SELAMAT DATANG DI BLOG DUNIA DAN KEHIDUPAN

SELAMAT DATANG....., DUNIA DAN KEHIDUPAN,....... DUNIA DAN KEHIDUPAN

Sabtu, 27 Agustus 2011

slangor Malaysia

Masjid Demak Versi Malaysia

Tindakan menjiplak tidak selalu berkonotasi buruk. Salah satunya adalah arsitektur sebuah masjid di Selangor, Malaysia, yang meniru gaya arsitektur Masjid Demak.
Kode:

Senin, 15 Agustus 2011

Membangun Keluarga Berbasis TAKWA

Buku
Jadikan Teman | Kirim Pesan
Wahyu Nh Al_aly
Saya hanya gembel jalanan biasa yg tak terikat dgn ragam aturan tdk sehat. Tapi saya bukan pengangguran dan tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun. Saya sangat benci dengan orang yang kucir alias pelit membantu kalangan yang tak mampu. Saya gemar berpetualang dan tantangan serta membenci adanya "eksploitasi" ilmu oleh kaum elit. Saya juga sangat tidak suka dgn gosip. Sebagai kejujuran saya, ini no hp saya: 085228888484. Tapi maaf, saya tidak menerima sms, khawatir tidak bisa membalasnya karena keterbatasan pulsa yang saya punyai. Harap maklumnya. Siapapun Anda, presiden ataukah p...
Membangun Keluarga Berbasis TAKWA (Postingan 250 Halaman)
REP | 14 August 2011 | 15:29 53 1 Nihil

Ini terjemahan buku satu tahun yang lalu. Pernah diminta oleh salah satu penerbit Jogja, namun sampai hari ini kelanjutannya saya tidak tahu karena tidak ada perjanjian secara tertulis. Namun saya mendapat informasi dari seorang teman saya, apabila telah terjemahan ini telah diedarkan oleh penerbit yang meminta naskah ini sebelumnya. Saya tidak mengetahui, apakah menggunakan nama saya atau nama orang lain sebagai penerjemahnya. Karena ketidakjelasan ini, semoga dengan saya memosting di sini memberikan manfaat tersendiri. Kurang lebih 2 sampai 3 minggu saya menerjemahkan buku ini dengan ketebalan halaman sekitar 250 halaman. Terimakasih

Judul Asli:

بيت أسس على التقوى

(Baitun Usisa Ala Taqwa)

عائض بن عبد الله القرنى

‘Aid bin ‘Abdillah al-Qarni

(Penulis Bestseller “LA TAHZAN”)

Penerjemah:

Wahyu Nur Hidayat (Wahyu NH. Al_Aly)

Bab I: JANGAN KATAKAN “Ah” KEPADA KEDUA ORANG TUA

Segala puji bagi Allah yang berfirman: “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia(23). Rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil (24).”

Sholawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah yang telah terutus sebagai penunjuk, penggembira, pemberi peringatan, penyeru atas izin Allah, cahaya yang menerang, penyampai risalah, penyampai amanat, penasehat umat dan orang yang jihad di jalan Allah. Semoga sholawat dan salam juga tercurah kepada keluarga dan sahabatnya.

Wahai hamba Allah:

Sesungguhnya di antara dosa paling besar yang dianggap berduhaka kepada Allah di muka bumi ini adalah memutus hubungan kekeluargaan dan durhaka kepada kedua orang tua. Oleh karena itulah Allah mengancam dengan siksa yang pedih bagi pendurhaka dan pemutus hubungan keluarga.

Durhaka kepada dua orang tua merupakan dosa besar yang bisa membuat menggigil tubuh-tubuh ini dan jidat berkerut. Yang hal itu diingkari dalam syariat orang-orang Jahiliah, Yahudi, dan Nasrani.

Oleh karena itu, orang Mukmin akan mengerutkan kulitnya saat dia melihat seorang anak, ketika telah dewasa dan kuat, tidak tahu akan hak-hak kedua orang tuanya. Umur, masa muda mereka dan keindahan dunia telah mereka tinggalkan untuk mendidik anak itu. Mereka terjaga saat dia sedang tidur. Mereka mau lapar asal anaknya kenyang, serta bersusah payah untuk kebahagiaannya. Namun saat keduanya telah senja, lemah, dan telah bau tanah serta telah dekat kematiannya, dia mengingkari hak keduanya dan bahkan menempatkan keduanya di tempat yang hina. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.

Sehingga, Allah menyertakan hakNya bersama hak kedua orang tua serta menjadikan berbakti kepada keduanya dan menyambung silaturahmi sebagai kewajiban hamba. Allah berfirman: “Tuhanmu memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain-Nya, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya”. Dengan demikian, Allah Swt telah menetapkan dan memerintahkan untuk tidak menyembah selain kepada-Nya. Dengan beribadah hanya kepada Allah Saw, maka berbakti kepada kedua orang tua dan menjaga tali silaturahmi akan terlaksana.

Lihatlah pada bentuk atau kondisi seorang bapak yang mengagumkan ini. Dia bongkok punggungnya, sedikit sabar, rambut dan jenggotnya telah memutih.

Sedangkan kondisis ibu telah beruban dan ajalnya semakin dekat. Dia menyesali masa muda dan masa kecilnya yang telah digunakan untuk mendidik anak ini. Namun tatkala dia telah tumbuh dewasa, mampu membawa beban, dan kuat bekerja, dia menjadi malapetaka, pemarah dan pelit kepada orang tuanya.

“Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”(Q. Al-Isro: 23). Dengan demikian, seremeh apapun kata-kata “ah” menurut seseorang, tidaklah boleh diucapkan kepada kedua orang tua.

Demi Allah, katakanlah kepadaku mana yang lebih besar: benarnya kata “ah” (uffin)? ataukah orang-orang yang benci terhadap hak kedua orang tua, mendurhakai keduanya, dan membalasnya dengan makian, kebencian, dan memutus hubungan keluarga?

Sehingga dia menemukan di masyarakat, seseorang yang hidup dalam kesulitan dan kemelaratan, sedangkan dia sedang naik mobil yang mewah serta menyantap makanan yang lezat-lezat. Sementara kedua orang tuanya dalam kemiskinan, yang dililit oleh kebutuhan hidup serta dalam penderitaan. Hanya Allah-lah yang mengetahui.

Hati macam apa ini?

Jiwa macam apa ini?

Orang-orang Arab telah menyesali, di masa Jahiliyah dan Islamnya, terhadap kedurhakaan mereka. Mereka merasa tersiksa, serta memohon ampunan kepada Tuhan akan itu.

Dalam buku “Adab wa al-Sīr” diceritakan, bahwa ada orang Arab baduwi (a’robyan) menghadap al-Khalifah dalam keadaan nangis.

“Kenapa kamu?” tanya khalifah itu.

“Saya telah tertimpa musibah yang lebih besar dibandingkan musibah kekayaan” jawab orang Arab baduwi (a’robyan) itu.

” Musibah apa yang menimpamu?” tanya khalifah

“Aku telah merawat anakku; saat dia tidur aku menjaganya, dia kenyang saya lapar, dan ketika dia enak-enakan saya susah payah, namun ketika dia telah dewasa, sedangkan waktu telah menggerogoti usiaku, serta punggungku telah bongkok, perlahan-lahan dia mengingkari hakku. Lantas orang Arab baduwi (a’robyan) itu menangis sembari melantunkan syair:

Kurawat dia hingga aku rela mengabaikan masyarakat.

Dan perkembangannya telah membuatku senang.

Dengan dlolim dia mengingkari hak dan jerih payahku.

Kekuasaan Allah yang akan mengalahkannya.

Diceritakan bahwa, kemudian tangan anaknya membengkok dan menjadi di belakang punggungnya.

Dalam kitab al-Sir dan di beberapa tafsir, seperti al-Kasyaf dengan beberapa sanad yang masih di pertimbangkan, bahwa ada seorang lelaki yang mendatangi Rasul saw mau mengadu:

“Ada masalah apa?” tanya beliau.

“Ya Rasul, anakku telah menganiayaku” jawab lelaki itu.

“Menganiaya bagaimana?” tanya beliau

“Saya telah mendidiknya. Akan tetapi, begitu saya sudah tua, penglihatan dan tulangku mulai rapuh dan ajalku semakin dekat, dia mengingkari hak-hakku. Aku diperlakukannya dengan kasar dan kebencian!” papar lelaki itu.

“Apakah kamu mengatakan sesuatu padanya?” tanya Rasul.

Dia menjawab, “Ya, saya mengolok-oloknya dengan mengatakan:

‘Aku telah melahirkanmu dan merawatmu hingga dewasa.

Aku sakit dan marah dengan apa yang terjadi padamu’

Ketika suatu malam kamu jatuh sakit, aku tidak tidur,’

Hanya mengeluh-eluhkan sakitmu agar segera sembuh.’”

Dia kemudian menambahkan ceritanya:”Inikah balasan untukku. Apakah ini balasan yang baik, serta perlakuan baikkah ini? Tatkala kamu sakit, aku selalu menemanimu hingga malam. Pada saat kamu sakit, aku juga berusaha menyembuhkanmu.”

Kemudian berlinanglah air mata Rasul saw, seraya berkata: “Sungguh benar hati yang lembut dan air mata yang berlinang untuk menangisi fitnah-fitnah yang ada di negara Islam dan menangisi hal-hal yang di katakan oleh para orang tua.”[1]

Adakah yang lebih dzalim, lebih parah dan lebih keji dibandingkan saat kamu melihat putramu beranjak dewasa, sedangkan kamu telah menghabiskan masa mudamu, indahnya umurmu, enak dan payahnya dirimu, kemudian perlakuan baikmu di balas dengan keburukan, air susu dibalas dengan air tuba. Sehingga di rumah itupun terdengar jeritan, yang tidak menuruti perintahmu serta tidak tunduk kepadamu?

Wahai saudaraku. Sungguh, ini adalah fitnah yang berturut-turut.

Ketika Rasullah ditanya tentang perbuatan apa yang paling suci dan mulia,

Beliau menjawab: shalat pada waktunya

“Kemudian apa lagi, ya Rasul?”

“Berbuat baik kepada orang tua” jawab beliau.

“Apa lagi?”

“Jihad di jalan Allah” jawab beliau.[2]

Di waktu bepergian, Nabi saw pernah bercerita tentang seorang laki-laki dari Bani Israel yang sangat baik kepada orang tuanya.

Sungguh mengherankan dalam golongan Yahudi dan Nasrani ada orang yang begitu lembut hatinya kepada kedua orang tuanya, sedangkan mereka adalah keturunan monyet, babi dan musuh-musuh Allah yang dilaknati dari atas langit ke tujuh. Di negara Islam ada juga orang yang keras hatinya dan tertutup pikiranya sehingga hatinya tidak pernah luluh.

Abdillah bin Umar bin Khattab ra. berkata: “Saya mendengar Rasullah bercerita, ‘Dulu ada tiga golongan yang masuk ke sebuah gua untuk beristirahat di sana, kemudian batu besar jatuh dari gunung sehingga menutupi pintu gua itu.

‘Mereka berkata: kamu semua tidak akan selamat dari batu itu kecuali berdo’a kepada Allah dengan perbutan baik kalian.

‘Salah seorang dari mereka berdo’a: Ya Allah saya mempunyai kedua orang tua yang telah lanjut usia dan saya tidak minum sore sebelum mereka minum duluan, karena ikatan keluarga dan kasih sayang. Di suatu hari saya pergi untuk mencari pohon dan tidak kembali sehingga mereka tertidur. Kemudian saya memerah susu untuk keduanya. Akan tetapi mereka masih tidur. Saya takut membangunkanya dan minum sebelum mereka, karena ikatan keluarga dan kasih sayang. Saya diam, sedangkan gelas berada di tanganku, menunggu mereka bagun dari tidurnya sampai menjelang fajar. Sementara di depanku ada anak kecil menangis karena lapar. Akhirnya, kedua orang tuaku bangun, lantas minum minuman itu.

‘Ya Allah! jika aku melakukan hal ini karena mencari ridloMu, maka renggangkanlah batu yang telah menghalangi kami. Hingga akhirnya batu itu bergeser sedikit yang belum bisa mereka lewati ….’” al-Hadits.’”[3]

Wahai hamba Allah, sesungguhnya durhaka kepada orang tua adalah suatu kejadian tragis yang real terjadi di masyarakat dan rumah-rumah. Sehingga masalah anak telah menjadi problem yang amat kompleks yang di hadapi oleh para orang tua.

Di sebagian hadits ada yang meriwayatkan; bahwa di akhir zaman orang lelaki lebih senang memelihara anak anjing daripada anak manusia.

Benar … hal ini telah terbukti. Kami maupun orang lain telah melihat para bapak yang lanjut usia menangis, menunduk dan meminta pertolongan dari keluarga yang dzalim ini.

“Wahai pemuda, apakah kamu cinta kepada Allah?

“Apakah kamu salah seorang yang tunduk?

“Apakah kamu salah seorang yang baik dan cinta kepada bapak-ibumu?

Seorang laki-laki datang kepada Rasullah, dia bertanya: “Ya Rasul, siapakah orang yang paling berhak untuk kutemani secara baik?

” Ibumu!” jawab Rasul.

“Lalu siapa lagi?” tanya dia.

“Ibumu!” balas beliau

“Siapa lagi?” lanjut dia.

“Ibumu!” terang beliau

“Siapa lagi?” tanya dia kesekian kalinya

“Ibumu!” tegas beliau.

“Siapa lagi?”

Rasul menjawab: “Bapakmu!”.[4]

Seorang ibu mempunyai ¾ hak, karena ibu adalah orang yang mengandung, menyusui, menyelimuti dan menghangatkan. Dengan demikian, Allah akan membalas para orang tua dengan balasan baik dan memberi mereka minuman dari telaga yang mengalir sehingga mereka tidak akan merasa haus untuk selama-lamanya. Benar, bahwa berbuat baik kepada orang tua adalah tuntutan yang teramat besar. Di antara manfaat-manfaat berbuat baik kepada orang tua adalah:

Dia akan menunjukan kepadamu jalan yang benar.

Allah akan berbuat baik kepada keturunanmu.

Panjang umur dengan pertolongaNya.

Kamu akan di terima di masyarakat dengan baik.

Terjaga semua perkataanmu.

Di antara akibat melawan kepada orang tua adalah mendapat laknat Allah. Sebagaimana firman Allah; “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka” (Muhammad: 22 dan 23).

Sebagian ulama mengatakan: “Allah menulikan mereka sehingga tidak mendengar, dan membutakan mata mereka sehingga tidak bisa melihat, tidak bisa beranggan-anggan dan berfikir.”

Allah berfirman: “Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam) (al-Ra’d: 25).

Dan benarlah apa yang diriwayatkan dari Nabi saw; “Tidak akan masuk surga orang yang memutus tali persaudaraan”[5]. Yaitu, “Barang siapa memutus tali silaturahmi dan orang tua, maka Allah akan memutus rahmat, tagung jawab dan janjinya dari langit”.

Karena itulah Nabi juga bersabda: “Ketika Allah menciptakan tali persaudaraan, tali itu di gantungkan di arsy. Kemudian Rahim berkata: ‘Wahai Tuhanku inilah tempat kembali kepadaMu dari orang yang memutus tali persaudaraan.’

‘Apakah kamu tidak terima, Aku menghubungkan orang yang telah menghubungkanmu (rahim) dan memutus orang yang telah memutusmu?” tanya Allah kepada Rahim

“Saya ridho, wahai Tuhanku!” jawab rahim.

Kata Allah: “Hal itu untukmu. Maka, barang siapa yang menghubungkanmu, akan Aku hubungkan, dan orang yang memutusmu akan Aku putuskan. Kemudian Allah menurunkannya ke bumi.

Sungguh aneh, orang Jahiliyah saja yang menyembah berhala merasa sangat bangga dengan hubungan kekerabatan. Al-Muqnik al-Kindi al-Jahily, bersyair;

Sesungguhnya antara aku, saudaraku

serta putra pamanku sangatlah berbeda.

Ketika mereka meku, aku tidak membalas mereka.

Ketika mereka merusak harga diriku, aku memuji diri mereka.

Aku tidak merasa dengki kepada mereka,

Bukanlah seorang pemimpin suatu kaum, orang yang dengki.

Wahai hamba Allah, sesungguhnya orang yang paling lembut dan bijaksana adalah Rasul SAW. Karena itulah Allah menyebut budi pekertinya di dalam al-Qur’an dengan berfirmanNya: “Sesungguhnya kamu mempunyai budi pekerti agung” (al-Qalam: 4). Dan juga: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (al-Imron: 159).

Banyak sekali penjelasan tentang silaturahmi yang dijadikan sebagai perumpamaan di sepanjang sejarah.

Tak pernah terdengar olehku, di dunia ini, orang yang begitu menjaga hubungan keluarga daripada Nabi saw.

Para kerabat dan sepupu beliau telah mengeluarkan beliau dari Makkah, memburu, menghina, menyakiti, memerangi beliau dalam peperangan, menempatkanya dalam kancah peperangan. Dengan mengerahkan pasukan, menghalangi akses beliau baik informasi maupun ekonomi.

Namun, apa yang dilakukan Nabi ketika beliau telah memenangkan peperangan?

Ketika beliau memasuki Makkah dengan kemenangan, dan bendera-bendera kesombongan telah tunduk kepadanya, serta gunung-gunung menjadi luluh karena menyebut kemenangannya, beliau kemudian berdiri di atas lingkaran pintu Ka’bah sembari bertanya kepada kerabat dan paman-pamannya: “Menurut kalian apa yang harus aku lakukan kepada kalian?”

Seraya menanggis, mereka menjawabnya: “Saudaraku yang mulia dan keponakanku yang mulia.

Lantas beliau berseru: “Pergilah, kalian semua bebas”.[6]

Seakan-akan beliau berkata: “Semoga Allah mengampuni dan bermurah hati kepada kalian.”

Kemenangan Nabi itu terdengar oleh Abu Sufyan, sepupu beliau, yang telah menyakiti dan menghinanya. Sehingga dia mengajak anak-anaknya keluar dari Makkah dan bertemu Ali bin Abi Thalib. Ali bertanya: “Kemana kalian akan pergi?”

Abu Sufyan menyahut: “Aku dan anak-anakku akan pergi ke hutan hingga mati karena kelaparan dan kedinginan” jawab Sufyan. Demi Allah, jika Muhammad menemukanku dia akan memotong-motongku dengan pedang.”

Ali yang telah mengenal Rasul menjelaskan kepadanya: “Kamu salah wahai Abu Sufyan. Sungguh, Rasul saw. sangat menjaga hubungan keluarga dan paling baik tingkah lakunya. Kembalilah dan ucapkan selamat dengan kenabiannya serta ucapkanlah sebagaimana saudara Nabi Yusuf berucap kepada Yusuf: “Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)” (Yusuf : 91).

Akhirnya, Abu Sufan bersama anak-anaknya memberanikan diri untuk kembali kepada Nabi dan menghadap Rasul sambil mengucapkan salam seperti apa yang di anjurkan oleh Ali.

Kemudian Rasul saw. menangis dan melupakan segala perbuatan dan hari-hari yang di penuhi dengan goresan hitam, sembari membaca ayat: “Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Maha Penyayang diantara para penyayang.” (Yusuf: 92).

Adakah seorang yang mengikuti perilaku dan akhlak Nabi? Sungguh, dia adalah panutan yang sebenarnya, jika mengikutinya akan selamat dari cacat dan kebinasaan.

Saudara perempun Nabi saw., yang telah terpisah hampir 40 tahunan, datang menemui Nabi. Dia tidak mengenalnya begitu juga Nabi. Setelah berjalan beberapa tahun kemudian, saudara perempuan rodlo‘ (saudara sesusuan) beliau datang, untuk mengucapkan salam kepada saudara laki-laki sesusuannya. Saat itu beliau berada di bawah pohon bidara. Sedangkan orang-orang dengan membawa pedang berdiri di depan beliau, yang sedang membagi harta rampasan. Kemudian perempuan itu meminta izin. Para sahabat bertanya: “Siapa kamu?”

“Saya saudara perempuan rodlo‘ (sesusuan) Nabi,” jawab Syaima’. Saya, jelas dia, adalah Saima’ binti Kharits. Saya dan Nabi telah disusui oleh Halimah al-Sa’diyah. Kemudian sahabat itu memberitahu Rasul saw. Mengalir air mata Rasul dan langsung menemuinya di jalan dan merangkulnya seperti rangkulan adik terhadap kakaknya setelah berpisah begitu lama, kegundahan dan keterasingan. Kemudian Rasul saw mempersilahkan Saima’ duduk di tempatnya dan melindunginya dari sengatan matahari.

Bayangkanlah seorang utusan dan guru manusia, yang telah mengoncangkan berhala, memberi teduh perempuan tua ini dari sinar matahari karena satu susuan.

Mana orang-orang yang telah memutus tali persaudaraan dengan paman-paman mereka, bibi, anak-anak dan saudara-saudara mereka, hingga warisan, yang di halalkan Allah untuk paman, bibi, saudara serta anak-anak mereka, mereka mengharamkan atas mereka semua.

Saya mendengar, di antara beberapa orang tua ada seorang yang duduk sendirian sambil menangis, seraya mengeluh: “Aku telah dianiaya…. Semoga Allah membersihkanku darinya.”

Kemudian Rasul saw bertanya kepada saudara perempuannya itu tentang keadaan mereka. Beliau pun menawarkan kepadanya: “Pilihlah, hidup di sini atau kamu kembali ke keluargamu?”

“Saya menginginkan keluargaku!” jawab saudara sesusuan Rasulullah.

Kemudian Rasul memberikan harta kepada saudara perempuannya itu agar mengajarkan tentang silaturahmi.

Wahai hamba Allah, saya berpesan kepadamu dan diriku sendiri agar selalu bersilaturahmi dan berbakti kepada orang tua. Karena di dalamnya terdapat banyak kebaikan dan balasan dari Allah serta merekatkan emosional, menghilangkan kebencian dan kedengkian.

Berbuat baiklah kepada ibu dan bapakmu. Sambunglah sanak keluargamu agar kamu masuk surga.

Rasulullah bersabda: “Orang yang memutus tali persaudaraan tidak akan masuk surga. Allah adalah dzat yang maha mengetahui.” Sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, skeluarga dan sahabatnya.

***

Bab II: RINTIHAN KEDUA ORANG TUA

Segala puji bagi Allah yang mengetahui dan melihat para hamba-Nya. Maha mulia Allah yang menciptakan bintang-bintang bercahaya dan bulan yang menerangi. Serta Ia yang menciptakan malam dan siang sebagai pertanda bagi orang-orang yang hendak berdzikir atau bersyukur.

Shalawat serta salam terlimpah kepada orang yang di utus Tuhanya sebagai penunjuk, penggembira, pengancam dan pengajak ke jalan Allah dengan izinNya bak lampu yang menerangi.

Suatu ketika, para jamaah haji disibukkan dengan tawaf di Masjidil Haram. Diiringi panasnya matahari, orang berdesak-desakan dan para jamaah berdiri di sisi Ka’bah melantunkan doa kepada Allah….

Ada seorang laki-laki dari Yaman yang sedang mengendong ibunya dengan keringat yang bercucuran dan lelah. Lelaki itu tawaf sambil mengendong ibunya yang lumpuh. Dia merasa berkewajiban untuk membalas ibunya. Mengingat dia berhari-berhari telah dibawa dalam kandunganya dan diasuh dalam pangkuannya. Ibu yang tidak tidur agar anaknya bisa tidur, mau lapar demi kenyangnya anak, memilih haus asal anaknya tidak kehausan. Dia mengira bahwa cara itu bisa memenuhi hak sang ibu.

Suatu saat Ibn Umar berdiri di samping kuburan, kemudian ada lelaki memberi salam kepadanya: “Assalamu’alaik, wahai Ibn Umar. Ini ibuku dan aku putranya. Menurut Anda apakah aku telah membalas segala kebaikannya?”

Ibn Umar menjawab: “Demi Dzat yang diriku dalam kuasaNya. Tidak satu nafaspun dari beberapa nafasnya yang bisa kamu balas”

Dengan demikian, semua jerih payahmu dan usahamu tidak akan menandingi satu helaan nafas yang telah di hembuskan ibumu di waktu melahirkanmu.

Ini adalah sebuah gambaran dari sekian banyak pertolongan yang di berikan seorang bapak dan ibu pada anaknya.

Ketika Rasul duduk bersama para sahabat, ada orang tua renta berjalan tertatih-tatih yang bertumpu pada tongkatnya, menuju mereka. Punggungnya telah bongkok, tulangnya telah rapuh serta rambutnya memutih.

Dia berhenti di depan Nabi saw, mengeluhkan kepada beliau tentang betapa dirinya teraniaya oleh anaknya sendiri, yang mendurhakainya serta berpaling darinya sejak dirinya telah lanjut usia.

“Ya Rasulullah, anakku telah menganiaya diriku. Kudidik dan kurawatnya sejak kecil. Aku rela lapar demi dia. Aku rela haus karenanya, serta rela bersusah payah untuk kebahagiaannya. Namun, ketika telah mandiri, dia mengingkari hak-hakku dan kasar terhadapku,” papar orang tua itu.

“Apakah Anda mengatakan sesuatu kepadanya?” _ayin beliau.

“Iya. Ya, Rasul” jawabnya.

“Apa yang Anda _aying_a?” _ayin beliau.

Dia menjawab: “Aku _aying_a padanya:

“Aku telah melahirkan serta merawatmu hingga dewasa.

“Aku sakit dan marah dengan apa yang terjadi padamu

“Ketika suatu malam kamu jatuh sakit, aku terjaga,

“Hanya mengeluh-eluhkan sakitmu agar segera sembuh.

“Seakan-akan aku tersengat di bawahmu, oleh sengatan

“yang kau gunakan pada orang lain, hingga bercucuran air mataku.

“Saat kamu menginjak dewasa, dan tujuan yang

“Engkau cita-citakan telah kau raih

“Kau balas aku dengan kekasaran dan kebencian

“Seakan-akan kaulah yang _aying kenikmatan yang kau suka

“Maka meranalah kau, jika tidak memedulikan hak orang tuamu

“Kau melakukan sesuatu yang telah dilakukan oleh al-jār terhadap majrūrnya.

Mencucurlah air mata beliau Saw. Lantas beliau berseru: “Temukan aku dengan anak laki-laki itu”

Para sahabat pun bergegas pergi untuk menjemputnya. Sesampainya di sana, ternyata anak itu berada di tubuh keledai.

Kemudian anak itu di hadapkan kepada Rasul. Beliau memegang pakaiannya sembari berkata: “Kamu dan hartamu milik bapakmu”[7].

Artinya: kamu seumpama budak orang tua ini, bisa membeli dan memperjualkanmu. Kamu hanyalah harta dan kekayaannya.

Hikayat seperti ini umum terjadi di masa sekarang ini…. Mula-mula mereka durhaka kepada Tuhan, sehingga tidak mengenal rumah-rumah-Nya, serta berpaling dari kitab dan sunnah Rasul-Nya. Lantas mendurhakai kedua orang tua tatkala telah lemah, sehingga kita sering menemui orang-orang yang telah renta sedang menangis meratapi kedurhakaan yang amat pedih itu. Kita acap kali melihat orang yang telah lanjut usia melangkah menelusuri jalan seraya meratapi anaknya. Kita hanya bisa mengeluh kepada Allah yang Maha Esa lagi Maha Suci, serta Dzat yang tidak pernah mendzolimi.

Rasulullah menceritakan kepada kita tentang kisah tiga golongan dari bani Israel yang pergi ke hutan sampai malam, kemudian mereka naik gunung dan memasuki gua. Kemudian pintu gua itu tertutupi oleh batu besar, maka tidak ada saudara, keluarga, teman dan kabilah yang akan menolongnya.

Inilah masa genting, “Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan.” (QS. An-Naml: 62)

Tidak ada yang bisa menolong orang yang terdesak kecuali Allah. Tidak ada yang mampu menghilangkan kesulitan melainkan Allah. Tidak pula ada kuasa membebaskan dari kegundahan melainkan hanya Allah.

Aku mengingat-Mu tatkala kegelapan menyelimuti.

Dan harimau meraung di atas batu besar.

Dalam kesedihan, yang jikalau sedikit saja aku lengah,

sungguh Engkau akan menemukan tubuhku tercabik-cabik.

Gelap jalan ini, aku berdiri memohon dalam kegelapan.

Bersimpuh menunduk di pekatnya gelap.

Kemudian mereka mendorong batu itu, namun batu itu tak bergeming. Sementara makanan, pakaian dan minuman telah habis. Ini jelaslah kematian. Lantas mereka berdo’a, seraya memohon kepada Allah.

Lalu salah satu di antara mereka berkata: demi Allah! Tidak _aying_a yang kuasa meyelamatkan kalian kecuali Allah. Berdoalah kepada-Nya dengan perbuatan baik kalian.

Lantas seorang berdiri dan menginggat perbuatan-perbuatanya. Akan tetapi dia tidak menemukan amal yang lebih mulia dan baik yang ia perbuat untuk orang tuanya.

Selanjutnya dia berdoa kepada Allah Yang Maha Mengetahui atas hal yang ghaib dan tak terlihat, dengan mengucapkan: “Ya Allah, saya mempunyai kedua orang tua yang telah lanjut usia dan saya tidak memberinya keluarga dan cucu. Di suatu hari saya pergi seharian penuh, ketika kembali mereka sedang tertidur, kemudian saya memerah susu untuk mereka di malam hari. Saya berdiri di samping kepala kedua orang tua sampai menjelang fajar dan anak kecil menangis di bawah kakiku. Saya tidak pernah mendahulukan seorangpun melainkan keduanya saya dahulukan terlebih dahulu.

Ya Allah, jika aku melakukan hal ini karena mencari ridloMu, maka hilangkanlah batu yang telah menghalang-halangi kami ini. Batu itupun lantas sedikit bergeser dari pintu gua, namun mereka belum bisa keluar dari gua itu. Seorang lagi berdoa…, sampai akhir hadits.

Nabi saw. bersabda, “Tidak akan masuk _ayin orang yang memutus tali persaudaraan.”[8]

Bagaimana orang yang memutus tali persaudaraan bisa masuk _ayin?

Nabi saw. bersabda: ” Ketika Allah menciptakan hubungan kekerabatan (silaturahim), lantas hubungan (silaturahim) itu di gantungkan di arsy, kemudian silaturahim pun berkata: ‘Wahai Tuhanku, inilah tempat kembali bagi orang yang memutus hubungan kekerabatan (silaturahim). Maksudnya, aku mengadu kepada-Mu tentang putusnya hubungan kekerabatan (silaturahim) di dunia, maka ambillah hakku dari orang yang memutusnya.’

“Allah bertanya: ‘Apakah kamu tidak terima-Ku menghubungkan orang yang telah menghubungkanmu dan memutus orang yang telah memutusmu?

“‘Tidak, wahai Tuhanku,’ jawab silaturahim. ‘Hal itu untukmu,’ kata Allah.”

Maka orang yang memutus silaturahim, Allah pun akan memutus hubungan dengannya. “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa, kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan telinga mereka serta dibutakan penglihatan mereka oleh-Nya. (Q.S. Muhammad; 22-23).
Allah. Swt., dalam al-Qur’an, banyak menyandingkan hak-Nya bersama hak kedua orang tua. Sebagaimana dalam firman-Nya: “Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia, dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.”(Q.S. al-Isra’23-14)

Kalimat remeh, ” uf (ah)” saja tidak boleh di ucapkan kepada orang tua, bagaimana dengan orang yang mengganggap rendah dan hina orang tuanya?

Bagaimana seseorang lebih mendahulukan istri dari pada ibunya?

Bagaimana seseorang yang berbicara kasar dan durhaka dalam menjawab?

Semua itu adalah realitas yang selalu berulang-ulang terjadi di masyarakat dan sering kita dengar. Semoga orang-orang yang berani terhadap orang tua mengambil nasihat dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits yang menakut-nakuti mereka dari perbuatan yang penuh siksa. Perbuatan yang tidak selayaknya di peruntukkan pada orang tua yang telah bersusah payah, kasih _aying dan mendidiknya.

Semoga mereka bisa mengambil i’tibar (pelajaran) dari cerita-cerita orang salih dan kebaikan mereka kepada orang tua.

Suatu ketika Ibn Sirin menyajikan makanan kepada orang tuanya dan dia tidak makan dari wadah sebelum ibunya, khawatir tangannya mendahului makanan yang diinginkan oleh ibunya.

Imam Ahmad dengan kemuliaannya selalu melayani orang tuanya di rumah. Tidak ada yang dia bantu setelah Allah kecuali orang tuanya.

Imam Ahmad memasak, menyapu rumah dan menggantikan pekerjaan-pekerjaan orang tuanya.

Ada beberapa hal yang masuk dalam kategori berani kepada orang tua. Di antaranya adalah durhaka kepada orang tua yang telah di sebutkan di atas. Akan tetapi di sini akan diterangkan tentang pembangkangan dari sisi lain. Yaitu, durhakanya umat kepada Tuhannya, seperti yang kita lihat, di mana mereka sampai keluar dari agama (murtad) dan tidak taat kepada Tuhan mereka. Kemudian mereka mengikuti tingkah laku dan pergaulan orang kafir. Dengan anggapan bahwa kebudayaan dan peradaban harus dengan cara mengikuti.

Dia tidak mengetahui bahwa peradaban dan kemajuan terletak pada kepribadian umat dan mengimplementasikan kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya dalam kehidupan.

Hanya kepada Allah saya memohon, supaya menolong dan mengembalikan keagungan umat ini dari modernisasi, agar menjadi umat yang paling mulia. Allah maha tahu, dan semoga rahmat Allah selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya.

***

Bab III: MENJAGA HUBUNGAN KEKERABATAN

Segal puji bagi Allah penguasa semesta alam. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada nabi dan rasul yang paling mulia, Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabat.

Dari Abu Hurairah ra, Nabi bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan makluk, hingga ketika telah selesai menciptakannya.” Hubungan kekerabatan (al-rahm) berkata: “Inilah tempat orang yang kembali kepada-Mu dari putus hubungan.”

“Benar. Maukah kamu Ku-sambungkan dengan orang yang menyambung hubungan denganmu, dan memutus orang yang telah memutus hubungan denganmu,” jawab Allah.

“Tentu saja, Tuhanku” jawab al-rahm (silaturahim; hubungan kekeluargaan).

“Itu untukmu,” kata Allah.

Rasulullah saw. Telah berseru: “Bacalah Surat Muhammad ayat 22-23, jika kalian mau, yaitu; Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga merekadan dibutakan-Nya penglihatan mereka. (Q.S. Muhammad; 22-23).[9]

Dalam hadits ini ada beberapa masalah. Pertama, sabda Nabi yang berbunyi, “Ketika Allah menciptakan makluk”. Ahli hadits berpendapat bahwa yang di maksud adalah menciptakan langit dan bumi.

Ibn Hajar berpendapat bahwa, yang dimaksud “Ketika Allah menciptakan makluk“, mungkin adalah ketika Allah menulis takdir makluk di al-lauh al-mahfudz sebelum menciptakan langit dan bumi.

Hemat saya, pendapat Ibn Hajar keliru, karena berbeda dengan makna literal hadits. Sedangkan Nabi terang-terang mengatakan bahwa Allah telah menciptakan makluk. Adapun takdir, seperti yang kita ketahui, menurut ahlu sunnah telah di tulis sebelum menciptakan langit dan bumi rentang 50000 tahun, seperti apa yang di terangkan dalam hadits, “Allah menulis takdir segala sesuatunya sebelum menciptakan makluk dengan rentang 50000 tahun”.[10]

Dalam al-Qur’an juga disebutkan: “Sesungguhnya rahmat-Ku mengenai segala sesuatu” dan “sesungguhnya rahmat-Ku mendahului kemarahan-Ku“[11].

Semoga Allah memberi rahmat kepada kita dan kamu sekalian.

Allah telah menciptakan bumi dan langit selama enam hari. Hal ini telah disebutkan dalam al-Qur’an. Selesai Allah menciptakan langit dan bumi, al-rahm berkata, “Maksud al-rahm di sisni adalah hubungan kekerabatan (silaturahim).

Sebagian ulama mengatakan, yang di maksud al-rahm di sini adalah rahim orang perempuan, karena merupakan tempat mengandung. Secara dzahiriyah, rahim adalah hubungan yang mengikat antara sebagian manusia dengan yang lain.

Allah berfirman: “(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu” (QS. an-Nisa: 1). Kemudian al-rahim berkata, “Ini adalah tempat kembalinya orang yang memutus persaudaraan kepadaMu.”

Apakah perkataan rahim ini dengan mulut ataukah tingkah laku?

Mu’tazilah berpendapat bahwa al-rahim berbicara dengan tingkah laku. Hal ini sesuai dengan firman Allah tentang langit dan bumi: “Keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati.’” (QS. Fussilat: 11) tidak bersuara, namun dengan tingkat lakunya.

Sedangkan ahlu sunnah berpendapat, “Tidak…. Kita memahaminya dengan makna dzahir, yang berarti bahwa al-rahim berbicara dengan sebenarnya karena Allah berfirman bahwa rahim berbicara.

Kenapa kita memahami dari makna dzahirnya? Dalam riwayat Muslim: “Bahwa al-rahim berada di arsy. Sebagian riwayat sahih lain: “Al-rahim terhubung dengan arsy seperti orang yang meminta perlindungan kepada Allah dari orang yang memutus tali persaudaraan. Sebab orang yang menyewa selalu berhubungan dengan penyewa dan akan kembali kepadanya. Karena itulah al-rahim berkata: “Ini adalah tempat kembali kepada-Mu”. Yakni, saya memohon perlindungan kepadaMu dari pemutus persaudaraan dan terputusnya persaudaraan. Maka, selamatkanlah aku.

Tidak ada pertolongan dan perlindungan kecuali dari Allah. Allah berfirman: “Mintalah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk” (QS. an-Nahl: 68). Maksudnya adalah mengharapkan perlindungan pada Allah dari setan.

Allah Swt sajalah yang akan memberikan perlindungan, dan dia tidak akan dianiaya oleh-Nya. Oleh karena itu, tatkala Nabi Saw. di sihir, Allah kemudian menurunkan QS. al-Alaq dan QS. al-Nas.

Maka, memohonlah perlindungan hanya kepada Allah. Sesungguhnya kesyirikan sebagian orang Arab adalah menyekutukan meminta pertolongan kepada selain Allah. Oleh karena itu, mereka sama halnya meminta perlindungan kepada raja jin.

Allah berfirman: “Bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. al-Jin: 6). Hanya Allah yang bisa melindungi. Karena Dialah yang bisa mencegah. Karena itulah Allah menghujat orang yang bertuhan selain Dia. Allah berfirman: “Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) suatu kemanfaatanpun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan” (QS. al-Furqon: 3). Dalam kitab-kitab sastra di sebutkan bahwa ada salah seorang penyair dari Andalusia yang mendatangi seorang raja, dia berkata:

“Terserah kehendak baginda, bukan kehendak takdir

Putuskanlah karena kamu adalah satu-satunya orang yang memaksa.”

Raja terdiam, dan orang-orang pun tidak mengingkarinya. Kemudian Allah memberitahukan bahwa Dia-lah satu-satunya dzat yang memaksa dan segala sesuatu atas kehendak-Nya. Allah memberi ujian kepada penyair itu dengan penyakit yang sulit diobati oleh para dokter. Dia selalu menggonggong di atas ranjangnya seperti gonggongan anjing, serta membalikkan punggung di siang dan malam hari karena Allah ingin agar dia tahu arti syair ini. Akhirnya, penyair pun sadar dari mabuknya dan di akhir hayatnya badannya sangat kurus. Penyair itu berkata:

Apakah Engkau melihat bahwa saya orang yang membutuhkan-Mu,

Kemudian Engkau menghina dan membunuhku.

Engkau bukanlah dzat yang hina, saya yang hina karena telah berharap kepada selain Pencipta.

Imam Ahmad ditanya: “Tawakkal itu apa?”

Tawakkal adalah kepasrahan seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim ketika akan dimasukkan ke api, dia berkata: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”(QS. al-Imron:173).

Diceritakan, dalam profil Nabi Ibrahim as., bahwa beliau pernah diletakan dalam alat pelontar batu sebagai ganti pelurunya….

Para keluarga dan teman-teman beliau mengelilinginya. maka iman di dalam hatinya semakin besar seumpama gunung, karena beliau adalah pemimpin orang-orang yang mengesakan Allah beserta Rasul kita, Muhammad SAW.

Jibril di udara berkata kepada beliau: “Hai Ibrahim, apakah kamu butuhkanku?”

Atas izin Allah, Jibril as. pun bisa menyelamatkanya. Nabi Ibrahim menyahut: “Aku tidak membutuhkanmu, aku hanya butuh kepada Allah.

Maka tatkala mendekati api, Nabi Ibrahim berkata: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. al-Imron:173). Sehingga tidak ada keburukan yang menimpa pada diri beliau.

Dalam Sahih Bukhari yang mauquf kepada Ibn Abbas, Ibn Abbas berkata: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (QS. al-Imron). Ayat itu diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika akan dimasukan api, dan ayat itu juga diucapkan Nabi Muhammad ketika disampaikan kepadanya ayat: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.”[12] (al-Imron: 173). Dan di jawab dengan ayat: “Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. al-Imron: 174).

Banyak sekali yang mengisahkan Khalid bin Walid saat bersama 30.000 pasukannya berhadapan dengan pasukan Romawi yang berjumlah 280.000 di perang yarmurk.

Ketika mereka saling berhadapan, seorang pasukan muslim berkata pada Khalid: “Sungguh banyak pasukan Romawi, dan betapa sedikit pasukan kita!”

Khalid menyahut: “Demi Allah, tidak! Sungguh, pasukan kita jauh lebih banyak, dan betapa sedikit pasukan dari Romawi, karena Allah bersama kita.”

Pasukan muslim lain berkata: “Wahai Khalid, saya menyangka hari ini saya akan lari ke gunung Aja dan Salma.

Khalid menjawab: “Jangan! Janganlah berlari ke gunung Aja ataupun Salma, akan tetapi berlarilah menuju Allah, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (al-Imron: 173).

Akhirnya peperangan pun berkecamuk. Khalid memenangkan peperangan, karena Allah Swt. yang mencukupinya.

Nabi bersabda: “Al-rahim berkata: ‘Inilah tempat meminta perlindungan kepadamu dari pemutus silaturahim. Maksudnya, dalam hidup aku meminta perlindungan-Mu dari orang yang memutus tali persaudaraan, karena pemutus persaudaraan akan mendapatkan laknat dari-Mu. Dalam al-Qur’an disebutkan: “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan telinga mereka serta dibutakan penglihatan mereka oleh-Nya. (Muhammad: 22-23).

Ja’far Shadiq berwasiat kepada putranya, “Wahai anakku, janganlah berteman dengan 3 jenis orang:

1. Orang yang berbuat buruk, karena keburukannya akan menular kepadamu.

2. Pemutus tali persaudaraan, karena dia akan dilaknat di langit dan bumi.

3. Orang kikir, sebab dia akan menjualmu ketika dia butuh.

Allah berfirman: “Tentu. Aku pasti melindungi dan menjagamu dari pemutus tali persaudaraan. Kemudian Allah bersabda: “Apakah kamu terima jika Aku menghubungkan tali persaudaraan kepada orang yang telah menghubungkan dan memutus persaudaraan bagi orang yang telah memutusnya?”

“Iya,” jawab al-rahim.

Adapun jawaban dengan kata (بلى), karena penawaranya dengan memakai kata tanya.

Oleh karena itu, ketika Allah bersabda: “Apakah Aku bukan Tuhanmu? Mereka menjawab: “Iya.“ (QS. al-A’raf: 172).

Kemudian Nabi Saw berkata: “Jika kalian ingin, bacalah: ‘Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?. Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.‘” (QS. Muhammad: 22-23).

Allah Swt. bersabda: “Apabila kamu melakukan apa yang kau inginkan dan kufur kepada Allah, maka tidak ada lagi yang tersisa kecuali memutus tali persudaraan kalian.”Inilah makna singkat ayat ini.

Ini seumpama kamu berbicara kepada seseorang ketika berbuat dosa dan salah: “Tidak ada yang tersisa kecuali kamu meninggalkan shalat, atau jika kamu ingin tinggalkanlah shalat.

Sedangkan kamu tidak mengakui hal itu, akan tetapi kamu mengancam dan menakut-nakuti. Allah bersabda, “Jika kamu menghindari iman, yang tersisa hanya memutus tali persudaraanmu, karena itu lebih ringan dosanya dari pada meninggalkan iman.”

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi Saw. bersabda: “Persaudaraan adalah bagian dari kasih-sayang.” Allah bersabda, “Barang siapa mengikat tali persaudaraan, maka Aku akan menghubungkanya. Begitupula, barangsiapa yang memutus tali persaudaraan, maka Aku akan memutusnya.”[13]

Kata sajnah bisa di artikan sujnah dan sajnah. Sajnah memiliki arti bagian dari sesuatu, dan sajun bisa di artikan sebagai sisi-sisi jurang dan keringat badan. Sajun adalah perkataan yang diambil sebagiannya. Orang Arab berkata: “Cerita ini dinukil. Maksudnya, dia menukil cerita itu atas bagian cerita yang lain. Pembicaraan itu sangat disenangi, sehingga orang tidak akan selesai berbicara kecuali dengan mengawali pembicaraan lain.

Dikatakan sajun adalah salah satu ciptaan dari makluk Allah. Dengan demikian, bersandarnya kata sajun merupakan pemuliaan, dengan arti, bahwa Allah telah menciptakanya.

Atau kata sajun diambil dari sifat Allah, yaitu “ar-Rahman”, yang mana kata tersebut bertujuan untuk memuliakan.

Sebagian ulama ahlusunnah berpendapat: “Nama Rasul Muhammad Saw diambil dari sifat Allah, mengingat bahwasanya Allah adalah Dzat yang maha terpuji. Maha suci lagi mulia, Allah sebagai pemilik “pujian”. Hasan berkata:

Nama Muhammad diambil dari sifat Allah, agar ia mengagungkan Allah

Dzat yang menguasai arsy adalah dzat yang dipuji

Allah bersabda: “Barang siapa menghubungkan tali persaudaraan, maka Aku akan menghubungkanya, dan barang siapa memutus persaudaraan maka Aku akan memutusnya.” Hadits ini seperti yang terdahulu.

Ketahuilah, bahwa ada beberapa bentuk silaturrahim yang dianjurkan, di antaranya: berusaha menghubungkan kembali tali persaudaraan kepada mereka yang memutuskan. Inilah derajat silaturrahim yang tertinggi, mengingat sabda Rasulullah Saw: “Orang yang tidak putus persaudaraanya, tidak disebut menghubungkan saudara. Namun yang disebut silaturrahim adalah menghubungkan tali persaudaraan yang telah terputus.

Maksudnya, orang yang berhak disebut silaturrahim adalah orang yang menghubungkan tali persaudaraan yang telah terputus.

Kita telah mendengar banyak cerita tentang seseorang yang menyambung tali persaudaraan dan mencintai mereka yang telah memutus persaudaraan dan membencinya. Seseorang itu menceritakan hal itu kepada nabi, dan nabi bersabda: “Jika kejadianya seperti apa yang telah kamu katakan,

Hal ini sesuai dengan kata penyair:

Sesungguhnya antara aku, saudaraku

Serta putra pamanku sangat berbeda.

Ketika mereka merusak harta bendaku, aku tidak membalas mereka.

Ketika mereka merusak harga diriku, aku memuji diri mereka.

Aku tidak merasa dengki kepada mereka,

Bukan seorang pemimpin suatu kaum, orang yang dengki.

Mereka akan mendapat bantuan hartaku, ketika aku kaya.

Namun, ketika hartaku sedikit, aku tidak memaksa mereka untuk membantuku

Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang mengikat tali persaudaraan agar Allah menemukan mereka di dunia dan akhirat. Allah adalah Dzat yang maha mengetahui. Sholawan dan salam semoga senantiasa tercurah Nabi Muhammad serta keluarga dan sahabatnya.

Bab IV: SUASANA RUMAH

Segala puji bagi Allah pencipta langit, bumi, kegelapan dan cahaya. Kemudian orang kafir ingkar kepada Tuhannya. Shalawat beserta salam terlimpah kepada guru yang memerdekakan, penunjuk agung, penggembira dan pengancam, Muhammad bin Abdillah.

Saudaraku, akidah ini telah dibawa oleh ayah-ayahmu dalam peperangan untuk menaklukan negara Persia dan Romawi. Mereka selalu menjaga batas-batas Allah dan menjauhi syaitan di setiap harinya. Lihatlah orang-orang yang menyimpang jalannya? Yakni, mereka yang menjauhi masjid, meninggalkan shalat, sunnah Rasul, jalan al-Quran, dan mereka yang mendengung-dengungkan kebebasan perempuan sehingga keluar dari rumah agar bercampur dengan laki-laki dan berbaur di setiap tempat. Seorang Penyair mengatakan:

Sedangkan menurut mereka, membaca dan nyayian

Merupakan mainan cerdik dan duduk sambil mengisap rokok

Riba mereka makan dan berlomba-lomba mencarinya

Saling berebut fitnah-fitnah yang membius

Mereka merasa pantas mendapatkan murka Tuhan hingga mereka terlilit

kelaparan, kebangkrutan serta kekalutan.

Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian] kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. (al-Nahl:112). Begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras (Huud:102). Berapalah banyaknya (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan Rasul-rasul-Nya, maka Kami hisab penduduk negeri itu dengan hisab yang keras, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan. Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar. (al-Thalaq: 8 dan 9).

Di halaman terakhir majalah “Al-Muslimun” ada cerita mengerikan sekaligus menakutkan. Cerita panjang tentang empat wanita Arab yang berpindah ke negara lain, kemudian mereka di cekal layaknya promotor yang berkeliaran. Sebagian mereka ada yang berumur sampai 60 tahun. Mereka bersama-sama suami dan anak-anak mereka. Akan tetapi orang yang lupa kepada Allah akan terputus tali persaudaraannya. Kemudian mereka diputus ketidak beradaannya, sedangkan kita tidak mengetahui ketidakberadaannya. Inilah sedikit ganjaran….

“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar (al-Maidah:33).

Kita bertanya: Apa dosa yang menyebabkan nurka Allah? Apa sebab kekhilafan ini? Penjelasan dan kesimpulan apa tentang maksiat yang terjadi pada masyarakat Islam di siang dan sore hari? Berbaurnya wanita dan laki-laki dalam menyebar luaskan hal yang membingungkan, serta zina, pencabulan, prostitusi dan mendapatkan siksa Allah yang Esa. Hal itu disebabkan karena mereka lupa kepada-Nya sehingga Allah melupakan mereka kepada diri mereka sendiri. “Janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik” (al-Hasr: 19). Bahkan, ada cerita tentang wanita yang telah berusia 40 tahun tidak melakukan shalat, tidak mengetahui hukum-hukum haidh dan mandi besar. Dia lupa kepada Allah dan tak tahu tentang agama. Mereka mengganti iman dengan peralatan-peralatan modern yang menyilaukan, seperti video yang saat ini telah meruntuhkan bagaikan tentara Napoleon dan Hitler. Majalah-majalah pengumbar nafsu yang menjadi trend serta hijau-hijauan, roti dan gambar-gambar porno yang menghancurkan layaknya gempuran tentara dalam enam bulan.

Kemudian ada suami atau seorang ayah yang makan dan minum akan tetapi tidak beriman, bersemangat dan tidak marah ketika batas-batas Allah dilanggar. Tidak kaget adanya istri bepergian ke toko-toko dalam waktu yang lama dengan berhias diri dan berwangi-wangian. Pemuda pemudi saling tukar menukar nomor handphone dan memberikannya kepada orang yang mereka inginkan, kecuali mereka yang mendapatkan rahmat Allah.

Seorang suami yang tidak menghiasi rumahnya dengan iman, tidak mengajarkan shalat, kitab-kitab dan syarat-syarat Islam kepada keluarganya, serta tidak memberikan pendidikan Islam atau peradaban Islam, sehingga perempuan bodoh tentang Islam. Mereka mendengarkan beragam musik, menonton sinetron, pentas teater dan majalah, namun mereka tidak mendengarkan lantunan al-Quran, hadits, pengajian atau pendidikan.

Kerusakan ini semakin kuat melalui keterlibatan orang-orang, baik yang berilmu ataupun tidak, dalam menghancurkan akhlak dan menyebarluaskan kehinaan di masyarakat Islam seperti halnya, Ihsan Abdul Kudus yang telah menulis 30 lebih selebaran yang menghina Rasul atas kerasula-Nya serta menghina agama. Ihsan juga menulis buku yang berjudul, Ana Khurroh (Saya merdeka) yang berisi ajakan istri untuk membangkang kepada suami dan bebas bergaul dengan siapa saja yang diinginkannya, sambil berkata: “Zina adalah adat yang aku ikuti!”

Sedangkan Najib Mahfudz mendapatkan nobel atas kebohongan karena keberaniannya untuk menyesatkan, yang merupakan kebiasan para zionisme. Dia menulis buku yang berjudul “Anak-anak yang bebas”. Di dalamya terdapat hal yang kotor, kemesuman dan kehinaan. Bahkan, syetan pun malu membacanya. “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat) {al-Jasiyah: 23).

Adapun hal yang harus kita lakukan dalam hidup ini adalah menjadi saksi “Demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqoroh: 143). Umat yang menyaksikan atas agama dan kewajiban yang telah kita lakukan di masyarakat. Dengan arti, sebagai saksi apakah umat itu berjalan di jalan yang benar atau tidak, tersesat atau memperoleh petunjuk, ataukah tertipu? Akan tetapi kita tidak bisa menjadi saksi bagi orang-orang jika kita sendiri adalah orang yang membangkang, meremehkan, durhaka dan melanggar syariat Allah? Allah bersabda: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah” (al-Imron:110). Kita akan menjadi umat yang mulia jika kita melakukan amar ma’ruf nahi munkar, simbol ini akan mati kecuali bagi orang yang mendapat rahmat Allah. Sedangkan pemikiran mayoritas masyarakat, bahkan telah umum, bahwa hal ini diserahkan oleh segolongan orang sehingga hanya mereka inilah yang berhak memerintah, menghimbau dan melarang. Pendapat ini keliru. Allah bersabda: “Telah dila’nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu” (al-Maidah: 78 dan 79).

Dengan demikian, kita wajib memerintah orang perempuan kepada kebaikan dan melarangnya pada perbuatan buruk. Hal ini sebagaimana Rasulullah pernah bercerita, bahwa fitnah yang paling berat yang menerpa umat Islam adalah wanita. Kita dianjurkan untuk memudahkan perkawinan, memilih pemuda-pemuda yang shalih dan melarang para pemudi berdiam di rumah.

Banyak para wanita yang telah berumur 40 tahun dilarang bersuami oleh ayah mereka. Dengan demikian, kita dianjurkan untuk menjelaskan pada para orang tua agar tidak terlalu mahal dalam menetapkan mahar pada anaknya dan selalu berusaha menjaga mereka di zaman yang penuh dengan fitnah ini. Pernikahan termasuk sunnah para Rasul. “Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. {al-Ra’d: 38}.

Orang Islam diwajibkan mempermudah dalam hal perkawinan. Bahkan, perempuan yang paling mulia,Fatimah al-Zahra putri Nabi SAW, ibunya Hasan dan Husain, maharnya hanya besi yang harganya tidak mencapai 2 dirham. Putri Said bin Musayyab yang dilamar oleh Walid bin Abdul Mulk putra khalifah umat Islam ditolak oleh Said. Orang-orang bertanya, kenapa ditolak? Apakah aku akan memindahkan dia dari rumah Qur’an kepada rumah yang penuh dengan nyanyian dan budak, jawab Said. Kemudian Said menikahkan putrinya dengan salah satu muridnya yang fakir karena Rasul bersabda: “Ketika datang kepadamu orang yang bagus agama dan akhlaknya, kawinkanlah. Jika kamu tidak melakukannya maka akan ada fitnah dan banyak kerusakan di dunia. Allah maha tahu dan semoga rahmat Allah selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad serta keluarga dan sahabatnya.”

***

Bab V: POKOK PENDIDIKAN NABI

Segala puji bagi Allah yang mengetahui lagi melihat hamba-hamba-Nya. Maha mulia Allah yang menciptakan bintang-bintang yang bercahaya dan bulan yang menerangi. Serta menciptakan siang dan malam sebagai penanda bagi orang-orang yang hendak berdzikir atau bersyukur. Shalawat serta salam terlimpah kepada orang yang diutus Tuhannya sebagai penunjuk, penggembira, pengancam dan pengajak ke jalan Allah dengan izin-Nya bak lampu yang menerangi, dan telah menyampaikan risalah, mengemban amanah dan penasehat umat. Semoga Allah memberi rahmat kepada Nabi Muhammad selama minyak misk masih semerbak baunya, serta burung merpati dan bulbul masih berkicau.

Orang-orang shaleh adalah kumpulan kekuatan. Andalah kekuatan itu.

Bahkan Andalah kekuatan yang memancar itu

Bila Anda berdermawan, maka kedermawananmu penuh

Anda melakukan hal yang tak pernah dilakukan oleh orang.

Jika Anda mengasihi, laksana seorang ayah dan ibu.

Yang keduanya mengasihi di dunia ini.

Shalawat serta salam Allah atas pahlawan penunjuk jalan, serta gurunya. Kita tidak akan bisa bersatu tanpa risalah beliau dan hanya petunjuknya yang kita cari, serta tidak bisa mensifati melainkan sebagai asas.

Bagaimana Rasul mendidik para sahabat dan menjadikan mereka orang yang mulia?

Ketika para pemimipin padang pasir datang hingga menghapus suku-suku mereka untuk mereka jadikan budak, maka datangah Muhammad berperan mengeluarkan orang-orang Arab dari kebodohan menuju orang-orang yang mulia “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, ( al-Jumuah: 2). Wahai kaum dimana keagunganmu sebelum Islam datang? Dimana sejarahmu sebelum adanya utusan? Kamu bukanlah apa-apa sebelum ada Nabi Muhammad SAW.

Saat Ahmad diutus,

Tuhan melihat manusia, kemudian mengganti keadaannya.

Bahkan memuliakannya saat Dia memilih dari

Manusia laksana bintang dan bulan yang paling utama

Tidak berlebihan, dia pemimpin umat.

Yang melebur harta hingga merusak mahalnya

Saat Allah melihat semisalnya berjalan

Yang hanya mencari ridloNya

Sehingga Dia memberinya kenikmatan dan derajat yang tinggi.

Meninggal dalam keadaan lebih baik.

Dakwah yang berkah ini membutuhkan orang yang bisa mengarahkan, menunjukkan, mendidik dan seorang pahlawan. Orang itu, Nabi Muhammad. Nabi yang selalu menuntun umat dengan sunnahnya sehingga selamat dan masuk surga. Orang yang terjajah menyangka bahwa pemuda-pemuda kita akan menjauh, dan para pemuda kita akan diserang melalui wanita dan piala. Akan tetapi Allah tetap menyempurnakan cahayanya dengan menolak tipu daya penjajah… Kemudian para pemuda itu menghadapkan wajahnya ke arah kiblat bersujud menghadap Allah serta hati mereka berkata:

Hal yang membuatku semakin mulia dan bangga

Telapak kakiku memberi isyarat untuk melusuri jalan

Masukku di bawah ucapanmu wahai hambaku

Dan menjadikan Ahmad sebagai pembawa berita untukku

Pokok-pokok diutusnya Rasul ada lima:

1. Didikan Rasul kepada sahabatnya supaya mencintai Allah dan Rasul-Nya, cinta yang menyebabkan terputusnya anggota badan dan nyawa.

2. Pengajaran Rasul tentang keberanian dan pantang mundur ketika perang sedang berkecamuk untuk mati agar bisa masuk surga yang lebarnya seperti langit dan bumi.

3. Jelas dan tegas

4. Rasa kasih sayang seperti apa yang dilakukan Nabi ketika berdakwah dalam tahapan cinta dan keikhlasan serta keharmonisan.

5. Tentang ambisi dan cita-cita tinggi. Tidak ridho dengan dunia serta hilangnya dunia untuk dijual meskipun sekejap dari asas-asas itu.

Ajaran Nabi yang pertama adalah, pokok yang paling utama.

Ketika Nabi datang ke Madinah, orang Yahudi menemui Nabi, mereka membuat pengakuan dengan berkata: “Kami cinta kepada Allah, akan tetapi kami tidak mengikutimu.” Kemudian Allah menyanggah pengakuan dan kecintaan mereka terhadap-Nya. Allah berfirman: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’” (ali-Imron: 31). “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (al-Ahzab: 21).

Rasulullah datang dan mendidik para sahabat agar senantiasa cinta kepada Allah dan utusaNya. Dalam kitab Bukhari, Umar berkata kepada Nabi: “Wahai Rasul, demi Allah kamu lebih aku cintai dari pada harta, keluarga dan anakku kecuali diriku.”

Nabi berkata: “Tidak Umar, sampai cintamu melebihi dari dirimu sendiri.”

Kemudian Umar berkata: “Demi Allah, aku lebih mencintaimu dari pada diriku sendiri.”

Nabi berkata: “Wahai Umar, sekarang.” [14]

Menurut riwayat Turmudzi dengan sanad yang dianggap hasan oleh sebagian para ulama, bahwa ketika Umar hendak melaksanakan umroh, Nabi berkata kepadanya: “Saudaraku, jangan lupa mendoakanku”.

Hanya pemimpin besarlah yang berkata kepada salah satu muridnya dengan panggilan “Saudaraku”.

“Perkataan inilah yang paling aku suka di dunia dan akhirat,” kata Umar.[15]

Kemudian Umar pergi umroh dan sepertinya dia telah meninggalkan hati, perasaan dan rindunya kepada Rasul.

Aku dan kamu telah basah badan karena cinta kepadamu dan tidak kering air mata kita.

Hatiku sedih ketika menyebutmu, andai kamu tidak menghiburku.

Cinta berpusat dalam peperangan.

Siapa yang bisa mencegah Anas bin Nadzar untuk melayangkan pedangnya dalam perang uhud. Saad bin Mu’ad berkata kepada Anas: “Wahai Anas, kembalilah.” Anas membalas: “Wahai Saad, jangan melarangku. Demi Allah, aku telah mencium bau surga di bawah gunung uhud.” Akhirnya dia di hantam sampai 80 kali sehingga dia meninggal. Bukankah ini adalah cinta sejati?

Siapa yang bisa mencegah Handholah untuk meniggalkan istrinya di waktu malam sedangkan dia masih dalam keadaan junub, kemudian dia meninggal di jalan Allah. Pengajuan dirinya merupakan tanda atas cinta. Ketika Rasul menoleh ke arah langit sembari menunjuk dengan tangannya, beliau bersabda: “Demi Dzat yang menguasaiku, aku melihat para Malaikat sedang memandikan Handholah di antara langit dan bumi.”[16]

Apakah ini tidak di katakan cinta? Benar, demi Allah ini adalah cinta yang paling besar dan tinggi.

Abdullah al-Anshari, bapak Jabir, dibalut dan diberi wangi-wangian setelah terkena pedang di pundaknya, sembari menoleh dia berdo’a: ” Ya Allah, ambillah darahku hari ini dengan ridhoMu.

Dia orang yang murah dengan jiwanya, jika kamu menyangka dia bakhil

Murah jiwa raga adalah puncak kedermawanan.

Akhirnya Abdullah pergi berperang dan terbunuh, putranya, Jabir, menangis. Kemudian Rasulullah Saw berkata: “Jangan engkau tanggisi dia, karena para Malaikat telah mengepakan sayap untuknya sampai di atas.”[17] Rasul juga berkata tentang Abdullah, tidak ada satu orangpun yang berbicara kepada Allah tanpa penghalang. Sedangkan Allah menghidupkannya kembali dan berbicara dengannya tanpa penghalang, Allah bersabda: “Apa yang kamu inginkan akan Aku berikan.” Abdullah berkata: “Hidupkanlah aku kembali dan aku akan mati untukMu untuk kedua kalinya. Allah bersabda: “Telah menjadi ketentuan bahwa mereka yang kembali kepadaKu tidak akan kembali lagi.”[18]

Kemudian Allah menjadikan ruhnya dan para ruh yang mati bersamanya seperti yang ada dalam hadits: “Ruh mereka bersama dengan burung-burung hijau yang mempunyai lampu yang bergelantungan di Arsy, mereka pergi semaunya di surga, kemudian hinggap di lampu-lampu itu.”[19]

Orang yang menjual hidupnya dengan mahal

Dan melihat ridhoMu yang begitu mahal, dia akan membeli

Mereka adalah para sahabat Nabi yang telah dididik di atas cinta.

Pertama kali orang yang disebut Amir, Abdullah bin Jahs, berperang dalam perang uhud, berkata: “Wahai Tuhanku, Engkau tahu bahwa aku cinta kepadaMu, inilah mas kawin atas janjiku. Jika Kamu tahu itu, pertemukanlah aku dengan musuhMu yang kuat, sehingga aku akan terbunuh untukMu.”

Abdullah tidak mengatakan, aku akan membunuh musuh, malah berkata: “Dia membunuhku.” Akhirnya, perutnya terbelah, hidungnya putus, matanya terlepas dan telinganya terpotong. Ketika itu, ada yang bertanya kepadaku: “Kenapa hal ini kamu lakukan? KarenaMu, wahai Tuhanku,” jawab Abdullah.[20]

Karena itulah para kekasih Allah berlomba-lomba menuju apa-apa yang di cintai Allah.

Dalam hadits yang di riwayatkan oleh Imam Tabrani, Rasul berkata: “Allah tersenyum dalam tiga hal.”[21] Senyum yang sesuai dengan kebesaranNya, tidak tahu bagaimana, dan tidak untuk menyamakan ataupun menyerupakan-Nya. Pertama, lelaki yang bepergian bersama kafilah dengan membawa cinta dan merasa payah dalam perjalanan. Ketika teman-temanya beristirahat dan tidur, dia tidak tidur untuk mengambil air yang dingin dan berwudhu, kemudian menghadap kiblat, menangis, berdoa dan berbisik kepada Allah. Allah bersabda kepada Malaikat: “Lihatlah hambaku ini, dia meninggalkan ranjangnya yang empuk dan selimutnya yang hangat, kemudian mengambil air untuk berwudhu dan berdoa, Aku bersaksi kepada kamu sekalian (malaikat) bahwa Aku akan mengampuni dan memasukanya ke surga.”

Bukankah ini cinta? Iya, ini adalah puncak segala cinta.

Ada satu cerita tentang pemuda dari Arab yang pergi ke London, Inggris. Di sana dia menampakkan tauhid, kegigihan serta keimanannya. Karena dia telah keluar dari Makkah dan Madinah. Di Inggris dia tinggal bersama dengan para manula. Pada pagi hari yang sangat dingin dan membekukan, dia mengambil air wudhu dan melakukan salat fajar, sedangkan para manula melihatnya. Mereka berkata:

“Apakah kamu gila?”

“Tidak!” Jawab lelaki itu.

“Bagaimana kamu sekarang ini bisa bangun untuk berwudhu?”

Pria itu menjawab: “Agamaku memerintahkan begitu.”

Kata para manula: “Kamu tidak menundanya?”

“Jika aku menundanya, Allah tidak akan menerima.”

Kemudian mereka menggeleng-gelengkan kepala, sembari berkata: “Perbuatan ini hendak menghancurkan besi, perbuatan ini hendak menghancurkan besi.”

Pokok ajaran Nabi yang kedua: Ajaran tentang keberanian

Hidup bukanlah untuk menyembah materi atau takut dengan masa depan dan keselamatan. Masa depan ada di tangan Allah dan Dialah yang akan menyelamatkan. Orang-orang bertanya kepada lelaki yang berumur 30 tahun: bagaimana masa depanmu? Apakah akan beristri, bebas atau bepergian. Di pagi hari, pemuda itu berkata:

“Pagi ini aku bebas, kebebasanku untuk Allah. Di sore ini, aku bepergian dan kepergianku karena Allah.”

Dalam kebebasanya, dia bersujud. Dalam berumah tangga, dia ruku’ dan dalam bepergianya dia selalu mengabdi kepada Allah.

Keberanian dan ambisi apa ini?

Mati dan cinta karena kebebasan dan disebutnya dengan masa depan. Hal ini bukanlah masa depan, karena masa depan adalah iman kepada Allah dan menyiapkan tempat di surga yang luasnya seperti langit dan bumi. Nabi yang agung telah mengajarkan kepada murid-muridnya untuk menjual dirinya kepada Allah yang suci dan mulia. “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar” (al-Maidah: 111).

Ibn Qoyim mengartikan ayat tersebut dengan; Allah menurunkan hukum dari langit melalui Jibril dan mendekatkannya kepada Muhammad, menulis perjanjian: “Sesungguhnya Allah telah membeli… dan seterusnya (al-Maidah: 111). Kemudian para sahabat Nabi menghargai dengan jiwa-jiwa mereka, sedangkan barang dagangannya berupa surga, dan mereka membelinya.

Ibn Ruwahah bertanya: “Wahai Rasul, apa yang kamu kehendaki dari kami?”

Nabi menjawab: “Aku berharap agar kamu melarangku dari hal-hal yang telah aku larang kepadamu sekalian, dan juga melarang istri-istri, anak-anak dan hartamu.”

“Bagaimana jika kita melakukan hal itu?” tanya Ibn Ruwahah.

“Kamu akan mendapatkan surga,” jawab nabi.

Ibn Ruwahah berkata: “Laba penjualan, demi Allah aku tidak akan berbicara dan mengatakanya.”[22]

Kemudian Ibn Ruwahah berdiri dari tempat duduknya.

Ibn Qoyim berkata: “Ketika belum berpisah penjual dan pembeli boleh memilih, jika keduanya telah berpisah maka terjadilah jual beli.”

Rasul pernah mengutus Habib bin Zaid kepada Musailamah al-Kadab. Musailamah bertanya: “Siapa kamu?”

“Aku delegasi yang di utus Rasul,” jawab Habib.

“Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul?” tanya Musailamah.

Habib menjawab: “Iya, aku bersaksi.”

“Apakah kamu bersaksi bahwa aku utusan Allah?” tanya Musailamah.

“Aku tidak mendengar apapun tentangmu,” jawab Habib. Musailamah bertanya kembali, dan dijawab oleh Habib dengan jawaban yang sama.

Kemudian Musailamah memerintahkan tentaranya untuk memotong-motong badan Habib dan mereka mengambil sepotong dari badan Habib yang darahnya mengalir ke bumi.

Musailamah menanyakan kembali kepada Habib; “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul?” tanya Musailamah.

Habib menjawab: “Iya, aku bersaksi.”

“Apakah kamu bersaksi bahwa aku utusan Allah?” tanya Musailamah.

“Aku tidak mendengar apapun tentangmu,” jawab Habib.[23]

Akhirnya Habib meninggal dengan mati syahid, kemudian ruhnya naik kepada Allah. “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. masuklah ke dalam syurga-Ku (al-Fajr: 27-30).

Ja’far bin Abi Thalib ketika mendekati ajal, tangan kanannya terpotong, sehingga bendera di angkat dengan tangan kirinya. Tak lama kemudian tangan kirinya juga terpotong, kemudian bendera itu di peluknya, sampai akhirnya, pedang bersarang di dadanya, ketika itu dia berkata sambil tersenyum;

Wahai surga yang indah dan sekitarnya

Semerbak wangi serta minumannya yang dingin

Telah dekat masa runtuhnya kerajaan Rumi

Orang kafir yang jauh dariku

Jika aku menemukannya, aku akan membunuhnya.

Ketika Khalid bin Walid mendekati ajalnya, dia telah membunuh tiga pemimpin, kemudian dia mengambil pedang dan mematahkannya di atas kepala musuhnya sehingga dia mengambil pedang untuk kedua kalinya dan mematahkanya kembali. Sampai mematahkan 9 pedang, sehingga yang tertinggal di tangannya hanya sebuah lampiran di tangan kanan.

Ibn Katsir berkata: “Pada hari itu Khalid telah membunuh 5 ribu pasukan.”

Pada waktu perang Badr, Umair bin Hamam mendengar Rasul mengatakan pada sahabatnya; “Jangan ada seorang pun dari kalian maju sebelum aku mendekatinya”. Ketika orang Musrik mendekat, Rasul berkata; “Berjalanlah kamu sekalian menuju surga yang selebar langit dan bumi.” Umair bin Hamam menyahut: “Surga yang selebar langit dan bumi.” “Iya,” jawab Nabi. “Ya Rasul, bah, bah,” kata Umair. “Apa yang membuatmu berkata seperti itu?” kata Nabi. “Tidak, demi Allah saya hanya berharap termasuk orang yang menempatinya,” kata Umair. “Iya, kamu akan menempatinya,” jawab Nabi. Kemudian Umair mengeluarkan beberapa biji kurma dan memakannya dan dia berkata: “Sungguh, hidupku akan berakhir sampai aku memakan kurma ini, kurma untuk kehidupan yang panjang.” Kemudian dia melemparkan kurma yang dibawanya dan berperang sampai dia terbunuh.[24]

Luka kita tidak meneteskan darah di atas tumit

Akan tetapi darah menetes di atas kaki kita.

Ajaran Nabi yang ketiga adalah, jelas dan tegas.

Maksudnya yaitu, tidak bergurau, basa basi, mlenca mlence (tidak konsisten) dan tidak takut. Anak-anak di gurun pasir hidup dengan bersihnya padang pasir.

Dalam sohih Bukhari dan Muslim, diterangkan bahwa ada seorang lelaki datang menghadap Nabi dan berkata, “Ya Rasul, saya telah binasa.”

“Apa yang membinasakanmu,” jawab Rasul.

“Saya meniduri istri pada saat berpuasa,” terang lelaki itu.

“Merdekakanlah budak,” balas Nabi.

“Saya hanya mempunyai seorang budak,” lanjut lelaki itu.

“Puasalah dua bulan berturut-turut,” papar Nabi.

“Saya tidak mampu puasa sehari penuh kecuali aku terjatuh lagi. Bagaimana aku puasa dua bulan?” jawab lelaki itu.

“Berilah orang-orang miskin makanan,” kata Nabi.

“Saya orang yang paling fakir,” balas lelaki itu.

“Duduklah,” kata Nabi. Kemudian dia duduk, dan Nabi memberinya setandan anggur dan berkata; “Ambillah ini dan berikanlah kepada orang fakir di Madinah.” Atau seperti yang dikatakan Nabi.

“Ya Rasul, saya orang yang paling fakir. Demi Allah tiada seorang pun yang lebih fakir dari saya,” kata lelaki itu.

“Ambillah dan berikan kepada keluargamu,” kata Nabi.[25]

Apakah dalam hal ini tidak ada kejelasan dan ketegasan, tanpa ada basa basi?

Nabi telah mengajarkan para sahabat untuk mengeluarkan apa yang ada dalam isi hatinya dan menjadikan orang yang berkata tidak sesuai dengan isi hatinya sebagai munafiq. “Orang-orang Baduwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan: ‘Harta dan keluarga kami telah merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami’; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya” (al-Fath:11). Adapun orang mukmin. hati dan perkataanya sama.

Suatu hari ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah. Saw.

Rasul bersabda: “Masuk Islamlah kamu.”

“Saya masuk Islam akan tetapi dengan syarat,” sahut lelaki itu.

“Apa itu?” tanya Nabi.

“Anda membolehkan zina untukku, karena aku tidak sanggup menahannya,” terang lelaki itu.

Lalu para sahabat berdiri hendak memukul dan memberi pelajaran. Nabi berkata: “Jangan!”

Nabi meletakkan tangannya di dada lelaki itu seraya berkata: “Apa kamu terima, jika ibumu di zina?”

“Tidak,” jawab lelaki itu.

“Bagaimana dengan saudara perempuanmu,” tanya Nabi.

Lelaki itu menjawab, “Tidak.”

Bagaimana dengan anak perempuanmu, tanya Nabi lagi.

“Tidak,” jawab lelaki itu.

“Bagaimana kamu bisa menerima pada orang lain, sedangkan dirimu sendiri tidak meridhoinya,” lanjut Nabi.

Lelaki itu berkata, “Saya bersaksi bahwa engkau utusan Allah dan aku bertaubat kepada-Nya sekalipun dari zina.”[26] Ini adalah pendidikan yang tetap dan ilmu yang indah.

Ajaran Nabi yang keempat adalah lemah lembut dan kasih sayang.

Nabi telah mengajarkan lemah lembut dan kasih sayang. Sedangkan tidak ada sesuatu yang lemah lembut dan kasih sayang kecuali menghiasinya.

Ketika Allah mengutus Nabi Musa dan Nabi Harun kepada Firaun, dalam perjalananya, Allah bersabda: “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (Taha: 44). Sungguh lemah lembut sangat mengagumkan.

Jadikanlah temanmu sebagai kekasih

sesungguhnya aku mencari teman sepertiku

yang bisa memperoleh kasih sayangku.

Hanya orang Islam yang sempurna akalnya

Dua orang sahabat tidak akan terpisah

Kecuali manakala ruh itu telah berpindah

Nabi bersabda: “Senyumanmu terhadap wajah temanmu adalah sodaqoh”[27].

Beliau juga berkata: “Apakah aku tidak memberitahu kalian mengenai sesuatu yang sangat aku sukai dan paling dekat tempatnya denganku di hari kiamat? Bagusilah akhlak kalian[28].

Allah bersabda: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (al-Imron:159). “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin (al-Taubah: 128).

Rasul datang guna menunaikan shalat. Seorang desa dari gurun datang untuk melaksanakan shalat bersama Nabi. Di saat tahiyat orang itu berdoa dengan keras, dia berkata, “Ya Allah, rahmatilah aku dan Nabi Muhammad, dan jangan rahmati satu orang pun bersama kita. Seusai shalat, Nabi bertanya, “Siapa orang yang mengatakan begini……begini….?” Sedangkan Nabi telah mengetahui bahwa orang desa itulah yang mengatakannya, akan tetapi beliau berharap pengakuanya. Para sahabat pun terdiam. Kemudian Nabi bertanya kembali, “Siapa orang yang mengatakan begini…, begini…?” Akhirnya orang desa itu mengacungkan tangan untuk mengambil hadiah sembari berkata, “Saya, ya Rasul.” Kemudian Rasul tersenyum seraya berkata, “Kamu telah menyempitkan hal yang luas, sesungguhnya rahmat Allah meliputi segala sesuatu.” Allah bersabda: “Sungguh rahmatKu meliputi segala sesuatu” (al-A’rof: 156). Ada orang desa yang sedang meneruskan perjalanan dan wisatanya, dan ia kencing di sisi masjid. Kemudian para sahabat berdiri hendak mengajarkan sesuatu hal yang tidak akan dia lupakan selama-lamanya. Rasul berkata, “Hentikan! Tinggalkan dia.” Nabi menyuruh para sahabat untuk duduk dan memanggil orang itu serta menyuruhnya duduk, karena hal itu lebih mudah dari apa yang akan dilakukan oleh sahabat.

Nabi bersabda, “Ada dosa dari air.” Para sahabat membawa air yang kemudian disiramkan ke tempat kencing orang desa itu. Akhirnya, masalah itupun selesai.

Nabi berkata kepada orang itu, “Sesungguhnya masjid tidak patut untuk dikotori, hanya boleh untuk membaca tasbih, tahmid, takbir dan tahlil. Kemudian orang itu berwudhu dan masuk Islam. Nabi bercerita kepada sahabat jika kamu memukulnya, maka dia akan masuk neraka karena kalian. Pernah suatu ketika orang pelosok datang kepada Nabi dan tiba-tiba dia menarik serban Nabi. Orang itu berkata, “Berilah aku harta dari Allah yang ada padamu, bukan harta bapak dan ibumu….” Apa yang mendorongnya berkata demikian? Kenapa dia melakukan kesalahan dan kejelekan ini?

Kemudian Rasul tersenyum dan menertawakannya. Para sahabat berdiri hendak memarahi orang desa itu. “Jangan,” seru Nabi. Kemudian Nabi menarik tangannya dan memberikannya harta dari Allah yang berupa anggur, biji-bijian dan pakaian sembari berkata,

“Apakah ini cukup untukmu?”

Semoga Allah membalas keluarga dan keturunanmu dengan segala kebaikan, kata orang itu. Nabi bersabda, “Ketika kamu keluar, katakanlah hal ini kepada para sahabat, sehingga mereka telah mengetahui melalui dirinya sendiri.”

Kemudian orang itu keluar bersama Nabi, dan Nabi menanyainya di depan para sahabat,

“Apakah aku bersikap baik kepadamu?”

“Iya. Semoga Allah membalas dengan segala kebaikan kepada keluargamu,” jawab orang itu.

Rasul tersenyum dan bertanya kepada sahabat: “Apakah kamu tahu persamaan antara diriku, kamu dan dia?”

“Tidak,” jawab sahabat.

“Aku seperti lelaki yang mempunyai hewan yang pergi dan menemukannya kembali. Ketika orang-orang menyusulnya dia akan lari semakin kencang,” terang Rasulullah. “Biarkan aku dan hewanku, aku lebih mengenal dia. Lelaki itu mengambil rumput dan mengisyaratkannya ke hewan itu sehingga dia memakannya. Kemudian hewan itu di tangkap dan di ikat. Jika aku meninggalkan kalian dan orang desa ini, maka kamu akan membunuhnya ketika dia murtad, sehingga masuk neraka,” lanjut Nabi.

Orang desa itu kembali kepada kaumnya dan menyerukan ke-Islam-an kepada kaumnya, dan akhirnya golongan dari bapak mereka masuk Islam.

Sesungguhnya pokok kempat ini adalah pokok yang paling penting dalam hal mendidik. Karena kekerasan dan kekakuan tidak akan memengaruhi kecuali pada kebencian dan kedengkian. Sedangkan kelembutan tidak akan berdampak kecuali kepada cinta di hati dan jiwa.

Jarir bin Abdillah ra berkata, “Demi Allah, saya tidak pernah melihat Nabi kecuali tersenyum kepadaku. Alangkah hebatnya senyuman! Dia adalah sihir yang halal. Seorang ulama pernah ditanya,

“Apa yang dimaksud dengan sihir yang halal?”

“Senyumanmu kepada orang lain,” jawab ulama itu.

Perbedaannya dengan orang sombong, kaku dan keras yang tidak pernah senyum, jika dia senyum bagaikan sedikit tetesan air, atau bagaikan memberikan darahnya kepadamu atau menganugerahi senyuman dan melirik dengan sombong.

Dalam Sahih Muslim diterangkan bahwa Muawiyah bin Hakam bin Salma memasuki masjid dan shalat di belakang Nabi bersama para sahabat, kemudian ada seorang lelaki bersin, dan Muawiyah mengatakan, ketika dia belum mengetahui hukumnya,

“Semoga Allah merahmatimu.” Orang itu bersin untuk kedua kalinya, dan Muawiyah mengatakan kembali,

“Semoga Allah merahmatimu.”

Seorang sahabat memukul pahanya untuk mengingatkannya.

Muawiyah malah berkata, “Demi Ibuku, apa yang telah aku perbuat?”

Padahal sahabat itu bermaksud agar dia diam, malah dia banyak bicara. Setelah salam Muawiyah berkata kepada Nabi, “Saya memanggil bapak dan ibu saya karena saya melihat tidak ada guru yang paling baik, sabar, dan sayang kecuali dia. Dia tidak pernah memaksa dan menghinaku. Dia justru meletakan tangannya di pundaku. Rasul berkata, “Di dalam shalat tidak ada perkataan yang patut kecuali membaca al-Quran, dzikir dan tasbih.”[29]

Perbuatan apa ini? Kasih sayang apa ini?

Pokok yang kelima adalah ambisi dan bercita-cita tinggi.

Nabi telah mengajarkan para sahabat agar bercita-cita setinggi-tingginya dan meninggalkan kemalasan. Karena itulah di masa Nabi, para pemuda dan anak-anak mempunyai cita-cita yang tinggi dan sangat bersemangat. Seperti Ibn Abbas yang selalu mengikuti Nabi di rumah bibiknya, Maimunah, agar dia mengetahui bagaimana Nabi shalat di kala malam, dan apa yang dilakukan di tengah malam. Sedangkan di masa kecilnya, Ibn Umar terfokus dalam mengikuti segala pergerakan dan diamnya Nabi di luar rumah. Karena itulah banyak hadits yang datang darinya dan begitu juga yang lainnya.

Dimana anak-anak kita di masa kecil? Masa di mana mereka mempunyai ambisi yang besar untuk menumbuhkan watak atau menyia-nyiakan waktu mereka untuk bermain. Atau mereka akan menjadi seorang pedagang yang mempunyai uang triliunan atau memiliki harta kekayaan sebagai kebanggaan diri di hadapan manusia.

Salah satu perhatian sahabat, suatu hari Rasul duduk bersama mereka dan memberitakan bahwa surga mempunyai delapan pintu. Barang siapa ahli shalat akan di panggil dari pintu shalat, dan barang siapa ahli puasa maka akan di panggil dari pintu puasa, dan seterusnya.

Kemudian Abu Bakr bertanya, “Apakah engkau akan memanggil seseorang dari semua pintu?”

“Ya. Aku berharap kamu termasuk dari mereka,” jawab Nabi.[30]

Rabi’ah bin Ka’ab al-Aslami bersama teman-temannya datang kepada Nabi. Rasul menanyakan tentang apa maksud kedatannganya, dan semuanya memilih perkara yang semu. Adapun Rabi’ah berkata, “Wahai Rasul, saya berharap menemanimu di surga.” Lihatlah ambisi dan cita-citanya.

Nabi membalas, “Berusahalah untuk memperbanyak sujud.”

Inilah hal-hal yang menjadi tujuan besar Nabi yang telah ditanamkan kepada para sahabat, dan masih banyak lagi hal-hal yang lain.

Dengan demikian, hendaklah setiap guru menanamkan dasar ini, ambisi dan cita-cita yang tinggi di setiap anak-anak dan muridnya, sehingga mereka terdidik untuk mencintai hal-hal yang mulia sebagai ganti dari kemalasan dan hal-hal yang lucu.

Allah maha mengetahui, dan semoga sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

***

Bab VI: BAGI KALIANLAH, WAHAI PARA AYAH

Segala puji bagi Allah yang menjadikan anak sebagai pencerah, penggembira, dan mutiara bagi para orang tua. Di dalam kitab dan sunnah, Allah berwasiat kepada mereka agar mendidik anak-anak mereka dengan berulang-ulang.

Shalawat serta salam tercurah kepada ayah yang terbaik, ayah Fatimah al-Zahra, pemimpin para wali, pembesar orang-orang suci dan pembesar para pendidik yang cerdas. Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad hamba dan utusaNya. Shalawat serta salam tercurah kepada keluarga dan para sahabat.

Wahai para ayah yang cerdas, sesungguhnya pemberian Allah kepada hambaNya yang paling besar adalah memberikan keturunan yang shalih dan menasehati serta anak-anak pandai dan bertaqwa yang beruntung di dunia dan akhirat.

Pemberian ini akan diberikan Tuhan karena dua hal:

Qodho, qodar dan petunjuk dari Allah yang maha kekal.

Usaha seorang hamba dengan cara mendidik, mengajarkan dan mengarahkan.

Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah agar keturunannya dijauhkan dari syirik dan menyembah berhala. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: ‘Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.’” (Ibrahim: 35). Layaknya dia berkata, “Wahai Tuhanku, jangan Engkau jadikan anak-anakku penyembah berhala, syirik dan durhaka di kehidupan yang penuh kesusahan dan kesuraman.” Setelah itu Nabi Ibrahim mengucapkan beberapa ayat, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur (Ibrahim: 37). Wahai Tuhanku jangan Engkau sia-siakan shalat mereka.

Anak-anaku yang baik, penurut dan bertaqwa janganlah kalian jadikan mereka sesat dan musrik.

Dalam surat Baqoroh, Nabi Ibrahim berkata ketika meminta kekuasaan Allah untuknya dan keturunanya. “Dari keturunanku” (ibrahim: 40). Kemudian Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim” (Baqoroh: 124). Ayah yang baik dan bertaqwa tidak akan memperoleh kekuasaan Allah kepada anaknya yang durhaka. Karena di antara manusia dan Allah tidak ada keturunan, perantara dan penolong kecuali kepada hamba-hamba yang di ridhoi Allah.

Nabi Zakaria as. telah lanjut usia, rambutnya sudah memutih, dan kondisinya pun rapuh. Beliau menghadap ke arah kiblat sambil mengangkat telapak tangannya kepada Dzat yang maha abadi. Beliau berdo’a: “Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. Sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku ] sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub” (Maryam: 4-6). Beliau berdoa, “Wahai Tuhanku, aku memohon kepadaMu seorang anak shalih yang mewarisiku dalam kebaikan dan dia akan mendo’akanku ketika di dalam kubur, sehingga amal baikku akan bertambah. Setelah menjaga harta terpendam yang dimiliki oleh dua anak.” Allah berfirman dalam surah al-Kahfi: “Sedang ayahnya adalah seorang yang saleh.” (al-Kahfi: 82).

Kemudian Allah menganugerahkan seorang putra kepada Nabi Zakariya dan memberi hidayah kepada putranya, dengan berfirman: “Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami”. ( al-Anbiya: 90).

Dalam mendidik dan mengarahkan, al-Quran bertendensikan dengan wasiat-wasiat yang bermanfaat, tidak dengan dasar-dasar yang lemah dan kurikulum yang sekarang ini diajarkan terhadap anak-anak Islam, sehingga mereka tumbuh menjadi orang fasik dan durhaka kecuali orang-orang yang memperoleh rahmat Allah.

Luqman menasehati putra-putranya dengan bersabda, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13). Ini wasiat apa? Pendidikan apa? Dasar apa?

Wahai para ayah yang cerdas lagi mulia, keberhasilan dalam memdidik anak-anak terletak dalam beberapa hal yang oleh sebagian ulama telah membahasnya di beberapa karangan secara terpisah. Di antara hal-hal tersebut adalah:

- Memilih istri yang shalihah. Ketika kamu kesulitan memilih istri yang shalihah, maka anak akan tumbuh tanpa sosok seorang penunjuk ke arah yang benar.

Rasul bersabda, “Seorang perempuan dinikahi karena empat hal: kekayaanya, keturunanya, kecantikanya dan agamanya. Pilihlah perempuan yang baik agamanya, maka dia akan menjaga apa yang kamu miliki.”[31]

Orang Persia mengawini perempuan karena kecantikannya.

Orang Romawi mengawini perempuan karena keturunannya.

Orang Yahudi mengawini perempuan karena kekayaannya.

Sedangkan umat Muhammad mengawini perempuan karena agama dan istiqomahnya. Seorang Ibu yang shalihah dan pintar, anak-anaknya akan tumbuh dengan berpegangan kitab Allah, sehingga menjadi anak yang baik dan beruntung. Mereka mulia dengan membawa risalah, dan tidak sesat karena berpegangan dengan sunnah.

- Dzikir kepada Allah ketika seorang lelaki bertemu perempuan.

- Ketika bayi lahir.

Islam menuntun kita untuk melakukan banyak hal kepada anak yang dilahirkan, di antaranya

Ketika Hasan bin Ali lahir, Rasul adzan di telinganya[32].

Hal ini di lakukan agar anak tumbuh dengan kata la ilaaha illaallah, tumbuh dengan seruan adzan, sehingga di hatinya tertancap kata-kata adzan. serta mengajari anak untuk suka ke masjid dan melatih kelembutan dengan bertaqwa dan berdzikir kepada Allah.

Nabi Muhammad mengumandangkan adzan di telingga Hasan supaya hatinya tergoncang dan tumbuh dengan keesaan dan kekelan Allah, sehingga menjadi hamba Allah sejak pertama kali dilahirkan.

Di sebagian atsar yang dikutip dari Umar bin Abdul Aziz, bahwa dia mengiqomati di telingga yang lain, sehingga di telingga kanan di serukan adzan dan sebelah kiri di iqomati.

Di dalam atsar juga di sebutkan bahwa Nabi mengaqiqohi Hasan dan Husain dengan dua kambing, seperti yang tertera dalam kitab Sunan. Nabi berkata, “Setiap anak yang lahir di gadaikan dengan aqiqohnya, dan dia di aqiqohi pada hari ketujuh.”[33]

Dalam hadits shahih dan astar diterangkan, agar anak yang lahir di cukur rambutnya dan bersedekah perak sesuai dengan bobot rambutnya.

Di sebutkan juga bahwa, Nabi memerintahkan kepada orang tua untuk member nama anak mereka dengan nama yang bagus. Dalam hadits Shahih, “Nama yang paling disukai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahaman.”[34] Berilah nama yang baik kepada anakmu, nama yang islami dan berbahasa arab yang kuat. Bukan nama yang keperempuaan-perempuaan, manja, genit dan nama-nama para tuan, pengusaha, orang-orang sesat, dan penyembah berhala.

Diriwayatkan dari Nabi, “Bahwa di hari kiamat kelak, seseorang akan di panggil dengan namanya dan nama ayahnya.”[35]

Wahai para ayah, pilihlah nama-nama yang bagus, indah dan menyenangkan agar mereka menjadi penolong di hari kiamat nanti, hari di mana kamu dipanggil dengan namamu. Dalam Islam, disunahkan mendidik anak untuk bertaqwa kepada Allah, menumbuhkan keta’atan kepada Allah serta menanamkan pohon iman dalam hatinya. Rasul bersabda: “Jagalah Allah, maka Dia akan menjagamu.”[36] Kepada Ibn Abbas, ketika dia masih kecil. Riwayat Turmudzi dengan sanad hasan.

Islam mengajarkan, seorang anak diperintah untuk melakukan shalat setelah berusia tujuh tahun. Seorang ayah berkata kepada anaknya, ‘Sholatlah bersamaku. Ayo kita ke masjid.” Sampai dia terbiasa. Di hari itu, anak ditunjukkan jalan ke masjid, bukan jalan menuju ke penjara atau kurungan, tempat minum-minuman keras, tempat bermain yang mewah, tempat wisata yang tidak ada gunanya, tempat kumpul orang-orang buruk dan diskotik. Anak harus di perintah di sertai dengan pemukulan supaya menjalankan shalat setelah berumur 10 tahun. Ini adalah pelajaran yang diajarkan dari langit dan merupakan dasar-dasar yang agung, yang harus diingat dalam hati, bukan dicatat dalam buku-buku.

Ketika anak tumbuh dewasa, temanilah selalu dengan menghadiri pengajian, tempat berkumpulnya orang baik, pengetahuan tauhid dan pendidikan lainnya. Jangan biarkan dia bermain dengan uang. Ajarilah dia layaknya kamu meruntuhkan orang yang terbelah dan membangunnya kembali.

Termasuk hal-hal yang ditekankan oleh Islam, sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah adalah, seorang ayah harus bisa menjadi panutan bagi anak-anaknya. Tidak sedikit dari para ayah dalam mendidik anak-anak mereka hanya mendidiknya dengan ucapan tanpa dibarengi dengan suatu tindakan dan perbuatan. Sebagaimana Allah berfirman, “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri(kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Q.S. al-Baqarah; 44) dan “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (Q.S. as-Shaf; 2). Dia hanya menginginkan anaknya mempercayai ucapannya, akan tetapi ayah ini bohong dengan menerjang ketentuan-ketentuan Allah dalam perbuatan. Dia menginginkan anaknya untuk selalu menunaikan shalat lima waktu berjamaah, namun dia tidak pernah tahu Masjid.

Bagaimana dia bisa menunjukkan?

Pada saat menginjak usia muda, anak akan mengikuti ayahnya secara totalitas. Baik tentang masalah petunjuk, kebaikan, kebenaran dan kemaslahatan. Wahai para hamba Allah, seharusnya kita menjadi panutan bagi anak-anak kita di rumah. Menyuruh mereka berbuat kebaikan, dan kita pun melaksanakannya serta melarang mereka berbuat kemunkaran, dan kita juga menjahuinya. Agar lahir batin kita dibersihkan Allah dari kejelekan.

Di antara hal-hal yang penting adalah mendidik anak-anak dengan cara yang syar’I yang bertumpu pada al-Qur’an dan Hadits. Bukan dengan pendidikan buruk yang tidak menuntunnya ke masjid, tidak menjadikan mereka senang untuk taat kepada Allah dan rasulNya, serta tidak bisa menjauhkan mereka dari maksiat.

Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban kamu untuk mendorongnya menghafalkan kitab Allah sejak kecil agar ketika besar dia telah hafal, faham, mengerti tentang agama Allah dan memperoleh pahala yang besar yang tidak akan dia lupakan semasa hidupnya. Begitu juga sebaiknya memilihkan teman yang baik baginya dan tidak membiarkannya untuk memilih teman-temannya yang terkadang bukan orang-orang yang ahli istiqamah dan baik.

Karena;

“Jangan kamu bertanya tentang seseorang, akan tetapi tanyalah siapa temannya

sesungguhnya setiap teman mengikuti teman-teman lainnya”.

Hanya kepada Allah, saya meminta untuk memperbaiki semua anak-anak mereka, supaya menjadi penyejuk hati bagi mereka, dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Wallahu a’lam, dan semoga sholawat serta salam tercurahkan kepada Nabi kita, yaitu Muhammad, keluarganya serta para sahabatnya.

***

Bab VII: ANAK MUSLIM

Segala puji bagi Allah penguasa semesta alam, shalawat serta salam terlimpahkan kepada Nabi dan Rasul yang paling mulia, Nabi Muhammad, serta seluruh keluarga dan sahabat-Nya.

Amma ba’du:

Hadits yang datang dari Nabi Muhammad merupakan hadits yang baik, bermanfaat lagi menyenangkan.

Dalam pembahasan kali ini, saya akan menerangkan satu sisi tentang kehidupan Nabi Muhammad, yaitu membahasan perihal anak. Sehingga kita akan tahu bagaimana Nabi mendidik, menyayangi dan menanamkan keimanan terhadap anak?

Dalam pembahasan ini ada lima tahap:

1) Posisi anak kecil di hati Nabi Muhammad

2) Didikan Nabi kepada anak-anak.

3) Kasih sayang Nabi terhadap anak-anak.

4) Hukum-hukum anak kecil

5) Anak-anak yang beranjak dewasa mempunyai cita-cita yang tinggi yang ditanamkan oleh Nabi.

Adapun anak kecil di hati Nabi memiliki tempat yang sangat mulia. Nabi Muhammad mengenyuapi makanan untuk anak dengan tangan beliau agar diterangi cahaya la ilaaha illaallah muhammadur rasulullah. Sehingga anak-anak di masa Nabi tumbuh dengan bertujuan menolong agama Allah di masa hidupnya, mengangkat kalimat la ilaaha illaallah dan bersujud kepadaNya. Di masa Rasul, anak kecil dilarang secara lemah lembut, tangisan yang mengharukan, senyuman manis dan permainan yang hidup.

Di masa Nabi, ayah adalah seorang pendidik, sekaligus guru yang berlaku baik kepada anaknya. Anak-anak para sahabat mengikuti perilaku Nabi, dalam gerak dan diamnya, karena beliau adalah orang yang paling berpengaruh. “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu”. (al-Imron: 159).

Nabi Muhammad menjaga dan memperhatikan anak muslim sejak sperma pertama kali menetes. Diriwayatkan dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim), bahwa Nabi bersabda: “Jika kalian di waktu meniduri istrimu dengan berkata: ‘Bismillah, Allahumma jannibna asy-syaithon, wajanibna asy-syaithon ma razaqtana,’ kemudian kamu di berikan anak, maka syaitan tidak akan membahayakanya”[37].

Ketika lahir seorang anak, dalam Shahih Bukhari, Nabi bersabda: “Tidak ada anak yang dilahirkan kecuali syaitan membujuknya, kecuali Isa bin Maryam”[38]. Tahukah kamu bagaimana anak kecil menangis ketika dilahirkan. Subhanaallah! Dia pernah di dalam perut yang sempit, tapi tidak menanggis. Sedangkan ketika dia keluar, dia menjerit menangis.

Ibumu melahirkanmu dengan tanggisan dan jeritan

Sedangkan orang-orang di sekitarmu tertawa gembira.

Buatlah mereka menagis dengan kematianmu

Dan kamu tertawa gembira

Syair yang kedua:

Cukup menjadi bukti atas sempit dan sengsaranya hidup

Tangisan seorang anak ketika lahir

Jika tidak demikian, ketika dilahirkan dia tidak akan menanggis

Sesungguhnya di perut ibu, dia hidup bahagia

Abu Atahiyah menyairkan beberapa bait yang sangat indah:

Suara adzan di telingga anak kecil yang lahir akan selalu

Akhir shalat sampai mati

Itu menjadi bukti bahwa hidup hanya sebentar

Antara adzan dan iqomat

Perbuatan apa ini! Arti bait-bait itu adalah, anak kecil yang lahir, dilantunkan adzan di telinganya, namun, dia tidak melaksanakan shalat atau di shalati. Akan tetapi, di shalati di akhir hidupnya, yaitu shalat janazah. Layaknya adzan dan shalat menjadi satu. Hal ini menunjukan bahwa hidup di dunia ini hanya sebentar bagaikan waktu antara adzan dan iqomah.

Anak dilahirkan di atas tauhid dan kata la ilaaha illaallah. Di dunia ini, tidak ada satupun anak yang lahir kecuali dalam hatinya tertancap kata la ilaaha illaallah muhammadur rasulluallah.

Sesuatu yang pertama kali ada di dalam kepala anak yang lahir adalah akidah yang kuat dan risalah yang abadi, sehingga pada dasarnya dia adalah orang mukmin. “(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus” (al-Rum: 30). Dia tidak dilahirkan sebagai komunis, sekuler (faham yang memisahkan agama dan negara), berperawakan serta berwajah bagus, Nasrani atau Yahudi. Akan tetapi, dilahirkan sebagai orang Islam.

Nabi bersabda: “Setiap anak dilahirkan atas fitrahnya, apakah orang tuanya akan menjadikanya Yahudi, Nasrani atau Majusi,”[39] ketika dilahirkan, dia seorang muslim. Anak laki-laki atau perempuan yang lahir, dilahirkan atas agama Islam.

Nabi menganjurkan agar melantunkan adzan di telingga anak yang baru lahir. Hal ini bersumber dari hadits hasan, menurut Abi Daud dan yang lainya. Sedangkan Nabi juga telah menyerukan adzan di telingga cucunya, Hasan.

Orang pintar mengatakan bahwa menyerukan adzan di telingga bayi mempunyai beberapa tujuan, di antaranya:

§ Allah akan mengilhami bayi tersebut dengan tauhid dan tetap berada dalam fitrahnya

§ Adzan memberikan pengetahuan kepada bayi tentang Islam.

§ Adzan menolak syaitan

Adapun hadits tentang iqomat adalah dho’if. Menyerukan adzan di telingga bayi cukup dengan menembuskan ke hatinya, sehingga tertanam keimanan, keyakinan dan keikhlasan. Bayi yang keluar dari rahim ibunya dan di serukan adzan di telinganya, hakikatnya akan menjadi anak yang beruntung, wangi keringatnya, baik dasarnya dan pertumbuhannya dengan izin Allah.

Nabi mentahnik anak-anak, seperti yang telah di terangkan. Yang di maksud tahnik adalah Nabi mengambil kurma atau yang sepertinya, kemudian beliau mengunyahnya dan memasukkannya ke mulut bayi. Sebelum bayi memakannya, Nabi memasukan jarinya di mulut bayi terlebih dulu.

Wanita muslim akan membawa anak yang telah dilahirkannya kepada penunjuk kebaikan, agar sesuatu yang pertama kali mengisi perutnya adalah ludah Nabi Muhammad, ludah yang suci, berkah dan wangi.

Anas berkata: “Ketika Ummu Sulaim dikaruniai seorang putra -anak ini adalah saudara Anas dari ibu- dia berkata: ‘Bawalah anak ini kepada Rasulullah Saw.’ Kemudian Anas membawanya ke penunjuk kebaikan, Nabi Muhammad. Beliau mengenyamkan kurma untuk bayi itu dan ia pun mengenyamnya dengan senang. Dan Nabi bersabda: ‘Lihatlah kesukaan orang ansar kepada kurma.’”[40]

Nabi menamakan anak kecil dengan memilih nama-nama Islam yang bisa menuntun mereka ke surga yang lebarnya seperti langit dan bumi. Beliau bersabda: “Allah sangat suka dengan nama Abdullah dan Abdurrahman”[41]. Beliau juga bersabda: “Nama yang paling benar adalah Hamam dan Harits.”[42]

Ibn Taimiyah berkata: “Nabi bersabda, Hamam karena manusia bersusah hati sehingga dia selalu menjaga pergerakanya. Oleh karena itulah Nabi menyatukanya.”

Orang Arab suka menamakan anak-anaknya dengan nama yang kuat dan berkilau, karena itulah mereka menamakan anaknya dengan nama-nama aswad seperti Hamzah, Usamah dan Haidaroh. Adapun di masa sekarang ini, banyak orang yang menamakan anaknya dengan nama-nama yang mungkar. Ada kalanya nama itu tidak asli dan kuat seperti nama yang menunjukan perempuan dan perbudakan atau nama yang tidak mempunyai arti, misalnya Sunaihid dan Salyuweh yang keduanya bukan merupakan fi’il madhi, mudhari’, isim maupun huruf.

Nabi Muhammad menamakan putranya dengan nama para Nabi. Ketika beliau mempunyai putra, beliau menamakanya Ibrahim ra. Hal ini dikarenakan putra beliau mirip sekali dengan Nabi Ibrahim. “Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad)” (al-Imron: 68). Begitu juga Abu Musa al-Asy’ari yang menamakan putranya dengan Ibrahim. Nabi merubah nama-nama yang mugkar, seperti Ghowi di rubahnya dengan Rosid, Dholim (pengganiaya) di rubah Muqsid (orang yang adil), A’siyah (pendurhaka) di rubah Jamilah (cantik) dan Barroh dirubah menjadi Zainab. Nabi melarang menamakan anak dengan Yasar, Najih dan Robah, agar tidak di ucapkan; apakah Robah di rumah? Tidak, maka perhatianpun akan hilang menuju kehinaan

Disunahkan agar bayi dipotong rambutnya dengan harapan Allah akan menghilangkan kotoran yang ada pada dirinya. Sepeti halnya mencukur rambut dalam Haji dan Umroh dengan harapan demikian. Dan disunahkan menyedekahkan uang kepada orang miskin sesuai dengan bobot potongan rambutnya. Kita sadari atau tidak, hal ini mempunyai hikmah yang besar supaya anak kita tumbuh sebagai orang yang suka bersedekah, membayar zakat, serta tumbuh dengan berpeganggan sunnah Rasul. Nabi juga memerintahkan untuk mengaqiqohi anak, dua kambing bagi anak laki-laki dan satu kambing untuk perempuan.[43]

Nabi benci dengan kedurhakaan. Dari riwayat shahih, Nabi berkata: “Setiap anak di gadaikan dengan aqiqahnya.”[44] Termasuk hal yang disunahkan adalah menyembelih dua kambing jika anak yang dilahirkan berjenis laki-laki dan satu kambing bagi anak perempuan. Karena ada banyak hikmah dan tujuanyang mulia dengan memberi makanan kepada para tetangga dan saudara. Anak yang shaleh merupakan anugrah terbesar. Nabi Zakariya berkata; “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik” (al-Anbiya: 89). Kemudian Allah memberikannya keturunan yang shalih.

Anak yang shalih memberi kehidupan, pengaruh, akan mempertemukanmu dengan cahaya dan keabadian serta akan mendoakanmu setelah meninggal, sehingga kebaikanmu akan bertambah. Anak yang shalih akan menemanimu di masa tua, menjaga dan membantumu.

Imam Bukhari berkata dalam kitab Shahihnya dalam bab Jihad, yaitu bab orang yang mencari anak untuk berjihad. Kemudian Nabi bercerita tentang kisah Nabi Sulaiman ketika dia berkata; “Aku akan menggilir seratus istriku, atau (enam puluh) atau (tuju puluh). Semuanya akan melahirkan anak-anak yang berjihad di jalan Allah.” Akan tetapi dia tidak mengucap insyaAllah. Maka tidak ada satupun yang melahirkan kecuali satu istri yang melahirkan setengah anak.[45]

Anak shalih termasuk perkara yang paling baik, ketika dia dilahirkan secara fitrahnya dan tumbuh dengan baik. Sehingga kita wajib bersukur kepada Allah dengan cara mengaqiqahinya dan memberikan makanan kepada tetangga, saudara dan orang-orang yang kamu sayangi.

Nabi bermain-main dengan anak-anak kecil di usia bermain-main, memahamkan perkataan, senyuman dan senda gurau.

Imam Ahmad dan an-Nisai meriwayatkan dari Sadad bin Had ra., berkata: “Kita shalat dzuhur atau ashar bersama Rasul, beliau memanjangkan sujudnya. Apakah kamu tahu apa sebabnya? Ketika itu Hasan dan Husain datang dan melihat Rasul sedang sujud, kemudian Hasan dan Husain naik di atas punggungnya. Lihatlah pemandangan itu! seorang Rasul sujud di bumi dan di tunggangi anak kecil. Kemudian beliau diam, tidak kembali dari sujudnya. Setelah Hasan dan Husain turun dari punggungnya, barulah Nabi berdiri dari sujudnya. Beliau berkata kepada sahabatnya, ‘Wahai manusia, Aku berlama-lama dalam sujudku karena cucuku menaiki pungungku di waktu shalat, dan aku khawatir ketika berdiri, aku akan menyakitinya.’[46] Atau sabda lain yang diucapkan Nabi.”

Apakah kamu pernah menemukan kasih sayang seperti ini?

Bagaimana kamu tidak mengasihi anak kecil?

Di masa ini, ada sebagian anak-anak yang takut dan gelisah ketika melihat seseorang. Ada sebagian orang tua yang tidak mau mencium anaknya, ada juga yang marah ketika dibentak oleh anaknya. Ketika bapaknya masuk rumah, hati anak itu berkata: “Saya meminta perlindungan Allah dengan tanda-tandanya yang sempurna dari makluk yang paling buruk.”

Diriwayatkan dalam Sahih Bukhari dan Muslim, ada seorang anak saudara Anas yang bernama Abu Umair mempunyai burung kecil sebagai mainan, kemudian burung kecil itu mati, anak kecil itu melaporkanya kepada saudaranya, Anas, sembari berkata, “Burung kecilku mati.” Akhirnya Anas melaporkan hal itu kepada Rasul dan kepada saudara Anas yang kecil itu, Rasul berkata, “Wahai Aba Umair, apa yang dilakukan burung kecil itu?”[47] “Semoga Allah menambah kemuliaamu dengan adanya musibah ini,” jawab anak itu. Pada suatu saat, Nabi memuliakan anak itu dengan burung kecilnya.

Orang kafir zindik berkata, “Ulama ahli hadits tidak mengetahui apa-apa, mereka meriwayatkan hadits yang tiada maknanya.”

Imam Syafi’I menyanggah, “Wahai musuh Allah, contohkan hadits apa?’

Mereka menjawab, “Seperti hadits, ‘Wahai Abu Umair, apa yang dilakukan burung itu.’ Hadits ini tidak ada faidahnya.”

Imam Syafi’I menjawab, “Semoga Allah membunuhmu.” Dalam hadits ini ada 60 faidah dan beliau memaparkan faidah-faidah itu.

Lihatlah kitab Fathul Bari karangan Ibn Hajar, dia telah menerangkan 20 faidah. Di antaranya; menenangkan anak kecil, menenangkan orang yang tidak mempunyai anak, menyebutnya dengan panggilan yang kecil karena sayang, bermain-main dengan anak-anak, ramah kepada anak-anak, menjenguk anak kecil di rumah keluarganya karena maslahah, menggunakan waktu luang untuk tujuan baik, hal itu diperbolehkan dan akan mendapatkan pahala, anak mengambil burung dan bolehnya mengurung burung di rumah sebagai mainan anak-anak, mengikat burung dengan tali bukan termasuk menyakiti dan masih banyak faidah yang lainnya.

Anak perempuan bernama Ummu Khalid datang kepada Rasul dengan memakai pakaian yang sobek-sobek, kemudian Rasul memakaikan pakaian kepada anak itu dan berkata, “Ini bagus”[48] dengan bahasa Habsyah. Karena anak itu hidup di Habsyah bersama ibunya semasa hijrah pertama. Apakah kamu mengira bermain dengan anak kecil itu mudah? Apakah kamu menyangka senyuman darinya kepada orang lain itu perkara mudah? Demi Allah, tidak. Di masa sekarang ini, sebagian orang menghafal perkataan-perkataan yang di ucapkan oleh para pemimpin atau penguasa……

Bagaimana jika Nabi Muhammad berkata kepadamu?

Menurut Ahmad dengan sanad hasan , bahwa Nabi membariskan Abdullah, Ubaidillah dan keturunan Ibn Abbas, putra-putra pamannya, mereka ada yang masih kecil dan ada yang telah dewasa. Kemudian Nabi berkata, “Siapa yang lebih dulu sampai kepadaku maka akan mendapatkan sesuatu.” Mereka berlomba-lomba dan salah satu dari mereka memenangkannya sehingga Rasul memberinya hadiah. Subhanallah!

Ketika kita bertanya, “Lakukanlah hal ini bersama anak-anakmu,” Terkadang ada yang menjawabnya, “Waktuku sedikit.” Akan tetapi, jika kita tahu arti mendidik dan selalu mengikuti perjalanan Nabi, kamu pasti akan meluangkan waktumu yang berharga ini.

Dalam kitab Sahih Muslim, Anas berkata, “Rasul adalah orang yang paling baik budi pekertinya, beliau pernah menyuruhku, dan aku berkata: ‘Demi Allah, aku tidak akan pergi! Namun, dalam hatiku ingin pergi karena perintah Nabi.’” Ketika itu Anas berumur sekitar sepuluh tahun.

“Nabi terdiam. Kemudian Nabi menemukanku ketika aku bermain bersama teman-temanku. Nabi memegang telingaku, bergurau denganku dan berkata, ‘Wahai Unais, pergilah ketika aku menyuruhmu?’ Anas menjawab, ‘Aku akan pergi, insya Allah,’ kemudian aku pergi.”[49]

Anas berkata, “Demi Allah aku telah melayani Rasulallah selama sepuluh tahun, aku tidak pernah bertanya kenapa aku melakukan hal ini dan kenapa aku tidak melakukan hal ini.”[50]

Nabi merangkul Hasan dan Husain di atas pundaknya -menurut Abi Ya’la hadits ini sanadnya hasan-Umar melihatnya dan berkata, “Di bawah keduanya itu adalah tunggangan yang paling bagus.” Nabi berkata; “Penunggang yang bagus adalah Hasan dan Husain,” akan tetapi kakek mereka lebih utama.

Keturunan bak cahaya matahari di kala dhuha

Cahaya mentari tatkala fajar menyingsing

Ummu Qais putri Muhsin datang kepada Nabi meminta fatwa, kemudian Nabi mengambil anak kecil dari tangan Ummu Qais dan mendudukan anak itu di pangkuanya agar mendengar pertanyaan dulu sebelum beliau memberi fatwa.

Kemudian anak itu kencing sebelum makan sehingga Nabi membersihkannya dengan air.[51]

Budi pekerti dan kesopanan apa ini?

Abu Hurairah berkata, “Saya bersama Rasulullah disalah satu pasar yang berada di kota Madinah, kemudian Rasul kembali dan saya mengikutinya. Beliau berkata, ‘Dimana kuda jantan,’ sampai tiga kali. ‘Panggilah Hasan bin Ali,’…. kemudian saya memenggilnya. Nabi berkata, ‘Ya Allah, aku mencintainya, maka cintailah dia dan cintai orang yang mencintainya.’[52]” Kita bersaksi kepada Allah bahwa kita mencintai Hasan dan memohon kepada Allah agar dimasukan dalam golongannya dan golongan kakeknya.

Dalam kitab al-Mukhtar karya al-Diya di sebutkan, suatu hari Rasul pernah bermain bersama cucunya, Zainab, beliau berkata, “Hai zuwainab, hai zuwainab,” Beliau bermain dan bersenda gurau dengannya.

Masa (tahap) yang kedua adalah ajaran Rasul kepada anak-anak.

Pendidikan pertama bagi anak-anak, Rasul mengajarkan tentang iman, menuntun mereka untuk mancapi tujuan yang diperbolehkan dan tidak melarang mereka bermain. Karena sebagian orang ada yang marah ketika melihat anak-anaknya sedang bermain, menjerit dan bernyanyi di rumah, sembari berkata; jangan kau sia-siakan waktumu.

Subhanallah! Apakah kamu berharap mereka seperti Ibn Hajar atau Ibn Taimiyah di masa kecilnya.

Di masa kecil anak-anak bermain, tertawa, bersiul dan bernyanyi. Akan tetapi, jadikan bermain mereka masih dalam koridor syara’ dan nyanyian mereka masih dalam batasan-batasan adab.

Pendidikan kedua, Rasul mengajarinya dengan sopan santun ketika lahir, menyuapi (tahnik), memberi nama, aqiqah, tatkala tidur ataupun bangun tidur, tatkala makan dan minum.

Imam Ahmad dan Ibn Daud meriwayatkan dengan sanad shahih, bahwa Nabi bersabda, “Perintahlah anak-anakmu untuk melakukan shalat pada umur 7 tahun, pukulah dia ketika belum melakukan shalat di usia 10 tahun, dan pisahkan ranjang mereka.”[53] Dalam hadits ini terdapat beberapa faidah:

1. Pertama kali menyuruh mereka pada umur tujuh tahun, tanpa ada pemukulan. Akan tetapi, mengajak dan menyenangkan mereka melalui shalat.

2. Mengawali sanksi pada umur sepuluh tahun.

3. Memisahkan ranjang di antara mereka, yakni, tempat tidur yang terpisah karena adanya hikmah besar yang telah di ketahui oleh orang-orang Islam.

Umar bin Abi Salmah makan bersama Rasul beberapa kali, dan menjulurkan tangannya dalam piring besar. Kemudian Nabi berkata padanya beberapa adab, “Nak, bacalah basmallah, makanlah apa yang ada di dekatmu, menggunakan tangan yang kanan.”[54] Dalam hadits ini ada tiga adab yang di anjurkan kepada seorang ayah untuk memerintahkan anaknya; membaca basmalah, makan dengan tangan kanan, dan memakan makanan yang ada di dekatnya. Menurut Imam Turmudzi dan Nisai dengan sanad dho’if, Nabi berkata kepada Anas, “Wahai anaku, janganlah kamu menoleh ketika melakukan shalat karena hal itu sebuah kebinasaan.”[55] Nabi memanggilnya dengan “anakku” karena cinta dan sayang kepada anak kecil. Sama halnya, ketika Luqman wasiat kepada putranya, dia berkata, “Wahai anakku” (Luqman: 16). Karena panggilan itu menunjukan rasa sayang terhadap hati anak. Ketika panggilan itu di gunakan kepada selain anak kandung, maka bertujuan untuk menyenangkan.

Dari segi akidah bagi anak-anak, Nabi memberikan beberapa penjelasan, diriwayatkan Ahmad dan Turmudzi, Ibn Abbas berkata, “Saya bersama Rasul di atas keledai, beliau berkata, ‘Wahai, Nak.’

‘Iya,’ jawab Ibn Abbas.

Nabi berkata, ‘Aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat.’ Dengarkanlah kata-kata dan wasiat yang menggetarkan peredaran darah dan lebih berharga dari emas dan perak. ‘Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah, maka dia akan menyelamatkanmu. Ingatlah Allah di kala senggangmu, maka Allah akan mengingatmu di waktu payah. Jika memohon, mohonlah kepada Allah. Jika meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Ketahuilah, andaikan seluruh umat berkumpul untuk memberimu manfaat, mereka tidak akan bisa kecuali dengan sesuatu yang telah diputuskan Allah kepadamu. Seandainya seluruh umat berkumpul untuk membahayakanmu, mereka tidak akan bisa menyakitimu kecuali dengan perkara yang diputuskan Allah kepadamu. Pena telah di angkat dan lampiran telah kering.’”[56]

Shahih menurut Bukhari dan Dharimi, bahwa Nabi pernah melewati beberapa anak kecil dan menyalaminya dengan berkata, “Assalamualaikum. Wr. Wb.”

Perbuatan ini merupakan bentuk kesopanan yang luar biasa, karena orang besar tidak akan menyalami anak-anak dan orang-orang biasa, akan tetapi menunggu untuk disalami.

Dengan demikian, di hari kiamat, orang yang sombong akan di giring seperti semut yang di injak-injak oleh manusia

Di malam hari, Ibn Abbas datang kepada Nabi untuk shalat bersama. Itu merupakan malam yang terindah semasa hidup Ibn Abbas di waktu Nabi menginap di rumah bibiknya, Maimunah. Dia tahu bahwa malam itu Nabi akan menginap di situ. Kemudian Ibn Abbas menunggu sambil bersandar sampai Nabi datang. Nabi mengira dia tidur. Sedangkan tujuan utama Ibn Abbas adalah memperoleh pelajaran langsung dari Nabi, sehingga dia akan tahu bagaimana shalat malam Rasul. Ketika Nabi melaksanakan kebutuhanya, Ibn Abbas menyediakan air dan meletakan di dekat nabi. Ketika Nabi melihat air di dekatnya, dia tahu bahwa yang menyediakan adalah Ibn Abbas. Kemudian Nabi berkata, “Ya Allah, fahamkanlah dia tentang agama dan ajarkanlah dia ta’wil.”

Doa Nabi yang berkah ini adalah hal yang paling besar yang diperoleh Ibn Abbas semasa hidupnya. Doa ini sangat mempengaruhi masa depannya, sehingga dia merupakan “habrul Ummah” dan penafsir al-Quran. Kemudian Nabi berdiri untuk melaksanakan shalat dan Ibn Abbas berdiri di sebelah kirinya, sehingga Nabi menuntunnya ke sebelah kanan dan shalat bersamanya. Massa Allah! Alangkah indahnya malam ini, malam yang lebih indah dari malam-malam bersama ibu dan ayahnya.

Di masa kecilnya Ibn Umar pernah berjalan bersama Nabi dan Nabi memegang pundaknya sambil berkata, “Hiduplah di dunia ini seperti orang asing atau pengembara.”[57] Inilah wasiat yang tidak pernah di lupakan oleh Ibn Umar sampai ajal menjemputnya. Ketika dia di tawari jabatan, dia berkata; di dunia ini, jadilah seperti orang asing. Ketika dia di beri emas dan perak, dia berucap, “Di dunia ini, jadilah seperti orang asing.” Di tempat shalat, dia sujud dan menanggis sembari berucap, “Ya Allah, Engkau tahu bahwa aku meninggalkan jabatan karena takut kepadaMu, wahai penguasa alam.” Di suatu hari Nabi berjalan bertemu dengan hasan yang memakan kurma sadaqoh, sedangkan keturunan Hasyim haram menerima shadaqoh, karena shadaqoh adalah kotoran, dan Bani Hasyim suci. Hati dan batin mereka suci. Nabi berkata, “Muntahkan, muntahkan, apa kamu tidak tahu bahwa aku tidak memakan shadaqoh.”[58]

Kata “kah, kah” adalah kata yang di gunakan untuk melarang seorang anak melakukan sesuatu yang tidak pantas.

Putra Nabi, Ibrahim, wafat ketika berumur 2 tahun dan beberapa bulan, ada yang mengatakan kurang dari dua tahun. Beliau mendekapnya dengan air mata yang bercucuran dan berkata, “Demi Ibu dan Bapakku, air mata berjatuhan, hati sedih. Aku tidak akan berbicara kecuali apa yang diridhoi Tuhanku. Aku sedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.”[59] Hal ini merupakan wujud kasih sayang Nabi kepada anak-anak ketika terkena musibah atau kesusahan.

Dalam hadits shahih, putri Nabi, Zainab, mengutus seseorang kepada Nabi agar Nabi mendatanginya karena putranya Zainab sedang dalam sakaratul maut. Sedangkan Nabi sibuk melayani seorang delegasi dari Arab, beliau berkata, “Sampaikan salamku kepada Zainab, katakan padanya: ‘Sesungguhnya Allah yang memgambil dan memberi, segala sesuatu mempunyai waktu tertentu atas kehendakNya, sabarlah dan introspeksi dirimu.’” Kemudian hal itu di sampaikan kepada Zainab, dan dia berkata, “Demi Allah, beliau akan datang.” Akhirnya Nabi dan para pembesar sahabat pergi menemui anak itu ketika nafasnya tersendat-sendat seperti dalam serbuan. Nabi meneteskan air mata. Ibn A’uf bertanya, “Ya Rasul, apa ini?” “Ini adalah rahmat yang diberikan Allah di hati hamba yang di kehendakiNya. Sesungguhnya Allah menyayangi hamba-hamba yang mempunyai kasih sayang,” jawab Nabi.[60]

Dalam hadits yang di riwayatkan Bukhari dan Muslim dari Aqro’ bin Habis, bahwa Nabi mengecup anak-anak. Aqro’ bertanya, “Apakah anda mengecup anak-anak yang ada di samping anda?”

“Iya,” jawab Nabi.

“Demi Allah di sampingku ada 10 anak dan tidak ada satupun yang aku kecup,” kata Aqro’. Dia menyangka Rasul akan mengatakan, “Terima kasih.” Akan tetapi, Nabi malah berkata, “Aku tidak bertanggung jawab jika Allah menghilangkan rasa kasih sayang di hatimu.”[61] Karena mengecup anak-anak adalah rahmat, hal itu sering di lakukan Rasul.

Dalam shahih Bukhari, Nabi berkata, “Ketika Aku melakukan shalat, aku mencepatkannya karena mendengar anak menangis, karena khawatir akan memberatkan ibunya.”[62]

Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi berkata tentang Hasan dan Husain, “Mereka kesayanganku di dunia.”[63]

Ibn Taimiyah berpendapat bahwa kematian Hasan merupakan musibah besar bagi umat islam dan bagi orang Islam. Yang teringat musibah itu dianjurkan membaca, “Innalillahi wainna ilaihi raji’un.” Kita menyayangi Hasan karena Allah, dan ia termasuk hamba dan kekasih Allah serta keturunan Rasul.

Dalam Bukhari dan Muslim di sebutkan, Abu Qatadah berkata, “Ssaya shalat bersama Rasul di salah satu shalat sore -ada yang berpendapat shalat dzuhur dan ada yang mengatakan shalat asyar- ketika shalat, Nabi membopong Umamah, putri Zainab.[64] Orang yang mengetahui akan membayangkan, bagaimana seorang pemimpin manusia membopong anak perempuan ketika shalat fardhu di masjid bersama para sahabat. Kasih sayang apa ini? Qatadah meneruskan, ketika sujud, Nabi meletakannya dan ketika berdiri, Nabi mengangkatnya.

Ketika Imam Syaukani shalat berjama’ah di Sona’ (ibu kota Yaman), pada waktu sujud, serbannya jatuh dan langsung mengambil dan memakainya kembali. Orang-orang ingkar atas kejadian itu dan berkata, “Kamu mengambil serban ketika melakukan shalat?” Membawa serban lebih ringgan dibandingkan dengan membopong Umamah,” jawab Syaukani.

Pendidikan keempat adalah hukum seorang anak. Saya akan memaparkan dengan penjelasan yang mudah.

1. Air kencing anak laki-laki cukup dibersihkan dengan memercikan air, sedangkan air kencing anak perempuan dibasuh.

Hal ini sesuai dengan hadits yang di riwayatkan oleh Abu Daud dan Turmudzi yang telah di sebutkan di atas. Dengan catatan anak laki-laki belum mengonsumsi makanan, jika sudah, maka air kencingnya wajib dibasuh. Imam Syafi’I berkata, “Hawa tercipta dari tulang rusuk Adam, sehingga Hawa tercipta dari daging dan darah, sedangkan anak laki-laki tercipta dari tanah karena bapaknya berasal dari tanah.” Inilah ijtihad Imam Syafi’I.

2. Seorang anak boleh menjadi imam dalam shalat, dalam shahih Bukhari disebutkan bahwa Umar bin Salmah mengimami kaumnya ketika berusia tujuh tahun.[65]

Akan tetapi, anak-anak mereka telah pintar dan dewasa. Tidak seperti kondisi kita saat ini yang sebagian orang ada yang telah berumur dua puluh tahun masih bodoh. Dalam hal ini, umur tidak menjadi patokan, akan tetapi akal dan kepintaran dari Allah yang mulia dan agung. Ketika orang-orang mengangkat Umar bin Abdul Aziz, ada seorang anak kecil memberi salam dan ingin berbicara. “Hai anak kecil, mundurlah, ada orang yang lebih tua darimu,” kata Umar.

“Wahai pemimpin umat Islam, jika suatu perkara berpatokan pada umur, maka masih banyak orang yang lebih berhak menjadi pemimpin dari pada Anda! Apakah Anda pernah mendengar jawaban yang lebih baik dari jawaban ini?” Kata anak itu.

3. Kapan seorang anak berjihad?

Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat, menurut Imam Ahmad, “Ketika berumur 15 tahun.” Hal ini berdasarkan hadits yang tertera dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Ibn Umar bercerita, “Saya mengajukan diri dalam perang Uhud ketika berumur 14 tahun dan Nabi melarangku. Barulah ketika berumur 15 tahun, saya di perbolehkan ikut berperang dalam perang Khondaq.”[66]

Samroh bin Jundub berkata, ” Nabi menawarkan kepada para pemuda untuk berjihad, dengan hal ini Nabi berharap bisa menyeleksi siapa yang layak untuk di terima.” Samroh berkata, “Saya mengajukan diri, namun, Nabi melarang.” Akhirnya, Samroh menangis karena tidak ikut berperang. “Wahai Rasul, anda menerima Rafi’ bin Hutaij, sedangkan aku bisa merobohkannya?” Protes Samroh. “Robohkan dia di depan umum,” kata Nabi. Kemudian Samroh Rafi’ berduel dan Samroh merobohkanya, akhirnya, Nabi memperbolehkanya ikut berperang….[67] Dengan mengalahkan Rafi’ hal ini telah menjadi bukti bahwa dia mampu membawa pedang dan berperang.

4. Adapun berapa umur pembawa berita, hal ini akan berbeda tergantung setiap individu.

Menurut Musa bin Harun, salah seorang ahli hadits, “Seseorang bisa menjadi perawi jika telah bisa membedakan antara dabbah ( hewan berkaki empat) dan keledai. Padahal, keduanya sama.”

Ada yang mengatakan, “Ketika telah bisa membedakan mana yang baik dan buruk, hal ini relative.”

Ada juga yang berpendapat, “Umur lima tahun, karena Hasan telah menghafal hadits, ‘Tinggalkanlah perkara yang meragukan dan beralih ke perkara yang kamu yakini.’ Ketika itu dia berumur lima tahun.”

Jika seseorang telah tamziz (bisa membedakan), mampu berfikir, faham tentang perkataan dan bersiap-siap belajar, maka bisa di terima sebagai perawi, inilah pendapat yang benar.

Pendidikan yang terakhir, kelima, adalah anak-anak yang telah dewasa.

Dalam pergumulanku bersama anak-anak, ada yang telah tebal keimananya, optimis, dan dewasa dalam menjalani hidup. Mereka masih anak-anak dan berpostur kecil, akan tetapi, kuat keyakinan, bersemangat dan optimis.

1. Ibn Abbas ra.-hal ini telah saya terangkan di depan.- begitu gigih dalam mencari ilmu, belajar dan mengambil faidah dari kehidupan Rasul. Kegigihannya yang begitu besar menjadikannya sebagai pemimpin, pintar dan penafsir bagi umat Islam di masa depan. Hal itu telah terwujud.

2. Usamah bin Zaid, seorang panglima besar yang masih muda, dalam pasukannya terdapat para sahabat yang mulia seperti, Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali. Begitu tingginya pangkat ini? Pemuda yang memimpin orang-orang besar.

3. Ibn Zubair, anak yang pertama kali lahir di Madinah, pintar berpolitik dan cerdik. Kisahnya bersama Umar begitu terkenal. Tatkala anak-anak berlarian, ia tidak lari karena keberanian dan kekuatannya di depan Umar al-Faruq. Ketika Umar bertanya kepadanya, ia menjawab, “Aku tidak melakukan kesalahan, kenapa aku takut, jalan begitu lebar, kenapa aku masih melebarkannya. Lihatlah gaya bahasanya yang begitu bebas dan mulia.

4. Abu Mahduroh, seorang pemuda Makkah, menggembala kambing. Setiap kali pulang ke Makkah dia menyerukan shalat (adzan), mengharap berkah doa Nabi. Hal itu di lakukan selama 80 tahun.

5. Ketika masih muda, Muhammad bin Qasim -penakluk negara India dan Sandu (nama negara yang berbatasan dengan India)- telah memimpin 100.000 pasukan.

Masih banyak pemuda-pemuda lain dari umat Islam, meskipun mereka masih sangat muda, akan tetapi pemikirannya telah dewasa, begitu juga kefahaman dan kegigihanya. Saya memohon kepada Allah agar anak-anak kita menjadi kekasih dan hamba-hamba shalih yang selalu mengabdikan diri untuk agama yang kekal di setiap tempat.

Allah maha tahu dan semoga rahmat Allah selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad serta keluarga dan sahabatnya.

***

Bab VIII: HUKUM ANAK

Segala puji bagi Allah penguasa semesta alam. Semoga salawat serta salam terlimpah kepada pemimipin para Rasul dan panutan seluruh umat manusia, beserta keluarga dan sahabat.

Amma ba’du….

Merupakan suatu kebahagiaan sekaligus begitu menggagumkan, adanya para pemuda Islam yang mempelajari al-Qur’an dan Sunnah. Mereka bersemangat mewarisi Nabi Muhammad dan menyakini bahwa ilmu yang diperoleh akan kembali kepada Allah. Hal ini adalah sesuatu yang membahagiakan karena tidak ada risalah tanpa ilmu dan tidak ada ilmu kecuali sabda Allah dan Rasul-Nya. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan para pemuda gigih mempelajari ilmu yang bermanfaat ini yang di dasarkan atas Quran dan sunnah. Semangat mempelajari ilmu Takhrij Hadits (mengeluarkan hadits), pokok-pokok Islam, dan membenarkan beberapa masalah.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Salman bin Amir al-Dhabi, Rasul bersabda, “Seorang anak sunah diaqiqahi, maka sembelihlah kambing dan hilangkan kotoran.”[68] Hadits ini di riwayatkan Bukhari dan semua ahli hadits kecuali Muslim.

Ada beberapa masalah dalam aqiqah, saya akan menerangkanya dengan berurutan;

1. Definisi aqiqah

2. Hukum aqiqah

3. Arti menghilangkan kotoran

4. Arti tentang seorang anak yang digadaikan dengan aqiqahnya.

5. Arti penyembelihan di hari ke tujuh kelahiran.

6. Arti memberi nama

7. Makna lafadh mutakafiatani

8. Nabi mengaqiqahi Hasan dan Husain

9. Sadaqoh perak

10. Adzan di telingga anak yang baru lahir, apakah iqomah di sunahkan? Dan penjelasanya.

11. Sunnah menyuapi makanan kepada anak, bagaimana caranya dan apa yang di maksud dengan tahnik?

12. Nama-nama yang di perbolehkan dan dilarang

13. Apakah selain domba layak dijadikan hewan aqiqah?

14. Apakah hewan aqiqah disyaratkan seperti syarat Qurban?

15. Kapan hewan aqiqah disembelih? Apakah tulangnya di potong-potong?

Masalah pertama: Kata aqiqah diambil dari kata Aqqa artinya memotong, seperti perkataan aqoqtu lahma, saya memotong daging, aqoqtu al-tsauba, saya merobek pakaian, aqoqotu al-habla, saya memotong tali. Sedangkan yang di maksud dengan aqiqah adalah hewan yang disembelih karena kelahiran seorang anak. Hal itu tidak boleh dikatakan tamimah (jimat), tetapi disebut aqiqoh yang di sembelih di hari ke tujuh.

Penyair Arab berkata:

Kita menyembelih untuk para pemimpin yang mulia dari kita dan para kerabat

Akan tetapi mereka menganiaya kami.

Bait ini telah di temukan dalam profil Yazid bin Muawiyah ketika membunuh Husain bin Ali.

Masalah ke dua: Hukum akekah ada tiga:

§ Menurut Imam Hanafi, aqiqah termasuk perilaku orang jahhiliyah, sehingga tidak disunahkan atau di wajibkan. Hanya orang jahiliyah yang melakukan hal tersebut. Pendapat ini tidak tepat, adapun kesemuanya itu dikembalikan kepada Nabi.

§ Aqiqah hukumnya wajib, menurut Dhahiri, al-Laits dan Hasan Basri. Mereka bertendensikan kepada hadits Nabi, “Setiap anak digadaikan dengan aqiqahnya.”[69] Sehingga mereka mengatakan, “selama anak digadaikan maka aqiqah adalah wajib.”

§ Mayoritas ulama berpendapat, aqiqah hukumnya sunah, tidak wajib. Hal ini berdasarkan hadits yang termaktub dalam kitab Sunan dengan sanad hasan, “Barang siapa beribadah atas kelahiran seorang anak, lakukanlah. Jika tidak, tinggalkankah.”[70]

Sedangkan menurut Ibn Taimiyah dan Ibn Qoyim, aqiqah merupakan perkara yang disyari’atkan tanpa dibatasi hukum.

Sedangkan pendapat yang mendekati kebenaran, bahwa aqiqah hukumnya adalah sunnah. Bagi ayah, sebaiknya mengaqiqahi anaknya dengan menyembelih kambing. Jika hal itu tidak di lakukan, dia tidak boleh di penjara, di kurung atau di arak keliling ke kabilah-kabilah serta dipukuli dengan kayu atau sandal. Semabari berkata, “Inilah balasan orang yang tidak mengaqiqahi anaknya!”

Masalah ke tiga: Apa arti menghilangkan penyakit/kotoran?

Nabi bersabda, “Seorang anak sunah di aqiqahi, maka sembelihlah kambing dan menghilangkan penyakit.” Yang dimaksud penyakit adalah rambut. Dalam Sunan Abi Daud, Ibn Sirin berkata, “Jika yang di maksudkan bukan rambut, maka apa yang dimaksudkan dalam hadits ini, saya tidak tahu. Termasuk hal yang disunahkan ketika kamu mempunyai anak adalah menyukur rambutnya, itulah yang di maksud dengan menghilangkan penyakit. Syaukani berkata, “Rambut kepala dan lainya. Karena kata penyakit dalam hadits ini, mempunyai makna umum, sehingga disunahkan membersihkan rambut kepala dan lainya. Inilah sunah Islam!

Dalam Sunan Abu Daud, diriwayatlan dari Qais bin A’sim al-Munqari, ketika dia masuk Islam, Nabi menyuruhnya khitan dan membersihkan rambut.

Masalah ke empat: Sabda Nabi, “Setiap anak digadaikan dengan aqiqahnya”. Apa maksudnya? Dalam hal ini, ada dua pendapat.

Pertama, Imam Ahmad berpendapat; jika seorang anak meninggal, dia tidak bisa menolong orang tuanya sebelum dia diaqiqah, sebab dia masih digadaikan, dengan arti, anak itu tidak bisa memberi pertolongan. Seorang anak yang meninggal bisa menolong orang tuanya. Oleh sebab itulah, ketika shalat janazah, kita mendoakan agar anak yang telah meninggal bisa menolong orang tuanya.

Kedua, sebagian ulama berpendapat, “Seorang anak tidak diberi nama dan dicukur rambutnya sebelum menyembelih kambing aqiqah. Pemberian nama dan mencukur rambut di jamin dengan penyembelihan.” Pendapat ini sepertinya lebih benar -insya Allah- dan tidak mengapa mengikuti pendapat Imam Ahmad, karena kedua pendapat ini tidak mempunyai dalil yang terperinci. Sehingga boleh menggabungkan pendapat ini dan Imam Ahmad.

Masalah ke lima: Kapan hewan aqiqah disembelih?

Di sunahkan menyembelih hewan aqiqah di hari ke tujuh. Hal ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan Abu Daud, Turmudzi dan Baihaqi.[71] Jika tidak sempat, maka hari ke 14. Jika terlewatkan, maka hari ke 2, kata Imam Turmudzi. Syaukani tidak berkomentar, sedangkan Turmudzi mencari dalil. Hal ini di karenakan agama kita di bangun di atas dalil. Imam Baihaqi dengan sanad hasan, meriwayatkan, ketika telah lewat hari ketuju, maka dilakukan pada hari ke 14, jika masih terlewatkan, maka di hari ke 21. Seseorang yang belum di aqiqah boleh di aqiqah walaupun telah lanjut usia. Menurut Imam Tabrani, Rasul mengaqiqah dirinya setelah ketika sudah besar. Akan tetapi hadits ini dhoif. Dalam hal ini ada beberapa masalah:

1. Apakah selain orang tua boleh mengaqiqah?

Dalam aqiqah, tidak disyaratkan orang tua yang melaksanakanya karena terkadang ada orang tua yang fakir, sedang tidak ada atau butuh. Dengan demikian, aqiqah boleh dilaksanakan oleh orang lain.

2. Penyembelihan hewan aqiqah harus di lakukan pada hari ke tujuh, adapun sebelumnya, tidak ada nash. Walaupun sebagian ulama ada yang memperbolehkan, akan tetapi pendapat ini berbeda dengan nash.

3. Sebagian redaksi ada yang memakai kata yudamma (didarahi), sebagai kata ganti yusamma (diberi nama), hal ini merupakan kesalahan seorang perawi. Akan tetapi, Abu Qatadah berkata, “Arti didarahi adalah darah hewan yang telah disembelih diambil bersama bulunya yang kemudian ditempelkan di perut dan kepala sang bayi.

Hal ini juga dikatakan oleh Ibn Umar, A’tha dan Hasan. Namun, pendapat ini kurang tepat dan hanya persangkaan dalam riwayat.[72] Hal ini berdasarkan sabda Nabi yang diriwayatkan Ibn Majah dari Yazid bin Abdillah al-Muzani, “Seorang anak di aqiqahi dan kepalanya tidak boleh terkena darah. Ini telah menjadi nash. Mereka berkata, “Hadits ini mursal.”

Abdullah bin Yazid bin Abdillah al-Muzani seorang tabi’in dan ayahnya, Abdulllah al-Muzani, seorang sahabat. Abdullah bin Yazid tidak meriwayatkan dari ayahnya, sehingga sanadnya terputus. Seorang anak tidak boleh diusap-usapi dengan darah hewan aqiqah karena perbuatan itu termasuk perilaku-perilaku orang jahiliyah, inilah pendapat yang benar. Dalam kitab Sunan diterangkan bahwa orang jahiliyah melakukan perbuatan tersebut, tatkala Islam datang, yang hal itu di larang. Seperti yang di katakan Ibn Hiban, Nabi bersabda, “Gantilah tempat usapan darah dengan wangi-wangian.”[73] Dalam satu riwayat yang baik yakni, “Za’faron,” atau wangi-wangian lain.

Masalah ke enam: Arti memberi nama.

Menurut Ibn Abi Syaibah, “Seorang anak di beri nama pada hari ke tujuh mempunyai dua arti:

a. Seorang anak dipanggil namanya, ini pendapat yang benar.

b. Membaca basmalah terhadap hewan aqiqah yang akan disembelih.”

Masalah ke tujuh: Sebagaimana dalam kitab Sunan, Nabi bersabda: “Dua kambing yang sama.”

Adapun maknanya adalah, kedua hewan aqiqah umurnya tidak jauh berbeda. Sehingga tidak boleh kambing yang pertama sudah tua, sedangkan yang kedua masih kecil. Ada juga yang berpendapat, bahwa yang di maksud sama adalah kesamaan jenisnya, sehingga kambing pertama tidak boleh kacang sedangkan yang kedua domba, atau satunya domba Irak dan lainya domba Najed.

Pendapat ini terlalu memaksa, sedangkan pendapat yang tepat ialah umur keduanya saling berdekatan. Hewan aqiqah boleh berkelamin betina. Malik bin Anas berkata, “Satu kambing bagi anak laki-laki maupun anak perempuan.” Dia juga berdalil memakai hadits Buraidah: “Saya menyembelih satu kambing untuk anak laki-laki.” [74] Menurut kami, dalam hadits ini masih ada pembahasan.

Melalui hadits yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, dikatakan, “Rasulullah Saw. mengaqiqahi Hasan dan Husain, masing-masing satu kambing.”[75]

Menurut hemat saya, hadits tersebut tidak ada. Sedangkan Rasul bersabda, “Dua kambing bagi anak laki-laki dan satu kambing bagi anak perempuan.” Ada yang mengatakan:[76]

a) menambah hewan aqiqah menambah kepercayaan.

b) perkataan lebih didahulukan dari perbuatan.

Rasul mengaqiqah Hasan dan Husain masing-masing satu kambing. Akan tetapi, Nabi bersabda: “Dua kambing bagi anak laki-laki.” Menurut Ahli ushul, perkataan diutamakan dari perbuatan.

Masalah ke delapan: Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Nasai melalui sanad yang shohih, mereka bertanya kepada Nabi, “Ya, Rasulullah. Bagaimana dengan aqiqah itu?”

Nabi menjawab, “Aku tidak suka aqiqah.”

“Sepertinya Nabi benci aqiqah,” kata seorang rawi.

Memang, Rasul benci aqiqah, namun beliau bersabda, “Setiap anak digadaikan dengan aqiqahnya, seorang anak sunah diaqiqahi. Dalam mengompromikan hal ini, akan Rasul membenci aqiqah, sedangkan sabda beliau menunjukan atas bolehnya aqiqah. Adapun bolehnya aqiqah tidak mencegah kemakruhanya. Inilah kaidah ushul, sehingga terkadang hal yang dimakruhkan, sewaktu-waktu dapat dibolehkan. Tidak boleh dikatakan aqiqah, karena ketika Rasul mengatakan, “Seorang anak sunah diaqiqahi,” beliau mengunakan bahasa yang dimengerti oleh orang Arab. Ketika Nabi bersabda, “Benci aqiqah,” beliau bermaksud keluar dari kata-kata ini. Inilah pendapat yang lebih utama.

Masalah ke Sembilan: Melumuri anak dengan minyak za’faron.

Za’faron adalah tumbuhan terkenal yang ditumbuk dan dicampur dengan wangi-wangian yang diusapkan di kepala. Kata orang pintar, hal ini menunjukan atas kesunahan melumuri kepala anak yang lahir dengan za’faron atau minyak lain yang menyerupainya.

Masalah ke sepuluh: Nabi mengaqiqahi Hasan dan Husain.

Hal ini menunjukkan bolehnya selain ayah mengaqiqahi. Ini sebelumnya telah di terangkan. Dengan demikian, orang lain yang menanggung nafkah boleh mengaqiqahi, jika orang tuanya telah meninggal.

Masalah ke sebelas: Sedekah perak.

Sedekah perak dengan bobot rambut anak. Hal ini bisa di kira-kirakan dengan mata uang atau harta lain untuk disedekahkan.

Apakah perak bisa diganti dengan emas? Boleh, kata ulama. Sesuai dengan hadits yang diriwayatkan Imam Thabrani dengan sanad dhoif karena terdapat Rawad bin Jarah, “Rasulullah memerintahkan enam perkara…, diantaranya sedekah emas dengan kelahiran anak. Namun, pendapat yang tepat adalah bersedekah menggunakan perak. Apabila bersedekah memakai emas, perak, atau mata uang, hal itu lebih mudah.

Masalah ke dua belas: Adzan di telingga bayi.

Dalam Sunan Abu Daud diterangkan bahwa, “Nabi mengumandangkan adzan di telinga Hasan.”[77] Hikmahnya adalah menumbuhkan lafadz la ilaha illallah semasa masih kecil. Sehingga lafadz yang pertama kali terdengar adalah la ila ha illaallah. Sedangkan iqomah hanya datang dari Umar bin Abdul Aziz, sehingga kamu cukup mengumandangkan adzan, tanpa iqomah.

Masalah ke tiga belas: Sunah memberi makan bayi. Adapun yang disunahkan adalah kurma, madu atau sesuatu yang manis seperti gula dan diletakan di mulutnya. Ketika Abdullah bin Thalhah lahir, dia disampaikan kepada Nabi, kemudian beliau menggendongnya seraya mengenyam kurma dengan ludahnya yang suci dan meletakannya di mulut bayi sehingga mulut bayi itu mengenyam kurma. Sambil tersenyum, Nabi berkata, “Lihatlah orang Anshar suka kurma.”[78]

Masalah ke empat belas: Nama yang bagus.

Disunahkan memberi nama anak pada hari ke tujuh dengan nama yang islami, bukan nama para pemimpin yang menjadi musuh Allah, kitab Allah dan para Rasul. Di antara nama yang bagus adalah Abdullah dan Abdurrahman, karena nama itu paling disukai oleh Allah. Hal ini berdasarkan hadits.[79] Dengan syarat nama Allah itu termaktub dalam Qur’an dan Sunnah, bukan membuat-buat. Jangan membuat nama yang tidak digunakan seperti Abdul Yakdzon, Abdul Maujud dan Abdus Sahir. Nabi telah melarang beberapa nama, dalam Sunan Abu Daud, Nabi melarang nama Yasar, Robah, Najih dan Aflah,[80] sebab mereka dihina dengan nama ini. Ketika aku berkata kepada keluargamu, “Apakah Yasar ada di rumah?” Mereka menjawab, “Yasar, tidak ada.”

Adapun nama yang makruh bagi perempuan misalnya, Khotnah, A’siyah, Ghowiyah, Mutakhalifah, balidah dan Gobiyah.

Seseorang di pengaruhi nama, sifat dan julukanya. Sehingga di anjurkan memilih nama yang islami…. Dalam kitab Muwatta karya Imam Malik, bahwa Rasul berkata kepada seorang laki-laki, “Berdirilah, siapa namamu?”

Lelaki itu menjawab, “Harb.”

“Duduklah,” kata Nabi.

Nabi bertanya kepada lelaki kedua, “Siapa namamu?”

“Marroh,” jawab lelaki itu.

“Duduklah,” kata Nabi.

Nabi bertanya kepada lelaki ke tiga, “Siapa namamu?”

“Sohr,” jawab lelaki itu.

“Duduklah,” kata Nabi.

Nabi bertanya kepada lelaki ke empat, “Siapa namamu?”

“Yais,” jawab lelaki itu.

“Duduklah,” kata Nabi.[81]

Masalah ke lima belas: Apakah selain kambing mencukupi untuk dijadikan aqiqah, seperti sapi dan unta?

Mayoritas ulama berpendapat. Sapi dan unta mencukupi, berdasarkan riwayat Thabrani dari Anas, dia berkata, “Seorang anak diaqiqahi dengan unta, sapi, atau kambing. “Barang siapa mengaqiqahi anaknya dengan unta, maka dia telah melakukan kesempurnaan,” kata Imam Ahmad.

Boleh beraqiqah menggunakan unta atau sapi, sehingga kamu boleh mengaqiqahi anakmu dengan unta atau dua kambing. Akan tetapi, dua kambing lebih baik, inilah pendapat yang benar.

Masalah ke enam belas: Apakah hewan aqiqah disyaratkan seperti halnya Qurban?

Menurut pendapat yang sahih tidak disyaratkan, karena aqiqah berbeda dengan kurban, dan Nabi telah membahasnya secara terpisah. Orang yang mengatakan bahwa hewan aqiqah disyaratkan seperti hewan kurban, maka setiap hewan yang digunakan untuk walimah juga disyaratakan seperti hewan kurban, seperti walimah perkawinan, karena ada sebagian ulama berpendapat bahwa walimatul ‘urs hukumnya wajib.

Masalah ke tujuh belas: Waktu penyembelihan hewan aqiqah.

Ada beberapa pendapat tentang waktu penyembelihan;

1. Setelah fajar,

2. mulai dari terbitnya matahari atau dari waktu dhuha,

3. pada saat malam,

4. dan waktu lainnya.

Tidak ada batasan waktu tertentu dalam penyembelihan hewan aqiqah. Hal itu boleh di akukan pada jam-jam yang termasuk hari ke tujuh kelahiran anak. Inilah pendapat yang benar.

Sebaiknya dalam pembagian daging hewan aqiqah, badan hewan dipotong dari bagian-bagiannya, sehingga tulangnya tidak dipotong-potong dengan harapan agar anak yang diaqiqahi tidak patah tulangnya. Hadits yang menerangkan hal tersebut terdapat dalam hadits-hadits mursal yang diriwayatkan Abu Daud dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Nabi yang berbicara tentang Fatimah yang mengaqiqahi Hasan dan Husain, “Jangan kau potong-potong tulang hewan aqiqah.”[82] Ibn Qoyim tidak memberi komentar tentang hadits ini….

Setelah daging dimasak, yang lebih utama adalah memberikan bagian yang lebih bermanfaat, jika tetanggamu lebih membutuhkan daging, berikanlah. Tidak mengapa ketika kamu mengundang tamu untuk memakan daging hewan aqiqah. Kamu bebas memilih antara menyedekahkan ataukah dengan mengundang para tamu. Allah maha tahu, dan semoga rahmat Allah selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad serta keluarga dan sahabatnya.

***

Bab IX: HAK-HAK ANAK

Sungguh segala puji hanya milik Allah semata. Kita memuji-Nya, meminta pertolongan, meminta ampunan, meminta petunjuk, dan berlindung pada Allah dari kekotoran jiwa dan keburukan amal kita. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah maka tak ada penyesat baginya, dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka tak ada penunjuk baginya.

Aku bersaksi bahwa sesungguhnya tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah padanya, keluarga, dan sahabatnya.

Pada bab ini saya akan berbicara tentang ayah dan tanggung jawabnya. Demi Allah, betapa ada tanggung jawab yang besar yang telah dibebankan Allah dari atas langit ketujuh ke atas pundak-pundak mereka. Allah berfirman pada setiap kepala keluarga muslim: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. at-Tahrim: 6).

Generasi kita sekarang ini bermula dari sebuah rantai sejarah para nabi yang mulia, para nabi yang memikul keteladanan di atas pundak mereka. Mereka mendidik generasi muda dengan pendidikan yang diridhai Allah.

Allah swt telah mengisahkan cerita-cerita keteladanan para nabi tersebut dalam ayat-ayat kitab-Nya yang mulia.

Allah swt mengisahkan tentang Ya’qub a.s. saat bercengkrama dengan Yusuf a.s. dengan ramah dan lemah lembut: “Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.” (Q.S. Yusuf: 5).

Luqman a.s. saat mendidik anaknya dengan pendidikan yang diridhai Allah, berkata: “Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman: 13). Beliau menanamkan iman dan tauhid dalam hati anak agar tumbuh sebagai hamba yang berbakti pada Allah swt.

Setiap anak yang lahir di dunia ini mulanya terlahir sebagai muslim yang suci. Nabi s.a.w. bersabda: “Tiada suatu kelahiran pun kecuali dilahirkan dalam keadaan suci, maka kedua orangtuanya lah yang akan me-yahudi-kan, me-nasrani-kan, atau me-majusi-kannya.”[83] Atau sebagaimana sabdanya:

Ibumu melahirkanmu dengan menangis dan menjerit

Orang-orang di sekitarmu tersenyum bahagia

Jadikanlah dirimu saat mereka menangis

Di hari kematianmu tersenyum bahagia

Pada hari ketika seorang anak dilahirkan, orang pertama yang bertanggung jawab atasnya adalah sang ayah. Wajib bagi seorang ayah untuk membimbing anaknya menuju taman keselamatan dan jalan-jalan surga.

Luqman a.s. berkata pada anaknya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah” (Q.S. Luqman: 13), waspadalah bilamana kau menjadi musyrik, waspadalah bilamana kau mempersekutukan Allah, waspadalah bilamana kau meyakini bahwasannya ada sesuatu yang sederajat selain Allah.

Ia berkata: “Hai anakku, dirikanlah shalat” (Q.S. Luqman: 17), pernahkan Anda mendengar ungkapan yang lebih dahsyat dari ini? Pernahkah Anda mendengar kata-kata yang lebih indah dari ini? “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar” (Q.S. Luqman: 17). Kemudian ia berkata: “Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” (Q.S. Luqman: 17). Ketahuilah, bahwa setelah mendirikan shalat dan setelah memerintah (pada kebajikan) dan mencegah (dari kemungkaran) akan menghadang sesuatu yang berat dan sulit. Oleh karenanya ia berkata: “Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” (Q.S. Luqman: 17).

Lukman a.s. meneruskan perkataannya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S. Luqman: 18), janganlah kamu sombong pada hamba-hamba Allah, janganlah kamu angkuh, dan janganlah kamu membanggakan dirimu sendiri, karena kamu adalah hamba Allah Yang Maha Esa.

“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (Q.S. Luqman: 19) maka jadilah orang yang sopan dan ramah, jadilah orang yang tawadu’, murah hati, dan lemah lembut.

Rasulullah s.a.w sangat memperhatikan pendidikan anak, bahkan beliau adalah seorang pendidik yang agung. Beliaulah yang menyebarkan keutamaan ke dalam setiap generasi, melalui beliaulah Allah menyelamatkan orang-orang yang sesat dari kesesatannya dan menyelamatkan orang-orang yang buta dari kebutaannya.

Sesungguhnya setiap makhluk di hari kelahiran Ahmad

Melihat Tuhan miliknya maka berubahlah keadaannya

Bahkan mulia lah manusia kala mereka memilih

Sebaik-baik manusia (Ahmad) sebagai bintang dan rembulannya

Diriwayatkan dari beliau s.a.w. dalam sebuah hadits hasan bahwa beliau bersabda pada Anas bin Malik r.a.: “Hai anakku, jika kamu bisa tidur dan dalam hatimu tidak ada dengki pada seseorang maka lakukanlah.”[84]

Dalam Sunan Turmudzi dengan sanad hasan dari Ibn Abbas r.a., dia berkata: waktu itu aku di belakang Rasulullah s.a.w., kemudian beliau berkata padaku: “Hai Nak”.

Aku menjawab: “Labbaika Ya Rasulullah”

Beliau berkata: “Hai Nak.”

Aku menjawab: “Labbaika Ya Rasulullah”

Beliau berkata: “Hai Nak.”

Aku menjawab: “Labbaika Ya Rasulullah”

Kemudian beliau bersabda: “Aku ajarkan padamu beberapa patah kata: jagalah Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah Allah maka Dia akan selalu bersamamu. Ingatlah pada Allah dalam kelapanganmu maka Allah akan mengingatmu dalam kesempitanmu. Bila kamu memohon, memohonlah pada Allah semata. Bila kamu meminta pertolongan, mintalah pertolongan pada Allah semata. Ketahuilah, jika suatu golongan bahu-membahu untuk memberikan suatu kemanfaatan padamu, maka mereka tak akan dapat memberi kemanfaatan padamu kecuali dengan sesuatu (yang lain), hal ini telah dituliskan oleh Allah. Jika suatu golongan bahu membahu untuk memberi suatu kemadharatan padamu, maka mereka tak akan dapat memberimu kemadharatan kecuali dengan sesuatu (yang lain pula), hal ini telah dituliskan oleh Allah. Pena-pena telah diangkat dan kertas-kertas telah kering”.[85]

Benar… demi Allah! Jagalah Allah maka Dia akan menjagamu….. Sudahkah para ayah menasihati anak-anak mereka dengan nasihat semacam ini?

Sudahkah para ayah berkata pada anak-anaknya di pagi hari sebelum pergi ke kantor, ke sekolah, atau ke kebunnya “Jagalah Allah maka Dia akan menjagamu”.

Seorang Syeikh dari Andalusia pernah berkata menasehati anaknya:

Saat kamu sendirian dengan keragu-raguan dalam kegelapan

Sementara hati mengajak pada kedzaliman

Maka malulah pada penglihatan Allah dan katakanlah pada hatimu

Sungguh Dzat yang menciptakan kegelapan melihatku

Benar! Sungguh menanamkan perasaan selalu diawasi dan takut pada Allah dalam hati anak hingga ia dapat tumbuh dan berkembang bersama perasaan tersebut merupakan pendidikan iman yang diridhoi Allah.

Aku mengajakmu wahai Abu Bakar[86] jika kamu mau

Pada sesuatu yang menguntungkanmu jika kamu memahami

Pada ilmu yang dapat menjadikanmu imam

Jika kamu mencegah dan jika kamu menyuruh

Pada sesuatu yang menjauhkan hatimu dari hal-hal yang membutakannya

Dan menunjukkan jalan ketika kamu tersesat

Ja’far as-Shodiq r.a. berkata saat menasihati anaknya: “Wahai anakku jangan kau berteman dengan orang fajir (suka berma’siat), ‘aqin (tak beriman), bakhil, dan kadzab (pembohong). Sungguh orang yang fajir adalah orang yang mendapatkan laknat Allah, orang ‘aqin telah terbawa oleh kegelapan ayah dan ibunya, orang yang bakhil membuatmu miskin, sedangkan orang yang kadzab mendekatkanmu dengan perkara yang jauh dan menjauhkanmu dari perkara yang dekat.

Habib bin Zaid dididik Ibunya dengan pendidikan yang jujur dan murni karena Allah. Maka ia pun tumbuh sebagai seorang mujahid. Suatu saat, Nabi s.a.w. mengutusnya pada Musailamah al-Kadzab ad-Dajjal di Yamamah, maka ia pun mendatangi Musailamah saat usianya belum genap dua puluh tahun.

Musailamah berkata padanya: “Apakah kamu bersaksi bahwa sesunguhnya Muhammad itu utusan Allah”.

Habib: “Ya”.

Musailamah: “Apakah kamu bersaksi bahwa seseungguhnya aku adalah utusan Allah”.

Habib: “Aku tak mendengar apa-apa”.

Maka Musailamah menangkap dan memotong-motongnya organ demi organ, sementara ia tetap teguh dalam agamanya.[87]

Barangsiapa yang mengangkat pedang-pedang untuk meninggikan

Nama-Nya bersinar di atas puncak bintang-bintang

Kami akan menjadi gunung-gunung dan ombak-ombak lautan di belakangmu

Wahai Tuhan, ruh-ruh yang berada di ujung pedang-pedang kami

Mengharapkan suatu tempat di sisi-Mu sebagai balasannya

Al-Khinsa’ r.a., seorang wanita yang alim, mendatangi empat anaknya di perang Qadisiah. Ia mendidik anak-anaknya pada istiqomah, shalat, dan dzikir. Ketika perang menjelang, ia berkata pada anak-anaknya: “Wahai anak-anakku Aku adalah Ibu kalian. Demi Allah aku tidak pernah mengkhianati ayah kalian, dan demi Allah aku tidak pernah menipu paman kalian. Maka ketika perang tiba tataplah wajah-wajah mereka, hadapilah lawan-lawan, dan bunuhlah musuh-musuh, semoga Allah memanjangkan umurku untuk menyaksikan kesyahidan kalian”.

Perang pun dimulai dan keempat anak itu terbunuh di permulaan hari. Datanglah sebagian orang-orang Muslim mengabarkan hal tersebut. Ia pun tersenyum kecil bahkan terlihat sangat gembira. Ia berkata: “Segala puji bagi Allah yang membuatku bahagia dengan kesyahidan mereka di jalan-Nya”.

Ibu bagaikan madrasah tempat suatu bangsa bergerak bangkit

Ibu bagaikan kebun tempat tumbuhnya dedaunan hijau yang segar

Asma’ binti Abi Bakr r.a., pemilik dua ikat pinggang yang Allah jadikan perhiasan baginya di surga, berkata pada anaknya, Abdullah bin Zubair al-Faris al-Mashlub.

Saat Abdullah dipaksa menyerah pada al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi, ia berkata: “Wahai anakku bersabarlah, sungguh engkau dalam kebenaran”.

Abdullah menjawab: “Wahai Ibu, sungguh aku takut jika ia menyembelihku maka ia akan menguliti dan memotong-motong tubuhku”.

Asma’ berkata: “Hai anakku, setelah seekor domba disembelih, apa bedanya ketika ia dikuliti atau tidak dikuliti”.

Seketika itu Abdullah r.a. pun semakin teguh dalam kebenaran, memakai kafannya, lalu mati syahid.

Hak-hak Anak yang Harus Dipenuhi Oleh Sang Ayah

1. Memilihkan istri yang shalehah.

Bagaimanakah ciri-ciri istri yang shalehah?

Nabi s.a.w. bersabda dalam sebuah hadits shahih: “Wanita dinikahi karena empat perkara: hartanya, kecantikannya, nasabnya, dan agamanya. Pilihlah agamanya agar kamu beruntung“.[88] Agama adalah hal terpenting dalam diri seorang wanita. Oleh karenanya, hendaknya agama dijadikan faktor utama dan sisanya sebagai faktor tambahan semata.

Kita sama-sama percaya bahwa kecantikan itu penting, nasab itu baik, begitu pula harta. Namun semua itu, seperti yang telah saya katakan pada Anda, hanyalah faktor tambahan semata setelah agama. Ketika seorang lelaki melakukan kesalahan dalam memilih calon istrinya maka kelak anaknya akan tumbuh dalam penyimpangan, tak mengenal Allah dan kehidupan akhirat. Sungguh peran seorang Ibu dalam membimbing anaknya dengan baik sangat berarti di sini.

Oleh karenanya, tanggung jawab pertama Ayah pada anaknya adalah memilihkan istri yang shalehah seperti yang diinginkan Allah dan kehidupan akhirat. Mengapa Allah s.w.t. mengutuk istri Nuh a.s.? Mengapa Dia mencela, mengutuk, dan mengecam isteri Lut a.s.? Namun Allah s.w.t. memuji istri Fir’aun di istananya, sedangkan ia (Fir’aun) adalah orang yang kafir. Hal itu disebabkan karena iman dan taqwa.

Beberapa hikmah dari pernikahan: Allah berfirman “Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan.” (Q.S. ar-Ra’d:38). Hubungan suami istri dalam Islam merupakan suatu hal yang mulia, tidak seperti yang dituduhkan oleh musuh-musuh Islam bahwa pernikahan Islam hanyalah atas dasar nafsu yang memmbabi buta. Hikmah dari pernikahan adalah untuk meramaikan dunia dengan membentuk keluarga yang dapat mengemban risalah dan hidayah bagi setiap manusia serta membebaskannya dari takhayul, pemujaan dan hegemoni.

Kemanakah perginya hikmah tersebut dari akal dan pikiran orang yang tidak tahu jalan menuju Allah?

Al-Bukhari dalam kitab as-Shahih bab tuntutan jihad fi sabilillah pada anak, dengan merujuk pada kisah Sulaiman a.s., berkata: “Malam ini aku akan menggilir seratus orang wanita, agar dari rahim setiap wanita tersebut lahir seorang mujahid”[89].

Dalam Shahihain dari hadits Ibn Abbas r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “Jika salah satu di antara kalian ketika mendatangi keluarganya membaca basmalah, Allahumma jannibna asy-syaithona wa jannib asy-syaithona ma rozaqtana (ya Allah jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkan syaitan dari apa-apa yang Kau rizkikan pada kami) lalu diberi rizki dengan sebuah kelahiran, maka syaitan tidak dapat membuat bahaya padanya selamanya”[90].

Rasul s.a.w. mengajarkan pada kita bahwa saat kita dianugerahi sebuah kelahiran maka bacakanlah adzan di telinga kanannya dan iqomah di telinga kirinya. Hal ini dimaksudkan supaya tertanam panggilan kebenaran di telinganya pada kali pertama menjejakkan kaki di dunia, serta agar ia menjadi hamba yang berbakti pada Allah sedari kecilnya.

Sunnah ini telah terlupakan oleh banyak orang. Banyak anak-anak yang tumbuh sedang lisannya berungkali mengucapkan perkataan yang buruk dan jorok, na’udzu billahi min dzalik. Hal ini begitu memprihatinkan karena apabila lisannya tidak diluruskan, maka akan menukil perkataan yang tak diridloi Allah. Begitu pula akalnya, apabila tidak diarahkan, maka akan mengambil pemikiran-pemikiran yang tak diridloi Allah.

Maka dari itu wahai para Ayah, Anda adalah pemimpin bagi anak-anak Anda. Anda orang yang bertanggung jawab atasnya di hadapan Allah: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (Q.S. at-Tahrim: 6).

Sunah berikutnya adalah berakikah atas kelahiran, dua kambing bagi laki-laki dan satu kambing bagi perempuan. Rasulullah s.a.w. sendiri berakikah dua kambing betina atas Hasan dan satu kambing jantan atas anak perempuannya.

Akikah semacam ini memiliki hikmah, yaitu agar ayah memulai dengan berbagi, memberi, dan mengungkapkan kegembiraan serta bersyukur pada Allah atas nikmat tersebut.

Anak adalah suatu nikmat dari Allah…..

Salah seorang nabi pernah berdo’a pada Tuhannya dengan berkata: “Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah waris yang paling baik” (Q.S. al-Anbiya’: 89) .

Setiap kelahiran berhutang atas akikah hingga ia diakikahi.

Juga termasuk dalam sunah, yakni memotong rambut dan bersedekah dengan perak seberat timbangannya atau uang yang senilai dengan itu. Ini adalah perkara yang ditetapkan dari Nabi s.a.w.. Disebutkan oleh Ibn al-Qoyim dalam kitabnya Tuhfah al-Maudud bi Ahkam al-Maulud, sunah tersebut bermakna keyakinan bahwa Allah membuang dosa-dosa darinya sebagaimana dibuang rambut dari kepalanya dan agar tumbuh sebagai hamba yang saleh, atau untuk hikmah-hikmah lain yang kadang tidak kita ketahui.

2. Memberi nama dengan nama yang baik.

Dalam sebuah hadits sahih: “Nama-nama yang paling disukai Allah adalah abdullah dan abdurrahman”[91].

Adapun hadits yang berbunyi: “Nama-nama yang paling disukai Allah yang (bermakna) menyembah dan memuji”[92] tidaklah sahih. Akan tetapi setiap nama yang terdapat lafadh ‘ubudiyah (penghambaan) adalah baik dan disukai hati, mengapa?

Karena anak Anda ketika berulang kali mendengar nama ini (abdurrahman, abdul wahhab, abdus salam) menggambarkan hubungan antara dirinya dengan Allah yang menyatu dengannya dalam ‘ubudiyah.

Rasul s.a.w. melarang menyebut dengan beberapa nama. Pernah datang seorang laki-laki, lalu Rasul s.a.w. bertanya padanya: “Siapa namamu?”

Ia menjawab: “Ghowi (orang yang menyimpang) bin Dzolim (orang yang lalim)”.

Nabi bersabda: “Bukan, kamu adalah Rosyid bin Muqsith”, maka beliau merubah namanya dengan optimisme ia akan menjadi orang yang lurus dan adil[93].

Nabi bersabda: “Baguskanlah nama-namamu dan nama-nama anak-anakmu karena kamu semua pada hari kiamat dipanggil dengan nama-namamu dan nama-nama anak-anakmu”[94].

Dalam al-Muwato’ Imam Malik, Nabi s.a.w. pernah bersabda pada seorang laki-laki: “Berdirilah, siapa namamu?”.

Dia menjawab: “Shokhr”.

Nabi s.a.w.: “Duduklah”

Lalu Nabi s.a.w. bertanya pada laki-laki yang kedua: “Siapakah namamu?”

Dia menjawab: “Harb”

Nabi s.a.w. bersabda: “Duduklah”

Lalu bertanya pada laki-laki yang ketiga: “Siapakah namamu?”

Dia menjawab: “Murroh”

Nabi s.a.w. bersabda: “Duduklah”

Lalu bertanya pada yang keempat: “Siapakah namamu?”

Dia menjawab: “Ya’isy”[95]

Hal di atas menggambarkan optimisme pada nama-nama yang baik yang mewariskan cinta dan pengharapan yang baik.

3. Memberinya susuan yang baik.

Di tengah masyarakat kita banyak orang yang telah ceroboh dalam urusan susuan. Ada yang menyerahkan anaknya pada orang lain walaupun sebenarnya ibunya mampu menyusuinya sendiri sehingga tidak terjalin hubungan antara ibu dan anak. Maka anak pun tumbuh tanpa kasih sayang, ikatan, dan cinta dari sang ibu.

Banyak keluarga yang mengabaikan hal ini. Mereka lebih mengedepankan pengasuh atau alat-alat bantu menyusui daripada ibunya walaupun ia mampu. Ini adalah suatu kesalahan yang berpengaruh pada pendidikan. Maka anak-anak pun tumbuh dalam kedurhakaan, keterasingan, dan tanpa hubungan dengan ibunya.

Hal ini karena air susu ibu mengalir dalam aliran nafas dan darahnya.

Allah s.w.t. berfirman tentang penyusuan dalam al-Qur’an: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (Q.S. al-Baqarah: 233), jika penyusuan dapat disempurnakan maka hal itu lebih baik dan lebih indah.

Dalam keadaan darurat, Ayah wajib mencarikan ibu susuan bagi anaknya. Janganlah sampai wanita yang menyusuinya adalah wanita kafir, fajir, bodoh, dan buruk perangainya. Karena susunya akan berpengaruh pada akal dan sifat anak.

Karena hal ini, Nabi s.a.w. dipasrahkan pada wanita badui dari bani Sa’ad di lingkungan yang murni dan alami di tengah udara, air, dan padang pasir (pedesaan). Maka tumbuhlah sebagai orang Arab yang paling fasih, dan tumbuh sebagai khotib dunia.

Wanita-wanita badui pada masa generasi awal mempunyai pengaruh yang besar dalam pendidikan anak … Adapun pada masa kini… pada Allah lah kita meminta pertolongan!

Aisyah r.a. berkata: “Tiap kali aku melihat Rasul s.a.w. saat air mukanya berseri-seri dan saat datang suatu kabar yang menyenangkan hatinya, seakan-akan seperti purnama malam keempat belas”. Lalu menyebutkan sebauah syair:

Setiap kali kupandang rona wajahnya

Kulihatnya bersinar seterang bulan purnama

Salah satu sebabnya adalah bagusnya penyusuan. Wajahnya bersinar bersama kekuatan, kebijaksanaan, dan ketampanan yang diberikan oleh Allah pada beliau s.a.w. Sampai-sampai Abu Huroiroh pernah ditanya oleh seseorang: “Apakah wajah beliau s.a.w. seperti pedang?”

Abu Huroiroh menjawab: “Tidak, demi Allah, seperti matahari”.

Anas r.a. pernah berkata: “Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, aku telah melihat wajah Musthofa (Nabi) s.a.w., dan aku juga telah melihat purnama malam keempat belas. Sungguh wajah Musthofa s.a.w. lebih indah dari purnama”.

Para ahli ilmu telah memperingatkan agar tidak menyerahkan penyusuan pada wanita yang bodoh agar anak tidak menjadi orang yang bodoh!!

Ibn Katsir menyebutkan dalam biografi Qodhi Syuraih, yang termasuk orang-orang tercerdas di dunia, bahwa ada tiga wanita mendatanginya, maka lalu ia memandang dan berkata pada mereka:

“Perempuan ini tidak perawan”

“Perempuan ini mengandung seorang anak”

“Dan perempuan ini disusui oleh seekor anjing”

Ditanyakan pada Syuraih: “Bagaimana kamu mengetahui hal itu?”

Dia menjawab: “Adapun perempuan yang hamil, aku tahu kerena suaranya lemah”

“Adapun yang tidak perawan, karena ia sedang menunggu beberapa orang lelaki”

“Adapun yang ketiga, dia disusui oleh seekor anjing karena kedua tangannya menggigil (kejang)”.

Maka perempuan-perempuan itu ditanya dan keadaan mereka memang seperti yang dikatakannya.

4. Memberi keteladanan.

Ayah adalah teladan bagi anak-anaknya karena anak senantiasa mengikuti ayahnya selamanya. Anak laki-laki meneladani ayahnya dan anak perempuan meneladani ibunya.

Bagaimana seorang ayah berkata pada anaknya: “Jadilah orang yang jujur”, lalu ia sendiri berbohong!!

Perbuatannya perbuatan yang buruk… tapi perkataannya perkataan yang baik… “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Q.S. al-Baqarah: 44).

Kita berkata pada anak: “Shalatlah di masjid”, tapi dia sendiri tidak melihat kita shalat.

Hal itu adalah kedzaliman bagi akal, ilmu, pendidikan, dan kedzaliman bagi perasaan.

Kita berkata pada anak: “Janganlah membicarakan orang lain.. takutlah pada Allah dalam urusan-urusan orang lain”.. lalu kita sendiri meletakkan pisau dalam urusan-urusan orang lain dengan perkataan yang menyakitkan.

Wahai orang-orang yang berbakti, wahai orang-orang yang terpilih.. Sesungguhnya keteladanan adalah suatu perkara yang agung, karena Anda akan ditanya perihal anak Anda di hari kiamat.

“Sudahkah kamu memerintahkannya?”

“Sudahkah kamu melarangnya?”

“Sudahkan kamu membersihkan perkataannya?”

“Atau semua itu hanya perkataan tanpa kenyataan”

Turmudzi dalam kitabnya menyebutkan, Abu Bakar a.s. berkata: “Wahai orang-orang, sesungguhnya kalian membacakan ayat ini dan membebankannya pada orang yang tidak tepat: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk “ (Q.S. al-Maidah: 105). Dan aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya manusia jika melihat suatu kemungkaran lalu tidak menghilangkannya, maka Allah menyegarakan adzab menimpanya”[96].

Maka tidaklah benar apabila kita membuat diri kita sendiri saleh, sedang anak-anak kita bukanlah orang-orang saleh.

Kita bertahajud dan membaca al-Qur’an, sementara anak-anak kita di kafe-kafe dan tempat-tempat hiburan.

Kita membaca buku-buku ilmu yang memberi petunjuk, sementara anak-anak kita bersama majalah-majalah amoral dan perkataan-perkataan bodoh.

5. Memerintahkan untuk shalat pada umur tujuh tahun, memukul atas keengganannya pada umur sepuluh tahun, dan memisahkan tempat tidur mereka.

Dalam al-Musnad, Imam Ahmad dengan sanad yang sahih meriwayatkan, nabi s.a.w. bersabda: “Perintahkanlah anak-anakmu shalat pada usia tujuh tahun, pukullah mereka akan hal itu (keengganan) pada usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka”[97].

Ketika anak telah menginjak usia tujuh tahun, kita cukup menyuruh mereka untuk shalat dan jangan memukulnya. Katakan padanya: “Shalatlah, agar Allah memberimu petunjuk”, lalu genggamlah tangannya dan ajaklah pergi ke masjid.

Ketika telah menginjak usia sepuluh tahun, tegaslah padanya, jika ia tidak menurut maka pukullah dengan pukulan yang menasehati, pukulan yang memberi petunjuk yang ditujukan untuk kebaikannya seperti untuk kebaikan diri sendiri.

Betapa bijaksana agama ini! Betapa kuatnya! Betapa luas! Betapa adil! Betapa agama ini memperhatikan anak-anak dan generasi muda hingga ke tempat tidurnya. Agama ini mengajarkan: haram bagi anak-anak tidur dalam satu tempat, maka pisahkanlah tempat tidur mereka. Anak laki-laki tidak boleh tidur di kasur perempuan, dan anak perempuan tidak boleh tidur di kasur anak laki-laki.

Tidaklah mengapa bila mereka tidur dalam satu kamar, asalkan tempat tidur mereka pisah.

6. Mengajarkan ilmu yang bermanfaat

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya s.a.w., yakni ilmu yang datang dari langit ketujuh. Ilmu yang bermanfaat bukanlah ilmu yang murahan, serta bukanlah ilmu yang bodoh lagi dangkal yang datang dari musuh-musuh manusia.

Akan tetapi ilmu yang diwariskan dari Guru Kebajikan s.a.w.

Pendidikan generasi muda merupakan bagian penting yang wajib dalam Islam. Islam tidak menghendaki kebodohan dan keterbelakangan.

Bila kita melarang anak-anak kita dari suatu ilmu dengan berbagai alasan yang berbahaya, hal ini adalah suatu tindakan bodoh yang menyia-nyiaan hikmah.

Benar… ketika seorang pemuda atau pemudi talah mendapatkan ilmu yang dapat menegakkan agamanya dan membatasinya dari perkara-perkara yang terlarang, maka setelah itu tidak masalah baginya untuk pergi ke kehidupan nyata… menengok ke semua majalah yang mubah (dibolehkan) yang ia sukai semisal perdagangan, pertanian dan sebagainya.

Jadi, yang wajib adalah mendidik mereka dengan ilmu-ilmu yang bermanfaat dan menanamkan keutamaan dalam hati mereka.

Rasulullah s.a.w. sangat memperhatikan hal ini. Ibn Abbas r.a., seorang pemuda berusia sepuluh tahun mendatangi al-Musthofa s.a.w. di suatu malam setelah shalat Isya’. Kemudian Rasul s.a.w. berdiri untuk shalat malam, lalu dia pun berdiri mengikuti beliau.

Ibn Abbas mengambilkan air untuk wudlu Nabi s.a.w.

Kemudian beliau bersabda: “Ya Allah pahamkanlah padanya ilmu agama dan ajarkanlah ia ta’wil”[98].

Doa itu pun menjadi doa penuh berkah yang paling mulia dalam kehidupan Ibn Abbas.

Beliau s.a.w. tidak berdoa untuknya mengenai kekuasaan dunia atau kesehatan jasmani dan sebagaianya.

Beliau hanya mendoakan agar Allah menjadikannya orang yang faqih, terpelajar, dan mendapatkan pemahaman dari-Nya, dan agar Allah mengajarkan ta’wil kitab-Nya.

Dalam as-Shahihain dari hadits Mu’awiyah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa yang Allah menginginkan kebaikan dalam dirinya maka Dia akan membuatnya faqih dalam agama”[99].

. maka bekalilah anak-anak Anda dengan ilmu yang bermanfaat. Tidak semua ilmu itu bermanfaat.

Dalam al-Qur’an Allah membagi ilmu menjadi dua:

1. Ilmu yang bermanfaat.

2. Ilmu yang berbahaya.

Di antara ilmu-ilmu yang berbahaya adalah seperti firman-Nya tentang sihir: “Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah” (Q.S. al-Baqarah: 102).

Allah berfirman mengenai salah satu dari orang-orang yang mempelajari ilmu, namun ilmu itu tak bermanfaat baginya, yaitu seorang Yahudi bernama Ba’ur: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah kami berikan kepadanya ayat-ayat kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), Kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau kami menghendaki, Sesungguhnya kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir” (Q.S. al-A’raf: 175-176).

Allah juga mengisahkan tentang Bani Israil -mereka telah mendapatkan suatu ilmu, namun mereka tidak mengambil faidah darinya, dan ilmu itu tidak memberi pengaruh pada keyakinan, ibadah, dan tingkah laku mereka- : “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, Kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.” (Q.S. al-Jum’ah: 5).

Allah berfirman tentang mereka: ” (tetapi) Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka Telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), Maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al-Maidah: 13).

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang memunculkan rasa takut pada Allah dalam hati.

Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menumbuhkan rasa cinta pada masjid, al-Qur’an, dan ilmu.

Ilmu yang bermanfaat adalah yang membuat pemuda menjadi hamba yang suka beribadah pada Allah, bertaqwa, dan takut pada-Nya. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (Q.S. Fathir: 28).

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Ya Allah sungguh aku berlindung pada-Mu dari ilmu yang tak bermanfaat”[100].

Oleh karenanya, Nabi s.a.w. mendidik manusia pada ilmu yang bermanfaat yang diridloi Allah s.w.t.

7. Menanamkan rasa percaya diri dan selalu mendampinginya

Kebanyakan ayah keliru dalam hal ini. Mereka mendidik anak dengan keras, kaku, dan mengekang. Kemudian anak pun tumbuh dengan kehilangan inisiatif, cita-cita, serta kehilangan rasa percaya diri.

Anak tumbuh dalam kekangan. Dia tak memiliki kata-kata, hak, atau pendapat.

Tak diragukan lagi, kekangan semacam ini hanya menghasilkan kekangan yang sama.

Karena hal ini, Allah s.w.t. mensifati Rasulullah s.a.w. dengan kebijaksanaan dan kelembutan. Dia berfirman pada beliau: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (Q.S. Ali Imran: 159).

Firman-Nya: “Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S. al-Qalam: 4).

Ketika pendidikan yang mengekang semacam ini berlaku di banyak keluarga maka anak-anak akan memiliki salah satu dari dua karakter:

Tidak patuh, suka membantah, dan angkuh terhadap ayahnya.

Atau menjadi rendah diri, tidak percaya diri, dan penakut tak berdaya. Ia tak mempunyai keberanian dan inisiatif.

Inilah kesalahan yang sering dilakukan oleh para ayah.

Diriwayatkan oleh at-Thabrani, seseorang mendatangi Rasulullah s.a.w. ia berkata: “Wahai Rasulullah, anakku.. aku membesarkannya, aku bangun agar ia dapat tidur, aku berdahaga agar ia segar, aku lapar agar ia kenyang, namun ketika ia sudah besar ia meremehkan hakku!”

Nabi s.a.w. bersabda: “Pernahkah kamu membuat syair tentang hal itu?”

Dia lalu menangis dan berkata: “Ya, wahai Rasulullah”. Lalu ia berkata:

Aku melahirkan dan merawatmu

Aku selalu mengkhawatirkan apa-apa yang terjadi padamu

Ketika malam tiba membuat tubuhmu demam kedinginan

Aku terjaga penuh gelisah

Air mataku bercucuran bilamana aku dapat menggantikanmu

Ketika kau telah beranjak dewasa aku sungguh tak menduga

Aku tak pernah mengharapkan apa yang keluar dari mulutmu ini

Kau membalas semua deritaku dengan kekasaran

Seakan-akan tak pernah terjadi apa-apa di antara kita

Apakah ayah ini durhaka pada anaknya…. maka balasan adalah tergantung pada jenis perbuatannya.

8. Menjauhkannya dari lingkungan yang negatif

Allah s.w.t. berfirman tentang teman yang baik: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. az-Zukhruf: 67). Setiap persaudaraan, setiap persahabatan, setiap ikatan, setiap pertemanan pasti putus, pupus dan hilang kecuali ikatan orang-orang yang diridloi Allah dan kehidupan akhirat.

Ibn Umar r.a. pernah berkata: “Demi Allah, jika aku puasa pada siang hari aku tidak berbuka, jika aku berjaga di malam hari aku tidak tidur, dan aku telah menfkahkan harta-hartaku di jalan Allah, kemudian aku bertemu Allah sedangkan aku tidak mencintai ahli taat dan aku tidak benci pada ahli ma’siat, maka aku takut Allah akan membakar wajahku di neraka”.

Dalam hal ini, asy-Syafi’i berkata menceritakan dirinya sendiri dengan tawadhu’:

Aku mencintai orang-orang shaleh dan aku tidak termasuk di antara mereka

Agar aku bisa mendapatkan syafaat karena mereka

Akan tetapi, demi Allah dia termasuk dari mereka (orang-orang shaleh).

Imam Ahmad menjawab pernyataannya:

Kamu mencintai orang-orang shaleh dan kamu termasuk di antara mereka

Dan berkat kalianlah kami bisa mendapatkan syafaat

Imam Syafi’i adalah keturunan Quraisy bani Hasyim.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: “Seseorang dikumpulkan bersama orang yang dicintainya”.

Maka jika kamu mencintai orang-orang shaleh dan berbuat seperti perbuatan mereka, kamu akan dikumpulkan bersama mereka. Begitupula sebaliknya.

Syafi’i meneruskan perkataannya:

Aku membenci orang yang barang dagangannya adalah ma’siat

Walaupun barang dagangan kami sama

Maksudnya: walaupun aku berbuat ma’siat, namun aku benci orang-orang yang suka berbuat ma’siat dan aku tidak berteman dengan mereka.

Beliau juga berkata:

Usahlah bertanya tentang perihal seseorang tapi lihatlah pada teman-tamannya

Setiap teman terpengaruh pertemanannya

Maka bagaimana bisa seorang manusia menjadi shalih apabila dia berteman dengan teman-teman yang buruk.

Ahli ilmu berkata: “Adakah yang lebih merusak bagi Abi Thalib daripada berteman dengan keburukan”.

Nabi s.a.w. menginginkan agar dia mengucapkan (la ilaha illa Allah), beliau bersabda: “Wahai pamanku ucapkanlah la ilaha illa Allah sepatah kata yang aku butuhkan untukmu di hadapan Allah”[101], muttafaq alaih.

Sebenarnya, ia pun ingin mengucapkannya agar dapat lolos dari adzab dan masuk ke dalam rahmat Allah s.w.t.

Namun, Abu Jahal berkata padanya: “Bagaimana bisa kamu membenci agama bapak-bapak dan kakek-kakekmu!”

Teman semasa kecilnya ini datang menginginkan dia jatuh ke neraka yang menyala-nyala. Maka wafatlah ia dalam keadaan musyrik dan kafir akibat teman-teman yang buruk.

Teman-teman yang buruk telah tersebar dan berada di mana-mana. Merekalah yang membelokkan jalan kita.

Bagi orang-orang yang berakal, pengalaman dapat membawa pada kebenaran. Sebaliknya, kita tidak pernah mendengar kebenaran membawa pada pengalaman.

Oleh karenanya, tugas yang wajib dilakukan oleh seorang ayah adalah menjauhkan anak-anaknya dari lingkungan dan teman-teman yang buruk.

9. Memanfaatkan waktu luang

Allah s.w.t. berfirman: “Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya; tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan (yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia.” (Q.S. al-Mu’minun: 115-116).

Banyak orang tua merasa asyik dengan waktu luang mereka. Kita sering menjumpai beberapa dari mereka yang berkata di waktu liburan musim panas: “Aku punya waktu luang yang panjang”.

Subhanallah! Apakah pantas seorang Muslim mempunyai waktu luang?

Apakah pantas bagi penuntut ilmu mempunyai waktu luang?

Bukankah Anda termasuk dalam golongan umat yang mulia yang tidak mengenal waktu luang? Dan Anda juga tidak mengenal menyia-nyiakan waktu?

Bagaimana Anda dapat memiliki waktu luang, sedangkan di pundak anda terdapat amanah, tanggung jawab, dan beban yang berat?

Dalam Shahih Bukhari diriwayatkan, bahwasannya Nabi s.a.w. bersabda: “Dua kenikmatan yang banyak orang terjerumus di dalamnya adalah kesehatan dan waktu luang”[102].

Ketika generasi kita mengenal waktu luang lahirlah pemuda yang tak memiliki risalah, prinsip, dn tanggung jawab.

Apakah para Salafussalih mengenal waktu luang?

Mereka mengisahkan tentang Ibn ‘Uqail al-Alim al-Kabir asy-Syahir pengarang kitab al-Funun yang dapat kita temukan di perpustakaan Bern, Jerman yang terdiri atas sekitar tujuh ratus jilid.

Beliau termasuk orang yang sangat menjaga waktu. Ketika telah tiba waktu tidurnya ia menulis beberapa halaman tentang pikiran-pikiran yang terlintas dalam benaknya sebelum tidur. Dan ketika terbangun dari tidur ia pun melakukan hal serupa.

Maka dalam waktu-waktu senggang dan waktu-waktu sisa itu ia dapat menulis tujuh ratus jilid buku.

Kita hidup untuk cita-cita kita

Kadang kala cita-cita tak tergapai dalam hidup

Seseorang mati meninggalkan cita-citanya

Cita-citanya itu akan terus hidup mengenangnya

Dale Carnigie dalam bukunya How to Stop Worrying and Start Living yang membicarakan tentang masyarakat Amerika, menulis: “Sungguh mereka tidak mengenal istirahat”.

Padahal kita telah beriman dan mereka tidak.

Maka walaupun industri-industri mereka merajalela dan pabrik-pabrik mereka bergemuruh, itu hanya dalam kehidupan dunia. “Mereka Hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Q.S. ar-Rum: 7).

Mereka sibuk membaca, bekerja, serta senantiasa mengembangkan diri, sementara kita kaum Muslimin -kecuali orang-orang yang dikasihi Allah- hanya sibuk menghabiskan waktu luang.

Mereka (orang Barat) mendalami suatu bidang berdasarkan kecenderungan dan hobi masing-masing. Ketika mereka sudah menemukannya kecenderungan dan hobinya, maka mereka akan benar-benar bersungguh-sungguh mendalaminya.

Sedangkan kita orang Muslim, tidak memiliki hobi apapun kecuali menjaga shalat lima waktu dan bergumul bersama al-Qur’an dan kitab-kitab. Hobi kita adalah berkata pada para pemuda:

Kita adalah orang-orang yang bangun karena adzan

Dunia ini hanyalah bola permainan

Kita adalah orang-orang yang menjual kehidupan dengan murah

Untuk membeli ridlo-Nya yang paling berharga

Siapa yang dapat menggenggam hasratnya

Pintu surga telah menantinya

Kita menyangka bahwasannya hobi hanyalah perkara yang menjauhkan kita dari masjid.

Kita menyangka bahwasanya hobi hanyalah sesuatu yang menjauhkan kita dari halaqoh-halaqoh ilmu yang bermanfaat.

10. Mengetahui kecenderungan dan orientasi keilmuan dan profesi anak agar dapat mengarahkannya sesuai dengan jalan ia sukai.

Ibn Qoyyim dalam kitabnya Tuhfah al-Maudud fi Ahkam al-Maulud menyebutkan: “Setaip hal telah dimudahkan dalam penciptaannya”.

Dia juga berkata: “Jangan salahkan anak-anak setelah mereka tumbuh dengan apa-apa yang tidak sesuai dengan naluri mereka”.

Anda wahai para Ayah, janganlah memaksa anak-anak untuk mendalami apa yang tidak disukainya. Untuk menjadi orang yang cerdas, berkemampuan tinggi dan bijaksana seorang anak harus dibimbing dan diarahkan sesuai dengan bidang yang ia sukai.

Ini adalah metode yang diterapkan Muhammad s.a.w. terhadap para sahabatnya. Beliau menempatkan mereka pada posisi yang sesuai dengan bidang dan kecenderungan masing-masing. Misalnya, ketika beliau s.a.w. datang pada Hisan bin Tsabit saat ia sedang menyindir orang-orang kafir: beliau s.a.w. bersabda padanya “Sindirlah mereka (dengan syair), Jibril bersamamu”[103]. Maka jadilah Hisan r.a. penyair Islam dan penyair da’wah.

Ubai bin Ka’ab adalah sahabat yang bagus bacaan Qur’annya. Di hadapan sahabat-sahabat lainnya, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ubai akan membacakan (al-Qur’an) untuk kalian”[104].

Zaid bin Tsabit adalah sahabat yang pandai dalam ilmu hitung. Oleh karena itu beliau mengajarkan fara’idh padanya dan bersabda pada para sahabat-sahabat yang lain: “Zaid akan menghitungkan (fara’idh) untuk urusan-urusan kalian”[105].

Khalid bin Walid adalah seorang mujahid yang pemberani dan mempunyai jiwa kepemimpinan, maka beliau s.a.w. memberinya pedang seraya bersabda pada para sahabat: “Khalid bin Walid salah satu dari pedang-pedang Allah yang dihunus untuk orang-orang musyrik”[106].

Spesialisasi semacam ini haruslah kita yakini dan terapkan dalam kehidupan rumah tangga dan masyarakat agar anak-anak kita tumbuh dalam kecenderungan mereka sendiri selama masih sejalan dengan ridla Allah.

Demikianlah hak-hak yang harus dipenuhi oleh seorang Ayah pada anak-anaknya yang dapat saya kemukakan dalam bab ini. Saya memohon pada Allah semoga ini dapat menjadi amal baik saya dan semoga dapat bermanfaat bagi kaum Muslimin.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah pada Nabi kita Muhammad, keluarga, dan sahabat-sahabatnya.

***

Bab X: Jagalah Shalat

Ya Allah, segala puji bagi-Mu kami ucapkan. Segala puji bagi-Mu dengan segenap iman. Segala puji bagi-Mu atas Islam dan Muhammad s.a.w. rasul pembawa hidayah. Mulialah segala keagungan-Mu. Sucilah setiap nama-Mu. Tiada tuhan selain Engkau.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah pada beliau s.a.w. yang diutus oleh Allah sebagai rahmatan lil alamin, pemimpin bagi para salikin, membebaskan dari kebutaan, memberi petunjuk dari kebodohan, mengeluarkan dari kegelapan menuju kebenderangan, serta pada keluarga dan sahabatnya r.a.

Amma ba’du………

Pada bab ini saya akan membahas tentang salah satu pondasi utama agama ini. Apa jadinya jika kita meninggalkan risalah, ajaran, dan agama kita? Atau umat macam apakah kita jika kehilangan pondasi, jalan, dan risalah abadi yang diturunkan oleh Allah melalui Muhammad s.a.w.?

Sebelum diutusnya Nabi s.a.w. kita adalah suku-suku yang tak memiliki budaya, peradaban, risalah, akhlaq, sopan-santun, serta tradisi. “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. al-Jum’ah: 2).

Sesungguhnya setiap makhluk di hari kelahiran Ahmad

Melihat Tuhan miliknya maka berubahlah keadaannya

Bahkan mulia lah manusia kala mereka memilih

Sebaik-baik manusia (Ahmad) sebagai bintang dan rembulannya

Ia memimpin manusia memerangi kebodohan

Menyingkap belenggunya dan menggantinya dengan petunjuk

Mereka berjalan bersamanya menuju Allah

Dengan hanya mengharap ridlo-Nya semata

Rasulullah s.a.w. datang pada kita dengan tujuan yang paling mulia di alam semesta, yakni menyelamatkan manusia. Manusia tanpa iman hanyalah sia-sia dalam kehidupan. Manusia tanpa risalah seperti mayat tanpa ruh. Manusia tanpa pondasi tak ada bedanya dengan binatang atau monster. “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (Q.S. al-An’am: 122).

Dan Anda para pembaca, bagaikan bala tentara penjaga pondasi Islam. Anda adalah bagian dari umat Muhammad s.a.w.. Beliau s.a.w. mengajarkan pada kita agar senantiasa menjaga dan memperbaiki hubungan dengan sesama manusia dan terutama hubungan kita dengan Allah. Ketika hubungan kita dengan Allah terputus maka hubungan kita dengan sesama manusia tidak akan berarti apa-apa.

Mu’awiyah bin Abi Sufyan berkata pada Aisyah r.a.: “Tulislah untukku sebuah wasiat dan ijazahkanlah padaku”. Aisyah r.a. berkata: “Bismillahirrahmanirrahim, aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Barang siapa ridla pada Allah karena kebencian manusia maka Allah meridlainya dan manusia ridla padanya, dan barang siapa benci pada Allah karena ridla manusia maka Allah membencinya dan manusia benci padanya“[107].

Ini adalah pondasi yang mendasar bahwasannya orang yang memutus hubungannya dengan Allah, maka Allah memutus hubungannya dengan manusia. Lantas, amanah apakah yang Allah bebankan pada kita? Apa arti penting dari amanah ini? Tugas macam apakah yang diperintahkan untuk dilaksanakan?

Amanah tersebut adalah shalat wahai sahabat yang kucintai karena Allah. Orang yang mengkhianati shalat adalah orang pertama yang mengkhianati tanggung jawab dan umatnya. Pertama-tama ia mengkhianati dirinya sendiri lalu mengkhianati keluarga, umat, dan janjinya pada Allah.

Orang yang tidak bersujud pada Allah akan bersujud pada pekerjaan, jabatan, pakaian, kendaraan, uang, dan hartanya. Tentang hal ini, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Berdukalah Abdud Dinar, berdukalah Abdud Dirham, berdukalah Abdul Khomilah, berdukalah Abdul Khomisoh, berduka lagi menderita, dan jika tertusuk janganlah menyesal”[108]. Beliau s.a.w. menyebut mereka dengan ‘Abd’ (hamba) pada hal-hal tersebut karena hal-hal tersebut membuat mereka lupa akan penghambaan yang hakiki seperti yang dimaksudkan oleh Allah dalam penciptaannya. Seorang penyair Pakistan, Muhammad Iqbal dalam munajatnya dengan Allah tentang pondasi-pondasi Islam berkata:

Jika ada sesuatu yang membuatku merasa bangga dan mulia

Dan membuat langkah kakiku ini menjadi begitu berharga

Semata-mata karena firman-Mu pada hamba

Serta karena Ahmad sebagai nabi yang diutus padaku

Kita harus memupuk kemauan, kekuatan, dan kesediaan kita mengerjakan shalat dengan berjamaah lima kali sehari. Orang yang menghidupkan masjid lima kali setiap harinya akan menjadi orang yang terpercaya, jujur, ikhlas, dan pasrah pada kekuatan dan kekuasaan Allah. “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain).” (Q.S. al-Ankabut: 45).

Orang yang mendirikan shalat lima waktu tidak mungkin mengkhianati umat dan bangsanya, serta tidak akan mengkhianati risalah dan amanahnya.

Orang yang mendirikan shalat lima waktu tidak tidak mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar. Orang yang mendirikan shalat lima waktu tidak berbuat kemadhorotan, tidak berbohong serta tidak berkhianat.

Orang yang mendirikan shalat lima waktu tidak menyia-nyiakan waktunya, keluarganya, dan tidak menyia-nyiakan jalannya di dunia. Karenanya, Rasulullah s.a.w. mengajarkan pada kita tentang aktivitas pertama yang harus kita dahulukan di pagi hari sebelum mengarungi kehidupan dengan sabdanya yang diriwayatkan oleh Muslim dan perawi lainnya: “Barang siapa yang shalat subuh dengan berjamaah maka ia berada dalam tanggungan Allah, tidak ada yang dapat menuntut apapun darimu dalam tanggungan-Nya. Maka barang siapa yang menuntut sesuatu darinya dalam tanggungan Allah, Dia akan melemparkan wajahnya ke dalam neraka”[109].

Apa yang mengantarkan generasi muda ke dalam jeruji penjara karena penyalahgunaan narkotika? Siapa yang mengantarkan generasi muda umat ini pada pencurian, zina, kriminalitas, dan perbuatan-perbuatan tercela?

Semua itu terjadi pada hari saat mereka meninggalkan shalat, “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya” (Q.S. az-Zukhruf: 36). Orang yang tidak mengenal masjid, maka Allah akan mengenalkan penjara padanya. Orang yang tidak takut pada Allah, maka Allah akan membuatnya takut pada segala sesuatu. Orang yang tidak mendambakan pertemuannya dengan Allah, maka akan Allah pertemukan dengan orang yang tidak ingin ia temui.

Karenanya wahai sahabat yang kucintai karena Allah, Rasul s.a.w. menyebut kita sebagai orang-orang yang membersihkan diri dari seluruh dosa dan kejahatan, dan tidaklah dapat melakukannya kecuali orang-orang yang dikasihi Allah s.w.t.. Dalam hadits Jabir r.a. yang diriwayatkan oleh imam Muslim: “Tahukah kalian seandainya ada satu sungai di depan rumah salah satu di antara kalian, kemudian ia mandi darinya lima kali sehari, apakah kotoran-kotorannya (orang itu) akan terus menempel?” Para sahabat menjawab: “Tidak, wahai Rasulullah”. Nabi berkata: “Seperti ltulah shalat lima waktu yang karenanya Allah menghapus seluruh dosa-dosa”[110].

Api dunia padam oleh air, akan tetapi api neraka tidak dapat padam karena bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan. Keberuntungan bagi kita dalam Islam adalah seperti dalam firman Allah s.w.t. “Barangsiapa dijauhkan dari neraka”. Keberuntungan dimulai sejak kita dikeluarkan dari neraka, “Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (Q.S. Ali Imran: 185).

Kehinaan bagi kita sebagai orang Islam adalah ketika kita dimasukkan dalam neraka jahanam, na’udzubillah. Tak ada kehinaan dalam ke-nganggur-an, tak ada kehinaan ketika kita hidup sebagai orang faqir, miskin, atau sakit-sakitan. Kehinaan adalah sebagaimana pandangan orang-orang Mu’min dalam firman-Nya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya barang siapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun” (Q.S. Ali Imran: 192).

Sahabat yang kucintai karena Allah, sungguh shalat mempunyai arti yang penting dalam agama ini. Dia adalah tiang agama. Dia adalah hal pertama yang dihisab dari seseorang pada hari kiamat. Oleh karenanya, ketika Umar r.a. beranjak tua dan dalam keadaan sakarotul maut berkata: “Allah, Allah dalam shalat. Tak ada keberuntungan dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat”. Rasulullah s.a.w. ketika sakarotul maut mewasiatkan shalat, beliau s.a.w. bersabda: “Shalat, shalat dan budak-budak”[111].

Ketika seseorang telah mengetahui hal tersebut, maka apa-apa yang ia dapati di sekelilingnya yang mengundang pada kejelekan dan kejahatan, ia anggap sebagai produk kolonialisme semata. Hal tersebut adalah perang yang didengungkan oleh majalah-majalah amoral, lagu-lagu tak senonoh, serta video-video porno. Semua itu mengantaran umat ini pada kehancuran dan skandal.

Para cendekiawan dan pembesar Barat sekarang ini mulai mengakui bahwasannya tak ada solusi lain kecuali Islam. Siapa pun yang membaca sebuah karya penulis Amerika, Dale Carnige akan menyadari bahwa selama ini dirinya hanyalah berteori tanpa kebahagiaan. Dia berkata: “Tak ada kebahagiaan kecuali dengan pengakuan terhadap Allah, dan siapa pun yang tertarik maka bacalah buku ini yang telah tersedia di toko-toko buku dan perpustakaan-perpustakaan terdekat”. Ketika harga diri seorang muslim hilang dari hatinya dengan meninggalkan shalat, terjadilah kemaksiatan ini. Dengan melihat majalah-majalah amoral yang berisi gambar-gambar porno ia menjadi suka terhadap kejelekan dan kejahatan.

Serta karena lagu-lagu yang menyibukkan hati dan membuatnya lupa akan kekasih dan sandaran hatinya, yakni Allah Yang Maha Esa.

Ibn Qoyyim berkata:

Ibn Abbas bersenandung, Tuhanku mengirim angin semilir di dahan-dahan

Membunyikan suara-suara alam yang menyejukkan hati setiap manusia

Janganlah kau terlena dengan rayuan dawai yang bernyanyi-nyanyi

Gambar-gambar yang ada di luar sana seluruhnya ditujukan untuk menyesatkan hati dan merampasnya dari Sang Pencipta. Awal mula bencana dimulai pada hari ketika kita atau sebagian dari kita meninggalkan shalat, atau pada hari ketika sebagian dari kita enggan melaksanakan shalat.

Seorang sastrawan besar Muslim yang mendunia datang ke Jazirah (Arab) dan melihat masjid-masjid yang menara-menaranya menjulang ke langit. Ia melihat seraya terkagum-kagum betapa megah dan indahnya masjid-masjid itu. Namun ia menangis tatkala tak melihat orang-orang shalat di sana, lalu berkata:

Aku bertanya-tanya kemanakah perginya hasrat itu

Firman-Mu telah dipisahkan dinding tebal hati mereka

Kumandang adzan bergemuruh tanpa bilal

Menara-menara menjulang tinggi di segala arah

Namun masjid sepi dari takbir orang sembahyang

Sungguh mengagumkan betapa Allah memberi kenikmatan pada seluruh hamba-Nya tanpa terkecuali. Siapa saja orang yang bersedia untuk menjaga Allah maka Allah pun menjaganya. Dan barang siapa yang bermaksud untuk mengesampingkan-Nya maka Allah pun mengesampingkannya. Dalam al-Qur’an Allah berfirman tentang orang yang taat pada-Nya s.w.t.: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami” (Q.S. al-Ankabut: 69). Serta firman-Nya pada orang-orang yang menyimpang: “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” (Q.S. ash-Shaf: 5).

Salah seorang shalihin, yakni Amir bin Tsabit bin Abdillah bin az-Zubair ketika sedang shalat subuh mengangkat kedua tanggannya seraya berkata: “Ya Allah aku memohon pada-Mu kematian yang baik”, orang-orang bertanya: “Apa itu kematian yang baik?” dia menjawab: “Tuhanku mematikan aku saat sujud”. Saat adzan maghrib di hari yang sama sakarotul maut mendatanginya, dia pun berkata pada orang-orang: “Bawalah aku ke masjid”. Orang-orang bertanya: “Kamu berada dalam maut, bagaimana kami membawamu ke masjid?”. Ia menjawab: “Subhanallah, aku mendengar hayya ‘alas sholah hayya ‘alal falah dan aku mati di sini!! Jangan, demi Allah”. Lalu orang-orang pun memanggulnya dan menurunkannya di masjid. Kemudian ia shalat dengan duduk, dalam sujud yang terakhir Allah mencabut nyawanya. Karena hal ini, Muhammad Iqbal berkata:

Kita adalah orang-orang yang ketika mendengar adzan berkumandang

Meskipun perang berkecamuk menumpahkan darah di depan mata

memantapkan wajah ke tengah-tengah Hijaz seraya bertakbir

Jibril yang mendengar pun ikut bertakbir

Bagaimana kita mengharapkan seseorang, sipil maupun non-sipil agar menjadi orang yang jujur sementara ia tidak shalat? Bagaimana kita mengharapkannya menjadi orang yang terpercaya sedangkan ia tidak shalat? Bagaimana kita mengharapkannya menjadi orang yang konsekuen kalau ia sendiri tidak shalat? Barang siapa yang menghancurkan hubungannya dengan Allah maka Allah menghancurkan hubungannya dengan manusia. Oleh karena itu, sebesar apapun keinginan, kekuatan, kebiasaan, serta kekhusyu’an kita dalam shalat lima waktu (sebelumnya), ketika kita meninggalkannya, demi Allah kita telah kehilangannya seperti debu yang beterbangan.

Seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, bahwa pondasi kebenaran adalah menjaga Allah dengan nyata maupun batin. Lukman a.s. ketika sedang menasehati anaknya berkata: “(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Lukman: 16).

Maksudnya: seandainya biji sawi ini adalah biji kecil seperti wijen, seandainya biji ini berada di dalam batu yang keras hingga tak nampak suatu apapun, Allah Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat dapat mengetahuinya. Mengapa? Karena Lukman a.s. ingin mengatakan padanya: “Wahai anakku walau kau tertutup dinding Allah tetap bersamamu, walau kau bersembunyi di balik tembok-tembok Allah tetap bersamamu”. Oleh karenanya, manusia yang rendah kewaspadaannya terhadap Yang Maha Esa, akan menyia-nyiakan tanggung jawab dan amanahnya, serta kehilangan amal perbuatannya seperti debu yang beterbangan. Maka dari itu, wajib bagi seorang hamba untuk bersama Allah ‘azza wa jalla dalam batin dan lahirnya, dalam kesenderian dan keramaian. Wajib bagi seorang hamba untuk menyembah Allah ‘azza wa jalla seakan-akan dia melihat-Nya, jika belum mampu melihat-Nya maka sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla melihatnya. “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya” (Q.S. al-Mujadalah: 7).

Al-Andalusi berkata menasehati anaknya:

Saat kamu sendirian dengan keragu-raguan dalam kegelapan

Sementara hati mengajak pada kedzaliman

Maka malulah pada penglihatan Allah dan katakanlah pada hatimu

Sungguh Dzat yang menciptakan kegelapan melihatku

Imam Ahmad pernah ditanya: “Apa tanda-tanda kekuasaan sang Pencipta?” Beliau menjawab: “Betapa mengagumkan telur ayam itu, luarnya putih seperti perak, dalamnya seperti emas murni, menetas lalu keluarlah binatang yang dapat mendengar dan melihat. Apakah hal ini tidak menunjukkan pada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat?”

Suatu ketika ada seorang Arab Badui yang shalat dua rakaat di sebuah padang pasir. Kemudian bertanya padanya seorang laki-laki kafir: “Untuk siapa kamu shalat?” Dia menjawab: “Untuk Allah”. Lalu bertanya lagi: “Apakah kamu melihatnya?” Dia menjawab: “Pertanyaan yang menakjubkan!! Jejak kaki itu menunjukkan adanya perjalanan, kotoran (hewan) itu menunjukkan adanya unta, langit yang memiliki rasi bintang, malam yang gelap, bintang-bintang yang bersinar, lautan yang pasang, tidakkah semuanya itu menunjukkan pada Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat?”

Katakanlah pada para tabib yang sedang menyelamatkan nyawa pasiennya

Siapakah yang akan mencabut atau menyelamatkan nyawanya

Katakanlah pada para pasien setelah menerima pengobatan

Siapakah yang akan menyembuhkanmu dari segala penyakit

Sehari sebelum perang Uhud Rasulullah s.a.w. berdiri di atas mimbar mengumumkan perang terhadap Abu Sufyan, menyebutkan tentang kelancangan, kedzaliman, dan kesemena-menaannya ke penjuru Madinah. Beliau bersabda: “Kita memerangi mereka di Madinah, kita tidak memerangi mereka di Uhud”. Bangkitlah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun, dia berkata: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mengharamkanku masuk surga, maka demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, aku benar-benar akan masuk kesana”.

Beliau s.a.w. tersenyum pada orang yang baru bersumpah atas nama Allah tersebut lalu bersabda: “Dengan apa kamu akan masuk surga? Apa yang membuatmu merasa pantas?” Dia menjawab: “Dengan dua hal, yang pertama sungguh aku mencintai Allah dan Rasulnya, dan yang kedua sungguh aku tidak akan lari di hari peperangan”.

Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jika kau meyakini kebenaran Allah, maka Allah membenarkanmu”. Jika engkau adalah seorang yang benar maka sungguh kau akan melihat. Maka dimulailah pertempuran, pemuda ini datang dan menyerbu seorang diri karena menginginkan surga yang luasnya meliputi langit dan bumi. Ia tidak berperang untuk mendapatkan unta atau domba akan tetapi hanya mengharapkan ridla Yang Maha Esa. Lalu ia pun terbunuh. Rasulullah s.a.w. menghampirinya dan mengusap debu di wajahnya, seraya bersabda: “Engkau telah meyakini kebenaran Allah maka Allah membenarkanmu, Engkau telah meyakini kebenaran Allah maka Allah membenarkanmu, Engkau telah meyakini kebenaran Allah maka Allah membenarkanmu”[112].

Tidaklah mengherankan bila cerita semacam ini datang dari orang-orang yang berbakti dan mulia, mereka kembali pada jalan para Salafussalih. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalid bin Walid tatkala seorang romawi berkata padanya: “Wahai Khalid, jika kamu bertawakal pada Allah seperti persangkaanmu maka minumlah botol yang berisi racun ini”.

Khalid menjawab: “Bismillah aku bertawakal pada Allah”. Lalu meneguk botol itu seluruhnya. Kemudian berkata: “Alhamdulillah” dan dia tidak menderita sesuatu apapun karena dia telah bertawakal pada Allah Yang Maha Esa.

Dalam pengepungan Kabul, ibukota Afganistan, yang lepas dari tangan kaum Muslimin karena mereka telah meninggalkan shalat lima waktu, Qutaibah bin Muslim berkata: “Para tentara tidak shalat, bagaimana mereka menang? Para tentara tak mengenal Allah, bagaimana mereka bertawajuh pada-Nya? Dari mana pertolongan, kemenangan, dan rizki datang, kecuali dari sisi Yang Maha Esa? Pertolongan datang dari langit bukan dari bumi. Kita datang ke daerah ini tanpa memiliki apapun kecuali sedikit kuda, pakaian yang compang-camping, tombak-tombak yang patah, dan kita akan menguasai tempat ini?”

Sa’ad bin Abi Waqash -sebelum sebelum bergabung dengan Qutaibah (di Kabul)- mendatangi Qadisiah dengan 30.000 tentara menghadapi pasukan Persia yang berjumlah 280.000 orang. Ia shalat dhuhur bersama kaum Muslimin, ia bertakbir: “Allahu Akbar”, maka bertakbirlah tiga puluh ribu orang bersamanya, lalu ia ruku’ maka serempak mereka pun ruku’, lalu ia sujud dan mereka pun sujud bersama-sama. Rustum, jenderal Persia yang melihat dari kejauhan berkata pada pasukannya yang berbaris: “Muhammad telah mengajari anjing-anjing itu adab, bahkan dia telah mengajari singa-singa itu adab.” Kemudian meletuslah peperangan.

Jenderal Persia, Rustum berkata pada Sa’ad: “Aku ingin kau mengutus padaku salah satu dari bala tentaramu agar aku bisa berbicara padanya”. Sa’ad pun mengutus Ruba’i bin Amir, pemuda berusia tiga puluh tahunan. Sa’ad berkata padanya: “Jangan kau merubah penampilanmu sedikitpun, karena kita tidak menaklukan dunia kecuali dengan ketaatan pada Allah”. Lalu berkata lagi: “Janganlah mengambil sesuatu apapun, janganlah memakai mahkota, emas, sutera, jadilah seperti dirimu apa adanya, karena keyakinan kita ada dalam hati, keinginan kita dapat meluluhlantakkan besi-besi”. Maka berangkatlah Ruba’i dengan kuda, tombak, dan pakaiannya menemui Rustum.

Saat Ruba’i datang, Rustum, para wazir dan komandan tentara yang melihatnya tertawa terbahak-bahak. Rustum berkata: “Kamu datang menaklukan dunia dengan kuda yang mandul, tombak yang retak, dan pakaian yang compang-camping ini? Ruba’i menjawab: “Benar, demi Allah. Allah mengutus kami agar kami membebaskan manusia dari penyembahan berhala menuju penyembahan Tuhan Yang Maha Esa, dari kesempitan dunia menuju keluasan akhirat, serta dari kesemenaan agama-agama lain kepada keadilan Islam”.

Peperangan pun dimulai. Dalam tiga hari Sa’ad menyapu bersih dan menghancurkan pasukan musuh di medan pertempuran. “Maka orang-orang yang zalim itu dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam” (Q.S. al-An’am: 45).

Lalu mereka memasuki istana Kisra dan bertakbir. Istana itu pun takluk, Sa’ad meneteskan air mata sambil membaca firman-Nya: “Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan kebun-kebun serta tempat-tempat yang indah-indah. Dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah. dan kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain. Maka langit dan bumi tidak menangisi mereka dan merekapun tidak diberi tangguh” (Q.S. ad-Dukhon: 25-29).

Qutaibah bin Muslim yang sedang mengepung Kabul berkata pada bala tentaranya: “Pertemukan aku dengan Muhammad bin Wasi’, Carilah untukku Muhammad bin Wasi’ al-Azdi, salah satu hamba yang paling agung yang ikut dalam peperangan ini”. Maka mereka pergi mencari dan mendapatinya sedang shalat dhuha dua rakaat, bersimpuh di atas tombaknya, seraya mengangkat tangannya pada Yang Maha Esa… Dari mana datangnya pertolongan dan kemenangan? Dari Allah. Dari mana datangnya rizki? Dari Allah.

Suatu waktu datanglah sekelompok pasukan gabungan negara-negara Arab untuk menyerang Israel. Sesampainya di sana mereka melihat tulisan-tulisan terpampang di sudut-sudut kota: “Kami beriman pada Tuhan Yang Maha Esa dan Rasul-Nya, serta pada agama orang Arab sebagai agama yang lurus”.

Di waktu pagi hari berikutnya mereka pun kembali menaiki tank-tank mereka untuk pulang ke tanah air masing-masing. Tatkala mereka telah sampai di negara mereka pada sekitar pukul sepuluh pagi, mereka mendapatinya telah luluh lantak diserang pasukan musuh. Mereka pun hanya bisa menangis dan menampari wajah mereka sendiri melihat anak-anak dan keluarga mereka telah meninggal. Menteri Pertahanan Israel kala itu, Moshe Dayan berbicara di televisi sambil tertawa: “Orang-orang Arab tak mengerti perang”. Para pemakan babi itu mencaci maki mereka karena mereka telah meninggalkan shalat lima waktu dan kufur tehadap Yang Maha Esa, Allah telah menghinakan mereka. Orang Yahudi pantas mencaci-maki pasukan Arab itu karena mereka tidak lagi meneladani para sahabat r.a.. Mereka tidak pantas disebut sebagai anak cucu Khalid, Sa’ad, Thariq, atau Salahuddin.

Qutaibah bin Muslim pernah berkata: “Carilah untukku Muhammad bin Muslim”. Lalu orang-orang pun mendapatinya sedang membuka jari-jemarinya berdoa pada Allah. Mereka pun kembali pada Qutaibah dan mengabarkan hal tersebut padanya. Qutaibah berkata: “Alhamdulillah, demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh jemari Muhammad bin Wasi’ lebih baik bagi kita dari seratus ribu ahli pedang hebat, dan lebih baik dari seratus ribu pemuda yang segar bugar”. Ketika telah mengetahui hal itu, maka kita tidak meminta taufiq kecuali pada Yang Maha Esa. Taufiq datang hanyalah ketika baik hubungan kita dengan Allah dan baik pula hubungan kita dengan sesama manusia.

Seorang yang shaleh pernah berkata: “Demi Allah, sungguh aku telah durhaka pada Allah, aku mengetahuinya dari keadaan binatang ternak dan keadaan pelayan-pelayanku. Barang siapa yang durhaka pada Allah maka Allah akan mendurhakainya di semua urusan, bawahan, umat, pemimpin tidak ridla padanya. Barang siapa yang menaggalkan jubah kebajikannya maka Allah mengenakkan padanya jubah keburukan.

Saya berpesan pada Anda untuk menjauhi kemaksiatan baik yang terlihat maupun yang tak terlihat. Kemaksiatan di sini adalah kebencian, kemarahan, dan laknat dari Allah Yang Maha Esa. Allah berfirman tentang bani Israil: “(tetapi) Karena mereka melanggar janjinya, kami kutuki mereka, dan kami jadikan hati mereka keras membatu. mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka Telah diperingatkan dengannya” (Q.S. al-Maidah: 13). Firman Allah yang lain tentang mereka: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, Kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu” (Q.S. al-Jum’ah: 5).

Allah azza wa jalla berfirman: “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang Telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya Telah diturunkan Al Kitab kepadanya, Kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik” (Q.S. al-Hadid: 16).

Ketahuilah bahwa orang yang tidak taat pada Allah akan diuji dengan kemaksiatan, sedangkan orang yang diteguhkan dalam ketaatan pada Allah akan tenang hingga ajalnya. “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan Ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang dia kehendaki” (Q.S. Ibrahim: 27).

Beberapa teman bercerita padaku tentang seorang pemuda di suatu daerah, ia adalah seorang ‘abid, salah satu di antara para waliyullah. Suatu ketika ia mengalami kecelakaan mobil dan tak sadarkan diri selama tiga hari. Tahukah Anda apa yang ia ucapkan selama tiga hari itu? Lisannya melantunkan al-Fatihah sedangkan ia pingsan tak sadarkan diri. Ia mengulang-ulang al-Fatihah pagi dan sore hari hingga maut memanggilnya.

Seorang pemuda lain di negeri itu juga mengalami kecelakaan mobil. Saat itu ia sedang dalam pengaruh kekufuran. Di saat-saat gentingnya tersebut ia berulang-ulang mengucapkan: “Apakah para pemabuk seperti aku mengenal cinta!!”. “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang dia kehendaki” (Q.S. Ibrahim: 27).

Demikianlah, ketika seseorang tumbuh dalam al-Fatihah, maka meninggal dalam al-Fatihah pula. Begitu juga ketika seseorang tumbuh dalam “Apakah para pemabuk seperti aku mengenal cinta!!” maka mati dalam keadaan demikian. Semua itu karena keyakinan, prinsip, dan cara hidup menentukan tingkatan seseorang. Allah meneguhkan hati dan menyesatkan orang yang dikehendaki-Nya berdasarkan keinginan dan perbuatan hamba-Nya. Dan Allah memberi petunjuk orang-orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

Oleh karena itu, kewajiban seorang hamba adalah menahan diri dari kemaksiatan dan bertakwa pada Allah agar Allah meneguhkan hati dan menuntunnya. Kita menyadari nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah pada kita baik yang lahir maupun yang batin, namun sebagian anak-anak kita menukar nikmat Allah tersebut dengan kekufuran. “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang Telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan?” (Q.S. Ibrahim: 28).

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita akhir-akhir ini menunjukkan bahwa masih banyak manusia yang hidup tanpa kesadaran dan digerogoti oleh dugaan-dugaan semata. Mereka sangat membutuhkan ajakan dan motivasi pada ketaatan. Inilah kewajiban para da’i, ayah, dan ustadz untuk mengarahkan mereka para generasi muda. Generasi muda yang telah meninggalkan masjid. Ketika mereka meninggalkan masjid mereka menyia-nyiakan waktu mereka dengan segala seseuatu. Generasi yang meniru perbuatan yang tak pantas untuk diteladani, maka kemudian mereka merusak keamanan, mengganggu ketentraman, serta menyia-nyiakan waktu dan masa depan mereka.

Orang-orang kafir memperlihatkan umat Islam dan risalahnya seolah-olah hanyalah omong kosong belaka. Padahal, Islam adalah agama yang berdasarkan pada akal dan naql (periwayatan), Islam adalah ajaran-ajaran yang abadi, Islam adalah risalah dalam kehidupan. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai” (Q.S. Luqman: 18-19), Islam adalah sebuah pesan.

Oleh karenanya salah satu prinsip Islam yang harus dipegang teguh adalah menahan diri dari kemaksiatan. Imam Syafi’i pernah mengeluh pada gurunya tentang buruknya hafalan dan seringnya lupa, lalu dia diperintahkan untuk meninggalkan maksiat pada Allah azza wa jalla.

Aku mengeluh pada Waki’ tentang buruknya hafalanku

Lalu ia memberitahuku untuk meninggalkan maksiat

Dan mengatakan padaku bahwa sesungguhnya ilmu itu cahaya

Dan cahaya Allah tidak menghampiri orang-orang yang bermaksiat

Salah seorang ulama berkata pada orang yang melihat sesuatu yang tak diperbolehkan: “Apakah kamu melihat sesuatu yang haram? Demi Allah sungguh kamu akan menanggung akibatnya”. Kemudian orang itu menemuinya lagi setelah beberapa waktu, dan berkata: “Aku lupa dengan al-Qur’an setelah empat puluh tahun”. Itu adalah bekas yang ditinggalkannya.

Perbuatan dosa dapat meninggalkan bekas yang bermacam-macam, seperti kerasnya hati. Kekerasan hati membuat kaum Yahudi tidak memiliki perasaan. Hal ini karena mereka telah melupakan Allah, maka Allah pun mengacuhkan (keadaan) mereka. Bekas dari perbuatan dosa lainnya adalah laknat. Karena apabila seorang manusia terus menerus melakukan perbuatan dosa maka hatinya akan dikunci mati dan dilaknat, na’udzu billah.

Di antara bekas dari perbuatan dosa lainnya adalah hilangnya berkah dalam rizki, dan kesempitan dalam hidup. Kita dapat melihat mereka (para pendosa) tinggal di istana yang megah, menunggang kendaraan mewah, mengenakan pakaian yang gemerlap, dan dimanjakan oleh makanan dan minuman yang berlimpah, namun mereka tidak merasakan ketenangan dan ketentraman hidup. “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, Telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamupun dilupakan” (Q.S. Toha: 124-126).

Salah seorang shalihin, Ibrahim bin Adham hanya hidup di pinggiran jalan dan tidak memakan apa-apa kecuali roti yang keras, walau demikian karena dzikir, tilawah, dan ibadahnya ia hidup dengan bahagia. Di sebuah taman, orang-orang berkata padanya: “Apakah kamu bahagia?” Ia menjawab: “Demi Allah yang tiada tuhan selain Dia, sungguh aku sangat bahagia, hingga andai malaikat tahu keadaanku ini maka mereka pasti iri hati”.

Syeikhul Islam Ibn Taimiyah tidak memiliki apa pun kecuali pakaian dan tongkatnya. Saat ia dipenjara oleh para ahli bid’ah dan maksiat, ia berkata pada mereka seraya membela diri: “Apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang ini? Aku tak mempunyai kebun-kebun atau taman-taman kecuali dalam hatiku ini. Aku tak membawa apa pun kecuali tongkatku ini. Aku tak berbuat kejahatan apa pun. Aku bepergian ke daerah-daerah lain untuk berkunjung”.

Lalu dibukalah pintu penjara. Ia pun keluar seraya membaca satu ayat al-Qur’an: “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan Berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)”. lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa” (Q.S. al-Hadid: 13). Seorang lelaki dari golongan Salajiqoh berkata padanya: “Wahai Ibn Taimiyah, orang-orang mengira kau ingin mengambil dan merampas sesuatu dari milik kami”.

Ibn Taimiyah: “Milikmu?”.

Lelaki dari Salajiqoh: “Ya”.

Ibn Taimiyah menjawab: “Demi Allah, apa-apa yang kau miliki tidaklah berarti apa-apa bagiku”. Hal ini karena Ibn Taimiyah tiada menginginkan apa-apa kecuali kebahagiaan, dan kebahagiaan hanya didapatkan dengan berdzikir pada Allah. Setiap orang yang pernah membaca buku How to Stop Worrying and Start Living karya Dale Carnige atau …………….., karya …….. senantiasa menyadari bahwa selama ini mereka tidak mendapatkan kebahagiaan.

Dalam karyanya mereka menulis: “Kita semua mencari kebahagiaan, namun tak pernah mendapatkannya”. Konon ada seseorang yang mencari makna kebahagiaan dalam ribuan buku, namun kemudian bunuh diri dengan mengiris urat nadinya dengan pisau. Ya, hal ini karena ia tak dapat menemukan kebahagiaan di sana.

Apa yang disebut dengan kebahagiaan? Kebahagiaan adalah ketika kita mangambil air wudlu lima kali sehari kemudian menunaikan shalat-shlat fardhu dan menambahnya dengan shalat-shalat sunnah. Kebahagiaan adalah ketika kita membaca ayat-ayat al-Qur’an serta merenungkan maknanya. Kebahagiaan adalah ketika kita berdzikir mengingat Allah s.w.t.. Kebahagiaan adalah ketika kita senantiasa bertaubat waktu demi waktu. Kebahagiaan adalah ketika kita dapat menjauhkan perkara-perkara yang keji dan mungkar serta segala bentuk kemaksiaatan dari rumah kita. Kebahagiaan adalah ketika kita mampu berinteraksi dengan baik dalam keluarga dan masyarakat serta memimpin mereka menuju surga yang luasnya meliputi langit dan bumi. “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (Q.S. at-Tahrim: 6).

Sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari sebagian orang dewasa yang telah berusia lebih dari empat puluh tahun, ketika tengah asyik menyaksikan suatu acara di televisi kemudian tiba waktu shalat yang harus segera ditunaikan, lalu ia pun shalat nemun dalam hatinya tak ingin melewatkan acara tersebut. Ia pun shalat dengan tergesa-gesa agar dapat segera mengikuti acara tersebut. Inikah yang disebut dengan shalat? Inikah hati yang dipenuhi dengan cahaya hidayah? “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun” (Q.S. an-Nur: 40).

Kita juga sering menjumpai beberapa orang tua yang begitu marahnya ketika mendengar anaknya telah menghilangkan sejumlah uang. Naumn, mereka nampak biasa saja ketika melihat anaknya tidak mendirikan shalat. Mereka tak marah ketika melihat anaknya merokok sambil mendengarkan nyanyian-nyanyian tak senonoh sepanjang hari. Mereka tidak marah ketika mengetahui anaknya bergaul dengan kemaksiatan di kafe-kafe. Hati macam apakah yang mereka miliki?

Orang yang hina tak terluka karena dihina

Orang yang telah mati hatinya tak dapat merasakan luka

Wahai saudaraku yang budiman, wahai para ksatria yang meninggikan dan menebarkan la ilaha illallah di segala penjuru dunia. Saya mengajak Anda semua untuk memahami tanggung jawab, tugas, serta tujuan kita di kehidupan dunia ini. karena setelah kita memahaminya kita akan menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa dan agama kita. Saat ini kita harus mengakui bahwasannya kita telah tertinggal jauh dari kaum non-Muslim dalam peradaban dan teknologi.

Kita tidak dapat membuat pesawat terbang, mobil, roket, atau lemari es sekalipun. Namun kita dapat menyejukkan hati setiap orang dengan Islam. ………… berkata: “Kami memeberi kalian pesawat terbang, roket, air conditioner dan sebagainya, namun kalian tidak memberi kami Islam, kalian telah menyembunyikannya dari kami”. Ya, benar. Sungguh mereka mendambakan Islam.

Berapa banyak ideologi telah gagal memberi solusi kecuali agama Allah, yakni Islam. Manusia mencoba menerapkan sekularisme namun gagal. Mereka menerapkan ajaran-ajaran Nasrani dan Yahudi yang telah banyak mengalami penyimpangan dan kembali gagal. Begitu pula halnya dengan komunisme. Mereka pun mulai berpaling menuju agama Allah, Islam. Sayangnya, umat Islam sendiri berpaling menjauhi ajaran dan perintah agamanya dengan meninggalkan shalat lima waktu. Lantas, dapatkah mereka memberikan kemuliaan Islam pada dunia?

Saudaraku yang budiman, kemaksiatan telah merajalela di mana-mana. Saya hanya ingin mengingatkan, karena hal ini tentunya bukanlah lagi berita yang aneh di telinga kita. Sungguh kita akan terjeremus dalam kemaksiatan tersebut, jika kita meninggalkan shalat. Karena inilah, Umar bin Khattab mengirimkan surat kepada Sa’ad bin Abi Waqash di Qadisiah, ia berpesan: “Shalat, jagalah shalat. Sungguh musuh-musuhmu tak akan dapat mengalahkanmu kecuali karena kemaksiatanmu”.

Saudaraku yang budiman, saya memohon pada Allah agar diampuni-Nya segala dosa-dosa kita semua. Serta agar kita dijadikan-Nya menjadi hamba yang shalih, hamba yang mendirikan shalat dan puasa, hamba yang berdzikir lagi berbakti.

Ya Tuhanku ampunan-Mu terbentang di atas kesalahan-kesalahan kami

Kasihilah kami atas dosa yang telah kami lakukan

Kala bahaya mengancam kami selalu meminta pertolongan-Mu

Setelah punah semua ancaman itu kami melupakan-Mu

Saat badai mengombang-ambingkan perahu Engkau menyelamatkan kami

Setelah kembali ke daratan kami mendurhakai-Mu

Kami terbang di atas awan-awan dengan nyaman dan tenteram

Tak perlu takut akan jatuh karena Allah adalah sebaik-baik penjaga

Wahai saudaraku yang dikasihi Allah, wahai orang-orang yang terjaga saat yang lain terlelap, orang-orang yang berguna bagi bangsa dan agama: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (Q.S. at-Tahrim: 6).

Marilah kita menjaga diri dan keluarga dari panasnya api neraka. Mari kita menjaga janji kita pada Allah dengan mendirikan shalat jamaah lima waktu di masjid-masjid-Nya. Marilah kita menyeru pada kebajikan dan menghapuskan kemungkaran. Marilah kita menjaga kitab-Nya denga senantiasa membaca, menghafal, memahami, dan merenungkan makna-maknanya. Mari kita mempersiapkan diri kita menuju hari akhir. “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; Sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal Sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya” (Q.S. al-Hajj: 1-2).

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa sallim.

***

Bab XI: SHALAT…. SHALAT….

Segala puji bagi Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Melihat terhadap hamba-hambanya. Maha Suci Allah yang telah menjadikan langit penuh dengan gugusan bintang dan menciptakan matahari dan bulan yang bersinar di dalamnya. Dia lah yang telah menjadikan siang dan malam silih berganti bagi orang-orang yang ingat dan bersyukur.

Aku bersaksi bahwasannya tiada tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Yang diutus oleh Tuhan-Nya sebagai penunjuk, pembawa kabar gembira, dan pembawa peringatan. Serta sebagai penyeru pada Allah atas izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi.

Beliau yang telah membawa umatnya dari gelap gulita dan kesesatan menuju cahaya yang terang benderang, revolusi, dan kepemimpinan. Beliau merubah umat yang semula terbelakang, tertindas, dan terjajah menjadi umat yang memimpin, maju, dan terdidik.

Shalawat serta salam semoga tetap tercurah padanya, keluarga, dan para sahabatnya.

Dalam dua kitab Shahih, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya aku adalah utusan Allah, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat. Ketika mereka telah melakukannya maka lindungilah darah dan hartanya untukku kecuali dengan hak (alasan tertentu) dan hisab mereka pada Allah”[113]. Allah telah memerintahkan beliau untuk memerangi manusia hingga mereka bersujud pada Allah.

Ketika seseorang menyia-nyiakan, meninggalkan, atau mengingkari shalat, tidak mengangungkan baitulllah, serta tidak bersujud pada Allah maka ia telah diceraikan dari agamanya. Pada saat itu ia kehilangan kemuliaan, kehormatan, kedudukan, dan harga dirinya.

Ketika manusia meninggalkan shalat maka ia menjadi hina dan tak berharga. Ia telah menyia-nyiakan kehormatannya dan pantas dipotong lehernya sebagai hukuman. Ia pantas dihukum dan dibunuh karena kekufurannya.

Rasullullah s.a.w. diperintahkan Allah untuk menghunus pedangnya untuk memerangi manusia-manusia ini hingga ia menerima dan melaksanakan shalat.

Allah s.w.t. berfirman tentang suatu generasi yang menyia-nyiakan shalat: “Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan” (Q.S. Maryam: 59). Seorang Salaf berkata: “Bisa jadi sebenarnya mereka tidak meninggalkannya (shalat) hanya saja mereka mengakhirkan waktunya”.

Apakah arti Islam bagi Muslim yang meninggalkan shalat serta tidak melaksanakannya hingga keluar dari waktunya? Agama macam apa yang ia akui. Apa makna la ilaha illallah bagi orang yang melalaikan shalat karena perdagangan, tugas, jabatan, atau karena pergaulannya? Kemudian dengan kartu identitasnya ia membanggakan diri sebagai Muslim pada semua orang. Di manakah arti shalat?

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (Q.S. an-Nisa: 142). Sebenarnya mereka melaksankan shalat, namun mereka shalat Ashar setelah matahari tenggelam, shalat Dhuhur pukul dua siang, shalat maghrib bersamaan dengan shalat Isya’, dan shalat Shubuh di saat matahari terbit.

Maka di manakah Islam?

Maka di manakah makna la ilaha ilallah?

Di manakah semangat menjalankan agama?

Rasulullah s.a.w. menghadapi perang Ahzab sebelum diturunkannya risalah tentang shalat Khauf. Maka beliau berdiri menghadapi kaum Musyrikin dalam jihad, darahnya bercucuran ke bumi dalam pertempuran melawan musuh-musuh Allah. Kemudian beliau lupa pada shalat Ashar hingga matahari terbenam. Beliau tidaklah melupakannya dalam senda gurau, dengan sengaja atau enggan, akan tetapi beliau lupa di tengah kemelut pertempuran dengan musuh. Maka orang-orang Yahudi, Musyrikin, dan Munafiqin lah yang membuat beliau lupa akan shalat Ashar.

Saat matahari tenggelam beliau berkata pada Umar r.a.: “Mereka telah membuatku ketinggalan shalat Ashar -(atau) mereka telah menyibukkanku dari shalat Ashar- Allah akan memenuhi perut dan kuburan mereka dengan api”[114].

Kemudian beliau berdiri melaksankan shalat Ashar. Setelah itu Allah menurunkan risalah tentang shalat Khauf agar orang-orang yang ketakutan dapat melaksanakan shalat di tengah-tengah pertempuran, agar orang-orang yang mengendarai tank-tank dapat melaksanakannya, dan agar orang-orang yang sakit dapat melaksanakannya di atas tempat tidur. Maka tak ada lagi orang yang terhalangi dari shalat. Behkan orang yang terluka dapat melaksanakannya dengan luka-lukanya.

Sesungguhnya mengakhirkan shalat sampai di akhir waktunya merupakan kemunafikan terang-terangan yang banyak dilakukan oleh manusia kecuali mereka yang dikasihi Allah.

Nabi s.a.w. bersabda di saat-saat sakaratul mautnya: “Allah, Allah dalam shalat dan budakmu”[115].

Apakah arti agama tanpa shalat?

Apa makna la ilaha illallah?

Apa gunanya mengaku sebagai Muslim tanpa shalat?

Mereka berkata: “Kami adalah Muslim”, akan tetapi mereka menyia-nyiakan, meninggalkan, serta mengakhirkan shalat.

Maka di manakah la ilaha illallah?

Dan di manakah pengakuan terhadap Allah?

Diriwayatkan dengan shahih bahwasannya beliau s.a.w. bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, aku bersungguh-sungguh dalam memerintahkan shalat maka kemudian didirikanlah (shalat). Lalu aku menjumpai orang-orang yang tidak melaksanakannya bersamaku maka aku bakar rumah-rumah mereka dengan api”.[116]

Menurut riwayat Imam Ahmad, beliau bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seandainya di dalam rumah-rumah itu tak ada wanita dan sanak keluarga maka sungguh telah aku bakar rumah-rumah itu dengan api”.[117].

Mengapa?

Karena mereka menjadi termasuk dalam golongan orang-orang munafik. Mereka berpakaian Islam tapi tidak shalat bersama orang-orang. Mereka mengucapkan la ilaha illallah tetapi menunda-nunda shalat hingga akhir waktu, bahkan hingga keluar waktunya.

Nabi s.a.w. pernah ditanya mengenai amal yang paling utama.

Beliau s.a.w. menjawab: “Shalat di awal waktunya”.[118]

Beliau s.a.w. juga bersabda: “Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, maka barang siapa yang meninggalkannya sungguh telah kafir”.[119] Darah mereka tumpah oleh pedang syariah, karena mereka keluar dari agama. Tak ada kesucian, kemuliaan, penghargaan, dan kehormatan bagi mereka. Mereka kehilangan bimbingan dan perlindungan karena mereka telah memerangi Allah.

Nabi s.a.w. bersabda: “Di antara seseorang dan kesyirikan serta kekufuran adalah meninggalkan shalat”.[120] Oleh karenanya Rasulullah s.a.w. tak pernah memaklumi seseorang karena meninggalkan shalat (jamaah) kecuali orang yang telah dimaafkan oleh Allah (karena udzur).

Ibn Mas’ud pernah berkata: “Para sahabat, meskipun salah satu dari kedua kakinya terluka mereka akan tetap shalat berjamaah di masjid”.

Tsabit bin Amir bin Abdillah bin az-Zubair, seorang shalih dari generasi tabi’in jatuh sakit. Dalam sakit yang mendekati maut tersebut ia mendengar adzan maghrib, maka ia berkata pada anak-anaknya: “Bawalah aku ke masjid”.

Anak-anaknya berkata: “Anda sakit, sungguh Allah telah memaafkanmu”.

Ia berkata: “La ilaha illallah, aku mendengar hayya ‘ala shalah hayya ‘alal falah dan aku shalat di rumah?! Demi Allah bawalah aku”.

Ketika sedang bersujud di sujud terakhir shalat maghrib Allah mencabut nyawanya.

Ahli ilmu berkata: “Sungguh lelaki ini ketika sedang shalat Shubuh berkata: Ya Allah aku memohon kematian yang baik pada-Mu, kematian yang bagus dan indah”.

Apa yang dimaksud dengan kematian yang baik?

Ia berkata: “Allah mencabut nyawaku di saat sujud”.

Kematian yang baik adalah ketika Tuhan mencabut nyawamu setelah menunaikan kewajiban, di tengah jihad fi sabilillah, dalam keadaan suci, di saat sujud, saat menuntut ilmu, atau ketika bersedekah di jalan Allah.

Kematian yang buruk adalah jika Allah mencabut nyawa hambanya di tengah nyanyian-nyanyian yang tak senonoh, saat mengenakan pakaian yang menjijikkan, dalam perjalanan mencari keburukan, atau dalam keadaan mabuk. Inilah kematian yang buruk yang ditakutkan oleh para shalihin.

Sa’id bin al-Musayyab tinggal di sebuah rumah yang jauh dari Madinah. Setiap malam ia berangkat ke masjid Nabi s.a.w. di tengah kegelapan. Teman-temanya berkata: “Ambillah sebuah lentera agar kamu bisa melihat jalan di kegelapan malam”.

Ia menjawab: “Cukup bagiku dengan cahaya Allah”. “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun” (Q.S. an-Nur: 40).

Tentang hal ini, dalam sebuah hadits Nabi s.a.w. bersabda: “Bergembiralah orang-orang yang berjalan dalam kegelapan menuju masjid dengan cahaya kesempurnaan pada hari kiamat”[121]. Adakah kegelapan di hari kiamat? Apakah di hari kiamat ada malam hari? Ya, demi Allah. Di sana ada malam yang lebih gelap dari malam-malam lain, dan kegelapan yang lebih menyesatkan dari kegelapan lainnya yang diperuntukkan bagi musuh-musuh masjid dan orang-orang yang jauh dari baitullah. Jalan-jalan mereka diselimuti kegelapan, mereka berkata pada orang-orang mu’min: “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan Berkata kepada orang-orang yang beriman: “Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu”. dikatakan (kepada mereka): “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)” (Q.S. al-Hadid: 13). Tak ada cahaya bagi orang yang tak pantas memilikinya.

Sa’id bin al-Musayyab hanya memiliki satu buah mata. Para Tabi’in berkata: “(Itu karena) seringnya ia menangis karena takut pada Allah dalam keterjagaannya”.

Dengan sebelah mata inilah ia berangkat dalam kegelapan Madinah menuju masjid Nabawi. Di saat-saat sakaratul mautnya ia berkata sambil tersenyum: “Demi Allah, sejak empat puluh tahun yang lalu tidaklah seorang muadzin mengumandangkan adzan kecuali aku berada di masjid sebelumnya”.

Sebaliknya, orang lain makan dari rizki Allah, hidup dalam kuasa Allah, namun mereka lupa akan tugasnya, shalat hanyalah menjadi perhatian terakhir dalam hidupnya.

Tatkala Umar r.a. mengutus Sa’ad ke Qadisiah, ia merangkul pinggangnya, memasrahkan tentara padanya, dan berwasiat padanya dengan shalat. Ia berkata: “Allah, mintallah pertolongan pada Allah dengan shalat, sesungguhnya kalian tidak dapat dikalahkan kecuali jika kalian bermaksiat”.

Dahulu kala, ketika para sahabat dihinggapi rasa takut di tengah perang yang berkecamuk, di tengah pedang-pedang yang terhunus, tombak-tombak yang berterbangan, dan di tengah tubuh-tubuh yang bertumbangan di atas tubuh-tubuh lainnya, mereka meninggalkan barisan untuk melaksanakan shalat bersama sahabat-sahabat yang lain.

Suatu waktu para pendahulu kita mendatangi Kabul, ibukota Afganistan. Mereka yang telah menaklukan dunia dengan la ilaha illallah itu mengenakan kain kafan dan mengepung Kabul dari segala penjuru. Mereka tidak menginginkan apa-apa kecuali hidup dengan mulia atau mati di jalan Allah. “Katakanlah: “Tidak ada yang kamu tunggu-tunggu bagi kami, kecuali salah satu dari dua kebaikan” (Q.S. at-Taubah: 52). Yaitu kemenangan atau mati syahid.

Pengepungan itu dipimpin oleh pemimpin besar kita Qutaibah bin Muslim yang sebelum peperangan meletus menangis bersujud menundukkan wajahnya ke tanah memohon pertolongan pada Allah. Selepas shalat dhuhur, ia berkata pada seratus ribu pasukannya: “Beri tahu aku tentang Muhammad bin Wasi’, di manakah orang shaleh itu?” Muhammad bin wasi’ adalalah mufti para tentara, seorang imam yang zahid dan alim. Qutaibah berkata: “Kabarkan padaku di mana ia saat ini, saat di mana pertolongan turun dari langit, saat bangkitnya para ruh, saat surga dibuka dan bidadari menunggu para syuhada, saat malaikat berdatangan”.

Orang-orang mencari Muhammad bin Wasi’ dan mendapatinya sedang berlutut di atas tombaknya sembari mengangkat jari-jemarinya berdoa: “Ya Hayyu Ya Qayyum“.

Lalu mereka pun mengabarkannya pada Qutaibah. Seketika itu ia menangis dan berkata: “Demi Dzat yang menggengam jiwaku, sungguh jemari Muhammad bin Wasi’ lebih baik bagiku daripada seratus ribu ahli pedang yang perkasa atau seratus ribu pemuda yang segar bugar.

Maka perang pun meletuslah dan berakhir dengan kemenangan bagi kaum Muslimin. Mereka pun mendirikan shalat Ashar bersama di Kabul.

Itulah shalat yang merupakan kehidupan bagi jiwa. Shalat adalah ikatan dan janji antara manusia dengan Tuhannya. Oleh karenanya, ketika seorang Muslim menyia-nyiakan dan tidak mendirikannya dengan berjamaah padahal ia mampu, maka ia telah mendapatkan kehinaan karena ia telah memutuskan tali Allah dan mendapat laknat.

Wahai hamba Allah, sesungguhnya kebahagiaan kita, penjagaan Allah terhadap kita, dan kehidupan yang lapang yang kita nikmati adalah buah dari usaha kita menjaga janji kita pada Allah dalam shalat dan menasehati orang lain untuk memdirikannya.

Lukman a.s. berkata pada anaknya: “Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu” (Q.S. Lukman: 17). Sudahkah kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mendirikan shalat? Sudahkah kita shalat di awal waktunya? Sudahkah kita memiliki hasrat pada syiar agung yang dibawa oleh Rasulullah s.a.w. itu? Shalat adalah kehidupan.

Umar bin Khattab r.a. shalat shubuh dalam keadaan tertusuk. Ia berlumuran darah dan tak sadarkan diri saat shalatnya masih tersisa satu rakaat. Orang-orang pun kemudian membawanya pulang ke rumah. Lalu ia bertanya pada mereka: “Apakah aku sudah shalat?” Mereka menjawab: “Masih kurang satu rakaat”.

Kemudian ia bangun untuk shalat lalu pingsan. Lalu bangun lagi dan pingsan lagi. Begitu seterusnya hingga genaplah rakaatnya.

Ia berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi kekuatan untuk shalat. Allah, Allah dalam shalat, tidak ada keberuntungan dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat”.

Barang siapa menjaga shalat maka Allah pun menjaganya. Dan barang siapa yang menyia-nyiakan shalat maka Allah pun menyia-nyiakannya.

Bab XII: SIFAT-SIFAT WANITA BERIMAN

Segala puji bagi Allah Tuhan alam semesta, kekasih para shalihin. Tak ada permusuhan kecuali bagi orang-orang yang dzalim. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah pada Imam para muttaqin pemimpin bagi seluruh umat manusia, serta untuk kerabat, sahabat, dan para tabi’in.

Amma ba’du….

Bab ini membicarakan tentang beberapa sifat yang wajib dimiliki oleh wanita muslim.

Tema ini dipilih karena tiga alasan.

Pertama karena banyaknya fitnah yang kian merajalela

Kedua karena sedikitnya da’i, ulama, dan cendikiawan dari kaum wanita.

Ketiga agar risalah ini dapat bermanfaat atas izin Allah SWT.

Di awal masa-masa da’wahnya, Nabi s.a.w. pernah bersabda pada Fatimah r.a.: “Wahai Fatimah jagalah dirimu dari api neraka karena aku tidak berkuasa apapun atasmu di hadapan Allah”[122], muttafaq ‘alaih.

Saya berpesan pada semua wanita muslim yang beriman pada Allah dan hari akhir: “Jagalah diri Anda dari api neraka karena saya tidak dapat melindungi Anda dengan suatu apapun dari Allah”.

Dalam sebuah hadits shahih Nabi s.a.w. bersabda: “Aku pernah melihat neraka dan kebanyakan penghuninya adalah wanita”.

Seorang wanita berkata: “Wahai Rasulullah bagaimana keadaan para wanita?”

Nabi menjawab: “Mereka kafir”.

Ia bertanya lagi: “Apakah mereka menyekutukan Allah?”

Nabi menjawab: “Mereka durhaka pada suami-suami mereka dan mendapatkan laknat. Seandainya mau melihat pada salah satu dari para wanita, maka ia akan berkata aku tidak melihat satu kebaikan pun dari kalian”.[123]

Dalam sebuah hadits shahih, Nabi bersabda: “Waspadalah pada dunia dan waspadalah pada wanita karena kebanyakan fitnah yang menimpa Bani Israil disebabkan oleh wanita”.[124]

Beliau s.a.w. juga pernah bersabda: “Aku tidak meninggalkan suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi kaum laki-laki selain wanita”.[125]

Oleh karenanya, terdapat beberapa tipe wanita sepanjang sejarah sejak diciptakannya Adam hingga sekarang.

Dari beberapa tipe tersebut, terdapat wanita muslim yang taat, khusyu’, dan menjaga diri dengan penjagaan Allah. Kita dapat mengambil suri tauladan dari Sarah, istri nabi Ibrahim a.s.. Ia adalah seorang wanita yang menghambakan diri pada Allah, bersandar, dan berpasrah hanya pada-Nya. Ia menyerahkan dirinya pada Allah s.w.t., maka Allah pun menajaga dan memeliharanya dari kejelekan.

Suatu hari Nabi Ibrahim bersama istrinya, Sarah pergi ke Mesir. Pada waktu itu Mesir dikuasai oleh seorang raja yang lalim dan semena-mena. Maka ketika raja itu melihat Sarah, ia ingin merampasnya dari sisi Ibrahim a.s..

Ketika sang raja hendak menemuinya, ia mengambil wudhu, shalat, memasrahkan urusannya pada Allah, serta memohon agar dilindungi dari raja yang lalim itu.

Maka tatkala sang raja mendekati Sarah, kakinya menjadi kaku tak dapat bergerak. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia menyerah dan berkata pada orang-orang di sekitarnya: “Sesungguhnya kalian telah mendekatkan aku dengan wanita yang buruk rupanya, singkirkanlah ia dari hadapanku”.

Kemudian mereka menggantinya dengan seorang budak wanita.

Sarah berkata pada Ibrahim a.s.: “Allah telah menjauhkanku dari orang lalim itu dan menggantikanku dengan seorang budak”.

Hal ini merupakan sebuah pelajaran bagi para wanita, bahwasannya barang siapa yang berpegang teguh, bertawakal, serta berlindung hanya pada Allah, maka Allah akan melindunginya dan menjaga harga dirinya.

Kita juga dapat mengambil suri tauladan dari Hajar, istri Ibrahim a.s. yang lain, ibu dari Ismail a.s.. Ia adalah seorang wanita yang ‘abid, tawakal, taat, dan kuat keyakinannya.

Suatu waktu ia pergi bersama Ibrahim a.s. ke Makkah.

Kemudian Ibrahim a.s. hendak meninggalkannya di sana.

Ia berkata: “Karena siapa kau meninggalkan aku wahai Ibrahim”.

Ibrahim menjawab: “Karena Allah”.

Barang siapa mencukupkan diri dengan Allah maka Allah akan mencukupinya, barang siapa menjaga Allah maka Allah akan menjaganya, dan barang siapa berlindung pada Allah maka Allah akan melindunginya.

Hajar berkata: “Apakah Allah memerintahkanmu?”

Ibrahim: “Ya”.

Hajar menimpali: “Jika demikian, maka Ia tidak akan menyia-nyiakan kami (Hajar dan Ismail a.s. -pentj).

Ketika Ibrahim berlalu meninggalkannya, ia berdoa: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku Telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (Q.S. Ibrahim: 37).

Maka kemudian Allah memberi rizki pada mereka dengan buah-buahan, sebagaimana kita tidak pernah menjumpai adanya orang kelaparan di Makkah.

Orang-orang yang menunaikan ibadah haji tidak pernah mati kelaparan.

Dan tertariklah hati jutaan orang pada Makkah.

Tatkala Ismail kehausan Hajar bangun mencari air. Ia berlari-lari kecil di antara bukit Shafa dan Marwa, bolak-balik hingga tujuh kali.

Kemudian anaknya (Ismail a.s.) menghentakkan kakinya ke tanah dan memancarlah air.

Lalu ia mengumpulkan air itu, sambil berkata: “Zam zam”.

Sehubungan dengan kisah ini, Nabi dan Kekasih kita s.a.w. bersabda: “Zam-zam, walaupun telah ditinggalkan oleh Ibu Ismail rahimahullah akan tetap menjadi mata air yang terus mengalir”.[126]

Dalam kisah ini terdapat pelajaran bagi para wanita agar bertawakal pada Allah s.w.t..

Ketika Isma’il a.s. telah beranjak dewasa ia menikahi seorang wanita. Sayangnya wanita ini kurang bertawakal pada Allah, tidak berlindung pada-Nya, serta miskin hatinya.

Ia seperti halnya wanita-wanita lain yang menyukai harta duniawi. Jika ia kehilangan harta, perhiasan, dan pakaian dunia, hatinya menjadi sempit dan berkeluh kesah.

Suatu kali, Ibrahim a.s. dalam pengembaraannya menyebarkan tauhid bertolak dari Irak untuk mengunjungi anaknya, Ismail a.s.

Ketika telah sampai di Mekah, ia mendapati Ismail sedang pergi berburu di daerah Nu’man di bukit Arafah.

Ibrahim a.s. mengetuk pintu rumahnya, lalu keluarlah seorang wanita (istri Ismail a.s.) membukakan pintu. Ibrahim a.s. bertanya padanya: “Di mana suamimu?”, sedangkan ia tidak mengetahuinya.

Istri Ismail a.s. menjawab: “Ia pergi berburu”.

Ibrahim a.s. bertanya kembali: “Bagaimana keadaan kalian?’

Sang istri menjawab: “Dalam keputus-asaan, ketiadaan, kemiskinan, dan kesempitan”.

Lalu Ibrahim a.s. berkata: “Jika suamimu datang, sampaikanlah salamku padanya dan katakan padanya untuk mengganti pintu rumahnya”.

Maka ketika Ismail a.s. pulang pada sore harinya, ia bertanya pada istrinya: “Apakah ada seseorang yang datang?”

Istrinya menjawab: “Telah datang seorang yang sangat tua bersandar pada sebuah tongkat. Ia menanyakan dirimu, dan aku pun menceritakan keadaan kita. Lalu ia menitipkan salam untukmu dan berpesan untuk mengganti pintu rumah”.

Ismail a.s. berkata: “Ia ayahku dan kamu adalah pintu rumah ini! Pertemukanlah aku dengan keluargamu”.

Maka kemudian menikahlah Ismail dengan wanita lain.

Setelah beberapa lama Ibrahim datang kembali untuk berkunjung. Ia pun mengetuk pintu.

Keluarlah seorang wanita shalihah yang tawakal serta selalu berdzikir. Ibrahim a.s. bertanya padanya tentang suaminya.

Sang istri menjawab: “Ia sedang pergi berburu”.

Ibrahim a.s. bertanya lagi: “Bagaimana keadaan kalian?”

Sang istri menjawab: “Kami dalam keadaan baik, dalam hidup yang lapang, dalam keluasan, kenikmatan, dan kebahagiaan dari Allah”.

Lalu Ibrahim a.s. berkata: “Jika suamimu telah datang, sampaikanlah salamku untuknya dan sampaikanlah pesanku agar ia mempertahankan pintu rumahnya”.

Datanglah Ismail. Ia bertanya pada istrinya tentang apa yang telah terjadi dan istrinya pun menceritakannya.

Ismail berkata: “Orang tua itu adalah ayahku. Ia telah menyuruhku untuk mempertahankanmu, karena kau adalah wanita yang shalihah”[127].

Adapun istri Imran a.s. suatu kali pernah berdoa saat sedang melihat seekor burung bersama anaknya: “Ya Tuhanku berilah aku rizki dengan seorang anak laki-laki”.

Keturunan adalah suatu anugerah yang besar. Dan keturunan yang utama adalah anak yang giat lagi shalih.

Maka kemudian mengandunglah istri Imran. Ia berharap agar dikaruniai seorang anak laki-laki serta bernadzar pada Allah apabila harapannya tersebut terkabul maka kelak anaknya akan menjadi abdi Baitul Maqdis.

Akan tetapi ia dikaruniai Maryam. Ia berkata: “Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk” (Q.S. Ali Iman: 36). Aduhai betapa mulia perkataannya.

“Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya” (Q.S. Ali Imran: 37).

Jadilah maryam lebih baik dari kebanyakan laki-laki.

Ia menjadi seorang abid yang diberi rizki di setiap pagi dan sore sebagai karomah dari Allah untuknya.

Kemudian ia dianugerahi Isa bin Maryam, seorang rasul dan ulul azmi. Jadilah Isa a.s. sebagai buah hatinya.

Khadijah, istri Muhammad s.a.w. adalah wanita pertama dalam sejarah dakwah Islam.

Ketika Nabi s.a.w. pulang dari gua (Hira) setelah mengalami pertemuan pertama yang menakutkan dengan Jibril a.s. dengan gemetaran beliau bersabda padanya: “Selimutilah aku, selimutilah aku”.

Khadijah berkata: “Tidak, sungguh demi Allah, Ia tidak sedang menghinakanmu. Engkau adalah orang yang menyambung tali silaturahmi, bekerja keras, menolong orang yang berhak, mengangkat orang yang papa, dan menjamu para tamu”.[128]

Khadijah adalah cerminan sorang wanita yang mampu meringankan beban suami serta membantunya menghadapi kesulitan hidup.

Berbeda dengan wanita yang kering cinta kasihnya. Jika datang padanya kabar atau peristiwa yang tidak mengenakkan ia hanya bisa berkeluh kesah.

Dalam sebuah hadits shahih Nabi s.a.w. bersabda: “Wahai Khadijah, sesungguhnya Jibril menyampaikan salam untukmu dari Allah dan memberimu kabar gembira dengan sebuah rumah bersulam emas di surga di tempat yang tak ada keluh dan susah”.[129]

Surga di mana tidak ada rasa sedih dan lelah.

Para ulama menilai Khadijah sebagai wanita tercerdas dalam sejarah dakwah.

Ia adalah seorang saudagar yang mendermakan hartanya pada Muhammad s.a.w. agar menjadi pahala baginya dalam permulaan perjuangan dakwah.

Sifat-sifat wanita muslim:

Ada sepuluh sifat yang apabila dimiliki oleh seorang wanita maka ia pantas mendapatkan surga yang luasnya meliputi langit dan bumi.

Kita adalah saksi-saksi Allah di muka bumi ini.

Suatu ketika lewatlah dua jenazah wanita di hadapan Rasulullah s.a.w.. Orang-orang berkata menyaksikan keimanan jenazah yang pertama. Kamudian Nabi bersabda: “Ia telah diterima”.

Adapun jenazah yang kedua, orang-orang menyaksikan tentang keburukannya. Maka Nabi pun bersabda: “Ia telah diterima”.

Orang-orang bertanya-tanya tentang (sikap) Nabi tersebut.

Nabi menjawab: “Jenazah yang pertama kalian puji dengan kebaikan, maka aku pun berkata ia telah diterima di surga. Sedangkan jenazah yang kedua kalian puji dengan keburukan, maka aku pun berkata ia telah diterima di neraka. Bukankah kita ini adalah saksi-saksi Allah di bumi-Nya”.[130]

Sifat pertama: Beriman pada Allah s.w.t. yang selalu menemani di siang dan malam, di diam dan gerak, saat berdiri, duduk, maupun tidur.

Keimanan membuat jarak seseorang dengan Allah menjadi lebih dekat dari urat lehernya.

Wanita yang beriman selalu berdzikir mengingat Allah dalam keadaan sepi maupun ramai, dalam batin maupun lisan, dalam sempit maupun lapang.

Allah s.w.t. berfirman: Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan” (Q.S. at-Taubah: 72). Kata mu’minin ditujukan untuk laki-laki dan kata mu’minat ditujukan untuk perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Allah juga menyertakan kaum wanita dalam khitob agama.

Allah s.w.t. berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang” (Q.S. Maryam: 96).

Sebagian ulama berpendapat bahwa kata wudd (kasih sayang) pada ayat tersebut bermakna kasih sayang antara mereka (orang yang beriman dan beramal saleh) dengan Allah.

Sebagian ulama juga berpendapat bahwa wudd (kasih sayang) terletak dalam hati manusia.

Allah memberi rasa kasih sayang di hati setiap laki-laki muslim ketika mendengar kesalehan dan ketakwaan seorang wanita.

Allah s.w.t. berfirman: “Sesunggunya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik” (Q.S. al-Kahfi: 30).

Sifat wanita mu’min yang pertama adalah senantiasa merasa dekat dengan Allah setiap waktu, memelihara keimanan dan menumbuhkannya dengan dzikir, shalat sunah, tafakkur,serta dengan menyelami ayat-ayat Allah azza wa jalla.

Serta memahami bahwa kehidupan tidaklah sebatas emas dan perak.

Kehidupan bukanlah sekedar cinta (pada lawan jenis).

Terkadang wanita hidup tanpa suami, tanpa emas dan perak, namun dengan keimanan dan amal shaleh ia dapat hidup dengan bahagia dan sejahtera dengan izin Allah.

Akan tetapi bila seorang wanita tidak melaksanakan shalat lima waktu, tidak taat pada Allah, tidak melakasanakan kewajiban-kewajiban, serta tidak menutup auratnya, maka walaupun ia tinggal dalam istana, bepergian dengan kendaraan mewah, atau makan dengan makanan yang serba lezat, semua kenikmatan itu hanyalah akan menjadi laknat, kebencian, dan kemarahan dari Allah.

Firman Allah s.w.t.: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan” (Q.S. an-Nahl: 97)

Para ulama berpandangan bahwa ketentraman itu letaknya dalam hati. “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (Q.S. ar-Ra’d: 28).

Ketentraman seperti ini hanyalah dapat dirasakan oleh orang-orang yang beriman.

Sebagian orang hidup di kolong-kolong jembatan, akan tetapi mereka beriman pada Allah azza wa jalla.

Mereka merasa bahwa mereka telah mendapatkan semua kenikmatan dunia. Mereka pun hidup dalam kebahagiaan dan ketentraman.

Sebagian yang lain hidup di gedung-gedung pencakar langit, akan tetapi hidup dalam kesempitan dan kegelisahan.

Mengapa?

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia: “Ya Tuhanku, Mengapa Engkau menghimpunkan Aku dalam keadaan buta, padahal Aku dahulunya adalah seorang yang melihat?” Allah berfirman: “Demikianlah, Telah datang kepadamu ayat-ayat kami, Maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari Ini kamupun dilupakan” (Q.S. Toha: 124-126).

Adalah janji dari Allah bahwasannya orang-orang yang beriman dan beramal shalih akan dianugerahi kehidupan yang baik. Sedangkan orang-orang yang enggan berdzikir pada Allah, maka akan sengsaralah kehidupannya serta ditutup pintu-pintu rahmat darinya.

Allah s.w.t berfirman: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik” (Q.S. Ali Imran: 195).

Itu adalah balasan bagi orang-orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan. Sebaliknya Allah berjanji pada diri-Nya sendiri untuk memeberi adzab pada orang-orang kafir, orang-orang munafik baik yang laki-laki maupun perempuan. Na’udzu billah min dzalik.

Wanita munafik adalah wanita yang mengingkari shalat dan enggan melakukannya, serta ingkar pada kewajiban-kewajiban dalam agama. Dalam batinnya ia berkhianat pada suaminya, namun lahirnya menampakkan kekhusyu’an, ketaatan, dan istiqamah. Wanita semacam ini adalah wanita yang berkhianat pada Allah dan Rasul-Nya.

Sifat kedua: Tiggal dan tidak berkeliaran di luar rumah.

Para pembuat kerusakan di muka bumi menginginkan agar wanita Muslimah, khususnya di negara-negara Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah, dapat bebas berkeliaran di luar rumah.

Mereka ingin agar para wanita muslimah keluar dan mempertontonkan kemaluannya sebagaimana para wanita di Amerika, Inggris, atau Rusia. Mereka melakukannya dengan memasang artikel-artikel terkutuk di majalah-majalah mereka di perkantoran dan di pabrik-pabrik walaupun sebenarnya tidak sesuai dengan naluri wanita muslimah.

Semua itu agar para wanita muslimah meninggalkan rumah, anak-anak, agama, dan harga diri mereka.

Wanita muslimah berbeda dengan mereka.

Wanita muslimah bagaikan mutiara yang terjaga.

Allah berfirman kepada para wanita: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (Q.S. al-Ahzab: 33). Hendaknya para wanita berdiam dan tenang di rumah tempat tinggalnya.

Seseorang pernah bertanya pada Fatimah r.a.: “Apa wasiat paling utama yang harus dilakukan oleh para wanita?”

Fatimah r.a. menjawab: “Hendaknya mereka tidak melihat laki-laki dan laki-laki tidak melihat mereka”.

Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ketika seorang wanita keluar dari rumah suaminya dengan memakai wangi-wangian dan berdandan maka ia adalah seorang pezina”.[131]

Beliau s.a.w. bersabda: “Shalatnya para wanita di rumah lebih baik daripada shalat mereka di tempat lain, dan shalat mereka di kamar lebih baik daripada shalat mereka di rumah”.[132]

Maksudnya, wanita yang shalat di kamar tidurnya adalah lebih baik daripada shalat di bagian rumah yang lain.

Dan shalatnya wanita di rumah lebih baik daripada shalat mereka di masjid. Walaupun Nabi s.a.w. sendiri pernah bersabda: “Janganlah kalian menghalangi hamba-hamba Allah dari masjid”.[133]

Akan tetapi bagi para wanita, tetap di rumah, menjaga kemaluan, kesucian, dan harga diri mereka lebih penting di mata Allah azza wa jalla.

Oleh karenanya yang lebih wajib dilakukan oleh para wanita adalah melaksanakan wasiat Allah dan Rasul-Nya untuk tidak keluar dari rumahnya (tanpa maksud yang diperbolehkan oleh agama -pentj).

Al-Arab berkata: “Tak ada yang berhak melindungi wanita kecuali tiga hal, yaitu suaminya, rumahnya, dan kuburnya”.

Ketika seorang wanita keluar dari rumahnya maka artinya ia telah berbuat sia-sia. Na’udzu billah min dzalik.

Sifat ketiga: Menundukkan pandangan dan menjaga diri.

Allah berfirman tentang wanita yang pantas dinikahi: “Bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya”. Atau teman, seperti yang terjadi di negara-negara kafir Barat. Seorang wanita tidak boleh mempunyai teman kecuali suaminya sendiri.

Firman Allah s.w.t. tentang istri yang baik: “Wanita yang memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah Telah memelihara mereka” (Q.S. an-Nisa: 34). Istri yang baik adalah istri yang menjaga (harta, dan harga diri) suaminya ketika sedang tidak di rumah.

Nabi s.a.w. bersabda di hari Arafah, hari diumumkannya hak-hak manusia dan hak-hak wanita: “Janganlah kau singkap kelambumu bagi orang yang tak diizinkan oleh suamimu”.[134] Janganlah kita memperkenankan istri menerima tamu yang bukan muhrimnya ketika kita sedang tidak berada di rumah.

Allah s.w.t. berfirman: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya” (Q.S. an-Nur: 31). Dalam ragu dan syahwatnya, hendaknya wanita menundukkan pandangan dan tidak melihat laki-laki.

Hendaknya para wanita berusaha sedapat mungkin menjaga pandangannya dari laki-laki.

Sifat keempat: Menjaga lisan dari ghibah (membicarakan) dan namimah (menggunjing orang lain)

Firman Allah s.w.t.: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati?” (Q.S. al-Hujurat: 12).

Kebanyakan wanita suka membicarakan, mencela, dan menggunjing orang lain, atau khususnya wanita lain.

Oleh karenanya wanita wajib menjaga lisannya dari perbuatan-perbuatan dosa yang dapat menjerumuskannya ke dalam api neraka tersebut. Sebagaimana yang pernah diajarakan oleh Rasulullah s.a.w. agar para wanita tegas dan lugas dalam setiap perkataannya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar” (Q.S. al-Ahzab: 70-71).

Dalam sebuah hadits shahih Nabi s.a.w. bersabda: “Tidak akan masuk surga orang-orang yang suka berdusta”.[135] Dalam riwayat lain, beliau s.a.w. bersabda: “Tidak akan masuk surga orang-orang yang suka menggunjing”.[136] Artinya, orang-orang yang suka menambahi perkataan tidak akan masuk surga. Tentunya wanita termasuk dalam larangan ini, bahkan daripada laki-laki, mereka lebih banyak melakukan perbuatan-perbuatan dosa ini. Yaitu perbuatan membicarakan dan menggunjingkan orang lain seakan-akan seperti dalam sebuah diskusi.

Sifat kelima: Menjaga pendengarannya dari nyanyian, lagu, dan sejenisnya.

Menurut para ulama Islam lagu hukumnya adalah haram. Adapun orang yang berpandangan sebaliknya maka ia tidak berdalil dengan al-Qur’an dan Sunnah.

Hukum tentang keharaman lagu-lagu adalah sesuai dengan madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.

Firman Allah s.w.t.: “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah” (Q.S. Lukman: 6).

Dalam hadits riwayat al-Bukhari, Nabi s.a.w. bersabda: “Akan datang dalam umatku yang sebagian kaum yang menghalalkan ….., sutera, khamr (alkohol), dan ma’azif (sejenis alat musik senar)”. Mereka menghalalkannya setelah datang hukum tentang keharamannya.

Dan dalam hadits riwayat Ibn Khuzaimah dengan sanad yang shahih, beliau s.a.w. pernah bersabda: “Aku melarang dua macam suara yang bodoh dan penuh dengan maksiat, yakni suara (nyanyian) ketika mendapat kenikmatan, dan suara ketika mendapat musibah”.

Ada tiga akibat yang harus ditanggung oleh orang yang mendengarkan lagu-lagu:

Pertama : Hubungannya dengan Tuhan terputus.

Kedua : Tidak mencintai al-Qur’an, dzikir, hadits dan jalan hidup Nabi.

Ketiga : Allah mengharamkan baginya mendengarkan nyanyian surga.

Ibn Qayyim pernah berkata:

Ibn Abbas bersenandung, Tuhanku mengirim angin semilir di dahan-dahan

Membunyikan suara-suara alam yang menyejukkan hati setiap manusia

Janganlah kau terlena dengan rayuan dawai yang bernyanyi-nyanyi

Inilah balasan bagi orang-orang yang mendengarkan lagu-lagu.

Bagi sebagian ulama lagu-lagu adalah pengantar pada perbuatan zina.

Oleh karenanya wajib bagi para wanita muslimah untuk menjauhkan rumah dan pendengarannya dari hal kotor tersebut agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat.

Sifat keenam: Memuliakan suami, memenuhi hak-haknya, menentramkan hatinya, serta taat pada Allah dengan mentaati suami.

Sabda Rasulullah s.a.w.: “Sesungguhnya bagi wanita jika ia mendirikan shalat lima waktu, berpuasa di siang hari, dan mentaati suaminya, maka ia berhak masuk surga Tuhannya”.

Pantaskah seorang istri masuk surga jika dalam ketaatannya pada Allah ia tidak taat pada suaminya?

Istri yang taat pada suaminya adalah istri yang menentramkan hati suaminya ketika pulang.

Wajahnya mengembangkan senyuman.

Menenangkan kegelisahan suaminya.

Tidak mengeluh saat berbicara.

Tidak menuntut sesuatu yang memberatkan suaminya.

Menjaga diri ketika suaminya pergi.

Tidak membantah ketika suaminya berbicara.

Mendidik anak-anaknya dengan ajaran Islam.

Tidak melawan perintah suami.

Sifat ketujuh: Hidup sederhana serta tidak boros dalam sandang, pangan, dan papan.

Firman Allah s.w.t.: “Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya” (Q.S. al-Isra: 27).

“Dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan” (Q.S. al-An’am: 141).

“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian” (Q.S. al-Furqan: 67).

Wajib bagi wanita muslimah untuk berperilaku sederhana dalam urusan pribadi dan urusan rumah tangganya, serta tidak membebani suami dengan hal-hal yang kurang bermanfaat di luar kemampuannya.

Sesungguhnya rumah tangga dapat hidup bahagia walaupun tak memiliki peralatan yang modern, ataupun perabot-perabot yang baru dan mahal.

Bahkan banyaknya permintaan dan tuntutan terhadap suami terkadang dapat membuahkan permasalahan antara suami-istri yang dapat berujung pada hal-hal yang tak diinginkan.

Hendaknya wanita muslimah berorientasi untuk menafkahkan kelebihan hartanya dengan bersedekah daripada membelanjakannya untuk hal-hal yang sia-sia yang akan dikenakan pertanggungjawaban di hari kiamat.

Suatu hari Mu’awiyah r.a. memberi seratus ribu dinar pada Ummul Mu’minin, Aisyah r.a.. Di hari yang sama Aisyah r.a langsung menyedekahkannya dan mengesampingkan keperluan pribadinya. Padahal pada hari itu Aisyah r.a. sedang berpuasa dan akhirnya hanya berbuka dengan segelas air dan kurma.

Sifat kedelapan: Tidak berperilaku seperti laki-laki

Hendaknya para wanita muslimah menghindari berperilaku seperti laki-laki dalam berjalan, berbicara, berpakaian, dan segala sesuatu yang identik dengan laki-laki.

Serta tidak merubah apa-apa yang telah Allah ciptakan dalam dirinya.

“Sungguh Allah malaknat wanita-wanita yang berperilaku seperti laki-laki.”[137]

Allah melaknat al-washilah dan al-mustaushilah.[138] Al-Washilah adalah wanita yang menyambung rambutnya agar orang-orang mengira bahwa rambutnya panjang. Begitu pula orang yang melakukan hal tersebut pada orang lain.

Sedangkan al-Mustaushilah adalah wanita yang mengajak wanita lain untuk menyambung rambutnya.

Allah juga melaknat an-namishoh, al-mutanamishoh, al-wasyimah, al-mustausyimah, dan al-mutafalijah.[139] An-namishoh adalah wanita yang mencukur alisnya. Hal seperti ini telah dilakukan oleh kebanyakan wanita, semoga Allah memberi petunjuk pada mereka.

Al-Wasyimah adalah wanita yang menyuntikkan cairan hitam atau merah ke pipi atau bibir untuk memperindahnya.

Sedangkan al-Mutafalijah adalah wanita yang membentuk giginya sedemikian rupa. Kesemuanya itu adalah tindakan yang merubah apa yang telah Allah ciptakan dalam diri seorang wanita.

Betapa mulianya wanita yang ridha pada apa yang telah diciptakan atas dirinya dan mempercantiknya dengan cara yang halal tanpa melakukan perkara haram yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Sifat kesembilan: Bersemangat dalam ketaatan, shalat sunah, puasa, dan sedekah.

Demikianlah! “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (Q.S. al-Baqarah: 286).

Wanita menghabiskan banyak waktunya di rumah khususnya bersama anak-anak.

Namun, jangan sampai hal ini membuatnya lupa akan peruntungannya sendiri, terutama al-Qur’an dan dzikir, karena keduanya ringan dalam lisan namun berat dalam timbangan pahalanya.

Yang demikian itu hanya bisa dicapai dengan mengatur dan tidak menyia-nyiakan waktu, khususnya di saat-saat yang longgar dan sepi di pagi hari.

Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa wanita muslimah harus berorientasi pada ibadah semata hingga ia seakan-akan menjadi biarawati yang tidak mengetahui apa-apa kecuali sajadah di rumahnya. Kemudian ia tidak memenuhi kewajibannya pada suami karena alasan ibadah.

Tidak, tidak demikian…. kesemuanya itu adalah ibadah.

Hendaknya setiap wanita muslimah bersemangat pada ibadah dan mengabdi pada suami. Yaitu dengan cara menyambutnya dengan wewangian, kecantikan, dan kerapian.

Seorang penyair berkata memuji istrinya:

Hatiku bagaikan dipenuhi dengan semerbak wangi minyak misik

Setiap kau di sampingku wahai Zainab wanita terharum di dunia

Setiap jiwa tertarik pada keharuman dan keindahan. Hendaknya setiap wanita muslmah memahaminya.

Sifat kesepuluh: Menjalankan amar ma’ruf nahi mungkar, serta menyeru pada kebaikan pada sesama wanita.

Lelaki tidak dapat berdakwah pada wanita. Mereka tidak dapat berkhalwat dengan wanita dan tidak mengetahui permasalahan-permasalahan wanita secara langsung.

Sedangkan wanita dapat membaur di tengah perempuan-perempuan lain karena mereka sama. Kemudian dapat mempengaruhi dan menarik mereka pada kebaikan dengan kata-kata, hadiah, tulisan, dan lain sebagainya.

Aku berdoa semoga Allah memberikan taufiknya padaku dan pada seluruh umat Muslim. Dan semoga Allah membaikkan pasangan dan keturunan kami, dan menjadikan mereka sebagai penyejuk hati kami.

Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘ala sayyidina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallim…

***

Bab III: JANGANLAH DURHAKA PADA SUAMI

Segala puji bagi Allah. Shalawat serta salam bagi asyraful mursalin, Nabi kita Muhammad s.a.w. dan bagi seluruh keluarga dan sahabatnya.

Amma ba’du….

Diriwayatkan oleh Ibn Abbas r.a., Nabi s.a.w. bersabda: “Diperlihatkan padaku neraka, kebanyakan penghuninya adalah wanita yang durhaka”.

Sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka durhaka (kafir) pada Allah?

Nabi s.a.w. menjawab: “Mereka durhaka pada ihsan, dan durhaka pada suami. Jika suatu waktu kamu berbuat baik (ihsan) pada salah satu dari mereka, lalu di lain waktu mereka melihatmu kembali, mereka berkata: “Aku tak melihat satu kebaikan pun darimu” HR. al-Bukhari.

Hadits di atas mempunyai korelasi dengan sebuah hadits lain. Diriwayatkan suatu ketika Rasulullah s.a.w. hendak melaksanakan shalat Id bersama orang-orang.

Beliau menunggu sejenak hingga matahari naik kira-kira sepenggalah tombak. Lalu beliau mengenakan pakaiannya, pakaian yang penuh dengan keindahan dan kerendahan hati. Kemudian menuju orang-orang yang telah menunggu.

Beliau menyampaikan mukadimahnya yang indah dan menggugah hati, kemudian menyampaikan wahyu Allah yang diturunkan padanya dari langit.

Setelah selesai berbicara di hadapan para jama’ah (laki-laki), kemudian beliau berpaling pada jama’ah wanita di sisi lain masjid. Inilah dalil yang melarang bercampurnya laki-laki dan wanita.

Dari sini juga dapat diambil sebuah pelajaran bahwasannya wanita muslimah boleh menghadiri majlis kebajikan di mana ia dapat mendengarkan kalimat-kalimat yang bermanfaat, ajaran-ajaran Islam, serta ceramah-ceramah yang berfaedah.

Namun, untuk melakukan perbuatan yang mulia itu disyaratkan pada mereka agar menjaga pandangan, senantiasa bertakwa pada Allah, serta menjaga nama baik suami dan dirinya sendiri.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Umi Utoyyah, Nabi s.a.w. memerintahkan wanita yang sedang haid, wanita merdeka, dan wanita pingitan untuk melaksanakan shalat Id di luar rumah.[140] Adapun wanita haid yang hadir hanya berada di luar masjid untuk mendengarkan mau’idzoh dan khutbah. Inilah dalil yang menunjukkan bahwa wanita yang sedang haid tidak boleh memasuki masjid atau mushola tempat orang-orang shalat.

Walau demikian menurut Abu Daud, wanita lebih baik shalat di rumah daripada di masjid.[141]

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Aisyah r.a. pernah berkata: “Andai Rasulullah s.a.w. menyaksikan apa yang dilakukan oleh para wanita sepeninggalnya, sungguh beliau akan melarang mereka sebagaimana dilarangnya wanita-wanita bani Israil.[142]

Apa jadinya bila Aisyah r.a. menyaksikan fenomena yang terjadi sekarang ini. Apa jadinya jika ia melihat wanita-wanita berkeliaran dengan bersolek. Apa jadinya jika ia melihat laki-laki dan wanita bercampur baur. Dan apa jadinya jika ia menyaksikan lemahnya iman dan sedikitnya pengetahuan tentang sunnah dan syari’ah? Semoga Allah memberikan ampunan dan keselamatan pada kita.

Tatkala Nabi s.a.w. telah selesai berkhutbah di hadapan jama’ah laki-laki, beliau berkata pada muadzinnya, Bilal bin Ribah: “Mari kita menuju ke jama’ah wanita”.

Maka beliau menuju ke hadapan jama’ah wanita dan menyampaikan ceramah yang telah ia sampaikan (pada kaum lelaki) sebelumnya.

Setelah mengucapkan hamdalah dan shalawat pada utusan-Nya, kalimat pertama yang beliau sampaikan pada para wanita adalah: “Bersedekahlah, sungguh aku melihat kebanyakan dari kalian adalah ahli neraka”.

Lalu berdirilah salah satu dari wanita yang hadir, ia berkata: “Apa yang terjadi hingga kebanyakan dari kami adalah ahli neraka? Apa tanda-tanda yang menunjukkan bahwa kebanyakan dari kami adalah ahli neraka? Apa sebabnya? Dan apa alasannya?

Sampai di sini ada dua pelajaran yang dapat dipetik. Yang pertama, bagi para pencari ilmu hendaknya suka berdiskusi. Dan yang kedua, bagi wanita muslimah jika belum paham tentang suatu permasalahan hendaknya bertanya serta meminta fatwa pada orang alim.

Lalu Nabi s.a.w. menjawab: “Karena kalian banyak mengumpat -kata ini berasal dari hadits Abi Sa’id- dan durhaka pada suami. Aku tidak menjumpai wanita-wanita yang lebih pendek akal dan agamanya yang dapat meruntuhkan hati laki-laki bijaksana seperti kalian” [143]

Maka kemudian bersedakahlah para wanita itu dengan perhiasan dan segala apa yang mereka miliki. Bilal pun kemudian menyedekahkan pakaiannya. Semua sedekah tersebut diberikan untuk kepentingan baitul mal milik seluruh kaum muslimin.

Sabda Rasul dalam hadits di atas menyebut wanita dengan orang yang pendek akal dan agamanya. Yang dimaksud dengan pendek akalnya adalah karena persaksian dua orang wanita senilai dengan persaksian satu orang laki-laki. Hal ini karena wanita sering lupa. Perhatian mereka terhadap urusan rumah tangga dan urusan pribadinya merupakan beberapa faktor yang membuat mereka sering lupa dan susah mengingat.

Adapun kata “pendek agamanya” karena kaum wanita mengalami haid yang membuat mereka terhalangi dari puasa dan shalat.

Hal ini bukanlah bermaksud untuk menistakan kaum wanita sebagaiamana anggapan sebagian dari mereka.

Lantas bagaimana? Allah s.w.t. berfirman: “Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain” (Q.S. Ali Imran: 195).

Di antara mereka ada wanita-wanita yang alim, memiliki keutamaan, bertakwa, serta berbakti.

Di antara kami adalah Fatimah dan Fatimah-Fatimah lain yang mulia

Di antara kami adalah Zainab dan Zainab-Zainab lain yang berbakti

Demi Allah, andai roda sejarah berhenti berputar saat ini juga

Sungguh betapa banyak yang mulia di antara kami masih tersisa

Rasulullah s.a.w. hidup berdampingan dengan wanita sebagai seorang ayah karena ia memiliki anak perempauan. Beliau hidup bersama wanita sebagai saudara laki-laki karena memiliki saudara perempuan. Beliau hidup bersama wanita sebagai suami karena memiliki beberapa istri. Beliau juga hidup bersama wanita sebagai kerabat karena memiliki bibi (dari keluarga ayah dan ibu).

Beberapa pelajaran dari hadits di atas:

Pertama: Keutamaan sedekah baik bagi laki-laki maupun perempuan karena sedekah dapat menyelamatkan manusia dari neraka.

Wahai hamba-hamba yang menyeru la ilaha illallah, wahai anak cucu Muhammad Rasulullah s.a.w., bersedekahlah…

Apa itu sedekah?

Sedekah tidak dibatasi oleh banyak atau sedikitnya.

Sedekah yang paling ringan di antaranya adalah senyuman, perkataan yang baik, atau menyingkirkan sesuatu yang merintangi jalan.

Adapun sedekah yang utama adalah sesuai dengan firman Allah s.w.t. berikut ini: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui” (Q.S. al-Baqarah: 261).

Dalam sebuah hadits shahih Nabi s.a.w. bersabda: “Sedekah dapat menghapuskan dosa”.[144]

Sabda Rasulullah s.a.w.: “Ketika seorang Muslim bersedekah dengan hasil usahanya yang baik, karena Allah hanya menerima baik-baik, Dia akan menerimanya dengan ridha-Nya lalu mengumpulkannya sebagaimana kau mengumpulkan bebatuan hingga setinggi bukit Uhud”. [145]

Dalam hadits shaih yang lain Nabi s.a.w. bersabda: “Pada hari kiamat setiap manusia berada dalam naungan sedekahnya hingga ditunaikanlah (setiap hak) di antara mereka”.[146] Dan sebuah hadits dalam as-Sahihain: “Setiap fajar menyingsing dua malaikat menyeru, salah satunya berkata: Ya Allah berilah ganti bagi orang yang bersedekah, sedangkan yang lain berkata: Ya Allah berilah kerugian bagi orang yang enggan (bersedekah)”.[147]

Sedekah bermacam-macam jenisnya. Sedekah yang paling agung dan mulia -sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Qayyim- adalah sedekah ilmu. Kemudian sedekah jiwa, yakni dengan mencucurkan darah di jalan Allah dan dengan mengorbankan jiwa dan raga untuk-Nya.

Orang-orang yang dermawan

Bila sahabatnya memanggil meminta bantuan

Kedua bola matanya mengembang meski belum tidur

Salah satu dari sifat kedermawanan adalah menyedekahkan waktu. Kita dapat mengambil keteladanan dari beberapa muhsinin dan shalihin yang menyerahkan waktunya untuk kaum muslimin siang dan malam. Tidak ada kata istirahat atau tidur baginya, melainkan seluruh waktunya telah ia dermakan untuk urusan umat.

Apabila ia tidur maka hanya kedua matanyalah yang terlelap, sedangkan hatinya yang mulia tetap hidup selamanya.

Ini adalah sifat yang dimiliki oleh para ahli muru’ah. Mereka mendermakan dirinya dengan mendermakan waktunya.

Sifat kedermawanan lainnya adalah menyedekahkan harta. Orang yang dermawan dengan hartanya tidak akan melewatkan orang-orang yang sedang membutuhkan tanpa bersedekah terlebih dahulu.

Rasulullah s.a.w. sangat menekankan sedekah pada para wanita karena ada sebagian wanita yang kurang bisa menjaga lisannya. Mereka sering mencaci, menghina, bahkan berserapah atas orang lain. Itu merupakan perbuatan dosa dan tiada yang dapat menghapus dosa kecuali bersedekah. Nabi s.a.w. menasehati kaum wanita untuk bersedekah dengan kerudung-kerudung mereka, pakaian, perhiasan, harta, atau dengan perbuatan yang terpuji. Semuanya itu akan diterima di sisi Allah s.w.t.

Ketika Rasulullah s.a.w. memerintahkan para jama’ah wanita untuk bersedekah di masjid, salah seorang yang ikut hadir dalam jama’ah adalah Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud r.a.. Setelah mendengar nasehat rasul tersebut, ia langsung beranjak pulang ke rumahnya untuk mengambil perhiasan, emas, dan peraknya. Ketika hendak keluar dari rumah ia bertemu dengan suaminya. Suaminya bertanya: “Mau kemana?”

Zainab: “Menyedekahkan perhiasan-perhiasan ini”.

Abdullah bin Mas’ud: “Aku dan anak-anakmu lebih berhak untuk menerima sedekah itu”.

Zainab: “Tidak, hingga aku menanyakannya pada Rasulullah”.

Lalu ia pergi ke rumah Rasulullah. Di sana ia bertemu dengan Bilal yang berjaga di depan pintu.

Zainab: “Aku ingin bertemu dengan Rasulullah”.

Bilal: ” Siapa kamu?”

Zainab: “Aku Zainab, istri Abdullah bin Mas’ud”.

Dari sini dapat dipetik pelajaran bahwasannya dalam Islam diperbolehkan mengetahui nama seorang wanita, asalakan wanita tersebut adalah wanita yang berakal sehat, lurus, serta dapat menjaga diri.

Masuklah Bilal menemui Rasulullah s.a.w., ia berkata: “Zainab meminta izin untuk bertemu”. Saat itu di Madinah terdapat sekitar tujuh orang wanita yang bernama Zainab.

Sambil tersenyum Rasulullah s.a.w. bertanya: “Zainab yang mana?”

Bilal: “Zainab istri Abdullah bin Mas’ud”.

Setelah diizinkan, maka masuklah Zainab dan menanyakan permasalahannya pada beliau s.a.w.. Rasulullah bersabda: “Ibn Mas’ud benar. Suami dan anak-anakmu adalah orang yang paling berhak untuk kau sedekahi”.

Maka pulanglah Zainab dan menyedekahkan perhiasannya pada suaminya yang faqir itu.[148]

Dari hadits ini dan sebagaimana yang telah difatwakan oleh para ahlul ilmi dapat disimpulkan bahwa wanita boleh memberikan zakat mal (zakat atas harta yang dimiliki)nya pada suaminya yang fakir.

Kedua: Pengertian kafir (durhaka).

Redaksi dari hadits di atas menggunakan kalimat “تكفرن العشير”. Kata kafir (durhaka) berasal dari akar kata kafaro. Kafaro bermakna ghotho (menutup).

Jika kita mengatakan “Aku mengafiri (kafir terhadap) tanaman itu” ini berarti kita memendamnya (dengan tanah).

Jika kita berkata: “Dia kafir terhadap perbuatan baik itu”, artinya dia telah menafikannya (tidak mengakui).

Orang kafir disebut dengan kafir karena mereka mengingkari (durhaka pada) kebaikan Allah, mereka mengingkari dan membantah ayat-ayat Allah.

Allah s.w.t. berfirman: “Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)” (Q.S. al-Fath: 29). Tentang ayat ini sebagian mufassir berpendapat bahwa pengertian orang kafir di sini adalah orang yang kafir pada tanaman-tanaman. Mereka menyia-nyiakannya dan memendamnya dengan tanah.

Sebagian mufassir lain berpendapat bahwa pengertian kafir dalam ayat tersebut adalah pengertian kafir yang sebenarnya yaitu orang yang kafir pada Allah, Rasul, dan hari akhir.

Kemudian yang dimaksud dengan kata العشير pada hadits di atas adalah suami. Makna ‘asyir sebenarnya adalah pergaulan (kebersamaan). Firman Allah s.w.t. “Dan bergaullah dengan mereka (istrimu) secara patut (dengan baik)” (Q.S. an-Nisa: 19). Oleh karenanya, salah satu faktor yang dapat menyebabkan seorang wanita masuk neraka yaitu karena durhaka pada kebaikan suaminya.

Watak dasar wanita adalah ingkar -kecuali mereka yang dikasihi Allah-. Jika suami berbuat baik pada mereka maka mereka mengingkarinya -kecuali istri yang shalihah, bertakwa, dan taat beribadah.

Berkat pertolongan Allah, Rasulullah s.a.w. dapat memahami keinginan, ketakutan, dan segala permasalahan yang dirasakan kaum wanita serta memberi solusi atasnya. Beliau hidup dengan sembilan orang istri dan mampu menyelami kedalaman hati dan perasaan mereka. Kemudian beliau mengajarkan pengalamannya tersebut pada semua orang.

Suatu ketika, Rasulullah s.a.w. didatangi seorang lelaki yang mengeluh tentang istrinya. Lalu beliau bersabda: “Mereka (wanita) bagaikan musuh yang dapat menghancurkan orang-orang yang kalah (lemah)”.[149] Dengan kata lain wanita sulit untuk mengalah.

Abu Ayyub r.a. mengunjungi rumah Abdullah bin Ummar r.a., seorang ahli ibadah di kalangan sahabat. Tatkala memasuki rumahnya, ia mendapati dindingnya dilapisi dengan kain. Lalu Abu Ayyub pun bertanya-tanya tentang kemewahan yang berlebihan itu. Abdullah bin Umar menjawab: “Istriku yang memaksaku berbuat demikian, wahai Abu Ayyub!!”

Suatu hari datanglah seorang laki-laki pada Umar bin Khatab r.a.. Ia bermaksud untuk menceritakan keluhan tentang istrinya. Ketika ia di ambang pintu rumah Umar tiba-tiba terdengar suara jeritan istri Umar yang keras melebihi kerasnya suara Umar sendiri.

Seketika hati kecilnya berkata: “Aku datang kesini menemuimu untuk minta tolong wahai Umar, tetapi ternyata engkau juga butuh pertolongan”.

Lalu ia pun mengetuk pintu dan menceritakan keluh kesahnya.

Umar yang bijaksana berkata: “Sesungguhnya kehidupan itu harus dijalani dengan adil. Istriku itu telah mengabdi padaku, ia membuatkan aku roti, dan mencucikan pakaianku. Maka tidak adil rasanya jika aku tidak lembut padanya”.

Kewajiban suami adalah memahami perasaan istri dan menasehatinya dengan lembut.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, suatu ketika Rasulullah s.a.w. mengunjungi rumah putrinya Fatimah r.a. untuk menanyakan perihal Ali r.a.. Kemudian Fatimah menjawab: “Barusan aku marah padanya, lalu ia (Ali) pun keluar (dari rumah)”.[150] Kedua pasangan itu sedang bertengkar.

Pertengkaran pun dapat terjadi antara Ali dan Fatimah. Lantas bagaiamana dengan pasangan-pasangan lain?

Adalah wajib bagi seorang wanita untuk taat pada Allah dengan taat pada suaminya. Diriwayatkan dengan shahih dari Abu Amamah r.a., bahwasannya Rasulullah s.a.w. pernah bersabda: “Jika seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa di siang hari, dan taat pada suaminya, maka ia akan masuk surga”.[151]

Oleh karenanya janganlah mengingkari ma’ruf (kebaikan). Sungguh kehinaan manusia disebabkan oleh keingkarannya pada ma’ruf.

Jika kamu memuliakan orang yang mulia kamu akan mendapat kemuliaan

Jika kamu memuliakan orang yang hina kamu akan mendapat kehinaan

Kemarahan seseorang atas orang lain merupakan cerminan dari pengingkaran terhadap ma’ruf dengan melupakan kebaikan yang pernah diberikan oleh orang lain. Lalu pantaskah seorang istri durhaka pada suami yang telah memberikan kebaikan padanya?

Ketiga: Rasulullah s.a.w. meluangkan sebagian waktunya untuk berkhutbah dan berbicara pada kaum wanita baik dalam pengajian umum maupun tidak.

Suatu hari Asma’ bin Yazid r.a. datang pada Rasulullah s.a.w., ia berkata: “Wahai Rasulullah, kaum lelaki telah menyita waktumu dari kami. Mereka berhaji bersamamu, bepergian, dan berjihad bersamamu. Maka berikanlah waktumu barang sehari untuk kami”.

Lalu Rasulullah menoleh pada para sahabat dan bersabda: “Apakah kalian pernah mendengar perkataan yang lebih indah dari ini?”

Lantas beliau pun berjanji untuk memberikan waktunya pada hari Senin.[152]

Diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah membaiat kaum perempuan secara langsung (berhadapan), seperti yang beliau lakukan pada Hidun binti Utbah yang datang padanya untuk berbaiat. Ketika membaiat kaum wanita Rasulullah s.a.w. mengajukan beberapa persyaratan pada mereka, di antaranya yakni tidak boleh menentang beliau dalam kebaikan, menuanaikan kewajibannya dalam urusan rumah tangga, dan lain sebagainya.

Rasulullah s.a.w. senantiasa mendengarkan dan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh para wanita. Mereka pun tidak malu untuk bertanya pada beliau untuk mendalami ajaran agama. Berapa banyak hadits telah mengabadikan pertanyaan-pertanyaan kaum wanita pada beliau s.a.w..

Dalam hadits-hadits tersebut telah direkam berbagai pertanyaan yang telah diajukan oleh para sahabat dari kaum wanita seperti Fatimah binti Abi Habisy r.a., Hamnah binti Jahsy r.a., Hindun bin Utbah r.a., atau Umi Anas r.a. Mereka bertanya tentang masalah-masalah pribadinya, dan Rasulullah pun menjawabnya dengan antusias tanpa membuat mereka merasa tertekan.

Oleh karenanya wajib bagi para ulama untuk menyempatkan sebagian waktunya untuk memberi mau’idzoh pada kaum wanita serta menjawab setiap pertanyaan tentang kehidupan sehari-hari mereka, misalnya seperti masalah haid, nifas, dan sebagainya. Karena Islam memperhatikan kaum lelaki dan perempuan dan tidak menganakemaskan yang satu dengan yang lain.

Kewajiban wanita selanjutnya adalah menghiasi diri dengan akhlak dan ketaatan dalam mengarungi kehidupan rumah tangga bersama suami. Menjaga harga dirinya sendiri serta menjaga harta suami hingga tak ada satu orang pun dapat memasuki rumah mereka kecuali hanya atas izin suami. Tidak bersolek (kecuali hanya untuk suami), tidak kecentilan, dan tidak mengkhianati kepercayaan suami ketika sedang tidak bersamanya. Ketika seorang wanita melakukan hal itu maka ia telah menghinakan dirinya sendiri dengan sehina-hinanya, hilanglah hak-hak dalam kehidupan rumah tangga, serta putuslah jalinan kasih sayang antara keduanya. Mari kita sama-sama berlindung pada Allah dari wanita yang berbuat demikian. Allah s.w.t. berfirman: “(Maka wanita yang saleh) ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka)” (Q.S. an-Nisa: 34). Wanita yang menjaga Allah adalah wanita yang ketika sedang tidak bersama suaminya mampu menjaga kehormatan diri serta menjaga harta benda suaminya.

Wanita juga mempunyai beberapa hak yang harus dipenuhi oleh suami. Wanita berhak mendapatkan kasih sayang, perlakuan lembut, pakaian yang pantas, serta berhak mendapatkan nafkah. Wanita juga berhak mendapatkan perhatian dalam ketaatan pada Allah atas sebagian waktu suami. Suami wajib bersabar atas istrinya karena wanita diciptakan dari tulang rusuk (laki-laki) yang bengkok.

Wallahu a’lam, wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallim.

***

Bab IX: HADITS UMMU ZARA’

Diriwayatkan oleh Sulaiman bin Abdurrahman dan Ali bin Hajar dari Aisyah r.a: suatu ketika berkumpullah sebelas wanita. Mereka berjanji untuk tidak menutupi suatu apapun tentang keadaan suami-suami mereka.

Wanita pertama berkata: “Suamiku bagai daging unta yang kurus di atas sebuah gunung yang tinggi nan terjal untuk didaki”.

Lalu wanita kedua berkata: “Suamiku, aku tak tahu harus berkata apa, yang kutahu hanyalah isi perutnya”.

Wanita ketiga: “Suamiku orang yang aneh, jika aku bicara ia menceraikanku, namun jika aku diam ia menggantungkanku”.

Wanita keempat: “Suamiku seperti malam tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tak ada ketakutan dan kebosanan”.

Wanita kelima: “Suamiku, bila di rumah seperti macan kumbang, bila di luar seperti singa, kehebatannya tak perlu diragukan lagi”.

Wanita keenam: “Suamiku, jika makan tak menoleh, jika minum kepalanya mendongak ke atas, jika tidur berpaling, tak ada kehangatan di sela-sela jemarinya”.

Wanita ketujuh: “Suamiku orang yang bodoh lagi ceroboh. Segala sesuatu adalah masalah baginya. Ia membuatmu kesal dan dapat melukaimu”.

Wanita kedelapan: “Suamiku, sentuhannya selembut sutera, wanginya sewangi bunga Zarnab”.

Wanita kesembilan: “Suamiku, hatinya sekeras baja, luas halamannya, ringan tangannya, serta lebar pintunya”.

Wanita kesepuluh: “Suamiku bagai seorang raja. Tiada raja yang lebih kaya darinya. Ia punya banyak unta yang tetap di kandangnya. Jika mereka mendengar suara pintu diketuk berarti maut telah menjelang”.

Wanita kesebelas: “Suamiku Abu Zara’. Tahukah kalian siapa Abu Zara’? Ia bagai permata yang berkilauan, bagai mentari menyinari bumi. Ia senantiasa menyanjungku, dan aku pun terbuai. Keluargaku awalnya hanya punya kambing yang kurus-kurus, lalu ia datang membawa unta, unggas, dan kuda yang banyak. Di sampingnya aku bisa berbicara sesuka hati tanpa takut. Bersamanya aku dapat tidur pulas hingga pagi, dan minum hingga kembung”.

“Ibu Abu Zara’. Tahukah kalian siapa ibu Abu Zara’? Wanita tambun yang luas rumahnya”.

“Putra Abu Zara’. Siapa putra Abu Zara’? Sepotong kaki kambing sudah cukup mengenyangkannya, alas tikar sudah cukup menidurkannya”.

“Putri Abu Zara’. Siapa putri Abu Zara’? Perempuan yang taat pada ayah ibunya. Baktinya membuat para tetangga iri hati”.

“Pembantu Abu Zara’. Siapa pembantu Abu Zara’? Kami tak perlu khawatir terhadapnya. Ia mampu menjaga harta benda dan menjaga ketenangan rumah kami”.

“Suatu hari Abu Zara’ keluar membawa kantung susunya. Ia bertemu seorang wanita bersama dua anak manis yang sedang bermain-main memegangi pinggang ibunya. Lalu ia pun menikahinya dan menceraikanku. Setelah bercerai aku menikah dengan seorang lelaki yang murah hati. Ia bagai pangeran yang menunggang kuda dengan tombak di tangannya. Ia memberiku kenikmatan dan kemakmuran tiada tara. Ia menjadi suami yang sempurna di sisiku. Ia berkata: “Nikmatilah semua ini bersama keluargamu, wahai Umu Zara”. Walau demikian, semua kenikmatan yang ia berikan padaku takkan pernah bisa memenuhi bejana Abu Zara’”.

Diriwayatkan dari Aisyah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda padanya: “Aku padamu seperti Abu Zara’ pada Ummu Zara’”.[153]

Hadits (Ummu Zara’) di atas adalah salah satu hadits paling aneh (sulit dipahami) yang pernah diriwayatkan dalam kitab-kitab sunnah. Hadits tersebut sedikitnya telah disyarah oleh sepuluh orang ulama. Di antaranya yang paling terkenal adalah syarah yang ditulis oleh al-Qadhi ‘Iyad, seorang ulama dari Maroko, serta syarah Ibn Hajar sepanjang tiga halaman. Hadits tersebut adalah hadits yang menakjubkan. Di dalamnya terkandung sedikitnya tujuh belas faidah yang dapat dipetik. Berikut ini saya akan mencoba membahas faidah-faidah tersebut atas izin Allah swt.

Al-Bukhari dalam kitabnya, bab pergaulan yang baik dalam keluarga, mengatakan: “Bagaimana seorang muslim dapat berinteraksi dengan baik dalam keluarga? Dalam kemesraan? Dalam kelembutan? Serta dalam kasih sayang?”. Kemudian beliau menjawab dengan meriwayatkan hadits-hadits yang berisi tentang perlakuan Rasulullah s.a.w. terhadap Aisyah r.a., istrinya. Dalam hadits-hadits tersebut kita mendapati betapa Rasulullah s.a.w. di sela-sela kesibukan dan tanggung jawabnya pada setiap urusan dan kepentingan umat, beliau masih menyempatkan waktunya untuk mendengarkan setiap kata yang diucapkan oleh Aisyah r.a., seperti berbincang-bincang tentang hadits Ummu Zara’ di atas.

Inilah kelembutan dan kebersahajaan yang dimiliki oleh Rasulullah s.a.w.. Dalam hal ini Allah s.w.t. berfirman:

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu” (Q.S. Ali Imra: 159).

Aisyah r.a., yang meriwayatkan hadits ini, adalah putri dari Abu Bakar r.a.. Abu Bakar adalah orang sangat kuat hafalannya dan sangat fasih lisannya. Ia mampu menghafal banyak riwayat hidup, silsilah keluarga (nasab), cerita-cerita, serta syai-syair. Bila Abu Bakar berbicara di hadapan orang-orang Arab maka semuanya diam terhanyut. Seperti kata pepatah, buah tak jatuh jauh-jauh dari pohonnya, ia mewariskan keistimewaannya tersebut pada putrinya, Aisyah r.a.

Kuatnya tongkat tak jauh dari kuat kayunya

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya

Rasulullah s.a.w. senang mendengarkan cerita-cerita dari Aisyah r.a., bahkan beliau sering memintanya bercerita tentang kejadian-kejadian yang dialami orang-orang di sekelilingnya. Hal ini karena kuatnya hafalan yang dimiliki oleh Aisyah r.a.. Sebagaimana yang dikatakan oleh az-Zuhri, Aisyah r.a. hafal 80.000 bait syair, ia sangat memperhatikan segala hal yang terjadi di sekelilingnya hingga ia hafal peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian tentang orang yang semasa dengannya maupun cerita-cerita tentang orang Arab terdahulu.

Di suatu pagi yang tenang Rasulullah s.a.w. duduk bersenda gurau bersama istrinya tercinta Aisyah r.a.. Aisyah berkata pada beliau s.a.w.: “Wahai Rasulullah, dahulu kala ada sebelas orang wanita berkumpul[154] saat suami-suami mereka keluar rumah. Mereka semua sepakat dan berjanji tidak akan menutupi sesuatu apapun tentang keadaan suami masing-masing”.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hajar dan para ahli ilmu lainnya, bahwasannya ketika kaum wanita berkumpul maka kebanyakan perbincangan mereka adalah seputar masalah lelaki, sedangkan ketika kaum pria berkumpul maka kebanyakan perbincangan mereka adalah seputar masalah penghidupan.

Aisyah r.a. melanjutkan perkataannya: “Mereka bersumpah atas nama Allah bahwa tidak akan ada satu pun dari mereka yang berbohong pada yang lain dalam hal tersebut. Mereka juga bersepakat tidak akan menyembunyikan sesuatu apapun tentang keadaan suaminya. Maka dengan bersumpah demi Allah, berkatalah salah satu dari mereka mengawali: “Suamiku bagai daging unta yang kurus di atas sebuah gunung yang tinggi dan terjal untuk didaki”.

Wanita ini bermaksud merendahkan suaminya. Karena daging unta adalah daging yang paling rendah kualitasnya dan yang paling keras dibandingkan dengan daging-daging hewan lainnya. Para dokter memperingatkan agar berhati-hati dengan daging ini karena dapat mengganggu kerja hati. Dalam budaya Arab pada masa itu, memisalkan seseorang dengan unta adalah sebuah ungkapan ejekan atas kekikiran dan kelemahan seseorang.

Adapun perumpamaan “sebuah gunung yang tinggi” bermakna kesia-siaan. Karena jika seseorang mencoba untuk mendakinya maka tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali daging unta yang kurus tadi itu.

Ibn Taimiyah pernah menggunakan ungkapan ini untuk menjawab pertanyaan seseorang tentang ilmu mantiq (logika) dan filsafat. Ia berkata: “Ilmu mantiq dan filsafat bagai daging unta yang kurus di atas sebuah bukit yang tinggi dan terjal untuk didaki”.

Wanita kedua: “Suamiku, aku tak tahu harus berkata apa, yang kutahu hanyalah isi perutnya”.

Wanita ini tidak mampu untuk mengungkapkan semua kejelekan yang ada pada suaminya. Oleh karenanya ia hanya menggunakan satu kata yang padat dan singkat, yakni isi perut.

Dalam budaya Arab isi perut bermakna cacat dan aib seseorang (karena setiap kejelekan bermula dari apa yang dimakan-pentj). Isi perut juga dapat bermakna kegelisahan dan kesedihan.

Setelah ditinggal Rasulullah s.a.w., istri tercintanya Fatimah, serta para khalifah pendahulunya Abu Bakar, Umar, dan Utsman, kemudian umat menjadi tercerai berai, sedangkan ia dikhianati oleh kaum Khawarij, Ali r.a berdoa: “Ya Allah, aku memasrahkan seisi perutku pada-Mu”. Menurut para ulama perkataan Ali r.a. tersebut bermakna: “Ya Allah, aku memasrahkan semua kegelisahan dan kesedihanku atas semua yang menimpaku, atas segala musibah dan bencana yang sedang kuhadapi”.

Wanita ketiga: “Suamiku orang yang aneh, jika aku bicara ia menceraikanku, namun jika aku diam ia menggantungkanku”.

Orang yang aneh dalam perkataan wanita ketiga ini berarti psikopat atau orang yang mudah marah atas hal yang tidak pantas membuatnya marah. Menurut Ibn Hajar sifat seperti ini disebabkan karena tidak dapat menyatunya akal dan hati seseorang. Sifat seperti ini merupakan sifat yang tercela. Para ulama berpendapat bahwa orang yang marah bukan pada tempatnya adalah orang yang dungu.

Karena ke-psikopat-an suaminya, jika wanita tersebut berbicara maka ia akan dicerai. Namun jika ia diam ia digantungkan statusnya. Artinya, ia tidak dicerai dan tetap serumah dengan suaminya, namun tidak diberi nafkah batin. Sebagaimana firman Allah s.w.t.: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung” (Q.S. an-Nisa: 129).

Wanita keempat: “Suamiku seperti malam tihamah, tidak panas dan tidak dingin, tak ada ketakutan dan kejemuan”.

Malam tihamah adalah malam yang terang bercahaya. Angin sepoi-sepoi berhembus dari lautan bercampur dengan kehangatan siang hari yang belum hilang membuat udara terasa hangat. Orang Hijaz menyebutnya sebagai malam yang terbaik. Wanita keempat mengibaratkan suaminya seperti malam tihamah karena pembawaannya yang tenang, shaleh, baik, lembut, serta tawadhu’ senantiasa menenangkan dan menentramkan hatinya.

Tidak panas dan tidak dingin bermakna kehangatan dan kelembutan hati suaminya. Ia marah di saat harus marah dan bergembira di saat harus bergembira dengan tidak berlebihan. Karena sebagian manusia ada yang beku perasaannya sehingga ia tidak dapat merespon sekelilingnya. Imam Syafi’i mengibaratkan manusia yang semacam ini dengan keledai.

Wanita kelima: “Suamiku bagai macan kumbang saat di rumah, dan bagai singa saat di luar. Tak perlu diragukan lagi kehebatannya”.

Macan kumbang adalah sejenis harimau yang relatif lebih kecil daripada singa. Para ulama berbeda pendapat tentang makna perumpamaan ini, apakah bermaksud memuji atau mengejek. Salah satu sifat dari macan kumbang adalah banyak tidur. Bila sifat ini yang digunakan dalam perumpamaan tersebut maka artinya adalah ejekan.

Al-Jahidz berpendapat bahwa binatang yang paling banyak tidurnya tidak lain adalah macan kumbang. Binatang ini lebih banyak tidurnya daripada bangunnya. Bila ia lelah sedikit maka ia merebahkan diri hingga mungkin bila saat itu ada seekor tikus melewati kepalanya ia tak akan menyadarinya.

Sedangkan sisi baiknya yakni macan kumbang adalah binatang yang paling pemalu. Yang lebih mengagumkan lagi, dikatakan bahwa macan kumbang jantan bila bertemu dengan yang betina maka akan berpaling karena malu. Jika sifat ini yang dijadikan sebagai pijakan dalam perumpamaan tersebut maka hal ini bermakna memuji.

Adapun perumpamaan seperti singa saat di luar rumah bermakna keberanian suaminya, karena singa adalah binatang yang paling berani dibandingkan dengan binatang-binatang lain.

Wanita keenam: “Suamiku makannya seperti monster, minumnya seperti unta, jika tidur berpaling, tak ada kehangatan di sela-sela jemarinya”.

Wanita ini bermaksud menggambarkan betapa rakus suaminya saat makan. Jika makanan telah dihidangkan maka suaminya itu selalu menghabiskannya dan tidak menyisakan sedikit pun. Ia melahap semua hidangan dengan kedua tangannya. Orang Arab tidak menyukai sifat rakus dan cara makan yang seperti ini.

Perumpamaan “minumnya seperti unta” bermakna bahwa jika suaminya minum tenggorokannya bersuara karena teramat banyak air yang ia teguk. Perumpmaan ini juga dapat bermakna bahwa cara minum suaminya yakni dengan menjulurkan kepalanya ke gelas bukan dengan meneguknya. Hal ini karena di saat yang sama kedua tangannya penuh dengan makanan yang siap dilahap. Dalam Islam kita diajarkan untuk menggunakan etika dalam makan dan minum. Saat minum hendaknya kita meneguknya sedikit demi sedikit dan jangan sampai bersuara karena hal ini dapat mengganggu perasaan orang lain.

Dalam ungkapan “jika tidur berpaling” wanita keenam menggambarkan bahwa saat tidur suaminya memalingkan tubuh darinya. Suaminya seakan-akan membuat sebuah batas yang tak boleh dilewati dan tak mau mendekati dirinya. Hal semacam ini adalah perbuatan yang tercela dan dapat melukai hati pasangannya.

Sedangkan ungkapan “tak ada kehangatan di sela-sela jemarinya” bermakna bahwa suaminya itu sering sakit hingga tak bisa memberikan kehangatan pada dirinya. Ungkapan ini juga dapat bermakna bahwa suaminya tak bisa bersikap lembut dan memperhatikannya dengan penuh kehangatan.

Rasulullah s.a.w. senantiasa bersikap lembut pada keluarga, saudara-saudara perempuannya, istri-istrinya, serta pada anak-anak perempuannya. Beliau s.a.w. sering memeluk pundak, membelai rambut, dan menggenggam tangan istri-istrinya dengan penuh kehangatan sebagai ungkapan cinta dan kasih sayangnya. Rasulullah s.a.w. juga memperlakukan para sahabatnya dengan penuh kehangatan, terkadang beliau menggenggam tangan mereka lalu meletakkannya di dadanya saat bertatap muka.

Wanita ketujuh: “Suamiku orang yang bodoh lagi ceroboh. Segala sesuatu adalah masalah baginya. Ia membuatmu kesal dan dapat melukaimu”.

Sifat bodoh dan ceroboh lelaki ini membuatnya seakan-akan menjadi seperti anak-anak. Atau mungkin sifat kekanak-kanakan inilah yang membuatnya menjadi bodoh dan ceroboh.

Karena kebodohan dan kecerobahannya ini segala sesuatu yang dilakukan olehnya dapat menimbulkan masalah. Lelaki ini tidak dapat melakukan suatu pekerjaan dengan tenang hingga terkadang ia dapat melukai dirinya sendiri atau orang lain di dekatnya. Semoga Allah menjauhkan kita dari sifat-sifat semacam ini.

Wanita kedelapan: “Suamiku, sentuhannya selembut sutera, wanginya sewangi bunga Zarnab”.

Wanita ini memuji sikap dan perilaku suaminya yang amat lembut padanya selembut benang sutera. Serta memuji kebaikan dan kehangatan suaminya seperti bunga Zarnab yang wangi. Zarnab adalah suatu jenis tanaman yang menebarkan bau harum yang banyak tumbuh di daerah Najjad.

Ada sebuah syair yang semisal dengan ini

Betapa lembut perangai dan lisanmu

Seakan-akan tumbuh di atasnya bunga Zarnab

Wanita kesembilan: “Suamiku, hatinya sekeras baja, luas halamannya, ringan tangannya, serta lebar pintunya”.

Ungkapan “hatinya sekeras baja” melambangkan keberanian. Wanita yang kesembilan ini memuji keberanian suaminya yang pantang merasa takut menghadapi setiap masalah yang ada di depan matanya.

“Luas halamannya” melambangkan kehormatan dan kemuliaan. Ia membangun, memperkokoh, dan memperindah rumahnya di atas jalan serta niat yang lurus (menghormati tamu-pentj).

Ibrahim a.s. sangat menghormati tamu yang berkunjung ke rumahnya. Ia memperkokoh rumahnya dengan dinding dari batu. Rumahnya bagaikan istana yang memiliki dua pintu. Ibrahim a.s. berkata pada orang-orang agar berkunjung ke rumahnya: “Barang siapa yang mau mengawali harinya dengan masuk dan keluar dari pintu ini (pintu rumahnya) maka semoga ia mendapatkan kemuliaan yang abadi”. Bahkan beliau a.s. berkata pada para budak dan pelayannya: “Barang siapa dari kalian yang bisa mendatangkan seorang tamu untuk datang kemari hari ini maka ia bebas (dari status budak) dengan izin Allah”.

“Ringan tangannya” melambangkan kedermawanan. Ia selalu menjamu para tamunya dengan semua hidangan yang ada di dapur rumahnya.

Sedangkan ungkapan “lebar pintunya” melambangkan kepedulian dan keramahannya. Ia selalu ada bagi semua orang yang membutuhkan. Ia selalu siap bila ada yang meminta pertolongan.

Wanita kesepuluh: “Suamiku bagai seorang raja. Tiada raja yang lebih kaya darinya. Ia punya banyak unta yang tetap di kandangnya. Jika mereka mendengar suara pintu diketuk berarti maut telah menjelang”.

Wanita ini memuji suaminya dengan keluhuran budinya. Suaminya memiliki banyak unta. Bila ada tamu yang berkunjung maka ia segera mengambil pisau untuk menyembelih unta miliknya.

Ia bagaikan samudera dari mana pun kau memandang

Perahu-perahu kedermawanan dan kemuliaan berlayar di sana

Jika bukan ruh yang berada di tangannya maka sungguh ia akan memberikannya

Bertakwalah orang-orang di sekitarnya

Wanita kesebelas: “Suamiku Abu Zara’. Tahukah kalian siapa Abu Zara’? Ia bagai permata yang berkilauan, bagai mentari menyinari bumi. Ia senantiasa menyanjungku, dan aku pun terbuai. Keluargaku awalnya hanya punya kambing yang kurus-kurus, lalu ia datang membawa unta, unggas, dan kuda yang banyak. Di sampingnya aku bisa berbicara sesuka hati tanpa takut. Bersamanya aku dapat tidur pulas hingga pagi[155], dan minum hingga kembung”.

Wanita ini bernama Ummu Zara’. Sedangkan suaminya bernama Abu Zara’. Abu Zara’ memiliki pembawaan yang lembut, terbuka, serta penuh kasih sayang bagai permata yang menarik hati setiap wanita. Abu Zara’ memberi setiap jenis kenikmatan pada Ummu Zara’ seperti matahari menyinari bumi. Ia sering melontarkan pujian yang membuat istrinya merasa tersanjung. Ia merubah keadaan hidup istri dan keluarganya dengan kekayaan yang melimpah. Walau demikian, ia tetap bersikap lembut hingga istrinya tak pernah merasa sungkan untuk mengungkapkan isi hatinya. Ia tak pernah menuntut sesuatu yang berlebihan hingga istrinya dapat tidur dengan pulas dan makan hingga kenyang.

“Ibu Abu Zara’. Tahukah kalian siapa ibu Abu Zara’? Wanita tambun yang luas rumahnya”.

Ibu Abu Zara’ adalah seorang wanita kaya yang tentram hidupnya. Hal ini tercermin dalam bentuk tubuhnya.

“Putra Abu Zara’. Siapa putra Abu Zara’? Sepotong kaki kambing sudah cukup mengenyangkannya, alas tikar sudah cukup menidurkannya”.

Anak laki-laki Abu Zara’ adalah seorang pria yang giat dan bersahaja. Ia makan dan tidur dengan cara yang sederhana.

“Putri Abu Zara’. Siapa putri Abu Zara’? Perempuan yang taat pada ayah ibunya. Baktinya membuat para tetangga iri hati”.

Anak perempuan Abu Zara’ adalah wanita yang penurut dan berbakti pada kedua orangtuanya. Kecantikan wajah dan budinya membuat orang-orang di sekitarnya terpesona, serta membuat para orang tua iri hati pada ayah-ibunya.

“Pembantu Abu Zara’. Siapa pembantu Abu Zara’? Kami tak perlu khawatir terhadapnya. Ia mampu menjaga harta benda dan menjaga ketenangan rumah kami”.

Keluarga Abu Zara’ mempunyai pembantu yang tahu bagaimana harus bersikap dan sadar akan tugas-tugasnya. Ia tak mau menyia-nyiakan harta benda majikannya, serta tak pernah membuat ulah yang dapat mengganggu ketenangan rumah majikannya.

“Suatu hari Abu Zara’ keluar membawa kantung susunya. Ia bertemu seorang wanita bersama dua anak manis yang sedang bermain-main memegangi pinggang ibunya. Lalu ia pun menikahinya dan menceraikanku. Setelah bercerai aku menikah dengan seorang lelaki yang murah hati. Ia bagai pangeran yang menunggang kuda dengan tombak di tangannya. Ia memberiku kenikmatan dan kemakmuran tiada tara. Ia menjadi suami yang sempurna di sisiku. Ia berkata: “Nikmatilah semua ini bersama keluargamu, wahai Umu Zara”. Walau demikian, semua kenikmatan yang ia berikan padaku takkan pernah bisa memenuhi bejana Abu Zara’”.

Abu Zara’ mempunyai banyak hewan ternak yang beberapa di antaranya dapat diambil susunya. Suatu hari Abu Zara’ pergi keluar rumah untuk memberikan sekantung susu pada seseorang. Di tengah perjalanan ia bertemu dengan seorang janda yang sangat cantik dan segar seperti gadis remaja. Wanita itu sedang bermain-main dengan kedua anaknya yang manis-manis seperti seperti buah delima yang meranum. Abu Zara’ pun terbuai oleh kecantikan janda itu. Lalu ia menceraikan Ummu Zara’, istrinya, dan menikahi janda itu. Setelah diceraikan oleh Abu Zara’, Ummu Zara’ kemudian menikah kembali dengan seorang lelaki kaya yang dermawan. Ia memiliki banyak hewan ternak seperti unta, sapi, dan kambing. Ia tidak hanya baik pada Ummu Zara’ seorang melainkan juga pada keluarga Ummu Zara’ yang lain. Namun, bagi Ummu Zara’ seluruh kenikmatan yang telah diberikan oleh suami barunya tak pernah bisa menyamai apa-apa yang pernah diberikan oleh Abu Zara’. Hati Ummu Zara’ tetap tak dapat melupakan Abu Zara’.

Pelajaran yang dapat diambil dari hadits di atas:

Suami wajib berinteraksi dengan keluarganya dengan baik. Ia bisa mengajak bicara keluarganya tentang segala hal selama tidak mengarah pada hal-hal yang tidak diperbolehkan.

Suami boleh menyanjung istrinya selama sanjungan tersebut tidak membuat sang istri menjadi takabur padanya. Hal ini karena wanita biasanya pendek akalnya, sehingga bila suami menyanjung-nyanjungnya secara berlebihan dapat membuatnya lupa diri serta berbuat sesuka hatinya untuk menunjukkan bahwa suami lemah di hadapannya.

Tidak diperkenankan membangga-banggakan seseorang karena harta bendanya. Namun, diperbolehkan membanggakan seseorang karena agamanya. Wanita-wantia dalam hadits tersebut saling membagakan diri dengan urusan dunia, padahal Rasulullah s.a.w. mengajarkan bahwasannya kebanggaan semata-mata karena ketakwaan dan agama. Beliau s.a.w. juga mengajarkan bahwasannya sifat yang paling utama dalam diri seseorang adalah keshalehan dan akhlak yang mulia.

Hadits tersebut berisi tentang wanita yang menyebutkan kebaikan-kebaikan suaminya. Ciri-ciri wanita mu’min yang berakal sehat serta takut pada Allah adalah jika ia bercerita tentang suaminya pada orang lain maka ia menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Dan apabila orang-orang bertanya tentang keadaan suaminya maka ia akan menjawab dengan yang baik-baik, bahwa suaminya adalah orang yang shaleh dan istiqamah, serta bersyukur pada Allah atasnya. Semua itu dapat mengangkat derajat seorang wanita di hadapan Allah s.w.t. dan menjadi pahala yang besar baginya.

Seorang suami boleh menyanjung salah satu istrinya di hadapan istri-istrinya yang lain. Rasulullah s.a.w. sering menyanjung Aisyah r.a., bahkan terkadang memberinya hadiah di hadapan tetangga dan istri-istrinya yang lain. Hal semacam ini tidaklah mengurangi keadilan beliau s.a.w. terhadap para istrinya karena beliau adalah orang yang paling adil, bijaksana, dan bersahaja di dunia ini.

Suami boleh berbincang-bincang dengan istrinya yang lain walaupun bukan pada hari gilirannya.

Hadits tersebut membicarakan tentang keadaan umat terdahulu dan menjadikannya sebagai i’tibar. Oleh karenanya kita diperbolehkan membicarakan cerita-cerita nenek moyang kita bersama teman-teman atau para sahabat karena di dalamnya ada pelajaran dan pengalaman yang dapat diambil.

Diriwayatkan dari Jabir bin Samrah: “Selepas shalat shubuh Rasulullah s.a.w. duduk bersama kami dan berbincang-bincang tentang cerita-cerita kaum jahiliyah, kami pun tertawa dan beliau s.a.w. hanya tersenyum”.

Diperbolehkan berbincang-bincang seputar fenomena-fenomena yang terjadi di sekitar kita. Pendapat ini memang berbeda dengan pandangan kalangan sufi yang menganggap bahwa hal semacam itu hanyalah perbuatan yang membuang-buang waktu semata. Namun, diriwayatkan bahwasannya Rasulullah s.a.w. senantiasa membicarakan dan mendengarkan tentang apa-apa yang terjadi di sekitarnya. Oleh karenanya tidak mengapa jika kita bersama teman-teman kita membicarakan tentang ekonomi, budaya, serta fenomena-fenomena lainnya.

Hadits ini menganjurkan para wanita agar setia pada suaminya, tidak mengacuhkannya, serta menerimanya apa adanya. Inilah adab yang Allah ajarkan pada kita. Istri wajib bertakwa pada Allah dengan bertakwa pada suaminya. Meskipun mungkin suaminya adalah orang yang cacat, seorang istri wajib bersyukur atasanya dan tidak diperkenankan baginya berbicara dan mengeluhkan kecacatan suaminya itu di hadapan orang lain.

Akan tetapi, terkadang menceritakan kekurangan suami diperbolehkan asalkan ia menceritakannya dengan sopan dan demi kebaikan ia dan suaminya.

Boleh menceritakan kejelekan-kejelekan seseorang selama diniatkan agar dapat bersama-sama menghindarinya dan selama tidak menyebutkan nama orang tersebut secara khusus agar tidak terjerumus dalam ghibah. Wanita-wanita dalam hadits ini hidup di zaman jahiliyiah saat belum diturunkannya hukum tentang keharaman ghibah.

Sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hafidz Ibn Hajar, bahwasannya dalam Islam seorang istri tidak diperbolehkan menceritakan aib suaminya kecuali demi kemaslahatan. Kemaslahatan di sini misalnya jika seorang wanita mengeluh tentang suaminya pada hakim karena suaminya adalah orang yang bakhil, buruk akhlaqnya, semena-mena, atau karena tidak mau memberi nafkah batin padanya.

Hindun, istri Abu Sufyan pernah mengeluh pada Rasulullah s.a.w., ia berkata: “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang kikir”.

Rasulullah menjawab: “Ambilah hartanya untukmu dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik”.[156] Keluhan Hindun ini dilandasi oleh kemaslahatan.

Wanita dianjurkan agar tidak semata-mata mencari suami karena status bujangannya (belum mempunyai istri). Akan tetapi, hendaknya ia mencari suami karena kebaikannya, agamanya, keistiqomahannya, dan kebaikan akhlaqnya. Hal ini karena terkadang wanita yang menikah dengan lelaki yang sudah mempunyai tiga orang istri dapat hidup bahagia melebihi wanita yang menikah dengan lelaki yang masih bujangan. Karena inti dari kehidupan rumah tangga adalah agama, cara hidup, dan akhlaq.

Cinta dapat membutakan hati wanita. Dalam hadits ini diceritakan betapa Umu Zara’ senantiasa mengagung-agungkan, bahkan pada sisi-sisi tertentu terkesan mendewa-dewakan mantan suaminya, Abu Zara’ meskipun ia telah disakiti dan diceraikan olehnya.

Abu Tamam berkata:

Begitu banyak hal di dunia yang dapat menarik hati

Namun, hanya cinta pertama yang dapat

membuatnya tenggelam dalam kerinduan abadi

Diperbolehkan menceritakan ciri-ciri seorang wanita selama tidak melebihi batas kewajaran dan tidak melanggar wilayah pribadinya. Karena menceritakan hal-hal pribadi seseorang adalah dilarang.

Selama tidak mempersulit diri sendiri kita boleh berbicara atau berkata-kata dengan sajak. Sajak adalah merangkai beberapa kalimat dengan huruf yang sama di akhir setiap kalimatnya. Sajak dapat memperindah perkataan, namun bila melebihi batas dan mempersulit diri sendiri maka berubah menjadi perbuatan yang tercela.

Pada masa Rasulullah s.a.w. ada seorang wanita memukul wanita lain yang sedang hamil hingga gugur kandungannya. Lalu mereka berdua mendatangi Rasulullah untuk mengadukan kejadian tersebut. Rasulullah s.a.w. kemudian memberi putusan dengan mengharuskan pelaku pemukulan tersebut untuk membayar diyah (denda) pada korban. Mendengar keputusan tersebut, lalu berdirilah salah seorang keluarga wanita yang melakukan pemukulan tersebut, seraya berkata:

Bagaimana diyah (denda) dapat dipenuhkan

Oleh orang yang tak mengetahui dan memaksudkan

Oleh orang yang tak minum dan tak makan

Lalu Nabi s.a.w. bersabda: “Ia bersajak seperti para penyihir mengucapkan mantra”.[157] Rasulullah mencelanya karena bersajak mempersulit dirinya sendiri. Dalam al-Qur’an dan Hadits Nabawi terdapat sajak, akan tetapi sajaknya indah dan menentramkan hati.

Rasulullah s.a.w. bersabda pada Aisyah: “Aku seperti Abu Zara’”. Dalam hadits tersebut diceritakan bahwa Abu Zara’ bercerai dengan istrinya, Umu Zara’. Persamaan yang dimaksudkan Rasulullah dalam sabdanya bukanlah bermaksud menyamakan dirinya dengan Abu Zara’ dalam hal perceraian.

Dua hal yang seumpama tidak selalu sama atau mirip dalam semua hal. Bahkan dapat berbeda dalam banyak hal. Ketika kita mengatakan: “Muhammad sangat berani seperti singa”. Kalimat ini tidak lantas berarti bahwa kuku, kulit, atau mata Muhammad juga seperti singa. Akan tetapi, kemiripan Muhammad dengan singa tersebut hanyalah pada keberaniannya semata.

Dalam hadits tersebut terdapat pujian-pujian terhadap suami. Hal ini diperbolehkan selama tidak membuatnya menjadi takabur.

Hadits Umu Zara’ ini telah disyarah oleh banyak ulama. Salah satunya adalah al-Qadhi ‘Iyyad yang telah membahasnya dalam sebuah kitab yang tebal. Al-Hafidz Ibn Hajar berkata: “Aku pernah menulusuri seberapa banyak orang yang telah mensyarahi hadits ini, jumlahnya kurang lebih sekitar sepuluh ulama”.

Dalam bab ini saya telah berusaha mengungkapkan beberapa hikmah, faedah, dan segala kelembutan serta sisi-sisi menarik hadits ini bagi para pencari ilmu yang mungkin akan sulit memahaminya. Hal ini karena dalam hadits ini terdapat beberapa kata yang asing di telinga dan sulit dipahami.

Wallahu a’lam, wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallim.

***

[1] Thobroni, Majmu’ Az-Zawaid (677), Tafsir Qurtubi (Surat al-Isro: 23-24, Jilid 5/338)

[2] HR. Bukhori (7368), dan Muslim (212, 216)

[3] HR. Bukhori (2238), dan Muslim (6900)

[4] HR. Bukhori (5834), dan Muslim (6452)

[5] HR. Bukhori (5847), dan Muslim (6472,6473)

[6] Sirah Ibn Hisyam (411/2), dan Sunan al-Baihaqi al-Kubro (18648)

[7] Thobroni, “as-Shoghir” (195), al-Bani mendho’ihkannya dalam kitab “al-Irwa (838). Adapaun hadis Rasulullah Saw: “Engkau dan hartamu milik bapakmu” ini shohih dalam Ahmad (688), Sunan al-Baihaqi(16052), Ibn Majah (2358), al-Irwa (383).

[8] HR. Bukhori (5848), dan Muslim (6472, 6473)

[9] HR. Bukhori (No. 5850), dan Muslim (No. 6470)

[10] HR. Muslim (6699)

[11] HR. Bukhori (7256, 7287, 7388), dan Muslim (6919)

[12] HR. Bukhori (4445)

[13]HR. Bukhori (5851)

[14] Riwayat Bukhori (6485), dan Ahmad (22125)

[15] HR Abu Daud (1499), Turmudzi (3705), Ahmad(196), Ibn Majah (2965)

[16] Ibn Sa’d, Jami’ al-Ahadits wa al-Marasil (6537), dan al-Fath al Kabir (4538).

[17] HR Bukhori (3991), dan Muslim (6307, 6308)

[18] HR Turmudzi (3105), Ibn Majah (194), dan Ibn Hiban (6908)

[19] HR Muslim, (4841), Turmudzi (3106), dan ad-Darmi (2412)

[20] HR Al-Baihaqi, dalam as-Sunan (12921), al-Hakim (2450), dan Majmu’ az-Zawaid (15652)

[21] HR Ahmad (11506), Ibn Abi Syaibah dalam al-Mushonaf (3533), Abd bin Hamid dalam al-Muntakhob (911).

[22] Siroh Ibn Hisyam (2/379), dari Abu Ya’la melalui Tsabit bin Qays (3775), dan dari Ahmad (15494), Ibn Hiban (6898).

[23] Siroh Ibn Hisyam (1/502)

[24] Muslim (4871), Ahmad (12144), Baihaqi dalam as-Sunan (18283)

[25] Bukhori (1913, 5241, 5946, 6021), dan Muslim (2548)

[26] HR Ahmad (21836)

[27] HR Turmudzi (1961), Ibn Hiban (473), Lihat kitab al-Miskat di no (1911).

[28] HR Turmudzi dari Jabir (2025), Ahmad (17412,17401), Ibn Hiban (5460, 481), Baihaqi dalam sunan (21259) dari Abi Tsa’labah al-Khosni. Lihatlah kitab al-Miskat di no (4797).

[29] HR Muslim (1151), Ahmad (1509), Abu Daud (930)

[30] Diriwayatkan oleh Bukhori (1876, 3586), dan Muslim (2324)

[31] HR Bukhari (4970) dan Muslim ( 3590).

[32] HR. Abu Daud (5100), Turmudzi (1517), Ahmad (26788), lihat kitab Miskat (4157), dan Sahih Abi Daud karya al-Albani ( 4257).

[33] HR. Ahmad ( 19751,19801), Abu Daud ( 2838, 2839), Turmudzi ( 1525), Nisai (4204) dan kitab Miskat (4153)

[34] HR Muslim ( 5542), Abu Daud (4945) dan Turmudzi ( 2911).

[35] HR. Ahmad ( 21313), Abu Daud ( 4944), al-Darimi ( 2693), kitab al-Miskat ( 4768).

[36] HR Ahmad ( 2766), Turmudzi (2566), dan kitab al-Miskat (5302).

[37] Riwayat Bukhari (7230, 6241, 3201, 141), dan Muslim ( 3488).

[38] Riwayat Bukhari (4431), dan Muslim ( 6086).

[39] Diriwayatkan Bukhori (1334,1335,1361), dan Muslim (6706, 6709, 6711)

[40] HR Muslim (5567, 6275), Ahmad (12734), dan Abu Daud (4947)

[41] HR Muslim (5542), Ahmad (6106), Abu Daud (4945), Turmudzi (2911), dan Ibn Majah (3812).

[42] HR Ahmad (18677), Abu Daud (4946) dan kitab Miskat ( 4782).

[43] HR Ahmad (6694, 6718), dan Abu Daud (2843)

[44] HR Ahmad(19751, 19801), Abu Daud (2838), Turmudzi (1525), Ibn Majah (3241)

[45] HR Bukhori (5122), dan Muslim (4240)

[46] HR Ahmad (15726, 27235), dan an-Nisai (1139).

[47] HR Bukhori (5987, 6060), dan Muslim (5577)

[48] HR Bukhori (5689, 5711)

[49]HR Muslim (5968), dan Abu Daud (4769)

[50] HR Bukhori (5899), Muslim (5964), Ahmad (12729, 12742)), Abu daud (4770), dan at-Tarmidzi (2022)

[51] HR Bukhori (422, 5565), dan Muslim (617, 5716)

[52] HR Bukhori (5750)

[53] HR Ahmad (6737), Abu Daud (495), Baihaqi dalam kitab as-Sunan (3300)

[54] HR Bukhori (5249), dan Muslim (5225)

[55]HR Turmudzi (587)

[56] HR Ahmad (2672, 2766), Turmudzi (2566)

[57] HR Bukhori (6269), Ahmad (4759, 4992), dan Turmudzi (2370)

[58] HR Bukhori (1473, 3005) dan Muslim (2426)

[59] HR Bukhori (1280), dan Muslim (5978)

[60] HR Bukhori (1263, 5527, 6507), dan Muslim (2085)

[61] HR Bukhori (5760), dan Muslim (5980)

[62] HR Bukhori (698, 701), dan Muslim (1008)

[63] HR Bukhori (3668, 5857), dan Muslim (3932)

[64] HR Bukhori (510), dan Muslim (1163)

[65] Riwayat Bukhori (4202), dan Muslim (20289)

[66] HR Bukhori (2612, 4008), dan Muslim (4793)

[67] Lihat, kisah Samroh dalam “al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashab (terjemah Samroh bin Jundub), dan Tahdzib al-Kamal (terjemah Samroh)

[68] HR Bukhori (5346), Ahmad (15932, 171551), Abu Daud (2840), Turmudzi (1970), Nasai (4198), Ibn Majah (3240)

[69] HR Ahmad (19801, 19806), Abu Daud (2838), Nasai (3204), Ibn Majah (3241)

[70] HR Ahmad (6694), Abu daud (2834), dan Nasai (4196)

[71] HR Ahmad (19704, 19806, 19868), Abu Daud (2839), Turmudzi (2910), Nasai (4204), Baihaqi (19666)

[72] Lihat, Ibn Qayim, dalam Tuhfatul Maudud.

[73] HR Riwayat Ibn Hiban (5211)

[74] HR Abu Daud (2844)

[75] HR Abu Daud (2842), dan Baihaqi dalam kitab as-Sunan (19669)

[76] HR Ahmad (26958), Abu Daud (2835-2837), Turmudzi (1519), Nasai (4503-4505), dan Ibn Majah (3238)

[77] HR Ahmad (26788), Abu Daud (5100), Turmudzi (1517)

[78] HR Muslim (6275), Ahmad (13772), Abu Daud (4947)

[79] HR Muslim (5542), Abu Daud (4945), Turmudzi (2911)

[80] HR Turmudzi (3813), Ibn Hiban (5743), Ibn Majah (3813), dari Umar. ra., riwayat Abu Daud (4954, 4955) dari Samroh bin Jundb. ra.

[81] Riwayat Imam Malik dalam kitab al-Muwatho (1799)

[82] HR Baihaqi, dalam kitab Jma’ Abwaba al-’Aqiqah, bab IV (14/257)

[83] HR. al-Bukhari nomor (1334, 1335, 1361) dan Muslim nomor (6709, 6711, 6712).

[84] HR. Turmudzi dengan nomor (2748), Abu Ya’la dalam kitab musnadnya dengan nomor (3627), dan lihat al-Misykat dengan nomor (175).

[85] HR. Ahmad nomor (2766), Turmudzi nomor (2566), dan lihat al-Misykah nomor (5302).

[86] Nama anak Syeikh Andalusi

[87] Diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf dengan nomor (28.772)

[88] HR. al-Bukhari dengan nomor (4970) dan Muslim dengan nomor (3590)

[89] HR. al-Bukhari dengan nomor (2758, 5122) dan Muslim dengan nomor (4239, 4242)

[90] HR. al-Bukhari dengan nomor (141, 3201, 6241, 7230) dan Muslim dengan nomor (3488)

[91] Telah ditakhrij di halaman-halaman sebelumnya.

[92] Lihat: Mujma’ az-Zawaid dengan nomor (12857), Jami’ al-Ahadits wal-Maraasiil dengan nomor (315), dan as-Silsilah adh-Dho’ifah dengan nomor (408.

[93] HR. Muslim nomor (5560,5564), Abu Daud nomor (4953,4956).

[94] HR. Ahmad nomor (21313), Abu Daud nomor (4944), ad-Darimi nomor (2693), Ibn Hiban nomor (5720), dan lihat al-Misykah nomor (4768).

[95] HR. Malik dalam al-Muwato‘ nomor (1799).

[96] HR. Ahmad nomor (1, 17, 31), Abu Daud nomor (4334, 4337), Turmudzi nomor (2193, 3156), an-Nasa’I dalam al-Kubro nomor (11053), Ibn Majah nomor (4091), serta lihat: al-Misykah nomor (5142, 5144).

[97]

[98] Telah ditakhrij sebelumnya.

[99] HR. al-Bukhari nomor (71, 3048, 7148), dan Muslim nomor (2345, 4912)

[100] HR. Muslim nomor (6856), dan Ahmad nomor (18947)

[101] HR. al-Bukhari nomor (3797, 4557, 4654, 6533), dan Muslim nomor (97).

[102] HR. al-Bukhari nomor (6265), dan Ahmad nomor (2344)

[103] HR. al-Bukhari nomor (3143, 4034, 6010), dan Muslim nomor (6340).

[104] HR. Ahmad nomor (13700), Turmudzi nomor (3952, 3953), an-Nasa’I dalam kitab al-Kubra nomor (8144), Ibn Majah nomor (158), dan lihat al-Misykah nomor (6120).

[105] Ibid

[106] HR. Ahmad nomor (44), Abu Ya’la nomor (7190), al-Albani dalam kita as-Shahihah nomor (1237), serta lihat al-Misykah nomor (6255).

[107] HR Ibn Hiban dengan redaksinya nomor (276), Turmudzi dengan redaksinya nomor (2459), dan lihat al-Misykah nomor (5130).

[108] HR. al-Bukhari nomor: (2821).

[109] HR. Muslim nomor (1443, 1444), Ahmad nomor (18450).

[110] HR. al-Bukhari nomor (522), Muslim nomor (1472).

[111] HR. Ahmad nomor (26078, 26251), Ibn Majah nomor (1674), dari Umu Salamah r.a., Ahmad nomor (586), Abu Daud nomor (5151), Ibn Majah nomor (2769) dari Ali r.a., dan lihat as-Shahihah nomor (868).

[112] Hadits ini belum saya temukan. An-Nasa’I meriwayatkan yang semcam ini nomor (1954), al-Baihaqi dalam as-Sunan nomor (6851), dan al-Hakim nomor (6582).

[113] Diriwayatkan oleh al-Bukhari nomor (25), Muslim nomor (94) melalui jalur periwayatan dari Ibn Umar r.a.. Dan oleh al-Bukhari nomor (1381, 2879, 6773), dan Muslim nomor (90-93) melalui jalur periwayatan dari Abu Hurairoh r.a.

[114] HR. al-Bukhari nomor (2864, 4022, 4416), dan Muslim nomor (1373, 1375, 1376)

[115] HR. Ahmad nomor (586), dan Abu Daud nomor (5151), melalui jalur periwayatan dari Ali r.a..Serta ditakhrij oleh Ahmad nomor (26078, 26251) dari Umi Salamah r.a.. Dan lihat as-Shahihah karang al-Albani nomor (878)

[116] HR. al-Bukhari nomor (7063, 636), Muslim nomor (1432).

[117] HR. Ahmad nomor (8731), serta lihat al-Misykah nomor (1073).

[118] HR. Abu Daud nomor (426), Turmudzi nomor (170)

[119] HR. Ahmad nomor (22555), Turmudzi nomor (2689), an-Nasa’I nomor (461), Ibn Majah nomor (1112), serta lihat al-Misykah nomor (574)

[120] HR. Muslim nomor (207, 208), Ahmad nomor (14684), Abu Daud nomor (4670), Turmudzi nomor (2680).

[121] HR. Abu Daud nomor (561), Turmudzi nomor (222), serta lihat al-Misykah nomor (721).

[122] HR. al-Bukhari nomor (2694, 3451, 4653), dan Muslim nomor (454).

[123] HR. al-Bukhari nomor (29, 1037, 5076), dan Muslim nomor (2059).

[124] HR Muslim nomor (6897), dan Ahmad nomor (10939)

[125] HR al-Bukhari nomor (4976), dan Muslim nomor (6894)

[126] HR. al-Bukhari nomor (2328, 3299), dan Ahmad nomor (3248).

[127] Kisah Ibrahim a.s. dan Ismail a.s. yang diriwayatkan oleh Bukhari nomor (3299).

[128] HR. al-Bukhari nomor (3, 4834, 6830), dan Muslim nomor (358).

[129] HR. al-Bukhari nomor (3733), dan Muslim nomor (6226).

[130] HR. al-Bukhari nomor (1343), dan Muslim nomor (2154).

[131] HR. Ahmad nomor (19338, 19374), Abu Daud nomor (4173), Turmudzi nomor (2863), an-Nasa’I nomor (5110), dan lihat al-Misykah nomor (1065).

[132] HR. Abu Daud nomor (570), Ibn Khuzaimah npmor (1686), al-Baihaqi dalam kitab as-Sunan nomor (5399), dan lihat al-Misykah nomor (1065).

[133] HR. al-Bukhari nomor (889), dan Muslim nomor (941).

[134] HR. Muslim nomor (2903), dan Abu Daud nomor (1906).

[135] HR. al-Bukhari nomor (5917), dan Muslim nomor (251).

[136] HR. Muslim nomor (250).

[137] HR. al-Bukhari nomor (5751), dan Ahmad nomor (2271, 3149).

[138] HR. al-Bukhari nomor (5797, 5798), dan Muslim nomor (5523).

[139] HR. al-Bukhari nomor (4766, 5794, 5802), dan Muslim nomor (5528).

[140] HR. al-Bukhari nomor (969).

[141] Telah ditakhrij sebelumnya.

[142] HR. al-Bukhari nomor (860), dan Muslim nomor (950).

[143] HR. al-Bukhari nomor (302, 1444).

[144] HR. Ahmad nomor (21639, 21756), Turmudzi nomor (2683),, an-Nasa’i dalam al-Kubra nomor (11289), Ibn Majah nomor (4059), dan lihat al-Miykah nomor (29).

[145] HR. al-Bukhari nomor (), Muslim nomor (), al-ghalw bermakna al-mahr

[146] HR. Ahmad nomor (17006), Ibn Khuzaimah nomor (2416), Ibn Hiban nomor (2276), al-Baihaqi dalam as-Sunan nomor (7773), dan al-Hakim nomor (1550).

[147] HR. al-Bukhari nomor (1423), dan Muslim nomor (2289).

[148] HR. al-Bukhari dari Zainab, istri Abdullah nomor (), dan Muslim nomor (), juga diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri.

[149] HR. Ahmad nomor (6867).

[150] HR. al-Bukhari nomor (436), dan Muslim nomor (6182).

[151] HR. Ahmad nomor (1673), dan lihat al-Misykah nomor (3254).

[152] HR. al-Bukhari nomor (101, 7146), dan Muslim nomor (6651).

[153] HR. al-Bukhari nomor (5068), dan Muslim nomor (6258).

[154] Menurut Abu Muhammad bin Hazim adz-Dzahiri, wanita-wanita tersebut berasal dari suku Khosy’am, sebuah suku yang berdekatan dengan suku Syamran di daerah selatan yang cukup terkenal dalam sejarah.

[155] Orang Arab memiliki banyak istilah yang merujuk pada waktu tidur. Di antaranya adalah:

- Hailulah : tidur di waktu shubuh.

- Failulah : tidur di waktu dhuha.

- Qailulah : tidur di waktu dzuhur.

- Ghailulah : tidur di waktu ashar.

Orang Arab menganggap tidur di waktu shubuh merupakan perbuatan yang tercela. Adapun tidur di waktu dhuha dapat menimbulkan fantasi. Sedangkan tidur di waktu ashar dapat menyebabkan kegilaan, walau tak ditemukan hadits Nabi yang mengatakan demikian.

[156] HR. al-Bukhari nomor (2183, 5243, 7021), dan Muslim nomor (4431).

[157] HR. al-Bukhari nomor (5626), dan Muslim nomor (4345).