SELAMAT DATANG DI BLOG DUNIA DAN KEHIDUPAN

SELAMAT DATANG....., DUNIA DAN KEHIDUPAN,....... DUNIA DAN KEHIDUPAN

Senin, 19 September 2011

Mertamupu Hindu Putra (tulisannya)

Mertamupu Hindu Putra also commented on post Jumlah Mahkluk Hidup Tetap Sama? that you've commented before.

Hindu tidak mengajarkan Kasta, kasta berasal dari bahasa potugis yaitu caste : tembok pemisah, sedangkan dalam weda adalah catur warna.
Catur-varnyam maya srstam guna-karma-wibhagasah, tasya kartaram api mam widdhy akartaram awyayam

Menurut tiga sifat alam dan pekerjaan yang ada hubungannya dengan sifat-sifat itu, empat bagian masyarakat manusia diciptakan oleh-Ku. Walaupun Akulah yang menciptakan sistem ini, hendaknya engkau mengetahui bahwa Aku tetap sebagai yang tidak berbuat, karena Aku tidak dapat diubah (BG.IV.13)

Kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata ”Catur” berarti empat dan kata “warna” yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kwalitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah:

1. Brahmana adalah salah satu golongan karya atau warna dalam agama Hindu. Mereka adalah golongan cendekiawan yang mampu menguasai ajaran, pengetahuan, adat, adab hingga keagamaan. Di jaman dahulu, golongan ini umumnya adalah kaum pendeta, agamawan atau brahmin. Mereka juga disebut golongan paderi atau sami.

Kaum Brahmana tidak suka kekerasan yang disimbolisasi dengan tidak memakan dari makluk berdarah (bernyawa). Sehingga seorang Brahmana sering menjadi seorang Vegetarian. Brahmana adalah golongan karya yang memiliki kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan baik pengetahuan suci maupun pengetahuan ilmiah secara umum.

Dahulu kita bertanya tentang ilmu pengetahuan dan gejala alam kepada para brahmana. Bakat kelahiran adalah mampu mengendalikan pikiran dan prilaku, menulis dan berbicara yang benar, baik, indah, menyejukkan dan menyenangkan. Kemampuan itu menjadi landasan untuk mensejahterakan masyarakat, negara dan umat manusia dengan jalan mengamalkan ilmu pengetahuannya, menjadi manggala (yang dituakan dan diposisikan secara terhormat), atau dalam keagamaan menjadi pemimpin upacara keagamaan.

2. Kesatria atau ksatria, adalah golongan karya atau warna dalam agama Hindu. Golongan karya ini memiliki tugas profesi sebagai bangsawan, tokoh masyarakat, penegak keamanan, penegak keadilan, pemimpin (direktur), pemimpin masyarakat, pembela kaum tertindas atau lemah karena ketidak-adilan dan ketidak-benaran. Bakat dasar seorang ksatria adalah berani, bertanggungjawab, lugas, cekatan, prilaku pelopor, memperhatikan keselamatan dan keamanan, adil, dan selalu siap berkorban untuk tegaknya kebenaran dan keadilan. Di jaman dahulu ksatria merujuk pada klas masyarakat kasta bangsawan atau tentara, hingga raja.

jaman sekarang, ksatria merujuk pada profesi seorang yang mengabdi pada penegakan hukum, kebenaran dan keadilan prajurit, bisa pula berarti perwira yang gagah berani atau pemberani. Kelompok ini termasuk pemimpin negara, pimpinan lembaga atau tokoh masyarakat karena tugasnya untuk menjamin terciptanya kebenaran, kebaikan, keadilan dan keamanan di masyarakat, bangsa dan negara.

3. Waisya adalah golongan karya atau warna dalam tata masyarakat menurut agama Hindu. Bersama-sama dengan Brahmana dan Ksatria, mereka disebut Tri Wangsa, tiga kelompok golongan karya atau profesi yang menjadi pilar penciptaan kemakmuran masyarakat. Bakat dasar golongan Waisya adalah penuh perhitungan, tekun, trampil, hemat, cermat, kemampuan pengelolaan asset (kepemilikan) sehingga kaum Wasya hampir identik dengan kaum pedagang atau pebisnis. Kaum Waisya adalah kelompok yang mendapat tanggungjawab untuk menyelenggarakan kegiatan ekonomi dan bisnis agar terjadi proses distribusi dan redistribusi pendapatan dan penghasilan, sehingga kemakmuran masyarakat, negara dan kemanusiaan tercapai

4. Sudra (Sansekerta: śūdra) adalah sebuah golongan profesi (golongan karya) atau warna dalam agama Hindu. Warna ini merupakan warna yang paling rendah. Warna lainnya adalah brahmana, ksatria, dan waisya. Sudra adalah golongan karya seseorang yang bila hendak melaksanakan profesinya sepenuhnya mengandalkan kekuatan jasmaniah, ketaatan, kepolosan, keluguan, serta bakat ketekunannya. Tugas utamanya adalah berkaitan langsung dengan tugas-tugas memakmurkan masyarakat negara dan umat manusia atas petunjuk-petunjuk golongan karya di atasnya, seperti menjadi buruh, tukang, pekerja kasar, petani, pelayan, nelayan, penjaga, dll.

Swadharma atau Kewajiban Sang Catur Warna Menurut Kitab Sarassamuscaya

Sarassamuscaya.55

Barhmanah ksatryo vaisyatrayo varna dvijatayah,caturtha ekajatiyah sudro nastiha pancamah

Brahmana adining warna, tumut ksatnya, tumut waisya, ika sang warna tiga, kapwa dwijati sira, dwijati ngaraning ping rwa mangjanma,apan ri sedeng niran brahmacari gurukulawasi kinenan sira diksabratasangkara, kaping rwaning janma nira tika, ri huwus nira krtasangskara, nahan matangnyan kapwa dwijati sira katiga, kunang ikang sudra kapatning warna, ekajati sang kadi rasika, tan dadi kinenana bratasdangskara, tatan brahmacari, mangkana kandanikang warna an pat, ya ika catur warna ngaranya tan hana kalimaning warna ngaranya.

Brahmana adalah golongan pertama, menyusul ksatrya, lalu waysia, ketiga golongan itu sama-sama dwijati, dwijati artinya lahir dua kali, sebab tatkala mereka menginjak kelahiran yang kedua kali, adalah setelah selesai mereka menjalani upacara pesucian (pentasbihan), itulah sebanya mereka itu ketiaga-tiganya disebut lahir dua kali, adapun sudra yang merupakan golongan ke empat, disebut ekajati;lahir satu kali, tidak boleh dikenakan kepadanya bratasangskara ; tidak diharuskan melakukan brahmacari; demikian halnya keemat golongan itu, itulah yang disebut catur warna, tidak ada golongan yang kelima.

Catatan : tentang uraian no 55 tersebut di atas ada terdapat dalam manusmrti bagian X ayat 4 sebagai berikut: “ golongan brahmana, ksatria dan waysia, adalah golongan dwijati , dua kali tejadi, tapi golongan yang keempat , golongan sudra, hanya mempunyai satu kelahiran saja, tidak ada golongan kelima”.

Sarassamuscaya.56

Adhiyita brahmano vai yajeta dadyadiyat tirthamukhyani caiva, adhyapayedyayecchapi yajyan pratigrahan va vihitanu peyat.

Nya dharma sang brahmana, mangajya, mayjna, maweha danapunya, magelema atirtha, amarahana, wikwaning yajna, mananggapa dana,

Berikut inilah dharma sang brahmana; mempelajari weda, mengadakan upacara kebaktian atau pujaan, memberikan amal sosial, berkunjung ke tempat- tempat suci, memberikan ajaran-ajaran (penerangan agama), memimpin upacara dan dibenarkan menerima derma.

Catatan : akan dharma sang brahmana manusmrti bagian I ayat 88 mengatakan : “kepada sang brahmana ditentukan mengajar dan mempelajari weda, mengadakan kebaktian untuk kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain., memberi dan menerima derma atau sedekah “ (the laws of Manu, Oxford, Clarendon Pres 1886).

Sarassamuscaya.57

Dharmasca satyam ca tapo damasca vimatsaritvam hristitiksanasuya, yajncca danam sa dhrtih ksama ca mahavratani dvadasa vai brahmanasya.

Nyang brata sang barahmana, rwa welas kwehnya, praktyeknaya, dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih titiksa, anasuya, yajna, dana, dhrti, ksama, nahan pratyekanyan rwa welas, dharma, satya, pagwanya, tapa ngaranya sarira sang sosana, kapanasaning sarira, piharan, kurangana wisaya, dama ngaranya upasama dening tuturnya, wimatsaritwa ngarani haywa irsya, hrih ngaraning irang, wruha ring irang wih, titiksa ngaraning haywa krodha, anasuya ngaraning haywa dosagrahi, yasjna magelem amuja, dana, maweha danapunya dhrti ngaranng kelan, nahan brata sang brahmana.

Ini adalah brata sang brahmana, dua belas banyaknya, perincianya : dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa, anusuya, yajna, dana, dhrti, ksama, itulah perincianya sebanyak dua belas; dharma dari satyalah sumbernya, tapa artinya “ carira sang-cosana yaitu dapat mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu; dama artinya tenang dan sabar, tahu menasehati dirinya sendiri,wimatsaritwa artinya tidak dengki iri hati, hrih berarti malu, mempunyai rasa malu, titiksa artinya jangan sangat gusar, anasuya berarti tidak berbuat dosa, yajna adalah mempunyai kemauan mengadakan pujaan, dana adalah memberikan sedekah , dhrti artinya penenangan dan pensucian pikiran, ksama berarti tahan sabar dan suka mengampuni, itulah brata sang brahmana.

1) “ dama’upacama” berarti pula penaklukan hawa nafsu,

2) “wimatsaritwa” berarti pula; tidak serakah, tidak mementingkan diri sendiri (egois)

3) “hrih” berarti pula kerendahan hati, kesopanan,

4) “titiksa” berarti pula sabar, tahan sabar (tidak resah),

5) “anasuya” berarti pula tidak berhati marah, tidak bertabiat jahat (tan dosagrahi),

6) “ksama” berarti pula kehendak hati suka mengampuni,memafkan,

Sarassamuscaya.58

Adhitya vedan parisamsturya cagninistva yajnaih palayitva prajasca, bhrtyan bhrtva jnatisambandhinasca danam dattva ksatryah svargameti.

Kuweng ulaha sang ksatrya, umajya sang hyang weda, nitya agnihotra, magawayang yajna, rumaksang rat, huninga ring wadwa, teka ring kula gotra, maweha dana, yapwan mangkana, swargapada antukanira delaha.

Maka yang harus dilakukan oleh sang ksatrya, harus mempelajari weda, senantiasa melakukan korban api suci, mengadakan upacara kebaktian, menjaga keamanan negara, mengenal bawahanya sampai sanak keluarga dan kaum kerabatnya, memberikan sedekah, jika ia berbuat demikian, tingkatan alam sorga akan diperolehnya kelak.

Catatan : Manusmrti bagian I ayat 89 menyebutkan “ kepada orang ksatrya dititahkan untuk melindungi rakyat, melakukan pemberian hadiah, mengadakan upacara kebaktian, mempelajari weda dan menjauhkan dari kesenangan nafsu” (The laws Of Manu, Oxford, Clarendon press 1886)

Sarassamuscaya.59

Vaisyo’shitya ksatryadva dhanaih kale sambivhajyacritamsca, tretapurvan dhumamaghraya punyam pretya svarge devasukha binukte.

Nihan ulaha sang waicya, mangajya sira ri sang brahmana, ring sang ksatriya kuneng, mwang maweha dana ri tekaning dana kala, ring cubhadiwasa, dudumana nira ta sakwehning mamarasraya ri sira, mangelema amuja ring sang hyang tryagni ngaranira sang hyang apuy tiga, pratyekanira, ahawaniya, garbhaspatya, citagni, ahawanidha ngaranira apuy ning asuruhan, rumateng i pinangan, garbhaspatya ngaranira apuy ning winarang, apan agni saksika kramaning winarang I kalaning wiwaha, citagni ngaranira apuy ning manunu sawa, nahan ta sang hyang tryagnu ngaranira, sira ta pujan de sang waiya, ulah nira ikang mangkana, ya tumekaken sira ring swarga dlaha.

Yang patut dilakukan oleh waisya ; ia harus belajar pada sang brahmana, maupun pada sang ksatrya dan hendaklah ia memberikan sedekah pada saatnya; waktu persedekahan tiba, pada hari yang baik, hendaklah ia membagi-bagikan sedekah kepada semua orang yang meminta bantuan kepadanya, dan taat mengadakan pujaan kepada tiga api suci, yang disebut triagni yaitu tiga api suci, perincianya adalah: ahawaniya, garhaspatya dan citagni; ahawaniya artinya api tukang masak untuk memasak makanan, garhaspatya artinya api upacara perkawinan, itulah api yang dipakai saksi pada waktu perkawinan dilangsungkan, citagni artinya api untuk membakar mayat, itulah yang disebut tiga api suci , api itu lah yang harus dihormati dan dipuja oleh sang waisya, perbuatan demikian itu menyampaikan dia ke alam sorga kelak.

Catatan : triagni = agnitreta, urutanya; cita agni adalah api tersendiri, api pembakaran mayat, lihat kamus juynboll hal 195, cita= unggun tempat pembakaran mayat.

Manusmrti bagian I ayat 90 menyebutkan yang harus dilakukan orang waisya sebagai berikut: “ memelihara hewan, melakukan pemberian hadiah( sedekah ), mengadakan upacara kebaktian, mempelajari sastra (weda), berniaga, meminjam uang dan mengusahakan tanah, penghormatan kepada api suci tidak disebutkan.

Sarassamuscaya.60

Brahma ksatryam vaicyavarna ca sudra kramenaitan nyayatah pujyamanah, tustesvetesvavyatho dagdhapapastyaktva deham siddhimistamllabheta.

Yapwan ulahing sudra, bhaktya sumewa ri sang brahmana, ri sang ksatrya, ri waisya, yathakrama juga, pratitusta sang telun sinewakanya, hilang ta papanya , siddha sakaryanya.

Akan perilaku sang sudra, sedia mengabdi kepada sang brahmana , ksatrya dan waisya, sebagaimana harusnya : apabila puaslah ketiga golongan yang dilayani olehnya maka terhapuslah dosanya dan berhasil segala usahanya.

Catatan : manusmrti bagian I ayat 91 “ kepada orang sudra ditentukan hanya satu pekerjaan saja, ialah ntuk meladeni dengan taat ketiga golongan atasanya”.

Sarassamuscaya.61

Raja bhirur bramanah sarvabhakso vaicyonihavan hinavarnolassco, vidvanacilo vrttahinah kulinah bhrasto brahmanah stri ca dusta.

Hana pwe mangke kramanya, ratu wed-wedi, brahmana sarwa bhaksa, wicya nirutsaha ring krayawikrayadi karma, sudra alemen sewaka ring sang tri warna, pandita dussilasujanma anasar ring maryadanya, brahmana tan satya, stri dusta dussila.

Jika ada hal yang demikian keadaanya : raja yang pengecut , brahmana doyan segala makanan, waisya yang tidak ada kegiatan dalam pekerjaan berniaga, berjual beli dan sebagainya, sudra enggan, tidak suka mengabdi kepada triwarna, pandita yang bertabiat jahat, orang yang berkelahiran utama nyeleweng dari hidup sopan santun, brahmana yang curang dan wanita yang bertabiat nakal dan berlaku jahat.

Sarassamuscaya.62

Ragi muktah pecamanah svahetormurkho vakta nrpahinam ca rastram, ete sdave cocyatam yanti rajan yascamuktah snehaninah prajasu.

Waneh. Wanaprasthadi, sakwakaning mataki-taki kamoksan tatan hilang raganya, swartha kewala wih, inahaken pairthana, panemwana warawharah, ndan murkha, tan panolih sukhawasan, kadatwan tan paratu, grahastha tan masih ring anak, tan huninga ring rat kuneng, samangkana lwirning kawlas arep, niyata wi panemwanya hala.

Lain lagi wanaprastha dan sejenisnya, yaitu orang – orang yang mempersiapkan untuk memperoleh kelepasan ( moksa ), akan tetapi orang itu tiidak lenyap nafsu burahinya, malahan ia memasaka makanan hanya bagi kepentingan dirnya sendiri saja, mencemarkan tempat-tempat suci, yaitu twempat memperoleh ajaran – ajaran suci, angkara murka, tidak menngindahkan segala yang mengakinbatkan kebahagian, kerajaan tanpa raja, seorang kepala rumah tangga tidak mengaihi anak-anaknya, pun tidak memperdulikan keadaan masyarakat, sedemikaian banyaknya menimbulkan prihatin, terang nyata mereka itu akan pasti akan menemui malapetaka.

Sarassamuscaya.63

Arjavam canrcamsyam ca damaccendryanigrahah, esa sadharano dharmascaturpvarnya bravinmanuh.

Nyang ulaha pasadharanan sang castur warna, arjawa, si duga-duga bener, anrsansya, nrcansya, ngaranign atmasukhapara, tan arimbawa ri laranign len, yawat mamuhara sukha rywaknya, yatiaka nrcansya ngaranya, gatining tan mangkana, anrsansya ngaraniaka, dama, tumangguhana awknya, indriyanigraha, humrta indriya, nahan tang prawrttti pat, pasadharranan sang catur warna, ling batara manu.

Inilah pelaku keempat golongan yang patut dilaksanakan: arjawa, jujur dan terus terang, anrsangsya, artinya tidak nrcangsya, nrcangsya maksudnya mementingkan diri sendiri, tidak menghiraukan kesusahan orang lain, hanya mementingkan segala yang menimbulkan kesenangan bagi dirinya, itulah yang disebut nrcangsya, tingkah laku yang tidak demikian annrcangsya namanya, dama, artinya dapat menasehati, dirinya sendiri, indryanigraha, mengekang hawa nafsu, keempat perilaku itulah yang harus dibiasakan oleh sang catur warna , demikian sabda bhatara Manu,

Catatan; nrcangsya banyak artinya , kesemuanya menunjukan tingkah laku yang kejam, merugikan sesama manusia, dalam keadaan tidak mengenal kondisi ketuhanan.

Sarassamuscaya.65

Ahimsa satyawacanam savabhutsu sarjawm ksama, caivapramadasca yasyaite sa sukham bhavet.

Nihanb temening – temening yogya kawasakena, ahimsa, satya, si tan kira-kira kahalan ning sarwa prani, siklan, si tan paleh – paleh, sang makadrbya ika kabeh, sira prasiddha ning sukha ngranira.

Inilah yang harus benar-benar dikuasai :ahimsa; tidak menyakiti atau membunuh, satya; berkata benar, tidak berniat jahat terhadap makluk apapun, siklan, si tan paleh-paleh, tidak alpa/lengah, orang yang memiliki semuanya itu, sesungguhnya telah mendapatkan kebahagian.

Sumber Hukum tentang Catur Warna

1. Bhagavad-Gita.

Keterangan yang cukup menarik tentang Catur Warna yang sering dikaburkan dengan kasta dapat kita lihat dalam kitab Pancamo Weda (Bhagavad-Gita) yang menjelaskan struktur masyarakat berdasarkan Warna. Menurut isi dari Bhagavad-Gita ini pembagian masyarakat menjadi empat kelompok- kelompok yang disebut warna itu, terjadi karena pengaruh “guna” yang merupakan unsur pembawaan sejak lahir (bakat).

Dalam hubungan ini dijelaskan sistem warna itu atas dasar pengertian fisik.
Di dalam bab Karma Kandanya dijelaskan bahwa dunia aktif (bergerak, bekerja) dan gerak ini disebabkan oleh guna itu sendiri. Ada tiga macam guna dikemukakan yaitu

Satwam: kebajikan

Rajah : keaktifan

Tamah : kepasifan, atau masa bodoh

Sifat- sifat ini selanjutnya memberikan pengaruh lebih luas lagi sehingga menimbulkan warna dalam kelahiran manusia di dunia. Seseorang yang kelahirannya diwarnai oleh Guna Satwam akan menampilkan sifat- sifat kesucian, kebajikan, dan keilmuan. Seseorang yang diwarnai oleh Guna Rajah akan menampilkan kehidupan yang penuh kreatif, ingin berkuasa, ingin menonjol. Berbeda dengan seseorang yang kehidupannya diwarnai oleh Guna Tamah, akan selalu menampakkan sifat- sifat malas, bodoh, pasif, lamban dalam segala- galanya.

Ketiga sifat ini terdapat di dalam setiap tubuh manusia yang lahir dan masing- masing guna ini berjuang saling mempengaruhi dalam badan manusia. Bagi mereka yang teguh iman maka Satwam itulah yang menguasainya, sedangkan Rajah dan Tamah itu akan diatasi seluruhnya. Sebaliknya kalau Rajah lebih kuat, maka Tamah dan Satwam itu akan ditundukkannya. Begitu pula apabila Tamah yang berkuasa, maka Rajah dan Satwam akan ditundukkannya.

Dengan jalan seperti inilah Bhagavad-Gita menjelaskan timbulnya garis perbedaan pembawaan seseorang yang disebut Warna kelahiran dari kecenderungan sifat- sifat guna itu.

Bhagavad-Gita Bab IV sloka 13:

“Catur-varnyam maya srstam guna-karma-wibhagasah, tasya kartaram api mam widdhy akartaram awyayam

Menurut tiga sifat alam dan pekerjaan yang ada hubungannya dengan sifat-sifat itu, empat bagian masyarakat manusia diciptakan oleh-Ku. Walaupun Akulah yang menciptakan sistem ini, hendaknya engkau mengetahui bahwa Aku tetap sebagai yang tidak berbuat, karena Aku tidak dapat diubah

2. Bhagawata Purana;

Di dalam Bhagawata Purana pasal 63 dengan tegas dijelaskan bahwa sebenarnya tidak ada suatu warna kalau tanpa dilihat dari segi perbuatannya.

Dari perbuatan dan sifat- sifat seperti tenang, menguasai diri sendiri, berpengetahuan suci, tulus hati, tetap hati, teguh iman kepada Hyang Widhi, jujur adalah gambaran seseorang yang berwarna Brahmana. Tetapi orang yang gagah berani, termasyhur, suka memberi pengampunan, perlindungan maka mereka itulah yang disebut Ksatrya

3. Sukra Niti.

Purana Sukra Niti memberi keterangan bahwa keempat warna itu tidak ditentukan oleh kelahiran, misalnya dari keluarga Brahmana lalu lahir anak Brahmana juga, tetapi sifat dan perbuatan mereka itulah yang menentukan sehingga mereka menjadi demikian seperti adanya empat warna itu.

4. Wiracarita Mahabarata.

Di sini dijelaskan bahwa sifat- sifat Brahmana ialah: jujur, suka beramal/ berderma, pemaaf, pelindung, takwa, cenderung untuk melakukan pertapaan. Dan dijelaskan pula bahwa kelahiran anak dari seorang Sudra yang dikatakan mempunyai sifat- sifat seperti tersebut di atas, mereka bukanlah Sudra tetapi mereka adalah Brahmana. Tetapi seorang keturunan Brahmana yang tidak mempunyai sifat- sifat seperti itu, maka ia sesungguhnya Sudra.

Dari sumber- sumber tersebut di atas kita peroleh suatu pandangan dan pengertian yang sama mengenai Catur Warna, yaitu merupakan pembidangan karya dan sikap mental manusia yang mewarnai pengabdiannya dalam swadharma masing- masing.

Bhisama Penghapusan Kasta
Bhisama Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat Nomor:03/Bhisama/Sabha Pandita Parisada Pusat/X/2002 tentang Pengamalan Catur Warna. Yang merupakan hasil dari Mahasaba Hindu Dharma Indonesia di Mataram 26-28 September 2002, sekaligus menghapuskan SISTEM KASTA yang tidak sesuai dengan ajaran agama Hindu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar