt dan meminta perlindungan dariNya sembari berucap; “Allah mengetahui, hanya Allah Yang Maha Mengetahui, sungguh aku terbebas dari kerusakan, manusia yang selamat, bergaul dengan baik dan suci dari hal-hal yang jelek. Aku bersumpah, tidak akan pernah aku perkenankan kejantananku menyentuh vagina yang haram. Sehingga Allah tidak menghisabku dengan dosa besar, berbuat zina, sampai hari ini. Segala puji dan syukur bagi Allah kepada apa yang telah diberikan dan semoga tetap terjaga pada apa yang akan datang.

Ibnu Hazm berpandangan bahwa pengendalian ini bisa menyebabkan jiwa menjadi sehat, tak lain hanyalah nikmat Allah yang wajib dan harus selalu disyukuri. Hal itu merupakan kewajiban seorang Muslim untuk selalu menyebut nikmat Tuhannya yang telah diberikan kepadanya serta pertolongan bisa melakukan perintah-perintahNya.

Beliau mengembalikan pengendalian dan penyucian diri ini, yang telah bersemayam dalam dirinya ini, kepada awal tumbuh kembang dirinya yang berada di antara para ahli ruqyah dan mendampingi Abi Ali al-Fasi yang merupakan guru beliau yang sangat baik, ahli ibadah, selalu menjauhi hal-hal yang dilarang dan zuhud, sehingga dia mendapat banyak manfaat darinya. Dimana beliau memberitahunya tentang kejelekan dan kemaksiatan. Beliau merupakan panutan yang baik, sehingga beliau mengikutinya.

Ibnu Hazm membicarakan dirinya, bukan untuk memuji diri dan berbangga diri, akan tetapi lebih mengukuhkan kebajikan dan pengendalian dirinya dalam menguji coba kepribadian yang ada dalam dirinya. Dia telah berhasil keluar dari kepribadiannya dengan selamat, sehat, bersih, bisa menahan diri, dan bisa menolong diri dan hawa nafsunya. Berbeda dengan kebanyakan orang yang tidak bisa sampai pada level pengendalian (‘iffah) dan kesucian (thaharah). Karena uji coba merupakan pemisah dan hal yang pasti di dalam konteks semacam ini. Sedikit dari mereka yang mampu meluruskan nafsu mereka. Karena sesungguhnya nafsu banyak menyuruh hal-hal yang jelek.

Dia mengatakan, “Barang siapa yang mensifati dirinya dengan bisa menguasainya dan mengontrolnya maka sesungguhnya itu hanya dengan kekuatan Allah.”

Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Jauhilah antara hawa nafsu lelaki dan perempuan”. Dan juga berdasarkan ayat yang menjelaskan tentang cerita Yusuf as. Sesungguhnya Allah mendatangkan hal itu untuk memberitahukan kepada kita akan kekurangan dan kebutuhan kita terhadap perlindunganNya. Sesungguhnya pondasi kita lemah dan diri kita telah dicap terbujuk terhadap kecantikan luar dan condong untuk berbuat sek. Oleh karena itu, harus meluruskannya dan menjauhkannya serta mengontrolanya dari sesuatu yang bisa melemahkannya dan merusaknya. “Jangan memberi kesempatan syetan untuk menundukkannya.” Sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir. (al-Qaf:16-18)

Ibnu Hazm membahas tentang keberanian jiwa, pertentanganya dan kecenderunganya, dengan jelas yang berdasarkan pada teks-teks agama serta menganalisa tingkah laku dan mendefinisikan jiwa untuk memperoleh pertolongan dan perlindungan Allah. Dia adalah Dzat yang maha mengetahui, tidak nampak dan yang Nampak.

“Mereka bisa bersembunyi dari orang-orang akan tetapi tidak bisa bersembunyi dari Allah. Dia selalu bersama mereka”. (al-Nisa’:108).

Allah swt Maha Mengetahui, barang siapa yang tidak takut kepadaNya, maka mudah bagiNya melakukan segala hal atasnya. Dengan demikian, wajib atas orang Muslim untuk tidak meremehkan hal-hal yang diharamkan oleh Allah, selalu takut kepadaNya di kala sepi dan melaksanakan apa yang diperintahkan serta menjauhi apa yang dilarang. Karena di dalamnya terdapat kebaikan, kemanfaatan dan kebenaran.

Oleh karena itu Ibnu Hazm semangat untuk menjelaskan bahaya meremehkan kemaksiatan dan memperingatkan berpaling dari taat kepada Allah. Kemudian dia menceritakan tentang iblis yang melakukan maksiat hanya sekali yang menyebabkan dia dilaknat selamanya dan siksa yang kekal. Begitu juga Nabi Adam hanya karena dosa sekali dia dikeluarkan dari surga.[284] Menurut Ibnu Hazm hal ini dijelaskan agar manusia mengetahui bahwa alangkah panjangnya kejelekan maksiat dan keremehan itu serta akibat meremehkan dan tidak taat kepada Allah. Allah befirman:

“Orang-orang yang menjahui dosa-dosa yang besar dan perbuatan hina selain dosa-dosa yang kecil, sesungguhnya Tuhanmu Maha luas ampunannya”(al-Najm:31).

Kemudian Ibnu Hazm mengemukakan ayat-ayat Allah yang menjelaskan haramnya berbuat maksiat, kehinaan dan dosa.

Dari sini nampak bagaimana Ibnu Hazm berpegang teguh pada agamanya, selalu melakukan apa yang diperintahkan dan taat kepada Allah serta menjauhi kemaksiatan dan menjelaskan dosanya. Selanjutnya dia membicarakan tentang keutamaan menjaga diri (iffah) dan efek baiknya. Dia mengatakan: “Di antara hal yang paling utama yang diberikan kepada manusia dalam kecintaannya adalah, menjaga diri serta menjahui perbuatan maksiat dan keji, tidak suka berpindah dari tempat ia dilahirkan sebab kenikmatan, dan tidak bermaksiat kepada Tuhannya Yang Mulia, yang menjadikan baginya tempat yang sesuai untuk melakukan perintah dan menjahui laranganNya. Mengutus utusanNya kepada manusia serta menjadikan kalamNya tetap berada di tengah-tengah mereka sebagai penolong dan kebaikan Allah kepada kita.

Ibnu Hazm menjelaskan pahala dan balasan orang yang cinta dan menjaga diri. dia mengatakan, “Sesungguhnya orang yang resah hatinya, sibuk diri, sangat merindu hingga hatinya bergetar, kemudian mendapatkannya dan berkeinginan untuk mengalahkan akal, syahwatnya dan memaksa agamanya hingga akhirnya dia berlaku adil kepada dirinya sendiri dengan baik, mengetahui bahwa itu adalah nafsu yang mendorong untuk berbuat kejelekan, dan ingat kepada pedihnya siksa Allah serta berfikir-fikir atas keberanianya melanggar Allah, serta takut pada hari kiamat dan berdiri dihadapan Allah.[285]

“Di hari itu, harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih“(al-Syu’ara: 88-89).

“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (di mukanya), begitu (juga) kejahatan yang telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh” (al-Imran: 30).

Di waktu wajah-wajah menghadap pada Dzat yang maha hidup. sungguh sangat merugi orang yang menangung dosa di hari kiamat nanti.

“Pada hari (ketika) manusia teringat akan apa yang telah dikerjakannya. dan diperlihatkan neraka dengan jelas kepada setiap orang yang melihat. Adapun orang yang melampaui batas. dan lebih mengutamakan kehidupan dunia. maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).”(al-Nazi’at: 35-39)

Allah berfirman “Dan tiap-tiap manusia itu telah Kami tetapkan amal perbuatannya (sebagaimana tetapnya kalung) pada lehernya. Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab yang dijumpainya terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu” (al-Isra’: 13-14).

Saat al-’ashi (orang yang bermaksiat) berkata, “Waduh celaka, apa isi kitab ini? kitab yang tidak melewatkan dosa kecil dan besar.” Saat itu dia mengetahui perbuatan yang telah ia lakukan dan dosa yang telah ia perbuat.

Ada seorang perempuan suci yang bisa mengontrol akal, kesuciannya, dan keinginannya, cerita Ibnu Hazm. lantas dia mengatakan ada seorang perempuan yang telah berhubungan dengan seorang pemuda yang sama baiknya, hingga berita itu terekspos secara luas. Suatu hari, keduanya bertemu di tempat sepi, si lelaki itu mengatakan, “Kemarilah kita buktikan apa yang diisukan tentang kita.” Perempuan itu menjawab, “Tidak. Demi Allah, aku tidak akan melakukan hal ini selama-lamanya.” Kemudian saya membaca firman Allah,

“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (al-Zukhruf: 67).

Orang-orang yang takut kepada Allah di waktu sepi maupun ramai, dia mengatakan cerita itu sedikit sampai kita mengumpulkan di beberapa tempat. Inilah kesimpulan takut kepada Allah dan mengikuti petunjukNya.

Ibnu hazm berdalih dengan sabda Nabi saw, “Tujuh golongan yang akan dilindungi Allah di hari yang tidak ada perlindungan kecuali perlindunganNya, pertama, imam yang adil. Kedua, pemuda yang giat dalam beribadah kepada Allah swt. Ketiga, lelaki yang hatinya selalu bergantung dengan masjid ketika dia keluar dari masjid hingga kembali lagi. Keempat, dua lelaki yang saling mencintai karena Allah, berkumpul dan berpisah juga karenaNya. Kelima, lelaki yang mengingat Allah saat sendirian hingga tutup mata. Keenam, lelaki yang diajak seorang perempuan yang kaya dan cantik lantas dia berkata saya takut kepada Allah. Ketujuh, lelaki yang bersedekah kemudian menyembunyikannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya.

Muncul dari pikiran Ibnu Hazm tentang dasar agama yang kokoh dan berpegang teguh pada teks agama dan sunnah yang benar, sehingga banyak orang yang kagum kepadanya sembari menggunjingkannya bahwa dalam pandanganya tentang cinta hanya muncul dari ajaran agama Islam. Dia menegaskan bahwa keutamaan menjaga diri adalah sesuatu yang harus disyukuri kepada Allah. Apabila tidak sebagai balasan dan juga bukan siksa serta pahala, maka tentu kita wajib memperhatikan umur, memaksa badan, mengerahkan segala kemampuan, mengunakan waktu luang dan meluangkan waktu untuk bersyukur kepada Allah yang telah memberikan kita berbagai kenikmatan sebelum kita meminta-Nya. Dia yang memberi kenikmatan berupa akal, yang dengannya kita dapat mengetahui. Dia yang memberi panca indra, ilmu, pengetahuan dan ciptaan-ciptaan yang kecil. Dan Dia yang menciptakan langit dengan segala kemanfaatannya untuk kita, serta mengelola dengan pengaturan yang jika diserahkan kepada kita, tidak akan mendapatkan petunjukNya. Kita tidak bisa melihat diri kita sendiri seperti melihat Allah kepada kita. Allah swt. mengistimewakan kita dari semua makhluk, menjadikan kita sebagai objek firmaNya dan penegak agamaNya. Allah telah menciptakan surga untuk kita yang tidak bisa kita memilikinya. Kemudian Allah tidak meridhoi hamba-hambaNya masuk surge, kecuali mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan terpuji agar surga itu menjadi hak mereka. Allah berfirman “Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan”(al-Waqi’ah: 24).

Allah telah menunjukkan jalan dan arah untuk mendapatkan perlindunganNya serta memberikan semua kebaikanNya kepada kita, hak-hak kita yang menjadi tanggunganNya. Maka, kita harus bersyukur atas nikmat yang berupa kemampuan menjalankan taat. Dengan anugerahNya, kita mendapatkan pahala yang tidak dapat di temukan oleh akal dan tidak mungkin diperoleh dengan hati. Barang siapa yang mengenal Tuhannya, kadar ridlo dan amarahNya, maka segala kenikmatan yang melimpah dan yang hina menjadi tiada arti baginya. Bagaimana tidak, sedangkan telah datang ancamanNya yang bisa menjadikan kerdil tubuh orang yang mendengarnya dan jiwa-jiwa menjadi sujud kepadaNya.

Ibnu Hazm menegaskan bahwa pembahasannya tentang cinta bukan gurauan dan kekufuran. Pembahasan ini bertujuan agar seseorang menjauhi kejelekan dan kekejian yang menyebabkan jiwanya terjerembab ke dalamnya, lupa akan dampak yang ditimbulkanya serta tidak tahu kerugian terjerumus dalam cinta, tenggelam dalam kelezatan-kelezatan jiwa, tanpa mempertimbangkan semua dampaknya.

Dalam kitab Nihayah, Ibnu Hazm menyatakan, “Seseorang yang ingkar dan mengkritik tulisan dalam tema ini, berarti dia tidak termasuk orang yang mempunyai pengetahuan, dan pehamannya yang rendah. Karena dalam latar belakangnya hanya bertujuan demi kebaikan seluruh manusia. Hal itu disebabkan karena cinta ada diantara mereka, sedangkan obatnya ada pada seluruh manusia. Semua manusia membutuhkan pendapat ini. Hal ini berdasarkan pada sabda Rasul; “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah dengan baik atau diam”. Oleh karena itu, maka pendapat Ibnu Hazm layak bagi seluruh manusia sesuai dengan perhatian dan kebutuhan mereka pada masalah ini.

Ibnu Hazm melanjutkan keterangannya tentang cinta dalam pemikiran Islam. Dia juga menetapkan bahwa umat Islam tidak menyia-nyiakan pelajaran dari beberapa ilmu, sastra, perasaan, penemuan-penemuan dan belas kasihan. Kemudian perhatiannya beralih ke para pemikir yang terkenal semisal Ibnu Jauzi yang mengarang sebuah buku tentang cinta dan membahas masalah rindu dan hawa nafsu.

Dalam bukunya itu dia membahas tentang rindu dan hawa nafsu. Dia menceritakan ; saya melihat tentang apa yang dibicarakan para ahli hikmah mengenai rindu dan factor-faktornya, serta perangkat-perangkatnya. Dan saya mengarang sebuah buku yang saya namakan Dzammul Hawa “mencela hawa nafsu”, dalam buku ini menceritakan tentang para hakim yang mengatakan bahwa faktor rindu adalah gejolak jiwa yang teramat. Ada perbedaan di antara mereka. Sebagian mengatakan kerinduan tidak akan muncul kecuali karena kecerdasan manusia. Sebagian lagi mengatakan kerinduan akan muncul bagi orang yang tidak pernah memikirkan hakikat, dan beberapa pendapat lainnya. Yang dimaksudkan oleh Ibnu Jauzi tentang ahli hikmah dalam masalah ini adalah para dokter bukan para filosof.

Pandangan Ibnu al-Jauzi tentang cinta merupakan pandangan membabi buta. Hal ini nampak dari nama bukunya Dzammul Hawa. Dia mengatakan bahwa kerinduan hanya ditampakkan bagi orang-orang yang nganggur bukan orang-orang yang sungguh-sungguh, dan yang bercita-cita tinggi. Sebagaimana pernyataannya, “Di pandang dari implikasinya, kerinduan menjadi tidak jelas dari hati orang yang merindu, dan atas kerasnya hati, kerinduan itu menjadi kokoh”.

Dia juga memiliki beberapa penelitian yang tidak sedikit tentang perempuan, watak-wataknya dan juga akhlaknya yang di dalamnya berlawanan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Hazm dalam penelitiannya tentang perempuan. Ibnu al-Jauzi berpandangan sangat negatif terhadap perempuan atau kaum hawa. Padahal sebagian risalah dan buku-bukunya mirip dengan buku-buku Ibnu Hazm yang membahas tentang sejarah, hadits-hadits dan budi pekerti.

Al-Safad juga membahas tentang rindu dan cinta. Dia berusaha memperjelas bagian ini. Di dalamnya dia menyebutkan beberapa kata yang menunjukkan tingkatan cinta dalam bahasa dan mengalihkannya ke cerita beberapa pendapat para ahli hikmah Islam, Yunani, para dokter, dan sastrawan tentang masalah kerinduan. Dari ilmuwan Yunani ada beberapa pendapat seperti Aristoteles, Plato, Socrates, dan Iqlidas. Dari kalangan tasawuf ada beberapa pendapat seperti al-Junaid, dan al-Fadil bin ‘Iyad. Dari kalangan astronom di antaranya adalah pendapat Abu Ma’syar, Thamtham, dan Abu al-Gholib. Sebagaimana yang telah kami amati bahwa kebanyakan yang diceritakan dari ilmuwan Yunani tentang definisi rindu adalah palsu yang tidak valid.

Al-Shafad telah mengadopsi risalah Ibnu Sina tentang pandangannya yang bagus mengenai perjalanan rindu dengan segala yang ada, mulai dari astronomi, unsur-unsur, pertambangan, tumbuhan dan hewan. Dia menambahkan, sehingga ahli geometris menyebutkan bilangan-bilangan percintaan. Hal itu mereka temukan pada Iqlidas, sedangkan mereka mengatakan bahwa Iqlidas melewatkan hal itu dan tidak membahasnya.

Lantas Al-Shafad menjelaskan maksud mereka mengenai musuh-musuh yang saling mencintai dalam sebuah kata yang panjang penjelasannya. Dia menunjukan sebagian keutamaan-keutamaan dalam bilangan cinta. Di akhir pembahasan ini, al-Fashd menjelaskan, “Saya telah pelit dengan faidah ini untuk saya paparkan dalam kitab ini. Lantas saya menetapkannya berdasarkan sabda Rasulullah saw, ‘Barang siapa yang menuntut ilmu dan merahasiakannya, maka Allah akan menjeratnya dengan jeratan neraka.’”

Bila anda mengatakan hal itu dalam ilmu agama, menurut saya, saling mencintai termasuk perkara-perkara dunia juga. Nabi saw. bersabda, “Kamu tidak akan masuk surga, sebelum kamu saling mengasihi. Kecintaan hati merupakan hal yang baik dan dianjurkan oleh syar’i‘. Dari aspek ini, selain masalah syara’, bahwa semua perbuatan tergantung pada niatnya. Sehingga setiap orang yang bertindak bergantung pada apa yang menjadi niatnya. Allah mensifati dzatNya dengan cinta, sebagaimana dengan berfirman-Nya,

“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya,” (Al-Maidah: 54).

Adapun kata ‘isq (rindu) tidak ada dalam syara’.[286]

Di akhir pembahasanya tentang cinta dan rindu, dia mengatakan, cerita-cerita yang baik dalam ruang lingkup rindu dan kalung merpati (cinta) yang telah disampaikan oleh Ibnu Hazm dan yang lainya sebatas pada percintaan pemuda dan pemudi serta cerita langka dan menarik yang disetujui dalam masalah ini. Hal ini menunjukan atas perhatian Safad, penelitiannya dan analisanya yang luas dalam masalah cinta dan rindu yang telah saya kutip. Sama halnya dengan Al-Jazari yang telah membahas cinta di bagian kitabnya yang bernama Maqamatu al-Najah“, tempat-tempat keselamatan. Dalam kitab ini, ‘isq bermakna pengetahuan. Dalam masalah cinta dan jenis-jenisnya, dia menyatakan bahwa hakikat cinta tidak diketahui. Cinta adalah suatu kemukjizatan. Dalam bagian ini dikatakan, sebagian filosof mengatakan, ‘isyq merupakan ketertatarikan hati. Adapun subtansi ketertarikan dan caranya tidak diketahui secara jelas. Adanya penambahan definisi ‘isyq dan penjelasanya belum bisa memperjelas apa sesungguhnya ‘isyq. Walaupun demikian, ia dapat dirasakan. Orang-orang fasih mengatakan, cinta tidak bisa disifati dan dijelaskan, ia hanya bisa dirasakan. para penyair setuju dengan makna ini. Menurut mereka, cinta tidak dapat diketahui sifatnya kecuali dengan rasa.

Demikianlah pendapat saya, tentang bagaimana para intelektual Muslim disibukkan dengan cinta dan faktor-faktornya, serta rindu dan tanda-tandanya. Bagaimana mereka mengarang beberapa risalah dan buku-buku mengenai hal itu. Cinta yang kami teliti dan bahas dalam kesempatan ini tak lain hanyalah cinta manusia. Karena sasaran atau fokus kami adalah membahas filsafat kemanusiaan dalam Islam. Oleh karena itu kami tidak menyingung cinta Allah, karena tempatnya bukan di sini akan tetapi berada di para penikmat tasawuf. Mudah-mudahan studi kami mengenai filsafat manusia dalam Islam kami bisa menyuguhkan beberapa point, dan pembahasan kami mengenai beberapa tema yang memperhatikan manusia di setiap waktu dan tempat, bahkan filsafat itu sendiri adalah manusia jua. Sebagaimana yang telah kami jelaskan di sela-sela pembahasan kita tentang jiwa, akhlak dan cinta.

Penulisan ini selesai dengan memuji Allah atas pertolongaNya.

[1] Ibn Hazm, at-Taqrib li Khadil Mantiq, hal. 42 [hal: 16]

[2] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. 5, hal. 66, dan Risalatul Ushul wal Furu’, hal. 95 [hal: 17]

[3] Jalaludin ad-Duwani, Haqiqah al-Insan wa al-Ruh al-Jawal fil ‘Awalim, ditahkik oleh Muhammad Zahid al-Kautsari, Kairo-1948, hal. 11

[4] Maqolun filinsan, hlm 145.

[5] Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin, juz. 2, hal. 26-28

[6] Ibid, hal. 26, bab. 28

[7] DR. Ahmad Subhi, Fi ‘Ilmi Kalam, juz. 1, hal. 211, cet. 1978

[8] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. 5, hal. 65

[9] DR. Abdul Hadi, an-Nidzom, hal. 99-112 [Hal: 23]

[10] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. 5, hal. 65

[11] Ibid, hal. 66

[12] Lihat Musykilatul Insan, karya DR. Zakaria Ibrohim

[13] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. V, hal. 74

[14] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. V, hal. 65-66

[15] Al-Ghazali, Ma’arij al-Qudsi fi Madarij Ma’rifat an-Nafs, hal. 11-15

[16] Ibn Qayim, ar-Ruh, hal. 217 dan 284

[17] Sa’id ad-Din al-Taftazani, Syarh al-Maqashid, juz II, hal 30

[18] Ibn Hazm, Risalah fi Ma’rifati an-Nafs, hal 109

[19] Ibn Rushd, al-Tahafut, juz II, hal 837

[20] Ibn Sina, Risalah fi Ma’rifati an-Nafs, hal. 7

[21] DR. Ibrahim Madkur, al-Falsafah al-Islamiah, hal. 158

[22] Asy-Syifa, ‘Ilmu an-Nafs, hal. 30[

[23] Ibn Sina, Risalah fi Ma’rifati an-Nafs, hal. 7

[24] Ibn Hazm, al-Fashl, juz I, hal, 94

[25] Ibn Hazm, Risalah fi Mudawatin Nufus, hal 115

[26] Ibn Hazm, Risalah fi Ma’rifat an-Nafs, hal 109

[27] DR. Al-Ahwani, al-Kindi, hal 138-252

[28] DR. Mahmud Qasim, an-Nafs wa al-’Aql, hal 80, cet. III

[29] Ibn Sina, asy-Syifa, juz I, hal 278

[30] Ibn Hazm, al-Fashl, juz VI, hal. 74

[31] Ibid, juz. V, hal, 65-66

[32] Ibn Hazm, Risalah Fi Ma’rifatin Nufus, hal. 109

[33] Ibn Hazm, al-Fashl, juz V, hal. 74

[34] Ibn Hazm, al-Fashl, juz V, hal 91

[35] Ibid

[36] Ibid, hal. 81-87

[37] Ibid, juz. V, hal 81-87, dan juz. V, hal. 69

[38] Al-Ghazali, M’arij al-Quds, hal. 36

[39] Ibn Qayim, ar-Ruh, hal. 201

[40] Ibid, hal. 187

[41] Ibn Bajah, an-Nafs, hal.34

[42] Ibid, hal. 78

[43] Ibn Sina, Risalah Fi Ma’rifatin an-Nafs an-Nathiqah, hal.8, di publikasikan dan dikomentari oleh Muhammad Tsabit Fendi

[44] Ibn Sina, Risalah fil Qawa an-Nafsaniah, hal. 8

[45] Ibn Qayim, ar-Ruh, hal. 217

[46] Al-Ghazali, hal, 20

[47] Ibn Qayim, ar-ruh, hal. 217

[48] Ibn Mulka, al-Mu’tabar fil hikmah, juz. 2, hal. 301-306

[49] Ibn Hazm, Risalah fi Ma’rifatin nafs, hal 109

[50] Ibn Hazm, al-Qasd, juz. V, hal. 74

[51] Ibid.

[52] Ibn mulka, al-Mu’tabar, juz. 2, hal. 306

[53] Ibn al-’Airi, artikel online tentang an-Nafs al-Bashariah (jiwa kemanusiaan), dipublikasikan oleh Bapa Jesuit, hal. 77-78

[54] Ibn Bajah, an-Nafs, hal. 36

[55] Ibn al-’Airi, artikel online tentang an-Nafs al-Bashariah (jiwa kemanusiaan), dipublikasikan oleh Bapa Jesuit, hal. 77-78

[56] DR. Mahmud Qasim, Fi an-Nafs wal ‘Aql, hal. 105-107

[57] Al-Ghazali, hal. 33

[58] Ibn Hazm, al-Fasl, juz. 5, hal. 75

[59] DR. Mahmud qasim, Fi an-Nafs wal ‘Aql, hal, 82

[60] Ibn Hazm, al-Fasl, juz. V, hal, 75

[61] Ibn hazm, al-fasl, juz. V, hal. 79

[62] Ibn Bajah, an-Nafs, hal. 34-38

[63] Ibn Rusd, Manahij al-Adalah, hal. 63

[64] Ar-Razi, Mabahis al-Msyrifiah, juz. 2, hal. 34

[65] Ibn Hazm, al-Fasl, juz. V, hal. 81

[66] Al-Ghazali, hal. 32

[67] Ibn Hazm, al-Fasl, juz.V, hal, 78

[68] Ibid, hal. 75

[69] Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin, juz. 2, hal. 28

[70] Ibid, hal. 29

[71] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. V, hal. 74, dan Risalah al-Wushul wal Furu’, naskah panel 96

[72] Al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyin, juz. 2, hal. 30

[73] Ibid, hal. 26 dan 28

[74] Syahrawardi, al-Milal wan Nahl, juz. 1, hal. 57

[75] Al-Juwaini, al-Irsyad, hal. 377

[76] Ibn hazm, al-Fashl, juz. V, hal. 92

[77] Ibid, hal. 74

[78] Ibn Qayim, ar-ruh, 179

[79] Ibid.

[80] DR. Mahmud Qasim, Fi an-Nafs wal ‘Aql, hal. 114

[81] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. V, hal. 91

[82] Ibid, hal 89

[83] Gomez Nogales: la Phileso fia de la Natvraleza y la payehologia seaum Ibn Hazm in la Menia. Al Acdalus 30 P 190-208. (1965)

[84] ids

[85] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. V, hal 88

[86] Ibn Hazm, Risalah fi Ma’rifatin Nufus

[87] Ibn qayim, ar-Ruh, hal. 201

[88] Ibid.

[89] Sahrowardi, Ushul al-Falsafah al-Ishroqiah, hal. 202.

[90] Abu al-Barakat al-Baghdadi, al-Mu’tad fil Hikmah, Juz II, Hal. 390.

[91] Ar-Razi, al-Matholib al-Gholiah, Juz II, Hal. 307

[92] Ibn Hazm, al-Fasl, Juz V, Hal. 84

[93] Ibid, Juz V, Hal. 88

[94] A-Farabi, Ara’a Ahlul Madinah al-Fadhilah, Hal. 70

[95] Ibn Sina, an-Najah, Hal. 267-268

[96] Ibid, Hal. 269

[97] Ibn Bajah, Risalah al-Ittishol, hal. 157-158

[98] Ibn Hazm, Risalah at-Twafiq ‘ala Syari’ an-Najah, majmu’ah rosail Ibn hazm, hal. 47

[99] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. V, hal, 82

[100] Ibn Hazm, Tahdzib al-Akhlak, hal. 121

[101] Ar-Razi, al-Mubahits al-Masyriqiah

[102] Asrar at-Tanzil, hal. 188

[103] Ibn Qayim, Ighotsah al-Lhfan, juz. 1, hal 92

[104] Imam Ghazali, Ihya’Ulumuddin, juz. 3, hal. 3

[105] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. 5, hal. 88

[106] DR. Ibrohim Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, hal 232

[107] An-Najah, hal. 304

[108] DR. Taftazani, Ibn Sab’in wa Faslsafatuhu as-Shoufiah, hal. 373-374

[109] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. V, hal 88

[110] Ibid, hal. 89

[111] Ibn Rusd, Minhajul Adalah, hal. 24

[112] Ar-razi, al-Mabahits al-Msyriqiah, juz. 2, hal, 397

[113] Ar-Razi, ‘Alim ushuludin, hal. 173

[114] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. 1, hal. 91

[115] DR. Madkur, Fi al-Falsafah al-Islamiyah, hal. 156-174

[116] Ibn Sina, Risalah fi Amril Mi’ad, hal. 41

[117] Ibn Bajah, Risalah al-Ittishol, hal. 157-158

[118] Abu Barkat al-Baghdadi, al-Muqayad fil Hikmah, juz. 2, hal. 379-380

[119] Palermy-St Hilaire: L’ettriqued Aristoec avantpodos p 56

[120] Kant, Fundamental principles of metaphysic of morals p255

[121] Ibn Maskawaih, Tahdzib al-Muqadimah

[122] Al-Ghazali, Ihya Ulumudin, juz. 3, hal. 56

[123] Ibn Hazm, juz. 5, hal, 76 dan 77

[124] Ibid, hal. 76 dan 79

[125] DR. Abdurrahman, al-Aqidah wal Akhlak, hal. 198

[126] Ibn Hazm, al-Fashl, juz. 1, hal. 91

[127] Al-Ghazali, Ihya Ulumudin, juz. 3, hal. 56

[128] Ibn Maskawaih, Tahdzib, hal. 42

[129] DR. Kamal Ja’far, Fil Falfasah wal Akhlak

[130] Danldson, Studies in Muslims Ethics

[131] DR. Kamal Ja’far, Fil falsafah wal Akhlak, hal. 243

[132] Ibn Maskawaih, at-Tahdzib, hal 121

[133] Ibid, hal. 148-155

[134] Ibid, hal. 288

[135] Ibid, hal. 42

[136] Ibid, hal. 42

[137] Ibid

[138] Ibn Hazm, Risalah Taufiq ‘ala Syari’ an-Najah, hal 45

[139] Ibn Hazm, Tahdzib wal Akhlak, hal. 123

[140] Ibid, hal. 143

[141] Ibid, hal. 116-117

[142] Ibid, hal. 120

[143] Ibn Hazm, al-Ahkam al-Ushulil Ahkam, hal. 6

[144] Ibn Hazm, Tahdzib wal Akhlak, hal. 157

[145] Ibid, hal. 164

[146] Ibid, hal. 173

[147] Ibid, hal. 163

[148] Ibid, hal. 120

[149] Ibid, hal. 129

[150] Al-Ghazali, Ihya Ulumudin, juz. 2, hal. 56

[151] Ibn Hazm, Risalah Fi Mudawarah an-Nufus

[152] 1 hal 94

[153] Ibn Maskawaih, at-Tahdzib, hal. 194-195

[154] Ibid, hal. 195

[155] Ibn Hazm, Tahdzib wal Akhlak, hal. 133

[156] Ibid, hal. 123

[157] Ibid, hal. 157

[158] Abu Bakr Ar-Razi, at-Tib ar-Ruhani

[159] Ibn Hazm, Tahdzib al-Akhlak

[160] Ibid, hal. 121, dan Abbas, hal. 116

[161] Ibid, hal. 144

[162] Ibid, hal. 124

[163] Ibid, hal. 146

[164] Ibid, hal. 133

[165] Ibid, hal. 133

[166] Ibid

[167] Ibn Hazm, Tahdzib al-Akhlak, hal. 149

[168] Ibid, hal. 150-173

[169] Asin Palacious, lolom de Crisitcrade Madrid 1952, Hrenaudg Historia de Filoeofia eopanoia

[170] Al-Ghazali, Ihya ulumudin, juz. 3, hal. 64

[171] DR. Mahmud Abdurahman, Fil Aqidah wal Akhlak, hal. 16

[172] Al-Qadi Abdul jabar, ….

[173] Lihat al-Falsafah al-Akhlaqiah fil Fikr al-Islamy, karya DR. Ahmad Subhi, hal. 46

[174] Ibn Hazm, al-Fashl, juz.3, hal. 167, dan Maqalaat al-Islamiyiin, karya Asy’ari, juz. 1, hal. 231

[175] Al-Qadi Abdul jabar, al-Mughni, juz.3, hal. 10

[176] Ibid, juz. 13, al-Lutfi, hal. 120

[177] Syahrastani, al-Milal wa an-Nahl, juz. 1, hal. 107

[178] Al-Qadi Abdul Jabar, al-Mughni, juz. 13, hal. 11

[179] Syahrastani, al-Milal Wa an-Nahl, juz. 1, hal, 59

[180] 1 hal 111

[181] Ibn Maskawaih, Kitab as-Sa’adah, hal. 38-85

[182] Al-Farabi, al-Jam’u baina Ra’yu al-Hakimain, hal. 2

[183] Lihat, Sa’id Zaid: Al-Farabi

[184] Al-Farabi, Tahsil as-Sa’adah, hal. 30-33

[185] Ibn Maskawai, al-Fush al-Ashghor, hal. 49

[186] Al-Qofthi, Ihbar al-Ulama bi Ahbar al-Hukama, hal. 24

[187] Al-Baihaki, Tatimah Shuwaul Hukama, hal. 32-33

[188] Ibn Hazm, Risalah fi Tahdzib al-Akhlak

[189] Ibid, hal. 163

[190] Ibid. Hal 145-146

[191] Ibid. Hal 140

[192] Ibid

[193] Ibn Hazm, Risalah fi Tahdzib al-Akhlak wa Mudawatun Nufus, hal 116

[194] Lihat Majmu’ah ar-Rasail (kumpulan risalah) Ibn Hazm, yang telah dipublikasikan dan di tahkik oleh DR. Ihsan ‘Abbas

[195] Ibid. Hal 117

[196] Ibid hal 166

[197] Ibid, hal. 116

[198] Ibid, hal. 140

[199] Ibid, hal. 134

[200] Ibid.

[201] Ibid, 130

[202] Ibn Bajah, Risalah al-Wda’, hal. 114

[203] Aristoteles, Al-Ahlak at-Tikumafah, juz. 1, kitab ke 2, bab. 1, hal. 225-226

[204] DR. Taufik at-Tauwil, al-Falsafah al-Akhlaqiah, hal. 61

[205] Ar-Razi, Tafsir kabir, hal. 163

[206] Ar-Razi, Asrar at-Tanzil, hal. 119

[207] Ar-Razi, al-Mbahits al-Msyriqiah, juz. 1, hal. 385-386

[208] Risalah al-Qasyiriah, hal. 128

[209] Sahrowardi, ‘Awariful Ma’arif, hal. 196

[210] DR. Zakaria Ibrohim, Musykilat al-Hub, cet. Ke 2, 198, hal. 35

[211] Morton. M. Hunt; The Natuvral Historogy love. p+5.

[212] Ibid

[213] Ibn Hazm, Tok al-Hamamah fil Ilaf wal Alalaf, hal. 45, dipublikasikan dan ditahkik oleh DR. Ibrohim Hilal

[214] Ibid

[215] Ibid

[216] DR. Ali Sam an-Nashar, al-Ushul al-Aflathoniah al-Madiah aw fil Hub li Aflaton, hal. 332-333

[217] Al-Mas’udi, Mrj adz-Dzahab fi Akhbar min Dzahabin , hal. 268-378

[218] Lihat, Kashfun Dzunun

[219] DR. Ali Sam an-Nashar, al-Ushul al-Aflathoniah al-Madiah aw fil Hub li Aflaton, hal. 341

[220] Ibid

[221] 1 hal 153

[222] Lihat, Risalah al-’Isq, karya Ibn sina, dalam kitab Fil Falsafah, karya DR. Nashar dan DR Abu Rian, cet. 1, hal. 637

[223] Amly, Alkzqol, hal. 173-174

[224] Ibid, hal. 640

[225] Ibid, hal. 641

[226] Lois Anita Giffen, Theory of Profane Loye amoug the Arabs, p. 144

[227] Lihat, Dirosat fil Adab al-Araby Von Jostav Akeitam, terj. DR. Ihsan Abbas, dll., hal. 86

[228] Ibn Sina, Risalah al-Isq al-Manshur, (Majmu’ah Rasail Ibn Sina), hal. 8-82, yaitu risalah yang ke 8, yang dipublikasikan oleh Muhyidin Shobri al-Kurdi.

[229] Ibn Sina, Risalah al-Isq al-Manshur, (Kitab Qiroat fil Falsafah, karya DR. an-Nashr dan DR. Abu Rian), hal. 601

[230] Ibid.

[231] Ikhwan as-Sofa, Risalah Mahiyah al-Isq, Risalah yang ke 7, hal. 63, (Kitab Ikhwan as-Sofa), dan Dridal Alpha karya Imam Himam Ahmad bin Abdullah, tahun. 1306

[232] Ikhwan as-Sofa, Risalah Mahiyah al-Isq, hal. 63

[233] Ibid, hal. 64

[234] Ibid, hal. 66

[235] Ibid, hal. 67

[236] Ibid.

[237] Ibid, hal. 70

[238] Ibid, hal. 71

[239] Ibid, hal. 73

[240] Lois Anita Giffen: Theory of Profaue Love among the Arabs P. 144

[241] Massighon: Passion. P. 165

[242] Riter, Muqadimah Mashori’ al-Isq

[243] Ibn Daud, az-Zahrah, hal. 15

[244] Ibid.

[245] Ibid, hal. 16

[246] Ibid, hal. 16-19

[247] Lois Anita Giffen, Theory of Profaue Love among the Arabs P. 144

[248] Ibn Daud, az-zahrah, hal. 20-21

[249] Henri Corbin, Tarikh al-Falsafah al’Arabiah at-Tarjamah, hal. 297

[250] Nikel, Muqadimah az-Zahrah

[251] DR. Ali Sami an-Nashr, al-Ushul al-Aflathowiah (Makdabah), hal 341

[252] Ibn Hazm, Tok Khamamah, hal. 167, dipublikasikan oleh DR Ibrohim Hilal, dll, dicetak tahun. 1975

[253] DR. Thoha Husein, Alwan, hal. 14

[254] Ibn hazm, Tok Khamamah, hal. 5

[255] Ibid, hal. 9

[256] Ibid, hal. 39

[257] Ibid, hal. 1967

[258] Ibid, hal. 6

[259] DR. Thoha Husein, Alwan, hal. 47

[260] Ibn Hazm, Tok Khamamah, hal. 32

[261] Ibid, hal. 28

[262] Ibid, hal. 30

[263] Ibn Hazm, Risalah Mudawah an-Nufus Fashl al-Mahabbah, hal. 138, (Majmu’ Rasail Ibn hazm), dipublikasikan oleh DR. Ihsan Abbas

[264] Ibid.

[265] Ibid, hal. 142

[266] Ibn Hazm, Tok Khamamah, hal 32

[267] Ibid, hal. 35

[268] Heruando, Historia de Filosofia Espanola Madred

[269] Arberry, The RING of Doue Tawaqel Hamawa

[270] Ibn Hazm, Tok Khamamah, hal. 132-160

[271] .

[272] Cacat

[273] Ibn hazm, Tok Khamamah, hal. 31

[274] Ibid, hal. 39

[275] Idtrb wa Tamtsil (Kekacauan dan representasi)

[276] Ibid, hal. 42, 43

[277] Ibid, Hal. 47

[278] Ibid, hal. 47

[279] Ibid, hal. 89

[280] Ibid, hal. 91

[281] Ibn Hazm, Tok Khamamah, hal. 15

[282] Ibid, hal. 135

[283] Ibid, hal. 136

[284] Ibid, hal. 146

[285] Ibid, hal. 154

[286] Muhammad Ridho, Trotsna al-Falsafy Hajatahu ila an-Naqdi wat Tamkhisi, hal. 36-55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar